NovelToon NovelToon

Rachel

Kelas Dewa Dewi

Kalau dewa-dewi sudah ngumpul di satu tempat, ngertilah segimana ramainya.

***

SMA Cendera Satya (Ceniya). Kelas 11 IPA 1.

Hampir semua murid SMA Cendera Satya berkumpul di sini. IPA dan IPS, kelas 10, kelas 11, bahkan kelas 12. Mereka tidak mau melewatkan peristiwa yang akan menjadi sejarah baru.

Gadis yang sedang berdiri melongo di depan kelasnya bernama Rachel. Dan di sebelah dia, ada Karin--sahabat dari mereka masih bayi, mungkin. Kalian pasti sudah mengenal mereka semisal bersekolah di sini. Kalau se-SMA Ceniya ini, dua gadis yang biasa dikenal karena masuk jajaran siswi most wanted itu tenar akibat parasnya yang tanpa usaha pun seketika menggaet hati para laki-laki penghuni sekolah.

Terus, di hadapan keduanya ada Nilga. Di belakang Nilga pula telah berdiri sigap seorang Rasya. Kalau mereka masuk jajaran siswa most wanted SMA Ceniya bahkan dari tahun pertama menginjakkan kaki di sekolah.

Dan mereka, yang sekarang jadi bahan gosip kenapa para murid se-SMA Ceniya ini malah berkumpul di kelas 11 IPA 1.

Sebenarnya... banyak sekali siswa-siswi yang masuk ke jajaran murid most wanted di sini. Tapi mereka-mereka ini yang kalian tahu paling famous di antara yang lain. Bahkan para murid sampai tak percaya, mereka berempat ada di kelas yang sama. Karena Rachel sendiri juga awalnya merasa begitu.

***

Pagi ini, hari pertama sekolah. Rachel dan Karin berangkat bersama. Rumah mereka memang se-komplek, jadi dari kecil mereka selalu berdua terus. Sudah seperti layaknya anak kembar saja begitu.

Awalnya, mereka melenggang ke mading. Melihat posisi kelas tahun ini. Kalau ketika kelas 10, Rachel dan Karin terpisah kelas. Rachel di 10 IPA 2 dan Karin di 10 IPA 3. Sedangkan tahun ini mereka malah sekelas di 11 IPA 1.

Tapi... yang membuat para murid seantero sekolah terkejut sekarang adalah saat ada nama Nilga dan Rasya di daftar para siswa kelas 11 IPA 1, kelasnya Rachel. Duo Sengkleh yang Rachel ketahui, mereka awalnya kelas 10 IPA 1. Keduanya memang famous, jadi Rachel juga pernah mendengar sedikit soal tingkah mereka walaupun tidak pernah mengobrol sama sekali.

Rachel dan Karin menyusuri koridor gedung kelas 11 menuju 11 IPA 1.

"Yah, Rin. Alamat petaka, kita sekelas sama mereka," ujar Rachel dengan mimik wajah gelisah.

"Iya, Hel. Tuh, lihat aja," tunjuk Karin ke arah kerumunan para murid yang kepengin tahu tampang kerennya Nilga dan Rasya di hari pertama sekolah mereka setelah liburan kenaikan kelas. Ramainya minta ampun.

Alhasil, di sinilah mereka sekarang. Kelas 11 IPA 1 yang sudah ramai orang. Para murid cuma ingin mengonfirmasi kebenaran info mading sekolah perihal pembagian kelas tahun ini.

Ada yang berdecak kagum, berdecih sebal, atau bahkan mengabadikan momen sekarang dengan kamera ponsel mereka. Berlebihan sih kalau sampai memotret atau mem-video. Tapi, mungkin itu adalah suatu bentuk reaksi mereka yang tidak percaya melihat banyak murid most wanted yang berada di satu kelas yang sama.

Mereka sampai memberi julukan untuk kelas 11 IPA 1. Katanya, Kelas Dewa-Dewi.

