Sheerin, kepribadiannya yang pendiam, penakut, pemalu, lugu dan penurut terbentuk akibat sikap semena-mena ibu tirinya yang membuat Sheerin selalu tunduk kepada semua orang, dia tidak bisa berkata tidak atas semua perintah yang ibu tirinya berikan.
Hingga akhirnya permintaan untuk menikah dengan anak teman mama Anya terucap, lidah Sheerin terasa kelu untuk berkata iya. apalagi sampai harus pernikahannya dilaksanakan tanpa sepengetahuan ayahnya.
"Tapi Ma, aku belum siap untuk menikah, kuliah aja baru semester 2." Ucap Sheerin sambil menunduk lesu, enggan menatap wajah menyeramkan ibu tirinya yang sudah merah menyala.
"Mama tidak meminta persetujuan dari kamu, tapi mama memerintahkan kamu untuk menikah dengan Bima. Kamu tau kan, perintah mama selalu tidak bisa untuk ditolak." Balas mama Anya dengan nada tinggi.
Sheerin tidak habis fikir, apa yang sebenarnya diinginkan oleh ibu tirinya itu? Kenapa saat dihadapan sang ayah sikapnya sangat keibuan dan seolah sangat menyayangi Sheerin layaknya anak kandung sendiri. Tapi saat ayah tidak ada, sikapnya berubah sangat menyeramkan, selalu menyiksa Sheerin dengan caranya sendiri.
"Selama ini, apa aku pernah menolak permintaan mama, pekerjaan pembantu pun aku kerjakan kalau mama yang minta. Tapi kali ini kenapa harus menikah?" Sheerin memberanikan diri untuk membela dirinya sendiri.
"Semua ini demi kebaikan keluarga kita, apa kamu mau melihat perusahaan ayahmu gulung tikar?" Mama Anya mulai berdiri dan berdecak pinggang dihadapan Sheerin, membuat peringatan keras supaya Sheerin mau menuruti keinginannya.
"Tapi kenapa pernikahannya harus dirahasiakan dari ayah? Dan kenapa mama sangat memaksakan hal ini. Mama nggak bisa seperti ini terus ma, aku akan laporkan ini semua sama ayah. Sudah cukup selama ini mama semena-mena sama aku dan aku hanya diam saja." Untuk pertama kalinya Sheerin berani bicara lancang terhadap ibu sambungnya itu, biasanya dia hanya bisa tunduk dan patuh dengan semua yang mama Anya katakan.
Kali ini ibu tirinya itu benar-benar keterlaluan, Sheerin tidak ingin masa depannya ikut hancur seperti masa kecil yang kebahagiaannya direnggut paksa oleh perlakuan kejam mama Anya.
"Berani sekali kamu menaikkan nada bicaramu!" Tanpa aba-aba, mama Anya menarik paksa rambut Sheerin yang terurai, membuat si pemilik rambut meringis kesakitan.
"Sakit ma, aww!" Sheerin berusaha melepaskan cengkeraman tangan mama Anya, tapi mama Anya malah semakin kuat saja menjambak rambut hitam panjang Sheerin.
"Kira-kira hukuman apa yang pantas untuk anak pembangkang seperti kamu ini? Apa kamu ingin direbus dalam air yang mendidih, atau di ditenggelamkan kedalam tong air? Kamu pilih yang mana?" Ucap mama Anya penuh penekanan dan ancaman.
Hal itu sontak membuat Sheerin ketakutan, membayangkan air mendidih yang meletup-letup dalam kuali besar. Sheerin menelan salivanya dengan susah payah, sembari merasakan sakit yang menjalar ke seluruh kepalanya akibat jambakan sang ibu tiri.
Dia tau kalau ancaman yang dilontarkan mama Anya itu tidak pernah main-main, dalam sekejap ancaman itu akan berubah menjadi kenyataan, bukan tanpa alasan Sheerin menyimpulkan hal itu, dia sudah banyak belajar dari pengalaman sebelumnya.
"Mulai besok, mama akan mempersiapkan pernikahan itu. Jangan sampai ayahmu tau! Paham?" Tegas mama Anya. Sebelum benar-benar melepaskan cengkraman nya pada rambut Sheerin, dia menarik dengan kasar sekali lagi rambut Sheerin. Lalu kemudian tanpa rasa bersalah sedikitpun, dia berlalu pergi meninggalkan Sheerin yang mulai menangis.
Sheerin meremas rambutnya yang tadi dijambak mama Anya dengan kedua tangannya, mengutuki nasibnya yang kurang beruntung.
Kenapa takdir begitu kejam memberinya ibu tiri jahat seperti mama Anya, tidak bisakan takdir sedikit berbaik hati kepadanya? Setidaknya berikan sedikit saja kebebasan untuk menentukan jalan hidup mana yang akan di tempuhnya.
Menangis sendiri, tanpa ada yang tau bagaimana tertekannya hati Sheerin saat itu, dipaksa melakukan hal yang sama sekali tidak ingin dia lakukan, tanpa adanya bahu yang bisa digunakan untuk bersandar, meskipun itu bahu ayahnya sendiri.
