NovelToon NovelToon

Suamiku, Sumpah Aku Cinta Kamu

Episode 1 (Prolog)

Devalia Caroline meremuk erat gaun yang dikenakannya pada sidang perceraiannya dengan seorang pengusaha paling populer di negara X. Pelan-pelan Devalia menoleh pada sosok yang sedang duduk santai menyilang kedua kakinya. Sosok itu sama sekali tak memperdulikan kehadiran Devalia. Dia sibuk sendiri memainkan ponselnya yang canggih.

“Bagaimana Pengacara David?” 

Pengacara David yang berada di pihak Devalia memutar kepalanya. “Nona?” panggilnya membuyarkan lamunan Devalia yang masih terpaku pada objek yang sama. Tak ada yang bisa dibohongi oleh Devalia. Semuanya tergambar jelas dari sudut matanya. Gadis itu tidak berhenti sekalipun menitikkan air mata.

Sambil menggenggam erat kepalan tangan yang penuh emosi, Devalia berdiri dari duduknya.

“Saya tidak bisa melanjutkan sidang perceraian ini. Saya … saya tidak bisa bercerai dengan suami saya.”

DEG!

Perkataan Devalia yang tidak terduga itu berhasil meraup amarah para hadirin persidangan. “Apa yang dikatakan anak itu?! Apa dia sudah gila?” Sahut-menyahut suara protes menggema dari dalam aula persidangan. Devalia tak gentar sama sekali. Dia sangat yakin pada keputusannya. Air matanya yang terus menerus terjatuh menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang sekitar. 

Devalia melirik kembali ke arah sosok yang dari tadi sibuk memainkan ponsel. Saat ini sosok itu sedang memutar ponsel mewahnya, membawanya masuk ke dalam saku celana. “Bagaimana saudara Andrean?” Pertanyaan itu membuat sosok itu berdiri dari duduknya.

Dia tak mengatakan apapun selain tersenyum tipis sebagai jawaban. Pesona dan ketampanan sosok yang digilai banyak wanita itu bahkan membuat banyak mata tersihir olehnya. Damarion Andrean, pengusaha sukses paling populer di negaranya melongos begitu saja keluar dari aula persidangan,  melewati Devalia tanpa memandangnya. 

Devalia terus saja menatap sang suami dengan tatap pilu paling menyedihkan. Seluruh hadirin yang memiliki ikatan dekat dengan Devalia tahu betul apa maksud air mata di balik tatapan itu. Mereka yang tak lagi kuasa ikut menitikkan air mata setelahnya. Perkataan Devalia akhirnya menjadi keputusan akhir persidangan terakhir perceraian itu. Setelah beberapa kali absen, Devalia datang untuk membatalkan tuntutan perceraian yang ia layangkan pada suaminya beberapa waktu yang lalu. 

"Lia, apa itu tadi? Kakak tidak salah dengar, kan? Kau yakin pada keputusanmu?" Agnes, kakak perempuan Devalia menatap tajam lekuk mata sang adik yang penuh air mata setelah persidangan itu ditutup. "Lia?" Sekali lagi Agnes meyakinkan adiknya.

"Ya." Valia mengangguk pelan. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa meninggalkannya. Aku tidak tahu kenapa … aku tidak bisa meninggalkan dia, Kak." 

Agnes menerobos lebih dalam menuju tatapan pilu sang adik yang terlihat sangat terluka. Amarah yang dari tadi ingin segera ia tumpahkan, pelan-pelan mereda kala mata sendu itu tampak mengiba.

"Lia! Jangan bilang kau ..." Agnes terperangah oleh pertanyaannya sendiri. "Kau jatuh cinta, padanya?" Sekali lagi Agnes mencoba menyadarkan sang adik.

Pertanyaan yang keluar dari mulut kakaknya, memerangkap Devalia hingga ia terpojok pada kenyataan. Benar. Jika bukan cinta, lantas mengapa dia tak ingin berpisah? Jika bukan cinta, mengapa dia tetap bertahan sejauh ini? Jika bukan karena cinta, lantas mengapa tidak bisa meninggalkan suami yang dingin dan beku seperti Damar? 

"Lia, kau tahu kesalahan apa yang sudah kau lakukan? Kau sendiri yang dulu membuat perjanjian perceraian. Kau sendiri yang sudah menolak lelaki itu mentah-mentah. Mengapa sekarang malah berubah begini? Bagaimana dengan Rafa?" Agnes terus saja menyudutkan Valia hingga gadis itu tak henti-hentinya sesenggukan.