***

Rachel tidak terlalu suka keramaian. Sehabis menaruh tas, dia mengajak Karin ke kantin.

Kantin di SMA Ceniya dibagi menjadi dua, yaitu kantin lantai satu dan lantai dua. Karena kalau ke lantai dua harus naik tangga, makanya di situ tidak terlalu ramai. Sangat timpang dengan kantin lantai satu yang selalu penuh.

Biasanya, gerombolan anak hits serta kakel--kakak kelas, sukanya kantin lantai satu, bahkan Nilga dan Rasya juga biasa ada di sana. Makanya, kantin lantai satu sering dikenal sebagai surganya anak hits.

Berbanding terbalik dengan kantin di lantai dua yang justru sudah seperti perpustakaan. Ada saja yang belajar atau sekadar membawa buku ke sana cuma buat dibaca-baca. Maklum, kebanyakan anak kutu buku sama dekel--adek kelas. Termasuk Rachel dan Karin yang katanya sangat nyaman berada di situ karena memang dianggap lebih sepi dan tenang.

Hari pertama sekolah, biasanya belum belajar. Hanya pembagian kelas, sisanya jamkos--jam kosong.

'Duhhh... enak banget nih lihat kantin sepi,' batin Rachel.

Baru ada Rachel dan Karin di kantin lantai dua. Spot favorit mereka pas berada di kantin, yaitu meja dekat tembok supaya bisa bersandar. Pokoknya spot milik mereka sudah seperti tempat keramat yang hanya keduanya tempati, murid lain tidak ada yang berani duduk di sana. Karena usut punya usut, Rachel ini terkenal cuek dan jutek. Walau kelihatan... cantik.

TRIIING, TRIIING, TRIIING, TRIIING, TRIIING, TRIIING, TRIIING, TRIIING........

Ponsel Karin menampakkan pop up chat. Rachel mengukir pola di layarnya, setelah itu membuka aplikasi chat di ponsel Karin. Ternyata dari grup angkatan.

Melihat Karin sudah kembali dengan membawa senampan berisi makanan, Buru-buru Rachel meletakkan ponsel gadis itu ke atas meja lagi.

"Nih, Hel. Lain kali pesen sendiri, berat tau..." ucap Karin menyodorkan pesanan Rachel. Tampangnya cemberut, seperti orang yang tidak ikhlas memesankan makanan untuk sahabatnya.

"Iya, bawel. Eh, omong-omong, handphone lo di-silent kek. Berisik banget, malah grup nggak di-mute lagi."

"Oh iya, lupa. Maklumlah, Hel. Efek libur," ucap Karin seraya menepuk keningnya. Memang sudah menjadi kebiasaan Karin tidak pernah mengubah setelan ponsel ke mode diam ketika bukan jamnya sekolah. Akibat dari libur kenaikan kelas, makanya gadis itu mungkin lupa.

Baik Rachel maupun Karin menyantap makanan masing-masing. Hingga--

"Gila, sih, gila! Udah kaya mau demo aja tuh," ucap Rachel heboh berlari ke pinggiran tembok penjaga ketika mendengar bising dari bawah.

"Eh iya, Hel!!! Kita di situ bisa kegulung jadi gepeng," timpal Karin menyusul, tak kalah heboh dari Rachel.

"Gue rela, Rin. Kalau jadi gepeng kaya Kak Sania," sahut Rachel sambil geleng-geleng kepala pelan tak memindahkan pandangan dari sekumpulan murid yang berkeroyok di bawah.

"Krempreng kaliii... woiiii..." ucap Karin membenarkan.

"Se-geng kurus semua dong, pengin banget gue jejelin makanan rasanya," ucap Rachel dongkol mengingat-ingat betapa semampainya proporsi tubuh kumpulan anak modeling.

"Hel, kalau mau ikut modeling... emang harus kurus ya?" Tiba-tiba Karin melontarkan pertanyaan yang menurut Rachel aneh bin konyol.