*Ayah, tidakkah kau tau di setiap hariku aku merasa ketakutan?
Ayah, tolong bebaskan aku dari belenggu yang menyiksa ini*.
***
Nindi, ilmu bela diri yang di milikinya sekarang tidak begitu saja dia dapatkan dengan mudah. Sedari kecil, dia berlatih dengan keras bersama sang kakek buyutnya. Kakek buyutnya itu memanglah orang yang sangat hebat, selain memiliki ilmu bela diri yang sudah tidak perlu diragukan lagi, dia juga mampu mengobati orang yang sakit parah hanya dengan tanaman herbal, tak ayal banyak yang menyebutnya dengan sebutan tabib juga.
Di desanya dulu, kakek buyut Nindi sangat disegani oleh warga sekitar, bahkan sampai warga kampung sebelahnya hampir semua mengenal kakek buyut. Bisa dibilang dia adalah sesepuh di desa Nindi dulu, bahkan umurnya bisa terbilang sangat panjang di zaman sekarang, namun saat menginjak umur 98 tahun, kakek buyut pun tutup usia.
Sekitar 3 tahun yang lalu, setelah kematian sang kakek buyut, keluarga kecil Nindi memutuskan untuk merantau ke Kota untuk mengadu nasib, kakak perempuan Nindi yang bernama Yuvi, diterima bekerja sebagai buruh pabrik textile di kota ini. Sedangkan ibu membuka usaha warung makan sederhana didepan rumah kontrakan.
Sayang disayang, penyakit asma ibu sering kambuh semenjak pindah ke kota ini, udara yang tercemar, polusi dimana-mana, tidak cocok untuk paru-paru ibu yang memang memiliki riwayat penyakit pernafasan.
Warung ibupun semakin sepi pengunjung, mungkin para pembeli takut akan tertular oleh penyakit ibu. Tidak ada untung yang didapat oleh ibu, bahkan uang modal pun tidak pernah kembali lagi.
Hingga akhirnya ibu terpaksa menutup warungnya.
Penyakit ibu semakin parah, dokter menyarankan untuk ibu melakukan pengobatan berjalan selama 6 bulan berturut-turut lamanya. Gajih kak Yuvi yang hanya sebagai buruh pabrik, tentu masih jauh dari kata cukup untuk membiayai pengobatan ibu, keperluan sekolah Nindi dan biaya hidup mereka sehari-hari.
Ternyata hidup di perantauan tidak semudah yang keluarga kecil itu bayangkan sebelumnya.
***
Suasana kelas terdengar riuh saat Pak Wid, guru matematika menyatakan pelajaran hari ini telah berakhir, Pak Wid meninggalkan kelas itu terlebih dahulu, lalu disusul oleh murid-murid yang sudah tak tahan berada diruang kelas yang bagaikan ruang sidang pengadilan.
Bagaimana tidak, sepanjang pelajaran berlangsung Pak Wid terus melontarkan soal pertanyaan dengan rumus-rumus rumit yang susah dicerna oleh otak manusia yang isinya hanya kurang dari seperempat.
Jika sampai salah menjawab, maka habislah kita diceramahi panjang lebar oleh guru killer itu. Dan yang lebih memalukannya lagi, murid seisi kelas menyaksikan secara langsung drama menyedihkan itu. Tentu saja kejadian itu akan menjadi bahan bullyan untuk murid yang tidak bisa menjawab soal dari pak Wid.
Untung saja bangku Nindi berada dipojok belakang, sehingga dia bisa sedikit lolos dari perhatian Pak Wid dan terhindar dari pertanyaannya. Beruntung sekali memiliki bangku itu, Nindi yang pada dasarnya pemalas cenderung bodoh, merasa jika itu adalah kursi kejayaannya.
Beberapa murid masih berkutat untuk membereskan alat tulis mereka kedalam tas, termasuk Nindi.
"Acara ulang tahunnya Revi hari ini, kan? Ayo kita langsung ke basecamp sekarang!" Ucap Vena, partner kebodohan Nindi.
Nindi dan Vena ini sebelas dua belas, mereka selalu kompak untuk menyontek jawaban dari teman dibangku depannya, meskipun mereka tau kalau temannya itu juga tidak pintar-pintar amat. Sehingga mereka yang malas berpikir akhirnya selalu mendapat nilai dibawah 60. Jikapun ada jawaban mereka yang benar, itu hanyalah faktor luck.
"Gue nggak bisa, Kakak gue sekarang shift siang. Gue harus gantian jaga ibu." Jawab Nindi sambil menarik resleting tasnya.
"Yah, Revi pasti kecewa loe nggak datang." Nada bicara Vena melemah. Nindi yang mendengar itu menghembuskan nafas asal.
"Gue juga malu kali, datang nggak bawa apa-apa. Saku gue lagi sekarat nih, gue titip salam aja buat dia, bilang sama dia semoga panjang umur dan jangan galak-galak banget sama anak buahnya. Hi hi." Nindi tertawa kecil saat mengingat Revi, ketua geng amburadul yang memarahi anak buahnya saat gagal mempersiapkan acara untuk menembak gebetannya.
