Ana menguap lebar. Matanya sudah terlihat merah dan nanar, berat banget untuk diajak melek. Wajar, karena jam weker di samping laptopnya sudah menunjukkan angka 1:30. Artinya dia senasib dengan satpam komplek rumahnya yang dia yakini masih melek juga untuk ronda.
Gila! Nih tugas kapan kelarnya coba? Sungutnya dalam hati sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah kusut dari tadi.
Sebenarnya paper membedah puisi sastra yang diberikan dosennya ini sudah ada sejak seminggu yang lalu. Tapi seperti biasa, Ana seneng banget mengerjakan semua tugas kuliahnya sistem kebut semalam alias dadakan. Akhirnya seperti ini deh, dia jadi kalang kabut sendiri dan menyalahkan siapapun atau apapun yang dia mau. Padahal yang salah sebenarnya dia sendiri.
Ana menguap lagi. Dia lalu meraih mug kopi keduanya dan meminum kopinya hingga tak bersisa lagi dan berharap itu bisa membantu dia menyelesaikan tugasnya. Dia menghela nafas panjang sambil meletakkan mugnya di samping laptop. Seperti ada beban berat yang mau dia lepas. Beban jadi anak kuliah yang saban hari ada tugas paper yang harus kudu wajib dikerjakan kalau tidak mau dapat nilai E ditranskrip nilai dan mesti ikut kuliah tambahan di hari libur.
OH NO!!
Dengan pasrah akhirnya dia memaksakan jari-jarinya yang sudah setengah kaku untuk kembali mengetik di keyboard dan matanya yang semakin merah dan berair juga sudah lekat lagi sama layar laptopnya.
Pokoknya nih paper harus selesai, biar rencana gue enggak berantakan. Tekadnya dalam hati.
"Busyet, Nto. Mata lo kenapa?"
Keesokan paginya Abed dengan semena-mena mengangkat kepala Ana yang sedang menempel di atas meja kantin dan memastikan kalau dia tidak salah lihat.
"Sejak kapan lo suka mabok-mabokkan?"
Lanjutnya semakin semena-mena dan membuat beberapa mahasiswa dari berbagai angkatan yang sedang nongkrong-kalau kata anak jaman dulu dan sekarang- di beberapa titik di sekitar meja mereka menengok ke arah mereka.
(Jangan bingung juga ya. Emang cuma Abed yang manggil Ana dengan Anto. Ntar juga tahu apa sebabnya.)
"Sembarangan lo kalau ngomong."
Balas Ana ketus sambil melepaskan tangan Abed di kedua sisi kepalanya dan kembali menempelkan sisi samping kepalanya di meja.
Abed pun tertawa sambil membetulkan ikatan rambutnya. (Beberapa anak cowok Green Edelweis memang berambut gondrong, salah satunya Abed)
"Ini semua gara-gara tugas sastra ini tahu." Lanjut Ana lagi masih dengan posisi menempel di meja kantin yang terbuat dari kayu.
Abed pun mengambil hasil paper Ana yang dikerjakan dengan penuh perjuangan dan sudah di jilid rapih di meja lalu membaca judulnya dan kembali tertawa.
"Salah lo sendiri, kenapa suka banget mengerjakan semuanya dadakan."
"Bodo amatlah, yang penting sudah kelar dan kita bisa ke Bandung besok."
Abed hanya bisa senyum-senyum sambil menggelengkan kepala lalu membiarkan Ana terpejam.
Kyrana Felessia tiba-tiba saja suka dengan hal yang bersifat petualangan ketika pertama kalinya dia masuk kuliah. Jujur dia tidak pernah punya pengalaman naik gunung, paling ekstrem yang pernah dia lakukan ya ikutan kemping di alam, itupun bukan alam liar tapi di alam bumi perkemahan.
Dan alasannya yang paling utama kenapa dia nekat mendaftar jadi salah satu calon anggota di organisasi Pecinta Alam di kampusnya karena dia kepincut sama salah satu senior di kampusnya dan Anapun baru tahu kalau si Senior kasep itu ada di dalam keanggotaan Pecinta Alam. Tanpa pikir panjang, dia minta formulir yang wajib mengikut-sertakan ijin orang tua. Dan seperti dapat anugerah terindah, orang tuanya mengijinkan si anak bontot itu ikut kegiatan ekstrem selama tidak membahayakan jiwa dan raganya^^.