"Rin... lo itu ke mana aja sih? Udah bertahun-tahun sekolah, gitu aja pakai nanya."

"Lho? Emang diajarin di sekolah? Kok gue nggak tau ya? Atau... gue nggak masuk kali ya pas dijelasin. Hehehe..." cengenges Karin sembari memegang tengkuknya.

"Terserah, Rin, terserah," ucap Rachel pasrah memiliki teman yang punya otak lemot seperti Karin.

Tiba-tiba Karin bersuara lagi. "Tapi... gue mau deh punya badan semampai kaya Kak Sania and the geng," ujar Karin yang sedang mengawangkan pandangan, berandai-andai.

"Emangnya lo tau semampai tuh apa?" tanya Rachel memutar bola mata malas. Dia seakan telah dapat membaca apa yang akan Karin katakan.

"Enggak. Hahaha... yang gue tau kalau model biasanya disebut-sebut semampai 'kan?"

Rachel geleng-geleng kepala, menyayangkan kelakuan sahabatnya itu. Karin dari dulu sampai sekarang tidak hilang-hilang lemotnya. Rachel suka heran kenapa Karin bisa lemot, tapi kalau perihal pelajaran tidak sama sekali.

Pernah suatu hari Rachel tanya ke Karin perihal tersebut. Dan apa? Karin jawab dengan entengnya, "Kalau pelajaran 'kan ada di buku, tinggal dihapal. Kalau lemot mah udah bawaan, Hel. Hahahahahahaha..." Sambil ketawa-ketawa tanpa dosa.

'Masuk akal, sih,' batin Rachel waktu itu.

"Eh, Rin. Tapi, gue penasaran deh itu di sana ada apaan."

"Iya. Lihat yuk..."

Dari yang awalnya cuma suara ribut-ribut. Keduanya tilik dari kantin lantai dua, ternyata suara dari lapangan yang sudah penuh sama murid se-SMA yang seperti sedang menghebohkan sesuatu. Lama-lama kepengin tahu juga 'kan kenapa.

***

Haiii, aku Yanuarita. Bisa dibilang, ini karya pertama aku di Mangatoon/Noveltoon. Mohon dukungannya ya, untuk setiap bab yang aku publish. Semoga suka, and... happy reading :)

Tragedi Penembakan

Ya, begitulah jadinya kalau sekolah berasa punya sendiri.

***

Di paling pinggir lapangan.

"Misi... misi... misi ya..." Serentak Rachel dan Karin berniat memecah kerumunan. Niatnya ingin memotong jalan guna melihat apa sih yang ada di depan.

"Yailah, apaan sih tuh, Rin? Udah gue bilang 'misi' aja nggak ada yang mau minggir," kesal Rachel, ucapannya tak ada yang menggubris, tidak ada yang mau menyingkir mempersilakan jalan untuknya.

"Nggak tau, Hel." Karin mengedikkan bahu tak acuh, namun selepasnya dia malah melompat-lompat.

Rachel bingung melihat Karin lompat-lompatan begitu. "Ngapain sih, Rin?"

"Itu, Hel..." Telunjuk Karin mengarah ke tengah kerumunan di sela lompatannya.

"Ada apaan?" tanya Rachel heran.

Masih sembari lompat-lompatan, Karin berkata, "Ada... orang... di tengah... lapangan..." Ucapan gadis itu terjeda-jeda akibat napas yang tersengal lelah.

"Siapa, Rin?" Kini giliran Rachel yang ikut melompat-lompat. Dalam benaknya, 'Duh... nggak keliatan apa-apa. Derita badan pendek kalau udah begini.'

Karin berhenti melompat, setelah itu memasang raut wajah lelah. "Hahhh... capek, Hel. Tapi tadi gue lihat ada orang di tengah lapangan pakai baju santai, bukannya seragam."