"Dan bilang juga, semoga dia punya keberanian lebih buat menyatakan cintanya lagi kepada kak Dio. Hihi." Nindi tak habis fikir, Revi yang tegas di hadapan anak buahnya, melembek saat dihadapkan dengan kak Dio, pemilik konter yang berada disebelah basecamp.
"Cari mati gue kalau berani bilang gitu sama dia. Gue bukan loe yang bisa dengan mudah menjinakkan macan tutul itu."
Keduanya terkekeh bersamaan.
Merekapun beranjak dari bangku kesayangan mereka.
Geng amburadul adalah kumpulan anak-anak remaja yang hanya menghabiskan waktu luangnya di basecamp, mencari kesenangan dengan sekedar bermain-main alat musik disana.
Anggotanya terdiri dari 5 orang, Revi sebagai vokalis, Nindi sebagai pemain gitar, Vena sebagai pemain gendang, Tari sebagai pemain piano, dan Roni sebagai pemain drum. Mereka berlima sama-sama urakan dan pecicilan, sehingga saat digabungkan mereka akan menjadi sangat nyambung sebagai partner dalam hal apapun.
Terkadang Dio, pemilik konter sebelah merasa sangat terganggu dengan kebisingan yang mereka timbulkan. Mereka tetap dengan percaya dirinya membawakan lagu-lagu yang menurut mereka keren, tanpa memikirkan pendapat orang lain.
Berlatih terus berlatih, tapi apalah daya, mereka belum pernah sekalipun menerima tawaran manggung meskipun dalam acara hajatan. Sedih memang, tapi mereka menganggap jika ini adalah sekedar hobi saja. Terbesit di pikiran mereka untuk menjadi terkenal, tapi mereka tidak ingin berangan terlalu tinggi. Jika nanti jatuh, rasanya pasti akan sakit sekali.
Selain basecamp, perempatan yang berdampingan dengan perlintasan kereta di depan juga adalah salah satu titik kumpul mereka. Mereka berlima berperan sebagai juru parkir yang handal disana.
Kembali kepada Nindi dan Vena di kelas.
Suasana di kelas semakin sepi, Nindi hanya melihat tinggal Levin yang masih berkutat di mejanya.
Vena berjalan didepan Nindi lalu...
_________
Mohon dukungannya ya teman-teman, akan ada kejutan apa di episode selanjutnya... simak terus... jangan lupa tinggalkan jejak ya setelah membaca...
Suasana di kelas semakin sepi, Nindi hanya melihat tinggal Levin yang masih berkutat di mejanya. Nindi tidak menganggap kalau Levin adalah makhluk yang sama dengan dirinya, sehingga laki-laki itu tidak masuk dalam kategori daftar manusia yang dia kenal.
Vena berjalan didepan Nindi, saat Nindi melewati bangku Levin, tanpa diduga laki-laki itu bangun dari duduknya, hingga bahu merekapun bertabrakan.
"Aww." Nindi meringis sambil memegangi bahunya.
"Mata loe dimana sih? Main tabrak-tabrak orang sembarangan! Nggak liat apa gue segede gini?" Levin malah memarahi Nindi.
Nindi menganga tak percaya, harusnya dia bukan, yang memarahi Levin, tapi ini kenapa malah sebaliknya?
Tadinya, untuk sekarang Nindi sedang tidak ingin beradu mulut dengan Levin karena harus cepat-cepat pulang dan menjaga ibunya. Kalau hari-hari biasa, Nindi dengan senang hati meladeni kemarahan Levin dan akhirnya terjadilah keributan yang tidak berujung diantara keduanya.
"Malah bengong loe, ayo minta maaf sama gue!" Seru Levin dengan penuh penekanan.
'Apa? Dia yang salah kenapa gue yang harus minta maaf?' Batin Nindi.
Saat mendengar Levin yang mulai naik pitam, Nindipun merasa tertantang untuk memarahi laki-laki itu balik, tanpa memikirkan lagi ibu dan kakaknya yang sudah menunggu di kontrakan.
Nindi mendorong bahu Levin cukup kencang, agar laki-laki itu merasakan kesakitan yang sama dengannya. Tenaganya yang cukup kuat, membuat Levin sedikit merasa kesakitan, tapi tidak menunjukkan rasa sakitnya dihadapan Nindi.
Levin tidak membalasnya, karena dia anti dengan yang namanya kekerasan fisik, hanya saja mulutnya yang tidak bisa ditahan jika dihadapkan dengan Nindi yang sama-sama keras kepala dan gengsian.
"Gurih banget loe bicara! Loe yang main tabrak gue, harusnya loe yang minta maaf sama gue! Ayo minta maaf!" Ucap Nindi menyamai nada bicara Levin.
"Loe pikir di depan gue ini ada kaca spion dan gue bisa liat loe mau lewat dibelakang gue?" Levin semakin nyolot.
Nindi semakin murka, wajahnya sudah terlihat tidak bersahabat.