Di dunia barunya-Pecinta Alam-, Ana tidak hanya diajarkan gimana caranya naik gunung dan materi fisik yang membuat badan bisa kekar, tapi juga diberikan beberapa materi yang bisa membuat keahliannya dalam bidang alam pegunungan semakin meningkat, seperti teori tentang survival atau bertahan hidup di alam, P3K, sampai materi climbing atau panjat tebing yang belum pernah dia dapatkan sebelumnya apalagi melakukannya.
Kawan senasib sepenanggungannya ada 6 orang. 5 cewek dan 2 cowok-pada awalnya, tapi 1 cowok mundur beberapa hari sebelum hari H-nya-, dan angkatan Ana adalah angkatan cewek pertama yang belum pernah ada di sejarah organisasi Green Edelweis. Jadi bisa dibilang, angkatan Ana berisi cewek-cewek pemberani dan 1 cowok gagah yang bisa mengawal si cewek-cewek pemberani.
Sebelum adanya Diklat atau Pendidikan dan Latihan yang diadakan selama seminggu, sebulan sebelumnya, mereka-Ana cs- digembleng melakukan pelatihan yang menguras tenaga dan juga ke mental.
Mereka diwajibkan lari memutari lapangan basket kampus atau kadang, mereka harus berlari sambil mengukur luasnya kampus. Naik – turun tangga gedung perpustakaan kampus mereka, yang berada terpisah dari gedung utama pun jadi makanan mereka dengan tambahan bonus setiap kaki diikat beban pasir yang membuat kaki mereka terasa lebih berat. Itu untuk simulasi menaiki gunung dengan semua tumpuan ada di kaki. Dijamin bakal membuat nafas jadi senin-kamis apalagi Ana tidak terbiasa berolahraga.
Daaann.... Perjuangan mereka pun dimulai.
Mereka Diklat di Gunung Salak, tapi hanya sampai Kawah Ratu karena pertimbangan cuaca yang selalu hujan. Wajar sih, namanya juga hutan hujan tropis. Tapi Ana khususnya tidak pernah membayangkan kalau bakal sebegitunya hujan menemani perjalanan mereka. Bawaan mereka terasa semakin berat karena banyaknya air hujan yang merembes masuk di setiap perbekalan mereka.
Mereka pun lama kelamaan jadi terbiasa dengan rasa dingin atau tanah becek yang mengotori tiap sudut sepatu mereka. Para senior akhirnya berbaik hati merubah settingan perjalanan mereka yang tadinya sampai puncak Salak, hanya sampai Kawah Ratu. Dan itu jadi nama angkatan Ana cs. Srikandi Kawah Ratu. Cool!!^^
Petualangan pertamanya selama Diklat jadi hal yang paling tidak terlupakan buat Ana. Dimomen itulah dia bisa ke gunung yang sebenarnya. Bisa melakukan hal-hal yang belum pernah dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Di sana juga dia bisa merasakan nikmatnya daging cacing tanah pada materi survival.
(Enggak bisa membayangkan lo gimana rasanya? Tapi kalau lo mau tahu, coba makan tanah saja, 'coz rasa tanahlah yang lebih dominan, hehe..)
Pokoknya banyak hal lain yang seru, tidak terlupakan dan tidak sampai disitu saja ya petualangan yang diberikan oleh Green Edelweis. Masih buanyaakk.
Dan.. Salah satunya ini..
_To be continued_
Beberapa tahun lalu. Ana –yang saat itu sudah jadi senior- dan para senior Green Edelweis lainnya mengadakan acara tahunan mereka yaitu Diklat untuk para calon anggota (caang) baru. Dan rapat dari panitia inti memutuskan untuk mengadakan acara tersebut di Gn. Burangrang, daerah Situ Lembang Bandung lalu berakhir di Gn. Tangkuban Perahu yang masih ada di sekitar Bandung juga.
