Dissa Richard adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan Industri terkaya nomor dua di dunia. Dissa adalah seorang wanita berumur 24 tahun, dia lulusan dari jurusan manajemen bisnis di kampusnya. Dissa memiliki paras cantik dan tubuhnya yang menarik, dia selalu bersikap dingin kepada siapapun namun sebenarnya dia berhati baik. Ketika Dissa lahir dia selalu dimanja oleh kedua orang tuanya sehingga dia bersikap egois dan tak menghormati orang lain.
Daniel Saputra adalah seorang dokter muda yang berusia 27 tahun, berkat ketampanannya dan kepatuhannya dalam bekerja, dirinya banyak dikagumi oleh semua wanita. Daniel mencintai profesinya sebagai Dokter. Namun, kecintaan itulah yang membuat Daniel melupakan jika ia memiliki Dissa--wanita yang sudah 2 tahun ini menjadi kekasihnya.
Sejak pertemuan yang tak terduga di sebuah hotel ternama, ia menghadiri pesta pernikahan temannya. Dissa bertemu dengan seorang dokter muda yang bernama Daniel yang merupakan teman dari suami temannya. Mereka sempat berbicara dan akhirnya Daniel meminta nomor ponselnya. Hadirnya Daniel mengubah semua sikap Dissa hampir 99% menjadi wanita yang baik, ramah dan pengertian. Hari demi hari Daniel dan Dissa begitu dekat dan mereka berpacaran. Berkat keseriusan cinta Daniel memutuskan untuk menikahi Dissa sebagai istrinya.
***
Hari pernikahan Daniel dan Dissa tinggal beberapa bulan lagi. Mereka mulai menyiapkan banyak hal untuk pernikahan mereka, seperti salon, gedung resepsi, undangan, katering, dll. Saat ini persiapan mereka sudah 80% selesai. Tinggal 20% lagi sebelum hari pernikahan mereka tiba.
Hari ini Daniel dan Dissa pergi ke salon untuk melakukan fitting gaun dan jas pengantin. Berbagai gaun pengantin tersedia di lemari yang cukup besar.
“Menurutmu, gaun yang mana cocok denganku, Dan?” tanya Dissa seraya memeluk lengan Daniel.
Tatapan Daniel menyusuri deretan gaun pengantin di lemari itu. “Aku bingung, Sayang. Semuanya sangat bagus.”
Aura—pegawai salon—bertanya kepada Dissa, “Ibu suka gaun yang seperti apa? Biar saya bantu mencarinya.”
“Aku suka model yang simpel, tetapi terlihat elegan.”
Aura mengangguk. “Oke, saya tahu maksud Ibu. Kebetulan ada beberapa gaun yang masih baru. Jika Ibu tidak keberatan, Ibu bisa ikut saya ke lantai 2. Di sana terdapat banyak pilihan model gaun yang mungkin Ibu sukai.”
“Oke, aku setuju.” Dissa menoleh ke sampingnya.
“Sayang, aku ikut Aura, ya. Kamu tidak apa-apa, ‘kan, sendiri di sini?”
“Tidak apa-apa. Aku akan duduk di sini menunggu kamu,” jawab Daniel.
Ketika Dissa dan Aura menaiki tangga, Daniel duduk di kursi tunggu sambil menonton siaran TV. Kebetulan, pemilik salon menyediakan TV agar pengunjung tidak merasa bosan saat menunggu.
Berita hari ini: Perang besar di Gaza mengakibatkan 255 orang terluka parah. Tidak hanya dewasa dan lansia, anak-anak pun ada.
Berita itu membuat hati kecil Daniel tersentuh. Dia melihat anak-anak yang menangis mencari orang tuanya. Entah orang tuanya masih hidup atau sudah meninggal.
“Kasihan sekali anak-anak itu! Jika diberi kesempatan, aku ingin sekali membantu mereka.”
Dissa menuruni tangga dengan hati-hati, lalu berdiri di depan Daniel sambil menunjukkan gaun yang dipakainya. “Sayang, gaun ini bagus, tidak?”
Daniel tersenyum. “Apa pun yang kamu pakai pasti bagus di tubuh kamu, Sayang. Pilih yang ini saja. Sama seperti yang kamu inginkan tadi. Simpel, tidak terlalu terbuka, dan terlihat elegan. Aku yakin kamu akan menjadi perempuan tercantik di hari spesial kita nanti.”