Belum lama mereka berduel dengan rasa sakit, tiba-tiba seorang wanita mendekat pada Valia. "Dasar kau wanita matre! Wanita murahan! Kau memanfaatkan Putraku! Menyakitinya, mengkhianatinya, sekarang malah membatalkan perceraian! Jika hanya terus menyakiti putraku, mengapa tidak berpisah saja?! Ha!" Wanita itu tidak dapat mengontrol dirinya. "Kurang ajar!" Dia terus saja memukul-mukul Valia dengan amarah yang meluap-luap.

"Sudah, Bu. Sudah!" Jenny--adik perempuan Damar--menarik lengan ibunya untuk segera beranjak. Interaksi mereka berhasil mencuri perhatian banyak orang. Semua orang menatap tajam Devalia dengan kebencian. Tak ada yang terdengar selain hujatan yang terus menerus dilontarkan padanya.

Agnes mengiring langkah adiknya keluar dari aula persidangan dengan raut penuh kekecewaan. 

Prok! Prok!

Hans Martin, ayah kandung Devalia datang bertepuk tangan entah kenapa. Sambil menggigit sebatang rokok, lelaki tua itu mendekat pada putrinya. "Bagus, Ayah bangga sekali padamu. Dengan begitu, Ayah tidak perlu lagi repot-repot memikirkan pekerjaan. Tinggal menunggu uang kiriman dari menantu kesayanganku yang tampan dan kaya raya. Semuanya langsung beres seketika." Pak Hans menepuk pundak putrinya dengan bangga.

Agnes menarik cepat tangan sang adik menjauh dari pria gila yang terus-terusan menghantui mereka. Pria gila, yang tega menjual putri-putrinya pada pengusaha kaya yang tidak mereka cintai. 

Tak jelas apa pekerjaannya, yang penting semua orang tahu seberapa kotornya tangan pria yang telah lama menyelam dunia hitam itu. Perjudian menjadi makanan sehari-hari bagi Pak Hans sejak lama. 

Dia lah orang yang sudah menjerumuskan putri-putrinya pada tali pernikahan yang menyedihkan. Sebagai mantan pengusaha yang gulung tikar beberapa tahun silam, Pak Hans tak pernah sekalipun bersikap ramah pada anak-anaknya yang malang, apalagi sejak kematian sang istri yang meninggalkan luka menganga di hatinya.

Dia terjerumus dalam kesesatan. Bekerja sebagai orang-orang yang membantu para politikus dan pengusaha sukses dalam dunia hitam. Suap, korupsi, perjudian, dan perdagangan ilegal sudah jadi kebiasaan Pak Hans sebagai kaki tangan orang-orang tak bermoral. 

Hal inilah yang membuat banyak orang sangat membenci Valia dan keluarga miskinnya yang dikenal matre dan suka mencari muka pada orang-orang yang bermartabat dan berpangkat.

***

Episode 2 (Prolog)

Valia menuruni satu persatu tangga gedung pengadilan agama dengan hati-hati. Matanya buram lantaran terlalu banyak air mata yang menumpuk di pelupuk. "Valia, aku tahu aku tidak akan bisa membantumu." Agnes terus saja memapah adiknya. "Tapi semua keputusan ini akan membuatmu semakin menderita," tambahnya.

"Kalau tahu hatimu akan berubah, seharusnya kau menjadi istri yang baik untuknya. Valia, kau dalam masalah besar." Agnes akhirnya melepaskan adiknya masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang telah menunggunya. Namun, sebelum Valia masuk, kembali ia menoleh pada kakaknya. "Maafkan aku, Kak." Dia memeluk Agnes erat sekali. 

Di dalam mobil mewah itu, Devalia meremuk sekali lagi gaunnya. Dia menatap Finn--asisten pribadi suaminya--yang sedang duduk di sebelah supir. "Nona, ada yang bisa aku bantu?" Finn sadar Devalia dari tadi hanya terus memandanginya. 

"Ah tidak. Tidak ada." Devalia memutar jari-jemari yang pucat dan dingin. Wajahnya pucat dengan rasa gugup yang mencuat. “Senang bisa membawa Anda kembali,” tambah Finn. Finn mampu membaca gerak-gerik itu dengan sekali pandang. Dia tersenyum sebelum melayangkan pendapat pada Valia. "Nona, Anda gugup?" tanya Finn.