Dari segi persiapan termasuk proposal tidak ada masalah sama sekali karena memang sudah jago melobi orang kampus. Logistik dan bahan makanan juga tidak ada kendala. Calon anggota yang tadinya 6 orang tapi akhirnya menyusut jadi 2 orang yang bernyali juga sudah terlihat percaya diri bakal sanggup jadi “pesakitan” untuk menjalankan Diklat selama seminggu. FYI, salah satu calon anggota yang bakal Ana kasih diklat adalah cowok yang harusnya ada di angkatannya tapi sebelum hari H dia mundur, ingat?
Langsung ke hari H-nya saja ya biar cepat^^.
Dan hari H pun tiba..
Berangkatlah 13 orang para senior Green Edelweis (termasuk Ana) dengan 2 orang caang mereka dari titik awal di kampus tercinta yang berada di selatan Jakarta. Selama perjalanan, tetap tidak ada masalah karena pembagian tugasnya sudah jelas dan masing-masing tahu harus melakukan apa.
Seksi transportasi sudah jago dan hapal mana bis luar kota yang sering mereka tumpangi kalau mau ke lokasi naik gunung dan yang lebih penting tarifnya bisa ditawar sampai limit termurah. Setelah beberapa kali bergonta-ganti kendaraan akhirnya sampailah mereka di tujuan pertama (pemukiman di kaki Gn. Burangrang) menjelang sore.
Setelah meminta ijin ke penduduk sekitar, mereka bisa mendirikan tenda atau istilahnya ngecamp di lapangan bulu tangkis dan mulai mengerjakan tugas masing-masing. Ada yang mendirikan tenda, masak, ada juga yang sibuk mem-plotting peta untuk perjalanan besok. Yang pasti, 2 orang caang harus mempersiapkan fisik dan mental mereka untuk menghadapi saat-saat “penyiksaan” yang bakal dimulai hanya dalam hitungan jam.
"Besok yang naik, Ochid, Tangguh, Hendru karena dia yang bakal buka jalur, Keke sama Ana." Kata Ando, sang ketua dari acara kali ini saat evaluasi rutin sebelum tidur.
Mereka-kecuali caang- duduk memutari peta topografi (salah satu nyawanya anak gunung) dan lilin sebagai penerangan. Mereka seperti prajurit dan jendral yang lagi menyusun strategi peperangan.
Ada yang sambil memegang gelas plastik yang berisi teh hangat dan juga kopi untuk mengusir rasa dingin. Ada yang semakin merapatkan jaket dan duduknya. Tidak sedikit juga ada yang sudah setengah nyawa mendengarkan instruksi Ando karena rasa kantuk yang teramat sangat.
Dan ngomongin soal Ando, orangnya tuh keliatan sangar tapi ada saatnya mereka lagi bercanda, dia bakal bisa membuat semuanya tertawa sama leluconnya.
"Peta sudah di plot, jadi, teknisnya besok, Hendru bakal jalan duluan buat membuka jalur, habis itu baru kalian menyusul sama caang, ada pertanyaan?" Tambahnya lagi sambil menatap orang-orang disekelilingnya.
Tim lapangan yang bakal dapat tugas pertama besok menggeleng bareng. Mereka sudah mengerti sama masalah teknisnya. Kalau memang ada yang berubah, tinggal improve saja asal tetap koordinasi sama semuanya biar tidak ada yang miss communication alias tidak mudeng. Hari pun ditutup dengan istirahat. Terlebih buat 7 orang yang bakal menempuh perjalanan jauh besok.
Hari pertama dimulai. Ana senang bisa bergabung di tim lapangan yang naik ke Gn. Burangrang yang tingginya kurang lebih 2050 mdpl. Bukan hanya dia memang belum pernah naik ke sana, tapi senang karena bisa bareng sama Ochid, Tangguh dan Hendru, senior sebelum angkatan dia dan Keke.
Sedikit tentang mereka ya.. Nama angkatan mereka Bucik Purnama (Ando termasuk di dalamnya). Tempat Diklat mereka waktu itu di gunung yang sama yang bakal mereka daki hari ini. Dan kata purnama diambil karena malam pelantikan mereka pas bulan purnama. Keren!