"Loe itu jadi cowo ngalah sedikit kenapa sama cewe, loe itu kaya banci tau nggak beraninya sama cewe. Malu dong sama umur, udah tua bangka masih aja pakai seragam SMA." Nindi bicara sambil terus mendorong bahu Levin berkali-kali.
Levin terperangah, perkataan Nindi membuatnya kalah telak. Di umurnya yang sudah menginjak 20 tahun, tapi Levin masih duduk di kelas 3 SMA. Itu karena dulu waktu pertama kali masuk SD Levin berumur 8 tahun, dikarenakan dia sering berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti ayahnya yang dipindah tugaskan.
Nindi tersenyum sinis, perkataannya itu mampu membungkam mulut nyinyir laki-laki tengil itu.
Tapi bukan Levin namanya kalau tidak bisa membalas ejekan dari Nindi. Dia tersenyum sinis ke arah Nindi.
"Hey! Budayakan berkaca sebelum loe bicara, loe pikir berapa umur loe sekarang? Punya otak kurang dari seperempat aja belagu banget loe. Makanya punya otak itu pake buat berpikiran yang baik, bukan berpikiran buruk terus. Maka dari itu taun lalu loe nggak lulus, dan gue yakin 100 % tahun ini loe nggak akan lulus lagi, gue doa'a in biar loe jadi penghuni abadi di kelas ini. Haha." Levin tertawa puas setelah mematahkan kepercayaan diri Nindi.
Nindi tak berkutik, kepercayaan dirinya sudah runtuh, lagi-lagi Levin tau titik kelemahan Nindi, yaitu otaknya yang memang selalu sulit untuk diajak berpikir masalah pelajaran. Sehingga dirinya selalu mendapat nilai anjlok di hampir setiap mata pelajaran. Itu sebabnya tahun lalu Nindi tidak lulus ujian dan harus mengulangnya tahun ini.
Wajah Nindi memerah, mulai merasa jengah juga marah.
"Loe yang belagu, gue tau loe murid paling PINTER disini, tapi sayang mulut sama otak loe itu berbanding terbalik, mulut loe itu kaya cewe, NYINYIR tau nggak!" Ucap Nindi penuh penekanan pada kata nyinyir.
"Dan loe, mana ada cewe kelakuannya kaya preman, jangan-jangan loe itu cewe jadi-jadian. Cewe kok nggak ada lembut-lembutnya sama sekali." Levin tidak mau kalah.
Yah, begitulah keseharian mereka di sekolah, setiap bertatap wajah pasti ujung-ujungnya beradu mulut.
Nindi dengan sengaja menginjak kaki Levin dengan kencang. Sudah benar-benar kesal karena Levin selalu saja bisa membalikkan perkataannya.
"Aww, tuh kan dasar loe cewek preman." Levin meringis kesakitan memegangi kakinya.
Vena yang baru sampai diambang pintu, harus kembali menghampiri Nindi, sedari tadi dia memperhatikan sahabatnya itu yang sedang berdebat dengan Levin sambil geleng-geleng kepala.
Bukan hal yang aneh baginya melihat pemandangan seperti itu, bahkan telinganya sudah kebal ketika mendengar teriakan demi teriakkan yang Nindi dan Levin keluarkan saat beradu mulut.
Vena sendiripun merasa heran, selalu saja ada bahan untuk diperdebatkan diantara kedua makhluk itu, bahkan hal sekecil apapun pasti mereka jadikan alasan untuk bertengkar.
"Woy! Udah selesai belum debatnya?" Tanya Vena seraya menghampiri keduanya.
"Apa?" Nindi menoleh ke arah Vena, dia pikir jika Vena sudah pulang terlebih dulu tadi, tidak memperhatikan saking asiknya berdebat dengan Levin.
"Gue heran sama loe, kok mau-maunya sih temenan sama tukang pukul kaya dia." Ucap Levin melirik Nindi dengan ekor matanya.
"Apa? Loe mau gue pukul lagi?" Nindi mengepalkan tangannya lalu melayangkan kearah Levin, dengan sigap Levin menghindar sehingga Nindi hanya meninju angin.
"Astaga! Gue nggak habis fikir sama kalian, hal sesepele ini aja kalian jadiin masalah besar. Gue udah nggak tau lagi deh gimana caranya buat memisahkan kalian berdua." Vena menaikkan kedua tangannya ke udara, tandanya dia sudah menyerah menghadapi sikap kekanakkan dua murid paling tua di kelas itu.
"Apa? Loe pikir gue sama dia nggak bisa di pisahkan gitu? Amit-amit, yang ada gue maunya jauh-jauh dari cewe preman ini, kalau nggak, habis gue dipukul terus sama dia." Ucap Levin, Nindi melotot kearahnya, merasa sangat tersinggung dengan perkataan Levin.
"Udah lah Lev, loe nggak cape apa cari ribut terus sama Nindi?" Tanya Vena.
"Gue tau loe belain dia karena loe solmet nya dia." Jawab Levin.