"Oalah, itu doang?" Mata Rachel menyipit menanggapinya.

"Iya, Hel. Itu doang."

"Lebay banget. Cuma orang nggak pakai seragam aja sampai anak se-SMA yang lihatin. Gue bilang 'misi' aja, sampai nggak ada yang mau minggir, kirain sepenting apa," dumel Rachel mengundang tatapan dari murid di depannya. Namun Rachel tak peduli.

"Tau tuh, berasa sekolah punya sendiri. Nggak penting banget, gue udah lompat-lompatan biar bisa lihat. Bikin capek doang, sia-sia makanan kantin yang udah masukin ke perut."

"Ya udah, yuk!" ajak Rachel.

"Ke mana?"

"Kelas dong, Rin. Pasti sepi, 'kan yang lain aja ada di sini."

"Ayo deh, Hel. Sekalian bagi minum ya. Haus nih."

"Oke."

***

Di kelas.

"Hahhh... hari pertama sekolah se-gabut ini. Tau gitu nggak usah masuk sekalian," embus napas Rachel mengeluh.

"Nanti lo nggak tau lagi kelasnya di mana," balas Karin mengekori Rachel memasuki kelas.

"Ya 'kan lo bisa kasih tau gue, Rin."

"Iya juga, ya, Hel."

Kalau dipikir-pikir, Sella kuat juga setahun duduk sebangku sama Karin. Dalam pikiran Rachel, 'Gue aja yang udah belumutan begini bareng dia, rasanya masih geregetan banget, ih.'

"Rin." Rachel menyodorkan botol minum miliknya ke Karin.

"Gue ada kue cokelat nih. Lo mau nggak?" Setelahnya menyodorkan kotak bekal berwarna merah muda yang katanya berisi kue cokelat.

Karin lagi minum, jadi dia cuma mengangguk-anggukan kepala. Mengiyakan.

Mereka berdua duduk di lantai, depan kelas, dekat dengan papan tulis. Rachel melihat sekeliling kelas.

Dalam hatinya menggerutu, 'Di sini juga ramai kok, ada banyak bangku-meja, terus di bagian belakang kelas juga ada banyak loker. Memangnya, di lapangan doang yang ramai. Kesel, kalau diinget-inget gue udah lompat-lompat tapi tetap nggak kelihatan apa-apa. Berasa pendek banget.'

Bruk, gubruk, gubruk, gubruk...

"Eh, eh, eh. Ada apaan tuh, Rin?" panik Rachel. Suara yang dia dengar sudah seperti gerombolan gajah lewat.

Ada yang masuk ke kelas mendekati mereka. Seketika, Rachel melotot melihatnya. Dia menghitung dalam hati. 'Satu, dua, tiga, banyak banget, woii...

'Nih orang pada mau ngapain?'

Sekarang bukan hanya Rachel yang melotot kaget. Barusan gadis itu melirik sebentar dan ternyata si Karin juga sudah membulatkan mata sempurna, terkejut bukan main.

Setelah menyapu kerumunan, sekarang Rachel mengerti sebabnya.

"Kak Zenkra? Ini pada ngapain sih?" tanya Rachel ke sumber penyebab para murid berbondong-bondong memasuki kelas mengikuti laki-laki itu.

"Gue mau ngomong sama lo, Hel," kata Zenkra.

"Kak? Lo mau ngomong apa? Nggak usah macem-macem deh, pakai bawa pasukan kaya gini segala."

Zenkra tersenyum.

Dalam hati Rachel panik-panik sendiri melihatnya. 'Duh, jantung, tahan! Gue tau Kak Zenkra ganteng, tapi gue nggak mau lo copot di sini,' batin Rachel saat melihat senyuman Zenkra, dia menenangkan jantung supaya berdebar tidak terlalu hebat.

Zenkra juga ternyata orang yang Karin lihat tidak memakai seragam di tengah lapangan tadi. Pantas saja ramai.