Mereka (Tangguh, Ochid dan Hendru) itu gokil banget, jadi Ana mikir pasti nanti akan menyenangkan banget perjalanan mereka seperti sebelumnya. Biarpun Ana merasakan sedikit sedih sih harus pisah seharian sama Abed, seniornya di atas angkatan Ochid cs. Akhir-akhir ini mereka berdua memang lagi dekat, padahal awalnya tidak ada detik yang mereka lewati tanpa berantem. Sekarang juga masih suka berantem, tapi jedanya lama.
Karena Abed dan Danu adalah angkatan kedua (nama angkatannya Cilember. Anggotanya: Abed, Danu, Ebith dan Ucok) yang termasuk dituakan setelah angkatan Pioneer (angkatan Pendiri: Joseph, Aan, Oding, Kingham dan Julpra), jadi mereka dapat tugas jadi tim basecamp, yang sudah jelas kerjaannya menjaga tenda biar tidak hilang.
Cuaca cerah. Seperti mendukung acara mereka. Terlebih dahulu mereka mengadakan apel pagi dulu untuk membuka acara Diklat secara resmi. Hendru tidak ikut karena subuh tadi, dengan gagah berani dia sudah jalan lebih dulu untuk membuka jalur yang bakal mereka lewati menuju Gn. Burangrang.
Setelah selesai lalu berpamitan, 6 orang akhirnya memulai perjalanan mereka. Awalnya masih biasa karena mereka masih jalan di tanah yang flat alias datar, menyusuri perkebunan jagung dan tebu penduduk sekitar, ya buat pemanasanlah.
Let's begin with the truly journey..
Mereka mulai jalan mendaki. Untungnya Ana pakai sepatu gunung yang dipinjamkan Lia. Kalau tadi dia menolak dipinjamkan, tidak terbayang deh gimana susahnya dia melewati trek terjal begini yang lebarnya cuma cukup 1 orang.
Kanan-kirinya masih berupa jurang dan yang jadi pagar pemisah buat mereka dengan si jurang tersebut cuma pohon-pohon yang masih setengah gede. Maklum, mereka tidak lewat jalur yang sudah ada, tapi lewat jalur sendiri. Yup, jalur yang sudah dibuka sama Hendru, senior yang badannya kurus, tapi tenaga dan skill-nya 4 jempol.
Perjalanan mereka terasa lambat banget karena para caang yang baru sebentar menanjak sudah mengeluh panjang. Emang sih senior yang mengawal mereka hanya bawa satu carriel (tas pendaki gunung), tapi mereka harus bawa sendiri carriel masing-masing yang beratnya bisa 30 Kg, jalan menanjak pula. Gimana tidak mengeluh!! Tapi karena Ana dan yang lain dipesenin buat tegas sama mereka, jadi kesannya tidak sabaran kalau sebentar-sebentar mereka minta berhenti buat istirahat, karena itu bisa makan waktu banget.
"Kita bakal sampai jam berapa kalau terus-terusan kaya gini? Enggak mungkin kita menginap di sini ntar malam kan?" Keluh Keke, cewek yang rempong banget kalau mau naik gunung, soalnya carriel-nya paling tinggi bukan karena bawa logistik banyak, tapi isinya kebanyakan perlengkapan pribadinya, dan dia anggota cewek paling wangi kalau naik gunung, yang langsung disetujuin oleh Ana yang lagi minum dari botol minumnya.
"Masalahnya mereka manja banget." Timpal Tangguh, cowok kurus tinggi, kulit semi oriental dengan rambut gondrong lurusnya dan dia selalu pakai slayer di kepalanya kalau lagi naik gunung begini. Gantenglah pokoknya. Terus dia suka banget ngomong "Yo, whats up, man?" dan kalau lagi ngomong sama dia jangan harap bakal langsung ditanggepin serius. Pasti dibercandain dulu.
"Bakal percuma saja kalau terus-terusan kita push mereka." Tambahnya lagi. Dia mengambil botol minum yang disodorkan Ana, lalu minum beberapa teguk dan mengembalikan botol itu ke Ana.