"Nggak gitu juga, gue liat sendiri tadi Nindi diem aja waktu loe tabrak dia, tapi loe nya aja yang nyolot duluan." Ucap Vena.
Levin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan Vena. Diapun bingung sendiri, kenapa mulutnya terasa gatal jika sehari saja tidak berdebat dengan Nindi, rasanya itu sangat seru, hatinya seperti diberi warna saat mendengar ocehan Nindi, seperti ada magnet tersendiri yang menarik Levin untuk membuat perempuan itu kesal.
Nindi mengumpat Levin didalam hatinya, sambil ber komat-kamit membacakan mantra kutukan untuk laki-laki tengil itu.
"Hati-hati lho Lev, jangan terlalu benci loe sama Nindi, bisa-bisa nanti loe jatuh cinta sama dia." Ucap Vena yang sontak membuat mata Levin dan Nindi membulat sempurna.
"Apa? Amit-amit jangan sampai." Ucap Nindi dan Levin bersamaan, mengetuk kepala masing-masing dengan kepalan tangan lalu beralih mengetuk meja. Mereka terlihat sangat kompak ketika melakukan itu, membuat Vena terkekeh geli melihat tingkah konyol mereka.
"Tuh kan, udah keliatan kompaknya." Vena terus menggoda Levin dan Nindi, dia sangat senang menggoda mereka, seperti jadi hiburan tersendiri ditengah mumetnya pelajaran sekolah.
Wajah Levin seketika merah menyala, namun tidak menyangkal perkataan Vena.
"Ayo kita pergi aja Ven, bicara loe semakin ngelantur, jangan sampai loe ketularan tengil kaya dia." Nindi menggandeng Vena, mengajaknya melangkah bersama. Merekapun pergi meninggalkan Levin yang masih berdiri mematung, berkutat dengan pikirannya sendiri.
Vena terkekeh dalam rangkulan Nindi.
BRAK!!
Levin tersentak kaget, baru tersadar dari lamunannya saat Nindi dengan sengaja membanting pintu kelas dengan sangat keras. Mengusap dadanya dengan telapak tangan. Untung saja dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung, kalau tidak mungkin dia sudah tumbang di kelas itu tanpa sepengetahuan orang lain.
Kemudian dia tersenyum sendiri mengingat perdebatan panjang antara dirinya dengan Nindi tadi.
Kok ada ya perempuan urakan kayak dia.
___________
Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca... jangan lewatkan juga pertengkaran Levin dan Nindi yang akan menghiasi novel ini...
Sheerin dan Lea terlihat sedang menikmati makan siangnya di kantin kampus, jika Lea dengan lahapnya memakan makanan yang dia pesan, maka berbeda dengan Sheerin yang hanya menatap kosong sambil mengaduk-aduk makanannya.
Selera makannya benar-benar tidak ada, pernyataan mama Anya yang penuh dengan tekanan dan ancaman kemarin masih terngiang di kepalanya.
"Loe kenapa sih Rin? Bengong aja dari tadi bukannya dimakan?" Ucap Lea yang menyadari tingkah aneh Sheerin sedari tadi.
"Gue nggak mau!" Ucap Sheerin spontan dengan nada cukup tinggi, membuat Lea terperangah mendengar tanggapan dari sahabatnya itu.
"Kalau nggak mau kenapa loe pesan itu makanan?" Tanya Lea keheranan sendiri.
"Bukan makanannya Lea." Ucap Sheerin terlihat frustrasi.
"Ya habis itu apa? Gue bukan cenayang yang bisa tau isi pikiran loe tanpa loe bilang apa masalah loe sama gue." Balas Lea kemudian.
"Gue nggak mau dinikahin, gue masih mau menikmati hidup gue tanpa terkekang oleh status pernikahan." Sheerin akhirnya mengungkapkan apa yang sedari tadi terasa mengganjal di hatinya.
"Uhuk, untuk!"
Pernyataan itu sontak membuat Lea tersedak makanan yang berada didalam mulutnya.
Dengan cepat Sheerin memberikan Lea segelas air putih kehadapan sahabat seperjuangannya itu, Lea menerimanya kemudian meminum air didalam gelas itu tanpa menyisakan setetespun.
"Pelan-pelan dong Le!" Ucap Sheerin sambil menepuk tengkuk Lea pelan.
Lea menelan saliva nya dengan susah payah, wajahnya terlihat memerah akibat tersedak, ketika sudah bisa kembali mengendalikan diri, Lea menatap tak percaya kearah Sheerin.
"Jadi Loe mau dinikahin? Sama siapa?" Tanya Lea kemudian.
Sheerin menghembuskan nafas asal, wajah paniknya tadi berubah menjadi sendu, menyandarkan punggungnya kesadaran kursi
"Gue juga nggak tau Le, ibu tiri itu semena mena banget sama gue. Gue dipaksa menikah sama orang yang sama sekali nggak gue kenal, dan yang lebih parahnya lagi, pernikahan ini harus dirahasiakan dari ayah. Gue boleh memberitahu ayah tapi kalau pernikahannya udah terjadi." Curhat Sheerin.