Respon Daniel membuat pipi Dissa merona. Dia menggenggam tangan Daniel. “Terima kasih, Sayang. Oke, aku akan pilih gaun yang ini. Sekarang giliran kamu yang mencoba jas pengantin. Aku mau lihat cocok atau tidak jas yang kamu pakai dengan gaun aku ini.”
Tiba-tiba, ponsel Daniel berdering. “Tunggu sebentar, Sayang. Aku angkat telepon dulu.” Daniel sedikit menjauh dari Dissa.
“Halo, Bud!”
“Daniel, apa kamu bisa datang ke rumah sakit sekarang? Owner rumah sakit ingin rapat dengan kita dan dokter lainnya,” jawab Budi—rekan kerja Daniel.
“Kenapa mendadak sekali, Bud? Memangnya, ada rapat tentang apa?” tanya Daniel melalui ponselnya.
“Aku juga tidak tahu, Dan. Sebaiknya, kamu segera datang ke sini.” jawab Budi.
“Oke, aku pergi ke sana sekarang.” Daniel menutup panggilan itu, lalu mendekati Dissa. “Sayang, maafkan aku, ya. Budi memberi tahu bahwa Owner rumah sakit ingin rapat bersama kami sekarang.”
Raut wajah Dissa berubah kecewa. “Lalu, bagaimana dengan fitting jas pengantin kamu, Sayang? Kamu belum melakukannya, apalagi tanggal pernikahan kita semakin dekat.”
Daniel memegang pundak dan menatap Dissa dengan lembut. “Aku tahu itu, Sayang. Aku tidak bermaksud mengabaikan pernikahan kita. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai dokter. Kuharap kamu bisa mengerti pekerjaanku ini.”
Dissa menghela napas pendek. “Iya, aku mengerti, Sayang.”
Dissa tersenyum lega. “Terima kasih atas pengertianmu, Sayang. Aku semakin cinta padamu.”
“Bukankah itu yang membuat cinta kita bertahan hingga sekarang? Dari awal, kita sudah berkomitmen untuk saling mengerti satu sama lain, termasuk tentang pekerjaan kita.” Dissa berusaha tersenyum di depan Daniel walau ia kecewa di dalam hati. Lagi-lagi, Daniel meninggalkannya di saat mereka sedang menyiapkan sesuatu untuk hari pernikahan nanti.
Sebelum melangkah pergi, Daniel memberi kecupan manis di dahi Dissa. “Setelah rapat ini selesai, aku akan melakukan fitting jas pengantin di sini. I'm promise! Aku pergi dulu.”
“Hati-hati, Sayang. Kabari aku jika kamu sudah selesai rapat. Aku tunggu kamu di sini.”
“Oke.” Daniel keluar dari salon dan masuk ke mobilnya.
***
“Maaf, rapat ini diadakan secara mendadak. Saya baru mendapat kabar bahwa banyak korban jiwa akibat peperangan di Gaza. Tenaga medis yang tersedia di sana sangat sedikit, sedangkan jumlah korban semakin bertambah. Oleh karena itu, saya ingin dua orang dari kalian bersedia menjadi relawan untuk membantu tenaga medis di sana,” tutur Agus selaku ketua tim dokter dan Owner rumah sakit itu.
Tanpa pikir panjang, Daniel mengangkat tangannya. “Saya bersedia menjadi relawan di sana, Dok. Ketika saya melihat berita ini di TV, hati saya tergugah untuk menolong mereka.”
“Hatimu sangat mulia, Dokter Daniel,” puji Agus.
“Saya terima keputusan Dokter. Bagaimana dengan yang lain?”
Jesika—rekan kerja Daniel—ikut mengacungkan tangan. “Saya juga bersedia menjadi relawan, Dok.”
“Anda yakin Dokter Jesika? Keadaan di Gaza saat ini sangat memprihatinkan dan berpontensi akan ada perang susulan. Sangat berbahaya jika Dokter berada di sana.”
Tersirat rasa cemas dari pertanyaan owner rumah sakit itu. Wajar saja. Jesika termasuk dokter perempuan yang paling diandalkan di rumah sakit itu.