"Gue suka sama lo, Hel."

Bamn!

'Lo boleh copot, tung, gue udah nggak bisa nahan lo.' Jantung gadis itu serasa mencelos mendengarnya.

Sementara gerombolan murid SMA Ceniya malah bersorak.

"Cieee... Terima, terima, terima."

'Ini apa sih, terima, terima aja!' pekik batin gadis itu.

"Kak? Gue salah dengar kan?"

Zenkra tersenyum lagi, kini sambil menggeleng.

"Will you be my girlfriend?" Tambah-tambah dia berkata begitu.

Mulut Rachel refleks menjawab. "Hah? No!"

Seketika senyap, sorak-sorai berhenti. Bahkan angin saja sungkan ingin lewat.

"No?" tanya Zenkra dengan tampang nyaris tak percaya, mengangkat sebelah alis tanda bingung.

"I-iya... No, ya, Kak," jawab Rachel terbata-bata.

"Gue belom suka sama lo, lagian gue juga masih kecil, nggak boleh pacaran," ucap gadis itu lagi.

"Kalau nikah... boleh?" Dengan alis terangkat sebelah, Zenkra malah bergurau.

"Cieeeeeeeeeeeeee..."

Yang lain kembali bersorak. Dan Rachel, dengan susah payah menenangkan jantung lagi.

'Nikah katanya,' pikir Rachel.

"Apalagi nikah, Kak. Bisa ditawan di kamar gue kalau Mamah tau," kata Rachel sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal, takut-takut salah bicara. Pasalnya yang berada di hadapan dia bukan orang sembarangan.

Ketika Rachel menilik ke arah Karin, gadis itu cuma senyum-senyum sambil sesekali ikutan bersorak.

"Duh... Gue patah hati nih, Hel. Jadi... seorang Zenkra, kena ditolak nih?"

Walaupun Zenkra berkata sambil tersenyum, entah mengapa Rachel tetap bungkam dibuatnya. Lantas gadis itu hanya menganggukan kepala.

"Ya udah, Rachel. Mulai sekarang, lo harus terima karena gue bakal jadiin lo hal favorit gue."

"Maksudnya, Kak?" Rachel menautkan alis heran.

Yang lain diam. Mereka sama tidak mengertinya seperti Rachel.

"Ya... gue nggak terima penolakan dan bakal bikin lo suka sama gue."

"Cieeeeee….."

Lantas Zenkra pergi selepas sorakan terakhir. Diikuti yang lainnya meninggalkan ruang kelas 11 IPA 1. Mereka kecewa, tontonannya tidak sesuai harapan dan ekspektasi. Beberapa siswi yang lain malah kelihatan kesal mendapati Zenkra menembak salah satu dewi di SMA Cendera Satya yang notabene adalah adik kelasnya.

Di kelas hanya tersisa Rachel dan Karin, berdua. Karena Zenkra juga yang menginstruksi supaya semuanya meninggalkan kelas. Kata Zenkra sebelum pergi, "Cabut, Rachel is mine!"

"Duh, jantung. Kenapa nggak copot? Atau paling enggak, bikin gue pingsan kek tadi pas Kak Zenkra setengah jalan nembak gue," gerutu Rachel sambil mengelus dada, setelah semua orang pergi meninggalkannya. "Lo juga, Rin. Sahabat macam apa yang malah senyum-senyum? Nggak lihat nih? Muka gue udah pucet banget."

Rachel menilik pantulan diri di layar ponsel yang gelap.

"Ya maap, Hel. Gue nggak nyangka aja kalau lo malah nolak Kak Zenkra."

"Gue belom yakin, Rin."

Bagi Rachel, Zenkra memang tampan, famous, jago taekwondo, pasti bisa melindungi dia.

Tapi dalam hatinya ragu, 'Memangnya... gue nggak boleh nolak? Gue juga punya alasan nolak dia. Gue belum yakin karena suatu hal.'

Bersambung.