"Ibu tiri loe itu memang keterlaluan ya!" Lea memukul meja dengan kepalan tangannya, ikut merasa kesal kepada mama Anya.
"...loe jangan asal terima aja keputusannya itu Rin, loe harus selidiki apa motif dan tujuan tante Anya mau menikahkan loe. Gue yakin kalau si tante Anya ini pasti ada maksud terselubung." Ucap Lea penuh kecurigaan.
"Gue juga berpikir seperti itu Le, gue nggak mau masa depan gue ikutan hancur, cukup masa lalu gue berantakan. Dan gue memutuskan buat pergi aja dari rumah, lebih baik gue hidup sederhana tapi hidup gue bebas tanpa ada yang mengekang."
"Loe mau pergi kemana Rin?" Tanya Lea mulai cemas.
"Kemana aja, asal gue nggak dinikahkan secara paksa sama laki-laki yang nggak gue cintai." Jawab Sheerin, matanya sudah mulai memerah, mengingat nasibnya yang jauh dari kata beruntung.
Lea sebagai sahabat yang baik dan mengerti akan perasaan Sheerin, membawa Sheerin kedalam pelukannya, mengusap-usap pundak perempuan itu. Dia seperti bisa merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Sheerin. Bagaimana tidak? Lea sangat tau betul bagaimana detail kehidupan yang dijalani oleh Sheerin selama ini, mereka sudah bersama sejak memasuki masa SMP, lebih tepatnya 7 tahun yang lalu.
Telinga Lea adalah saksi nyata, tempat mendengarkan semua keluh kesah dan cerita kelam yang di adukan oleh Sheerin sembari berderai air mata, dan bahu Lea adalah tempat paling nyaman untuk Sheerin bersandar, sampai terkadang dia tanpa sadar terlelap disana.
"Kalau loe butuh tempat, datanglah Rin, pintu rumah gue terbuka lebar selama 24 jam full buat loe. Tapi itu berlaku di jam kerja aja, hari sabtu minggu dan tanggal merah libur, hehe." Ucap Lea cengengesan, Sheerin menarik dirinya dari dekapan Lea, bibirnya sudah mengerut seiring dengan tawa kecil yang terdengar dari mulut Lea.
Lea yang menyadari perubahan Sheerinpun semakin melebarkan tawanya.
Tak jauh dari tempat mereka duduk, Clarissa menatap kedua sahabat itu dengan tatapan kebenciannya, matanya terlihat menyala seperti api yang berkobar.
Marah, iri dan tidak suka saat melihat kedekatan yang semakin hari semakin menjadi-jadi itu.
Dengan pikiran piciknya, Clarissa berjalan santai mendekat kearah meja mereka sambil membawa jus mangga di tangannya.
Dan saat berada tepat disamping Sheerin, Clarissa dengan sengaja menumpahkan jus mangga itu dipangkuan Sheerin.
"Ahh!" Ucap Sheerin spontan saat merasakan bajunya basah.
"Upss, sorry gue nggak sengaja." Clarissa menutup mulutnya yang menganga dengan kelima jarinya. terlihat jelas sekali jika itu hanya dibuat-buat saja.
"Loe jalan nggak liat-liat apa?" Tanya Sheerin dengan nada yang masih terkontrol.
Lea terperangah melihat kejadian itu, saat Sheerin diperlakukan seperti ini, tapi kenapa Sheerin tidak terpancing untuk marah? Dan masih bicara dengan nada yang bersahabat. Lea berdiri dari posisi duduknya, menatap tajam kearah Clarissa, tidak terima dengan perlakuan semena-menanya.
Bukan hanya sekali dua kali peristiwa seperti ini terjadi, Lea bahkan sudah tidak bisa menghitung dengan jarinya sendiri.
"Loe sengaja ya numpahin jus itu? Mau loe apa sih sebenernya? Kalau loe mau cari perhatian bukan begini caranya." Ucap Lea yang mulai tersulut emosi.
Clarissa tertawa menyeringai mendapat makian dari mantan sahabatnya itu.
"Apa? Cari perhatian? Sory ya, gue nggak tertarik buat gabung lagi sama kalian. Kalian nggak sadar apa kalau kalian ini sangat membosankan." Ucap Clarissa melipat kedua tangannya didada.
"Udahlah Le, nggak usah diladeni." Sheerin meraih lengan Lea dan menariknya.
"Nggak bisa Rin, manusia satu ini udah sangat keterlaluan, maksudnya apa coba cari gara-gara terus sama kita?" Ucap Lea menggebu.
"Kalian yang keterlaluan, kalian adalah musuh dalam selimut, kalian pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Anggap aja ini sebagai penebusan dosa kalian sama gue. Tapi bagi gue, ini semua masih belum cukup untuk membayar penghianatan yang udah kalian lakukan." Ucap Clarissa tak kalah menggebu.
Sheerin sadar, kalau apa yang dikatakan Clarissa itu memang benar adanya, sehingga saat dia mendapat perlakuan kasar dari mantan sahabatnya itupun, dia seperti bisa menerima dengan lapang, dengan harapan Clarissa bisa memaafkan kesalahannya dimasa lalu.