Jesika mengangguk. “Saya sangat yakin dengan keputusan saya, Dok. Lagipula, ada Dokter Daniel yang menemani saya. Jadi, Dokter Agus tidak perlu khawatir.”
“Baiklah. Mulai besok, kalian berdua harus menyiapkan segala keperluan untuk dibawa ke sana. Untuk dokter yang lain, saya harap kalian mau membantu persiapan Dokter Jesika dan Dokter Daniel besok.”
“Baik, Dok,” sahut Jesika, Daniel, dan dokter yang lainnya.
“Baiklah. Rapat ini selesai. Selamat bertugas kembali. Terima kasih.” Owner sakit itu keluar dari ruang pertemuan usai mengakhiri rapat.
Ketika Daniel akan keluar dari ruangan itu, Budi memanggilnya.
“Ada apa, Bud?” tanya Daniel.
“Kamu yakin dengan keputusan kamu tadi, Dan? Bukankah tanggal pernikahanmu dengan Dissa tidak lama lagi?” Budi balik bertanya.
“Aku sangat mencintai pekerjaan mulia ini sejak kecil, Bud. Oleh karena itu, aku akan hadapi apa pun risikonya nanti. Mengenai pernikahanku, aku akan usahakan pulang lebih cepat.” ucap Daniel.
“Semoga saja Dissa mengizinkanmu pergi ke sana, Dan.”
“Aku harap begitu, Bud.”
Di luar ruang pertemuan, Jesika mendengar semua percakapan antara Budi dengan Daniel. Dia tersenyum tipis. "Inilah kesempatanku untuk mendapatkan hatimu, Dan. Kamu dan Dissa tidak akan bisa bersatu." kata Jesika dalam hati.
...***Jangan Lupa dukung cerita ini ya, dengan cara mengklik vote, like, rate dan beri komentar ya pada cerita ini*...
...*Untuk mengetahui episode selanjutnya silahkan follow aku juga ya supaya aku lebih semangat up ceritanya***...
PERHATIAN!
Sebelum membaca episode cerita novel ini, Silahkan dukung author dengan mengklik Suka ❤️, Bintang⭐, Beri Komentar pada cerita novel ini.
Jangan lupa *Mengikuti* akun author juga ya☺️ ditunggu ya dukungannya dari kalian. Karena dukungan kalianlah untuk menyemangati author menulis episode selanjutnya.
"Sayang banget hari ini kita gak bisa menyelesaikan fitting baju pernikahan kita, kamu pulangnya terlalu malam, jadi Salon Aura sudah tutup," ucap Dissa, lalu memasukan sesuap nasi ke mulutnya.
Mereka sedang makan malam bersama di sebuah Restoran langganan.
"Maaf sayang, lalu lintas sedang padat karena jam pulang kantor," jelas Daniel, Dissa mengangguk pun memaklumi. "Sayang, aku mau membicarakan sesuatu."
"Bicara saja." ucap Dissa singkat.
"Sayang, besok aku izin untuk pergi karena mendapat amanah dari rumah sakit." ujar Daniel menatap kedua bola mata indah Dissa yang berdiri di hadapannya.
"Mau pergi mengisi seminar di luar kota lagi?" tanya Dissa yang sudah hafal kegiatan calon suaminya yang sering dipercaya rumah sakit untuk mengisi seminar di luar kota.
"Pergilah, tetapi jalan lupa bawakan aku buah tangan." Dissa menampilkan rentetan giginya.
"Bukan seminar ke luar kota, tetapi ... aku akan menjadi dokter relawan di Perbatasan Gaza."
Senyuman Dissa seketika meluntur. "Apa? Perbatasan Gaza? Perbatasan antara Palestina dan Israel maksudmu?"
Daniel mengangguk.
"Apa kamu gila?" bentak Dissa dengan sedikit berbisik karena tak ingin menjadi tontonan pengunjung yang lain. "Beberapa bulan lagi kita akan menikah Daniel."
"Aku tahu Sayang, tetapi menolong korban adalah pekerjaanku."
"Dari sekian banyak dokter di rumah sakit, bahkan di dunia mengapa harus kamu yang pergi ke sana?"
"Karena aku ... mengajukan diri," gumam Daniel.
"Ya Tuhan, Daniel ... kita ini akan menikah, bagaimana bisa kamu malah mengajukan diri untuk menjadi relawan di area konflik? Apa pernikahan ini tidak ada artinya bagimu?"