Desas-Desus Julid

Suka kesal sama orang yang masih suka buat dosa, tapi sok-sok-an nge-julid.

***

12.00 WIB. Pulang sekolah.

Bel pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Karena hanya pembagian kelas.

Karin dijemput Kak Karel, Karelingga Kusuma Dewa. Kakaknya Karin membawa mobil, makanya Rachel jadi punya niatan menebeng.

"Ayo, Hel. Kak Karel udah di depan nih katanya."

"Iya, Rin..." balas Rachel pasrah digerek paksa sama sahabat bar-barnya yang satu ini.

Mereka menyampirkan tas punggung di sebelah bahu, lalu berjalan ke luar kelas. Di sepanjang koridor kelas 11, tidak hanya Rachel yang merasakan tilikan yang aneh, Karin juga. Banyak pasang mata anak kelas 11 yang lagi duduk-duduk santai di sana tertuju ke arah keduanya.

"Apa lo lihat-lihat gue!" ucap Rachel ketus.

"Yailah, sombong banget lo, Hel! Mentang-mentang jadi 'kesayangan'-nya Kak Zenkra!" ucap salah satu siswa di sana.

"Sirik aja lo!" dongkol Rachel mendengar balasan dari sang lawan bicara.

"Udah-udah, jangan pada berantem," kata laki-laki di sebelah perempuan dengki barusan.

"Bilangin ke temen lo, gue bukan pisang, lihatinnya biasa aja!" Rachel bilang gitu sambil menunjuk-nunjuk kesal ke muka itu orang julid.

"Udah. Yuk, Hel!" ajak Karin menarik tangan Rachel supaya meninggalkan orang-orang itu.

Rachel pergi, namun samar-samar mendengar obrolan mereka.

"Udah kek lo!" sergah suara laki-laki barusan.

"Ish, kesel gue! Kenapa sih Kak Zenkra suka sama cewek jutek kaya gitu?" geram perempuan yang tadi.

"Ya soalnya--"

"Udah! Lo nggak usah ngomong, gue tau lo juga suka sama dia, kan?" pungkasnya.

"Iya, emang. Rachel cantik, pintar, baik kok dia walaupun jutek begitu. Gue kasih tau nih, lo macem-macem sama dia, nggak cuma Kak Zenkra yang marah, tapi anak cowok fans-nya juga. Lagian... dia itu nggak bakal ganggu kalau lo nggak ganggu dia duluan."

Mereka masih membicarakan Rachel, tapi sudah tidak terdengar lagi sebab jarak Rachel dengan mereka sudah begitu jauh.

'Kesal. Itu baru reaksi anak kelas 11. Seandainya gedung kelas 12 dicampur, pasti yang nge-julid lebih banyak dari itu.

'Inget, awal tuh, Hel,' benak Rachel mewanti-wanti.

***

"Kak Karelllllll..." panggil gadis itu semangat. Seketika cibiran yang tertuju untuknya barusan seakan menguap begitu saja dari otaknya.

"Ehhh, Rachel. Udah lama nggak ketemu," sahut Karel ramah.

"Iya nih, Kak. Kangen Rachel, nggak?" ucap Rachel cengengesan.

"Banget. Ayo, balik bareng!" ajak Karel kemudian.

"Emang niatnya mau bareng, Kak. Hehehe..."

"Dasar, nggak pernah berubah." Karel mengacak-acak rambut se-bahu milik Rachel.

"Tapi jadi lebih cantik 'kan, Kak?" tanya gadis itu, dengan tingkat kepercayaan diri yang super tinggi.

"Cantik banget," ucap Karel menimpali sambil mencubit kedua pipi Rachel gemas, "tapi nih tampang jutek dikurang-kurangin."

"Ahhh, sakit, Kak!" Rachel menepuk-nepuk tangan Karel, minta dilepas.