"Tuh kan, loe memang dasar orangnya pendendam. Pantas aja sampai sekarang loe nggak pernah punya sahabat lagi." Ucap Lea.
"Lebih baik nggak punya sahabat sama sekali, dari pada punya sahabat yang menusuk dari belakang, apa itu bisa dikatakan sahabat, itu cuma kedok doang." Ucap Clarissa.
"Ris, lebih baik loe lupakan kejadian buruk yang pernah terjadi diantara kita dulu, dengan begitu loe nggak akan memiliki perasaan iri lagi di dalam hati loe. Gue yakin dengan itu loe bisa melanjutkan hidup loe dengan lebih baik lagi. Atau bahkan kita bisa bersahabat seperti dulu lagi, gue kangen kita bertiga nginep dirumah loe. Karaokean bareng, hang out bareng. Persahabatan kita nggak sempurna tanpa loe." Sheerin mencoba untuk membuka mata hati Clarissa dengan mengingatkan kenangan indah kebersamaan mereka dulu.
Clarissa terdiam, namun matanya tak berhenti memancarkan kebencian untuk Lea dan Sheerin.
"Gue yakin, kalau loe juga sebenernya kangen masa-masa itu. Ayo kita buka lembaran baru, anggap aja semua nggak pernah terjadi, buang yang buruknya dan simpan yang baiknya, jadikan kejadian itu sebagai pelajaran untuk hidup kita yang lebih baik kedepannya."
"Bulshit loe, persetan sama yang namanya persahabatan, gue benci kalian. Kalian adalah manusia laknat yang pernah gue temui didunia ini." Clarissa kemudian berbalik badan setelah mengucapkan kalimat itu, tanpa ingin mendengar lagi kata-kata Sheerin yang mungkin akan bisa membuat pendiriannya goyah.
"Loe yang laknat, jadi orang kok nggak bisa dibilangin, gue sumpahin loe nggak akan punya temen seumur hidup." Jika Sheerin masih tetap berusaha untuk kembali merubah Clarissa, maka lain halnya dengan Lea, dia selalu merasa kesal atas semua yang dilakukan Clarissa terhadap Sheerin, karena dia tau jika kejadian dimasa lalu bukanlah sepenuhnya kesalahan Sheerin.
Tapi Clarissa selalu menutup mata dan telinga untuk kebenaran sekalipun.
"Udah lah Le, biarin aja dia merasa benar dengan pemikirannya sendiri." Sheerin menatap punggung yang dulu pernah digunakannya untuk bersandar itu semakin menjauh dengan tatapan sendu.
"Gue heran, kok ada ya manusia keras kepala kaya dia. Udah tau kenyataan nya masih aja nggak mau ngerti." Ucap Lea sambil mengepalkan tangan, meskipun Clarissa jarang menunjukkan kebenciannya terhadap Lea seperti kebenciannya kepada Sheerin, tapi Lea akan selalu menjadi tameng untuk Sheerin saat Clarissa datang menyerang, apalagi saat Sheerin hanya diam saja diperlakukan kasar, itu membuat Lea semakin naik darah.
Keduanya pun kembali menjatuhkan diri di kursi yang sebelumnya mereka gunakan, menopang tangan pada pipinya, berkutat dengan pemikiran mereka masing-masing.
Sheerin yang memang sejak tadi sedang bad mood, perasaannya semakin kacau setelah kedatangan Clarissa tadi.
"Kapan ya Clarissa kembali seperti dulu lagi?" Tanya Sheerin.
Lea menoleh ke arahnya.
"Dia nggak akan pernah berubah lagi Rin, buang harapan loe itu jauh-jauh. Loe masih punya gue, gue yang akan selalu ada buat loe. Satu sahabat yang menemani loe saat nangis jauh lebih daripada sepuluh teman yang hanya ada saat loe bahagia." Ucap Lea penuh penekanan.
Sheerin langsung berhamburan kedalam pelukan Lea, merasa beruntung karena masih ada orang yang masih perduli terhadap dirinya.
"Makasih ya Le, loe memang sahabat terbaik gue. Gue nggak tau gimana hidup gue kalau loe nggak ada." Ucap Sheerin. Lea mengelus pelan pundak Sheerin, keduanya pun saling berpelukan, hanyut kedalam suasana haru yang tercipta siang itu.
***
Nindi membuka handle pintu rumah kontrakannya, memasukkan kepalanya sedikit untuk melihat keadaan didalam sana.
"Nindi, kamu lagi apa disana? Cepat kemari, kakak mau berangkat kerja sekarang." Ucap Yuvi saat melihat wujud Nindi yang hanya kepalanya saja.
"Eh, he he." Nindi hanya cengengesan, dia kira kalau kakaknya itu akan memarahi dirinya karena pulang sedikit telat gara-gara adu mulut dulu dengan Levin tadi, tapi ternyata tidak. Alhamdulillah. Hehe.