Dissa memijit pelipisnya, terkadang dia masih tak habis pikir dengan jalan pikiran calon suaminya.
"Pernikahan kita masih dua bulan lagi, aku hanya bertugas tiga bulan, dan lagi pula persiapan pernikahan sudah kita urus bersama. Apa kamu tidak kasihan melihat situasi di sana yang memprihatinkan? Mereka membutuhkan aku sayang."
"Aku mengerti, tetapi bukan itu yang aku khawatirkan." Dissa menghela napas sejenak. "Di sana adalah daerah konflik antar dua negara, situasi di sana sangatlah membahayakan. Bagaimana jika kamu kena peluru lepas? Bagaimana jika mereka melempar granat? Bagaimana jika—"
"Sayang ...." Daniel menggenggam tangan Dissa. "Jangan mengucapkan yang tidak-tidak. ucapan adalah doa. Aku akan pulang dengan selamat. Satu bulan sebelum pernikahan kita. Aku janji."
"Tetap tidak bisa!"
"Sayang." Daniel menampilkan wajah memohon.
Dissa menatap Daniel dengan tatapan ragu, tetapi Dissa menyerah. Ia kalah saat menatap Daniel dengan wajah memohon seperti itu.
"Kamu harus sering-sering kabarin aku, minimal sehari sekali," perintah Dissa.
"Siap, Yang Mulia!" jawab Daniel dengan memberi hormat. " Terima kasih, Sayang."
"Kamu jaga diri baik-baik di sana, jangan memforsir tubuhmu. Ingatlah bahwa di sini ada aku yang menunggu."
***
"Sayang kamu harus ingat untuk mengabari aku minimal sehari sekali, dengan durasi minimal dua menit, setiap kamu ingin memulai kegiatan sempatkan diri untuk mengirim pesan padaku, kamu juga jangan lupa mengisi perut karena mau bagaimanapun makan itu penting, lalu kamu—" ucap Dissa panjang lebar.
"Iya, Sayang. Kamu dari semalam bawel banget, aku di sana akan baik-baik saja. Ini bukan kali pertamaku menjadi dokter relawan, kamu tahu akan hal itu, bukan?" tanya Daniel, ini sudah kali kesekian Dissa mengingatkannya. Bahkan saat mengantarkan ke Bandara saat ini pun Dissa masih mengingatkannya.
"Tetap saja berbeda. Kamu biasanya ikut serta di daerah terdampak bencana alam, bukan ikut serta di daerah konflik."
"Harus berapa kali aku bilang, aku akan baik-baik saja, Sayang." Daniel mengusap puncak kepala Dissa. "Omong-omong sudah jam segini di mana rekanku?"
Daniel dan Dissa memandang sekitar mencari rekan medis lain yang akan berangkat bersama, Dissa sebenarnya juga tidak tahu siapa saja yang akan pergi bersama Daniel karena ia lupa menanyakan pada Daniel.
"Nah, itu dia." Daniel menunjukkan orang di belakang Dissa.
Dissa sedikit terkejut melihat seorang wanita dan pria berjalan menujunya, Dissa mengenali mereka berdua, terlebih wanita yang tengah tersenyum puas ke arahnya, Jesika.
"Budi?" Daniel menatap barang-barang yang ditenteng sahabatnya. "Kamu?"
"Kejutan! Aku juga diutus untuk ikut bersama kalian," jawab Budi tersenyum.
"Aku sangat senang kau ikut bersamaku dan Sarah. Kita akan menjadi tim yang imbang." Daniel memeluk Budi.
Jesika berdeham, Daniel sontak melepas pelukannya.
"Oh iya, Sayang, kenalkan ini Jesika. Jesika ini Dissa calon istriku." Daniel memperkenalkan Dissa dan Jesika.
"Aku tidak dikenalkan?" sindir Budi.
"Ayolah, Bud, kalian ini bersepupu. Kamu nanti akan menjadi sepupu iparku."
Dissa memandangi Jesika di sebelahnya, Sarah adalah kakak tingkat sekolahnya sewaktu duduk di bangku SMA. Dulu Jesika adalah wanita yang merebut mantan kekasihnya. Jesika mendekati Dissa dan berbisik, "Calon suamimu sangat memasuki tipeku, apa boleh dia buatku saja, Dissa?"