"Gue yakin Hendru sudah tidur di puncak nih." Kata Ochid sambil terkekeh. Merasa geli sendiri sama perkataannya. Dia memang suka banget melucu. "Ngguh, gantian ya? Pegel banget." Ochid melepaskan carriel yang menempel di punggungnya lalu menyerahkan ke Tangguh.
"Let's go." Tangguh pun kasih komando setelah melihat caang yang jaraknya sekitar beberapa meter di depan mereka mulai bergerak lagi.
Hari menjelang siang, tapi setengah perjalanan pun belum kelar mereka lalui. Mereka sama-sama sudah yakin bakal turun tengah malam. Padahal estimasi waktunya, kira-kira jam 5 sore pasti bakal sudah sampai di sisi satunya, yaitu di hutan Pinus daerah Situ Lembang.
Jadi Ana, Keke, Tangguh dan Ochid pun sudah merasa cemas banget kalau beneran sampai malam masih ada di badan gunung ini. Karena logistik yang mereka bawa tidak mengikut-sertakan tenda. Jadi mereka tidak bisa apa-apa selain terus bergerak. Untungnya mereka bareng 2 orang gokil, jadi tidak terlalu bete banget perjalanan mereka.
Lagi asyiknya jalan, Ana yang lagi bercanda sama Keke yang jalan di depannya tiba-tiba berhenti dan menoleh ke Ochid yang ada beberapa meter di belakangnya.
"Chid, lo manggil gue?"
Ochid, cowok yang juga berkulit semi oriental alias putih, punya tampang baby face dan berpipi chubby ini kasih ekspresi bingung ke Ana karena merasa tidak memanggil.
"Geer banget lo, Na. Gue enggak manggil."
Ana pun kembali berjalan. Namun beberapa lama kemudian dia kembali berhenti dan berbalik badan ke arah Ochid, kali ini dengan berkacak pinggang.
"Jangan bercanda deh, Chid, lo manggil gue kan? Ada apaan sih?"
"Eh Toa, gue enggak manggil." Ochid sampai manggil Ana pakai nama rimbanya saking kesalnya.
"Tapi jelas banget kaya ada yang manggil gue."
Tangguh dan Keke ikut berhenti mendengar keributan di belakang mereka.
"Ada apaan?"
"Tahu nih si Toa, jelas-jelas gue enggak manggil, tapi katanya ada yang manggil dia."
"Tuhkan ada yang manggil gue lagi."
Ana yakin itu bukan cuma perasaannya dia saja. Tapi dia memang beneran dengar suara yang lagi memanggilnya, dan itu kaya suara.. Abed!
"Tapi kok kaya suara kak Abed ya?"
"Ngaco lo Toa, dia paling sudah sampai Pinus tahu." Sahut Keke yang ikutan memanggil Toa.
Jadi sekarang tahu ya kenapa Abed memanggil Ana dengan Anto. Yup, itu singkatan dari Ana-Toa. Dia dikasih nama rimba itu sama angkatan Bucik Purnama gara-gara suaranya cempreng banget waktu Diklat.
"Atau mungkin Hendru kali?" Kata Tangguh. "Kalau emang benar itu dia, berarti dia enggak jauh di depan kita, ayo deh cepetan, sudah mau sore nih."
Akhirnya mereka kembali berjalan. Ana pun masih keliatan bingung kenapa dia terus-terusan dengar suara Abed di dalam kepalanya.
Semoga bukan feeling buruk. Doanya dalam hati.
_To be continued_
...Peta Topografi...
Perjalanan mereka semakin berat karena memang harus melawan gaya gravitasi bumi. Paling mereka sesekali dapat bonus alias tanah flat yang bisa membuat perjalanan mereka sedikit lebih gampang, tapi memang kebanyakan tanjakan curam sih. Tanjakannya pun bukan sembarang tanjakan. Ada tanjakan dari tanah jadi kadang longsor waktu diinjak. Jadi mereka harus pintar bikin pijakan sendiri dari ujung sepatu mereka, tapi sayangnya karena jarangnya tumbuhan yang bisa dijadikan pegangan, maka mereka sesekali harus setengah merayap buat naik.