Nindipun membuka pintu lebar-lebar kemudian berjalan menghampiri kakaknya yang sudah rapi dengan setelan seragam kerjanya dan sang ibu yang sedang duduk bersandar diatas kursi usang.
"Untung aja kamu pulang tepat waktu. Ya udah, kakak berangkat sekarang ya. Awas jangan sampai kamu ninggalin ibu sendirian dan nongkrong-nongkrong nggak jelas sama geng amburadul kamu itu." Ucap Yuvi.
"Hehe. Iya kak, tapi ada satu masalah." Ucap Nindi sambil cengengesan, membuat Yuvi mengerutkan dahi.
"Masalah apa?" Tanya Yuvi kemudian.
"Uang buat ujian nasional harus dibayar secepatnya kak." Jawab Nindi.
Yuvi menarik nafas nya dalam-dalam, satu lagi beban yang harus dia pikirkan jalan keluarnya.
"Kakak usahakan secepatnya. Tapi kamu harus janji sama kakak, tahun ini kamu harus lulus. Belajar yang giat! Jangan lakukan kesalahan seperti tahun lalu. Kalau sampai kejadian itu terulang lagi, kamu biayai aja sendiri biaya sekolah kamu." Balas Yuvi terlihat frustasi.
"Iya, kamu harus banyak belajar setiap malam Nin, jangan keluyuran terus." Ibu menimpali, membuat Nindi jadi terpojok.
Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, diapun bingung kenapa rasanya malas sekali untuk belajar di malam hari, bawaannya selalu saja mengantuk, mendadak buku jadi sama seperti Levin, musuh bebuyutannya. Beda halnya kalau dia nongkrong bersama gengnya, sampai pukul 1 pagi pun mata Nindi masih kuat untuk dibawa melek.
"Ya udah bu, Yuvi berangkat. Assalamualaikum." Yuvi menyalami sang ibu sebelum akhirnya pergi.
"Waalaikumsalam." Balas ibu dan Nindi bersamaan.
Setelah kepergian Yuvi, Nindi duduk disamping ibunya lalu kemudian meraih tangan sang ibu dan memijatnya perlahan.
"Ibu tau kalau sudah seperti ini, kamu pasti lagi ada maunya kan Nindi." Ucap ibu seperti sudah bisa membaca pikiran Nindi.
"Hehe, nggak kok bu, Nindi cuma lagi pengen aja pijitin ibu." Balas Nindi.
"Kamu harus buktikan sama kakak kamu, kalau kamu bisa lulus tahun ini." Ucap ibu.
"Iya bu. Nindi pasti lulus tahun ini." Ucap Nindi mantap dengan kepercayaan diri penuh.
Sejenak, keheningan tercipta diantara mereka. Nindi masih tidak berhenti memijat tangan sang ibu yang terasa tinggal tulang saja, penyakit ibu seperti menggerogoti tubuhnya, sehingga tubuh kecil itu terlihat kurus kering. Perasaan sedih selalu saja menyeruak dihati nya saat melihat sang ibu.
Itulah alasannya kenapa Nindi tidak betah tinggal dirumah, dia selalu tidak tega saat melihat kondisi fisik sang ibu, terlebih saat penyakit asma yang ibu derita mulai kambuh, Nindi ingin menangis saja rasanya.
ibu menikmati setiap sentuhan dari tangan anaknya itu. Entah belajar dari mana Nindi tehnik memijat seperti itu.
"Bu." Ucap Nindi kemudian.
"Ya?" Sahut ibu.
"Kalau aja abah masih ada ya, mungkin sakitnya ibu bisa abah sembuhin." Ucap Nindi.
"Abah udah tenang disana Nin, kita hanya perlu bersyukur dengan apa yang masih Tuhan berikan kepada kita. Contohnya bernafas." Ucap ibu.
Apa yang dikatakan ibu benar, bersyukur adalah salah satu cara agar bisa membuat kita bahagia menjalani kehidupan, bahkan Nindi telah lama menjalankan nasihat dari sang ibu, selalu merasa bersyukur. Sebab itu Nindi selalu merasa bahagia berada diantara orang-orang yang menyayanginya.
"Oh ya bu, Nindi lapar nih." Ucap Nindi mengalihkan pembicaraan, dia tidak ingin melihat ibunya hanyut dalam kesedihan.
"Ya sudah, makan dulu sana, kakakmu tadi masak tumis kangkung sama goreng tempe." Balas sang ibu.
"Wah, selera makan Nindi naik 10 kali lipat." Nindi tersenyum senang, bak mendapat durian runtuh mendengar perkataan ibunya, diapun berjalan sambil jingkrak-jingkrak menuju kearah dapur.
Ibu hanya melihat kelakuan putrinya itu sambil geleng-geleng kepala. Dia sangat bersyukur karena dikaruniai dua orang putri yang mau mengerti ditengah kondisi ekonominya yang lemah.
Dan mereka sudi untuk mengurus dirinya yang tidak berguna dan selalu saja sakit-sakitan.
_________
Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca... ini baru awal ha, ketegangan belum kelihatan, coba baca beberapa episode lagi...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!