Dissa mengepal tangannya, lalu menatap tajam Jesika. Dia menyesali keputusannya mengizinkan Daniel pergi, tetapi tidak mungkin sekarang ia melarang Daniel.
"Jadi bagaimana rute perjalanan kita, Daniel?" tanya Jesika membuat Dissa memutar bola matanya.
"Kita akan transit di Jeddah, lalu kita lanjut ke Kairo menuju Kota El Arish, kita akan melewati imigrasi Rafah," jelas Daniel.
"Berarti kalian akan melewati Zona Merah Sinai Utara?" tanya Dissa khawatir.
Daniel mengangguk. “Jangan khawatir Sayang, kami akan pulang dengan selamat."
"T-tapi ... di sana juga merupakan daerah konflik."
Daniel meraih tangan Dissa. "Kamu gak perlu khawatir, cukup doakan kami sampai dengan selamat."
Dissa mengangguk, lalu berbalik menatap Budi. "Budi! Kamu harus jaga Daniel! Kalau sampai Daniel kenapa-napa, kamu aku coret dari daftar persepupuan!" ancam Dissa.
"Kalau aku yang kenapa-napa?" tanya Budi.
"Harta warisanmu untukku," jawab Dissa, mengingat hanya mereka cucu sang kakek. Budi hanya berdecak tak percaya.
"Sudah-sudah, ayo kita berangkat!" ajak Daniel menengahi pertengkaran antar saudara.
"Kalian duluan saja, aku ingin berbicara dengan Dissa dulu," ujar Budi.
Daniel memeluk Dissa, serta mencium keningnya. Hal itu membuat Jesika memutar bola mata malas.
"Jaga dirimu, aku mencintaimu" pesan Dissa.
"Aku lebih mencintaimu," balas Daniel.
Sepeninggalnya Daniel dan Jesika, Budi mendekat.
"Kenapa kamu gak bilang kalo Jesika satu rumah sakit dengan kalian?" hardik Dissa.
"Untuk apa? Aku pikir kamu juga gak akan peduli, tapi sepertinya dia menyukai Daniel."
"Iya dan dia barusan berbisik meminta Daniel!" geram Dissa.
"Tenang saja, itulah gunanya aku ikut dengan mereka. Selain menolong korban konflik aku juga menolongmu agar tidak menjadi korban pelakor." Budi pergi meninggalkan Dissa.
"Aku percaya padamu, Daniel," gumam Dissa.
***
Daniel, Budi, dan Jesika menaiki pesawat ke Jeddah, perjalanan kali ini akan menjadi perjalanan panjang, mungkin akan memerlukan waktu hingga tiga hari. Setelah transit di Jeddah ke Kairo mereka masih harus melakukan perjalanan ke kota El Arish, perjalan dari kota El Arish menuju Gaza ±54 KM, Ini menjadi kali pertama diizinkannya perjalanan malam dari kota El Arish ke perlintasan Rafah. Pengawalan ketat benar-benar diberlakukan. Bahkan, para relawan dikawal dengan mobil militer anti baja, kemudian terjadi pertukaran mobil, hingga akhirnya dengan menumpangi bus mereka mereka menuju imigrasi Rafah, Gaza di Palestina. Dua hari dua malam dalam perjalanan mereka pun sampai di Khan Yunis dengan check point(pos pemeriksaan) yang ketat, pukul dua dini hari.
"Perjalanan yang cukup seru, ya," seru Budi saat mereka memasuki tenda medis.
"Aku tidak menyangka perjalanan kita untuk dapat sampai ke sini sangat menegangkan," lanjut Jesika.
"Lebih baik kita beristirahat karena besok kita akan langsung terjun ke lapangan," intruksi Daniel.
"Oh iya, Daniel," panggil Jesika. "Seperti biasanya saat bertugas setelahnya kita diminta untuk membuat laporan, kamu bisa menjadi ketua pelaksana?"
"Iya, aku pun merasa di sini hanya kau yang pantas," imbuh Budi.
"Baiklah," putus Daniel.
"Aku bisa menjadi sekretaris untuk membuat laporan," usul Jesika.
"Lalu aku menjadi apa?" tanya Budi.
"Kamu bisa menjadi seksi dokumentasi," ujar Jesika.