"Anda sudah menikah dengan Tuan Muda selama hampir dua tahun, mengapa harus gugup? Tuan Muda pasti sangat senang karena Nona membatalkan perceraian." Finn mencoba menenangkan Devalia.

Devalia merengut sedih. Finn pasti tidak tahu apa-apa, pikirnya. Meski mereka sudah menikah selama hampir dua tahun, tak pernah sekalipun mereka melakukan kontak fisik. Bahkan Damar jarang sekali pulang sejak Devalia melakukan kesalahan fatal yang membuatnya merasa sangat kehilangan sosok yang dulu pernah mengemis cinta pada malam pertama mereka. Boleh dikatakan, mereka hanya bertemu sekitar 14 hari dalam setahun. Itupun tiada kontak dan komunikasi sama sekali.

Ya, mereka belum melakukannya. Semuanya berubah dalam waktu singkat. Devalia jatuh cinta, pada seorang pria yang telah beku hatinya. Pria dingin yang semakin beku. 

***

"Finn, apa dia sudah sehat?" tanya Valia. "Tuan Muda masih dalam pengawasan dokter, Nona. Beliau memutuskan untuk berhenti dirawat, padahal masih dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Aku harap Anda bisa membujuk beliau untuk tetap melanjutkan perawatan dari dokter." Finn menyerahkan rekam medis milik Damar pada Valia. 

"Apa dia makan dan tidur dengan baik?" tanya Valia khawatir. "Belakangan ini beliau tidak mau makan dan tidak tidur dengan baik, Nona." Finn menekuk wajahnya yang sudah lama menaruh risau.

Tak lama setelah itu,

"Sudah sampai, Nona." Finn keluar dari mobil itu terlebih dahulu. Dia memutar langkahnya untuk segera membukakan pintu Devalia. Jantung Devalia berdetak sangat kencang saat kaki itu melangkah turun dari mobil mewah suaminya. Saat ini dia benar-benar berdiri di depan sebuah gedung mewah yang menjulang tinggi. Seluruh asisten dan pelayan suaminya datang mengiringnya masuk ke apartemen Damar.

Setelah sekian lama, inilah pertama kalinya Devalia datang ke apartemen pribadi suaminya. Tempat dimana Damar tidur, sehingga tidak pernah pulang ke rumah. 

"Maaf, apa … apa dia ada di dalam?" tanya Valia sebelum langkahnya sampai. "Tidak, Nona. Tuan Muda akan pulang dan istirahat di sini nanti malam," jawab salah seorang pelayan wanita. Devalia merasa sesak, lantaran sebagai istri dia bahkan tidak pernah tahu kapan dan di mana suaminya tidur selama ini.

"Lalu … mengapa kalian membawaku kemari?" tanya Devalia kebingungan. Karena sangat aneh rasanya berjumpa dengan suami yang baru saja bertemu dengannya di persidangan cerai. 

"Anda tidak ingin berjumpa dengan beliau?" Para pelayan menaruh heran pada Devalia yang terlihat sangat gugup dan pucat. "Bukan, bukan begitu. Aku hanya …" 

Ceklek!

Pintu apartemen Damar terbuka hanya dengan sidik jari Devalia yang entah kapan mereka rekam. "Silakan, Nona." Bersamaan para pelayan itu membungkukkan tubuh mereka pamit undur diri.

Valia menapaki apartemen suaminya ragu-ragu. Pelan-pelan dia memasuki kediaman mewah itu dengan rasa canggung luar biasa. Tak ada yang terlihat, selain perabotan mewah yang memang pantas dimiliki Damar. Namun, kemana pria itu? 

Ruangan itu sangat kusut tak beraturan. Apa pelayan tidak membersihkannya? Ada banyak baju-baju yang belum dicuci berserakan di lantai.

Setelan jas mewah yang tergeletak dimana-mana, dengan beberapa pakaian dalam yang seharusnya tak berada di sana. Juga beberapa botol minuman yang dibuang sembarangan. Apartemen itu layaknya kapal pecah. Pria kaya yang hidup super mewah dengan barang-barang berserakan adalah sebuah aib yang menyedihkan.