Setelah tanjakan tanah, pasti ada tanjakan berbatu. Jangan dipikir ini lebih gampang ya, malah semakin susah kalau tanjakan batu. Yups, kita harus pintar nyari pijakan kalau salah bisa keseleo tuh kaki dan bakal lebih menyusahkan diri sendiri sama orang lain kalau sampai hal itu terjadi.
Menjelang sore mereka baru sampai di puncak Gn. Burangrang. Finally!! Kabut pun sudah turun sebelum mereka sampai di sana dan hawa dingin sudah mulai merayapi badan dicampur dinginnya baju mereka yang memang basah oleh keringat.
Dan mereka pun akhirnya menemukan Hendru yang lagi duduk bersandar dengan mata setengah menutup di Tugu yang ada di sana. Jaket tebal sudah membalut badannya yang kurus. Tugas membuka jalur memang sudah selesai karena buat jalur turun mereka tidak perlu buka jalur baru. Dan yakin banget juga, dia sudah kenyang tidur.
"Gue pikir gue dikerjain, kalian enggak jadi naik terus gue harus sendirian di sini." Katanya langsung dengan suara serak kaya habis bangun tidur dan tampang judes. Tapi Ana dan yang lainnya malah tertawa. "Tapi gue yakin kalian lama sampai sini gara-gara mereka."
Hendru dan yang lainnya berpaling ke 2 orang yang berdiri terpisah dari mereka yang sedang istirahat. Carriel sudah ada di atas tanah dekat kaki mereka. Hendru pun bangkit dari duduknya lalu menghampiri 2 caangnya. Yang badannya agak gemuk namanya Jevan dan yang badannya kurus namanya Rahmat.
"Karena kalian lama banget, jadi istirahat kalian enggak lama, 15 menit abis itu jalan lagi."
Suaranya kedengaran lembut tapi tegas. Terbukti dari pergerakan Rahmat dan Jevan yang langsung duduk dengan kaki berselonjor sambil membuka perbekalan mereka.
15 menit kemudian, mereka mulai berkemas dan melanjutkan perjalanan mereka yang masih setengah jalan padahal hari sudah mulai gelap. Feeling mereka benar. Turunnya bakal pakai senter dan bakal jauh lebih ribet dari perjalanan naik biarpun nanti mereka berjalan turun. Tapi tidak terlalu khawatir karena ada Hendru yang kali ini jadi leader perjalanan mereka.
So, their journey was starting again..
Di Hutan Pinus, Situ Lembang.. 3 jam kemudian..
"Cewek-cewek stay di sini sama kak Joseph, yang lainnya ikut gue jemput mereka." Putus Ando karena merasa cemas tim lapangannya belum juga turun biarpun dia yakin Hendru bisa me-lead mereka balik.
Dia tambah dibuat cemas waktu melihat Febry, Lia dan Tita yang sudah sesegukan sambil berurai airmata dan saling berpelukan. Lebay bangetlah pokoknya.^^
Kecemasan paling terlihat di muka Abed. Dia cemas sama semuanya, tapi terlebih sama Ana. Makanya dari tadi siang dia sudah memanggil-manggil Ana dalam hatinya karena dia sudah mengira bakal kaya gini kejadiannya.
Jadi feeling Ana memang benar, kalau dia mendengar suara Abed. Dia langsung bangun dari duduknya tanpa menunggu komando Ando selanjutnya dan mengambil senternya.
"Let's go."
Dia lalu berjalan menuju jalur turun tim lapangan yang langsung diikuti oleh Ando, Danu, dan Aan.
Dengan bantuan cahaya dari senter, Ando memimpin yang lainnya karena dia memang sudah hafal sama jalurnya. Abed pun berjalan paling belakang. Di depannya ada Aan lalu Danu.
Setelah kira-kira 20 menit berjalan, mereka sampai di tanah flat atau datar yang cukup lebar kira-kira setengah lapangan kecil. Sebelah kirinya tebing tanah dan kanannya jurang yang cukup dalam. Di sekelilingnya banyak menjulang pohon-pohon tinggi.