"Woiiii... udahan kali reuninya," interupsi Karin berucap dari dalam mobil. Sudah dari tadi dia menunggu dua orang yang tengah bernostalgia itu.

Akhirnya Rachel dan Karel pun memutuskan menyusul masuk. Karel nyetir, sementara Rachel dan Karin duduk di belakang.

Ketika di pertengahan jalan menuju rumah, tiba-tiba Karel menawarkan kepada Rachel, "Main dulu, Hel?"

"Enggak, Kak. Makasih… Rachel langsung pulang aja," tolak Rachel sopan.

Sementara laki-laki itu mengangguk maklum. Sedangkan Karin, malah asik berkutat pada ponselnya. Rachel sampai dianggurin.

Dalam hati gadis itu, 'Bahkan pesona gue kalah telak dibanding layar handphone dia.'

***

Ketika melewati pintu rumah yang terbuka lebar.

Rachel merasa amat sangat kelelahan, padahal di sekolah belum belajar. Tidak tahu kenapa. Mungkin, efek dari lompat-lompatan tadi.

"Assalammu'alaikum, Mah. Rachel langsung naik ya..."

Claresta sedang menonton televisi dan dari sofa menengok ke arah gadis yang kini melangkah gontai selagi menyeret tas punggungnya.

"Wa'alaikumsalam. Kamu nggak mau makan dulu, Hel?"

"Nanti kalau laper Rachel turun deh, Mah. Naik dulu ya," nego Rachel seakan sudah tidak kuat lagi dan ingin buru-buru membaringkan tubuh ke kasur empuk kesayangannya.

"Ya udah, sana. Jangan lupa ganti baju."

"Iya, Mah."

Claresta kembali melanjutkan rutinitasnya ketika sedang tidak bekerja, yaitu menonton sinetron ala-ala remaja.

Sebelum pergi, Rachel menyempatkan diri mencebik Mamahnya dalam hati, 'Ck, nggak inget umur. Masih aja nonton sinetron begituan.'

Rachel menaiki tangga. Berganti baju, lantas menghempaskan diri ke kasur.

Pikiran wanita itu mengawang seiring gumam, "Kalau dingat-ingat soal tadi, bete juga. Kak Zenkra lagi, buat apa tiba-tiba nembak gue? Nambah bahan buat gosip aja."

Kemudian kembali menggumam tatkala di otaknya bayangan Zenkra seketika berganti dengan laki-laki tampan yang diam-diam Rachel kagumi--Karel.

"Eh, iya, udah lama nggak ketemu Kak Karel."

Kalau saja Rachel tidak sedang lelah, pasti sudah diterima tawaran dari Karel sebelumnya. Kangen main sama dia. Karel kini berkuliah di luar kota. Jadinya jarang pulang, kaya Bang Thoyib. Ketika anak SMA baru masuk, laki-laki itu malah baru saja libur.

'Enak banget' pikir Rachel seraya bangkit dari kasur, mengambil ponsel di tas bagian depan. Lalu merebahkan diri lagi, tiduran.

Gadis itu membuka aplikasi kamera. CEKREK!

Kemudian menilik lamat-lamat hasil jepretan iseng-isengnya.

"Waduh, ck, ck, ck... kok bisa ya hasilnya begini cantik? Gue gitu," puji Rachel untuk dirinya sendiri. "Gue emang cantik. Pantas aja banyak yang suka. Hehehe...."

Tawanya sesaat membuat gadis itu berpikir kalau dia sudah mulai gila. Stres memikirkan fans Zenkra yang kebanyakan kaum hawa, bisa dipastikan patah hati karena sang pujaan malah lebih memilih perempuan jutek seperti Rachel.

Rachel bergidik ngeri. "Orang kalau sudah patah hati, biasanya lebih galak. Nyeremin."

Belum lama mengagumin kecantikan paripurna dia di layar ponsel, tiba-tiba pesan chat dari Karin mendarat.