Ting … Tong …

Suara bel apartemen segera dijawab oleh Devalia. Finn sedang berdiri di depan pintu apartemen Damar membawa beberapa barang. “Maaf sudah mengganggu, Nona. Ini beberapa pakaian Tuan Muda yang baru saja aku jemput dari kediaman Anda dan Tuan Muda.” Finn segera beranjak setelah memberikan beberapa helai pakaian itu. “Eh Finn,” panggil Devalia sedikit canggung pada asisten pribadi suaminya yang bahkan tampak seperti seorang bos. “Ya, Nona?” 

“Mengapa kamar suamiku berantakan sekali? Apa pelayan tidak merapikannya?” tanya Devalia. Finn tersenyum pada Devalia, sebelum memberikan jawaban. “Tuan Muda tidak mengizinkan siapapun masuk ke ruang pribadinya, Nona.” Jawaban Finn membuat Valia bergidik ngeri. “Lalu kenapa kalian malah membawaku kemari?” tanya Devalia.

Finn mengernyitkan dahi. “Karena sebagai seorang istri, sudah sepantasnya Anda dibawa ke rumah suami Anda. Apakah … Anda tidak nyaman, Nona?” tanya Finn. “Bukan begitu, aku hanya takut dia akan marah padaku.” Valia menyatukan kedua tangannya. Ekspresi takut itu terlihat sangat jelas pada wajah Devalia. 

Finn hanya tersenyum pada Devalia, dia bergegas pergi setelah membungkukkan tubuhnya tanpa mengatakan apapun juga. Devalia akhirnya menutup pintu apartemen itu dengan perasaan bahagia. Itu artinya … dia wanita pertama dan satu-satunya yang punya akses untuk masuk ke apartemen pribadi Damar. 

pDevalia mengutip satu persatu pakaian suaminya. Aroma tubuh Damar masih melekat disana, dengan beberapa tumpukan kertas-kertas laporan yang bertebaran sembarangan. Devalia menarik setelan jas wangi milik suaminya, membawanya masuk dalam dekapan peluknya. Berderaian air mata gadis itu mencium pakaian suaminya. 

Bagaimana cara aku menyentuh hatinya?

Tak lama setelah selesai merapikan ranjang dan mengumpulkan pakaian-pakaian yang kotor untuk segera dicuci, Devalia terburu cepat menuju dapur. Dia memeriksa kulkas mewah itu, dan hanya bisa tercengang.

Air matanya kembali jatuh sesaat setelah membuka lemari es yang hanya berisi beberapa makanan instan yang sangat tidak baik untuk kesehatan. Bukan hanya itu yang ia temukan, tetapi juga beberapa jenis obat keras menumpuk cukup banyak dalam sebuah kotak berukuran sedang tepat di sebelah lemari es. 

Dia mengonsumsi semua ini? 

Devalia menyisihkan semua obat itu untuk membuangnya. Hampir semua jenis obat itu adalah obat pereda sakit kepala dan obat penenang tidur. Rasanya sangat sakit bagi Devalia, menemukan obat-obat menyedihkan itu di apartemen suaminya. Di dalam tong sampahnya bahkan ada beberapa obat rekomendasi dokter yang sama sekali tidak diminum oleh Damar. 

Tubuhnya melemas melihat semua kenyataan menyedihkan itu. Setelah hampir dua tahun lamanya dia menjadi seorang istri, baru sekarang dia tahu bagaimana Damar menderita.

Devalia membawa langkahnya yang lemah kembali menuju ranjang. Saat ia menyeka air matanya, tak sengaja mata bulatnya berlabuh pada kain berwarna merah muda di bawah bantal Damar. 

“Pakaian wanita?” Devalia cepat-cepat meraih kain itu. “Ini baju tidurku.” Yap, itu pakaian tidur yang seharusnya Devalia gunakan di malam pertama mereka. Sayang sekali, Devalia bahkan belum pernah menggunakan pakaian itu di hadapan Damar. Lalu, mengapa Damar menyimpannya di bawah bantal?

Hanya satu yang ditakutkan Devalia, yaitu ada wanita lain yang sudah mengenakan itu selama satu tahun belakangan.

Cepat-cepat Devalia menghalau pikiran buruknya. Dia tetap berusaha keras untuk mempertahankan keinginannya untuk segera memperbaiki.