Tiba-tiba saja Abed mendengar suara Ana yang lagi meminta tolong dari arah jurang. Dia memang paling kenal banget sama suara Ana dibanding yang lain. Mungkin karena seringnya mereka bareng. Sontak diapun mengecek ke arah jurang dengan senternya. Aan yang ngeh sama kelakuan Abed langsung berbalik menghampirinya.
"What's wrong?" Aan juga ikut menoleh ke dalam jurang dengan bantuan senternya.
"Enggak pa-pa, An."
Abed tidak mau membuat semuanya panik dengan bilang kalau dia merasa mendengar suara Ana dari dalam jurang. Biarpun dia tahu kalau Aan pasti tahu dia menyembunyikan sesuatu.
Ando dan Danu yang sadar Aan dan Abed tidak ada di belakang mereka akhirnya balik badan dan menanyakan hal yang sama. Tapi Abed tidak mau jujur dan minta mereka buat meneruskan perjalanan. Tapi sebelumnya, Abed lagi-lagi menoleh ke arah jurang dalam tadi baru kemudian menyusul yang lainnya.
Semoga kalian enggak kenapa-napa. Doanya dalam hati.
Perjalanan mereka bisa dibilang gampang banget, karena mereka jalan tanpa beban dan karena sudah senior pastinya. Setelah sejam mereka berjalan melalui tanjakan yang berundakan tanah, kadang berbatu atapun berakar, akhirnya tim Ando bisa bernafas lega waktu melihat banyak cahaya yang mereka yakini itu cahaya senter dari rombongan Hendru tidak jauh di depan mereka. Dan memang benar.
Thank God!
Abed tidak bisa menutupi rasa senangnya melihat Ana yang mukanya sudah keliatan kucel banget dan yang pasti kecapekan banget. Dan hal yang sama dirasain juga sama Ana. Jadi selama perjalanan, dia tidak mau jauh-jauh lagi dari Abed. Sampai-sampai, dengan sigapnya Abed membantu Ana kalau jalanan lagi turunan curam padahal Ananya masih bisa jalan sendiri. Tapi dia senang juga sih dapat perhatian lebih kaya gitu di depan yang lainnya pula, jarang banget ada tuh.
Mereka pun sampai di tanah flat tadi. Senior yang lain mengerjai para caang sebentar sekalian istirahat. Abed pun langsung cerita kalau tadi dia kaya mendengar suara Ana dari bawah jurang. Seketika Ana merasa bulu kuduknya berdiri sambil memberanikan dirinya buat menengok sedikit ke dalam jurang.
"Gue khawatir banget kalian kenapa-napa, soalnya suara lo kedengeran jelas banget."
Ana hanya bisa tersenyum dan merasa bersyukur banget mereka selamat. Dia lalu mengapit lengan Abed sambil melihat yang lainnya lagi mengomel ke caang karena gara-gara mereka berdua semuanya jadi kemalaman. Apalagi Keke, kayanya dia memang sudah diniatin mau mengomel. Gara-gara efek kekesalan yang dipendam selama perjalanan tadi.
Sampai di basecamp. Setelah evaluasi, mereka istirahat. Ando, Hendru, Joseph dan Ochid tidur di depan api unggun. Tangguh dan Danu serta para cewek tidur di tenda masing-masing. Aan dan Abed yang saat itu kebagian jaga malam.
"Gue tahu apa yang lo dengar di jurang tadi, Bed."
"Gue dengar suara Ana jelas banget, An. Tadinya gue mau balik lagi ke tenda ambil tali, terus gue cek ke bawah."
Aan tersenyum sambil menambahkan kayu ke api unggun yang membuat apinya semakin membesar.
"Untung enggak lo lakukan, soalnya kalau lo beneran turun, gue khawatir lo enggak bakal bisa balik ke atas lagi."
Abed menatap Aan.
"Mereka terkadang lagi minta tumbal kalau lo ketemu hal-hal kaya gitu." Aan sedikit merendahkan suaranya. "Lo pasti tahu bangetlah kalau di gunung kaya gini, terus menemukan hal-hal aneh, ya patut dicurigain."
Abed pun hanya bisa terdiam. Menatap kosong api unggun yang berkobar tidak jauh di depannya.
_To be continued_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!