Ponsel Rachel yang selalu di mode getar pun menyuarakan getarnya, tidak seperti ponselnya Karin yang berisiknya minta ampun saat di kantin tadi. Malah nada notifikasi ponsel Karin mirip-mirip kaya bel sekolah.

[Karin Lemot]: Helllllll

[Rachel]: Apaan?

[Karin Lemot]: Lihat grup angkatan

[Rachel]: Males lah\, spam

[Karin Lemot]: Cepetan!!

Rachel sangat malas, tapi Karin justru mendesaknya menyuruh cepat-cepat membuka grup angkatan. Semua grup di ponsel Rachel di-mute, jadi tidak ada notifikasi apalagi getar tanda pesan chat masuk.

Ketika Rachel lihat.

999+

Angka yang tertera di pinggir nama grup angkatannya.

Dalam hati Rachel mendesah, 'Males banget, elahhh.'

Tapi akhirnya gadis itu buka juga karena kepengin tahu isi di dalamnya.

Saat dilihat, ada info mapel--mata pelajaran setiap jurusan di SMA Cendera Satya.

Tidak berminat.

Rachel kembali menggulir layar ponsel dia ke atas. Ada bahasan soal kedatangan Kak Zenkra ketika di lapangan.

Sudah tahu.

Gadis itu menggulir layar ponsel lagi.

Mata Rachel seakan ingin lepas dari tempatnya. Posisi badan pula berubah menjadi terduduk.

"What?! Apa-apaan ini?" pekik Rachel tersentak.

Gadis itu membaca terus percakapan di chat sampai ke bawah. Cuitan dari ciwi-ciwi kelas 11, fans dari Zenkra yang menjelek-jeleki Rachel di grup angkatan. Gadis itu menggerutu, "Gue sih, nggak merasa jelek, ya. Secara... biar dijelek-jelekin kaya apapun, tetap aja gue mah cantik." Kini Rachel mengibaskan rambut. Bangga.

Semakin ke bawah, semakin seru.

Dia kembali menggumam pelan, "Banyak juga ya, cowok anak kelas 11 yang nge-fans sama gue." Ketika melihat anak laki-laki kelas 11-nya membalas cuitan itu dengan pembelaan tertuju untuk Rachel. "Baik banget, belain cewek jutek kaya gue. Maaf ya... emang parah deh gue, orang baik dibilang nge-fans tadi. Tapi... apa mereka nggak punya kerjaan nge-gibah di grup yang ada orangnya begini?"

Semakin digulir ke bawah, tidak ada habis-habisnya.

Rachel jengah, ternyata banyak yang mengirim personal chat juga untuknya. Ada yang menanyakan perihal peristiwa tragedi penembakan, sampai ada juga yang mencibir gadis itu secara terang-terangan.

Rachel baca satu-satu isi pesannya sambil berguman sendiri.

"Sombong, nggak mau nerima Kak Zenkra," baca Rachel. Dia pun balas dengan gerutuan, "Sirik gini, nih."

"Sok cantik lo!" Isi pesan chat yang kedua membuat Rachel kembali menggerutu, "Emang cantik, tuh."

"Jutek belagu lagi." Kali ini bola matanya sampai melotot. "Masalahnya buat lo apa?"

Dan masih banyak lagi.

Bahkan, ada yang mengirim pesan chat hanya untuk sekadar menanyakan kabarnya Zenkra. "Kalau yang ini sih, nggak jelas banget. Tanya aja sama orangnya langsung, emangnya gue mapsnya Kak Zenkra yang harus tau di mana dia berada," dumel gadis itu.

Buru-buru dia keluar aplikasi. Mematikan koneksi internet. Membayangkannya saja sudah membuat Rachel bergidik ngeri. Ini baru reaksi di grup angkatan kelas 11 dan personal chat.

Besok bagaimana? Pas di sekolah. Dalam hati Rachel juga bertanya-tanya seperti itu sambil menggigit ujung kuku tangan kanannya.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!