Episode 3 (Prolog)

“Aku benar-benar tidak habis pikir pada wanita kampung tidak tahu diri itu. Dia yang dulu menawarkan perceraian, sekarang malah membatalkan perceraiannya. Damar, kau masih mau pada wanita rendahan itu?” Hampir seluruh teman-teman Damar menolaknya rujuk dengan Devalia. Tak ada jawaban apapun dari Damar, selain satu teguk minuman beralkohol yang dari tadi menemaninya. 

“Damar?” panggil salah seorang dari pengusaha muda yang sedang berkumpul. “Hampir dua tahun lamanya, aku melihatmu hanya minum saja. Padahal diantara kita semua, hanya kau yang paling menjauhi minuman ini sebelumnya. Damar … kau baik-baik saja? Kau harus memikirkan kesehatanmu.” 

Brak!

Damar memecahkan gelas dengan kepalan tangannya, hingga tangannya terluka.  “Bisa kau tutup mulutmu? Siapa yang peduli pada kesehatanku? Kau?” Damar mengeluarkan senyuman mautnya yang terkenal sangat mematikan.

“Bukankah seharusnya kalian akan berpesta jika aku mati? Itu artinya kalian tidak perlu repot-repot memikirkan cara untuk menyingkirkan aku dari perusahaanku.” Damar berdiri, meraih jasnya dan pergi meninggalkan para pengusaha muda itu.

“Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah menendang dan mengusir wanita seperti itu dalam hidupku. Kaya raya, dan sangat tampan. Dia bisa mendapatkan berlian yang jauh lebih indah dari sekedar wanita rendahan yang menganggapnya sampah.” 

Mendengar semua itu, salah seorang dari para pemuda yang dari tadi hanya menunduk akhirnya tersenyum. Pemuda itu menuangkan bir mahal ke dalam cangkir mewah mereka. “Kita tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Bukankah semua pria punya kelemahan?” Pemuda itu mengangkat gelasnya. Akhirnya semua mereka saling melempar tawa. 

**

Devalia baru saja kembali sehabis belanja di supermarket tak jauh dari apartemen suaminya. Dia menenteng seluruh belanjaan itu dengan semangat. Namun, matanya membola tatkala melihat ada lebih banyak bodyguard yang berdiri di depan sana. “Selamat malam, Nona.” Seluruh bodyguard itu menyapanya serentak. Tak ada yang dipikirkan Devalia, selain kenyataan bahwa Damar sudah pulang.  

Devalia sangat berhati-hati menyusuri, sesaat setelah masuk ke apartemen itu. Tak ada yang terlihat membuatnya sedikit tenang untuk sementara. Hingga akhirnya, tak sengaja ia melihat seorang pemuda tampan dengan wajah pucatnya. Damar duduk di atas sebuah meja kecil tanpa setelan jas mewah yang sempat dia pakai saat menghadiri persidangan. Hanya kemeja putih dengan celana katun hitam panjang yang menggantung indah di kaki. 

Dengan kedua tangan yang berada di dalam saku, Damar menatap lekat istrinya yang baru saja masuk. "Mengapa kau ada disini?” Suara jantan sang suami sekali lagi mengejutkan Valia. Setelah sekian lama merindu, akhirnya dia kembali mendengar suara suaminya. 

Valia yang malu-malu kemudian menatap wajah tampan itu. “Aku … Asisten Finn yang mengantarku kemari.” Damar masih terus menatap Valia dengan tatapan dingin lagi beku.

Valia segera bergegas menuju dapur, meletakkan belanjaan yang baru saja dia beli. 

Jantungnya berdegup kencang. Dia sangat senang bisa melihat wajah itu lebih dekat. Sesekali Devalia mengintip cermin yang ada di hadapannya. Pantulan cermin itu masih memperlihatkan bagaimana mata setajam anak panah itu terus memandangi Devalia.

Valia sangat canggung. Dia tidak ingin berpisah dengan suaminya. Dia benar-benar tidak ingin kehilangan Damar lagi. Namun sayang, jangankan raga … cintanya pun terasa bukan miliknya lagi. Meski dimata hukum Damar adalah sah milik Valia, tapi Valia sudah kehilangan itu sejak lama karena kesalahannya sendiri.

"Akh!" Lelaki itu tiba-tiba saja mengerang sakit. Valia lantas memutar tubuhnya, dengan nalurinya yang penuh cinta spontan berlari mengejar sang suami yang tampaknya tidak sehat. "Anda baik-baik saja?" tanya Valia menyentuh lengan suaminya.

"Lepaskan tanganmu." Damar malah menampar hati sang istri yang sedang cemas. Valia tak beranjak. Dia tetap kokoh berusaha membantu suaminya untuk berbaring ke atas ranjang. "Aku bilang lepaskan tanganmu!" Damar benar-benar membentak sang istri dengan caranya yang kasar. Valia melepaskan genggamannya ragu-ragu.

Sosok dengan visual sempurna itu berjalan sendiri menuju ranjang. Dia berbaring dengan sepatu yang masih melekat di kakinya.

"Ambilkan ponselku," perintah Damar sembari memejamkan mata. Valia segera beranjak, merogoh setelan jas yang tergantung rapi di dinding. "Tidak ada. Disini tidak ada," jawabnya. Valia memberanikan diri melirik celana yang sedang dikenakan suaminya. Tampak sebuah benda bersudut empat menjejak di saku celananya. "Sepertinya ponsel Anda ada di saku celana Anda." 

"Ambilkan." Valia meronta senang jauh di dalam sana. Ini kesempatan baginya untuk menyentuh dan berdekatan dengan suaminya yang beku. Berhati-hati dia merogoh saku celana suaminya yang sedang berbaring. Dapat! Dia segera menyerahkan ponsel itu pada suaminya. Namun, tak sengaja matanya menatap layar ponsel yang menyala. 

"Vinka." Nama itu terpampang nyata di atas sana dengan 27 kali panggilan tak terjawab. 

DEG

Vinka? Siapa?

“Dimana pakaian yang ada disini?” Pertanyaan dari sang suami membuat Valia terkejut. Damar terus saja membongkar ranjangnya hingga kembali berantakan. “Dimana pakaiannya?!” Bentakan Damar sekali lagi mengejutkan Valia. Tak sengaja dia melihat darah menjejak di atas seprei ranjang itu. Tampaknya tangan Damar sedang terluka. 

“Pakaian yang mana?” tanya Valia kebingungan. “Pakaian merah muda. Dimana?” Damar masih terus mencari pakaian itu ke seluruh tempat dengan wajah tampannya yang pucat.

“Aku … aku mencucinya.” 

Damar terhenti. Dia menoleh pada sang istri. Dia menarik tubuh Valia dengan mudah hingga gadis itu terpojok di bawah tubuh suaminya. “Bahkan pakaianpun ingin kau singkirkan dariku?” 

Valia menatap wajah itu, meraihnya dengan kedua telapak tangannya. “Suamiku, aku hanya …”

“Jangan pernah sebut aku suamimu lagi.” Damar menyingkirkan tangan Devalia dari wajahnya. “Semuanya sudah berakhir sejak lama,” tambah Damar. Dia hendak beranjak, tapi Devalia kembali menarik kerah suaminya. “Tolong dengarkan aku, kali ini saja.” Devalia tak mau kalah. Dia tetap berusaha keras menunjukkan cintanya. Damar mengunci bibir Valia dengan telunjuknya. “Jangan mengatakan apapun agar aku tidak semakin membencimu.” 

Valia menyeka keringat suaminya dengan tangan telanjang sambil terisak. Damar ikut terhanyut akan sentuhan halus yang mungkin baru pertama kali Valia berikan setelah sekian lama mereka menikah. “Ikutilah prosedur kesehatan dengan baik. Anda harus dirawat terlebih dahulu agar segera pulih.” 

Perkataan Valia mengubah raut wajah Damar menjadi semakin tampak menderita. “Siapa yang mengatakannya kepadamu?” tanya Damar. “Finn sudah mengatakan semuanya. Anda masih sakit dan harus melakukan perawatan. Tetaplah disini, aku yang akan merawat Anda.” Valia mengatakan itu tulus dari hatinya. Sayang sekali, perkataannya malah semakin melukai Damar.

“Tidak perlu mengasihani aku. Aku tidak membutuhkanmu,” balas Damar. Dia menarik tangan Valia yang masih basah karena keringatnya. Mengelap tangan mungil gadis itu dengan dasinya. “Jangan pernah … menyentuhku lagi.” Damar beranjak dari ranjang. Meninggalkan Devalia dengan rasa sakit sendirian. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!