"Seksi dokumentasi? Tidak terlalu berat, baiklah."
"Baik, selamat malam, gunakan waktu istirahat kalian dengan baik." Daniel kembali merapihkan barang bawaannya.
Sebelum tidur Daniel menyempatkan diri untuk mengirim kabar kepada Dissa, walaupun sinyal yang ia miliki sangat minim.
...*Jangan Lupa dukung cerita ini ya, dengan cara mengklik vote, rate, like dan beri komentar ya pada cerita ini*...
...*Untuk mengetahui episode selanjutnya silahkan follow aku juga ya supaya aku lebih semangat up ceritanya*...
PERHATIAN!
Sebelum membaca episode cerita novel ini, Silahkan dukung author dengan mengklik Suka ❤️, Bintang⭐, Beri Komentar pada cerita novel ini.
Jangan lupa *Mengikuti* akun author juga ya☺️ ditunggu ya dukungannya dari kalian. Karena dukungan kalianlah untuk menyemangati author menulis episode selanjutnya.
"Perjalanan yang cukup seru, ya," seru Budi saat mereka memasuki tenda medis.
"Aku tidak menyangka perjalanan kita untuk dapat sampai ke sini sangat menegangkan," lanjut Jesika.
"Lebih baik kita beristirahat karena besok kita akan langsung terjun ke lapangan," intruksi Daniel.
"Oh iya, Daniel," panggil Jesika. "Seperti biasanya saat bertugas setelahnya kita diminta untuk membuat laporan, kamu bisa menjadi ketua pelaksana?"
"Iya, aku pun merasa di sini hanya kau yang pantas," imbuh Budi.
"Baiklah," putus Daniel.
"Aku bisa menjadi sekretaris untuk membuat laporan," usul Jesika.
"Lalu aku menjadi apa?" tanya Budi.
"Kamu bisa menjadi seksi dokumentasi," ujar Jesika.
"Seksi dokumentasi? Tidak terlalu berat, baiklah."
"Baik, selamat malam, gunakan waktu istirahat kalian dengan baik." Daniel kembali merapihkan barang bawaannya.
Sebelum tidur Daniel menyempatkan diri untuk mengirim kabar kepada Dissa, walaupun sinyal yang ia miliki sangat minim.
***
Hari pertama mereka di Perbatasan Gaza dimulai dengan kegiatan PSP(Psychosocial Support Programme) yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikososial individu maupun masyarakat agar tetap berfungsi optimal pada saat mengalami krisis dalam suatu bencana maupun kecelakaan. PSP diberikan kepada kelompok anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia.
Seperti yang dilakukan Daniel, Budi, dan Jesika yang sedang berada di salah satu perkampungan pengungsian di Jalur Gaza, mereka memeriksa kesehatan para pengungsi serta menumbuhkan kembali semangat mereka.
Mengajak anak-anak bermain membuat mereka lupa akan trauma yang menimpa mereka, Budi beberapa kali mengabadikan momen tersebut. Jesika dan Daniel mengajak anak-anak untuk bernyanyi dan menari bersama, tawa tulus anak-anak di sana membuat mereka bertiga lebih bersyukur dan menghargai apa yang mereka punya. Waktu berlalu hingga saatnya tiba waktu makan siang.
"Anak-anak sungguh menggemaskan, ya?" ujar Jesika.
"Melihat mereka tertawa membuat aku lebih bersyukur dengan apa yang aku punya sekarang, aku enggak akan tahu bagaimana jika harus tumbuh di tempat konflik, tetapi mereka sangat kuat," ungkap Budi.
Seseorang memanggil mereka untuk meminta bantuan. "Ah, biar aku saja. Kalian lanjutkan saja makan siangnya," ucap Budi.
Jesika dan Daniel melanjutkan makan siang mereka, tetapi seorang anak kecil datang menghampiri mereka. Anak tersebut terlihat sedikit kumal, berbadan kurus, matanya tak lepas dari makanan Daniel dan Jesika.
"Kamu ingin makan?" tanya Jesika dalam bahasa Inggris.
Anak itu hanya terdiam menatapnya, sepertinya ia tak mengerti pertanyaan Jesika.
Daniel tersenyum menghampiri anak tersebut dan menyamakan tinggi mereka, Jesika mengikuti. Daniel membuat kotak makan miliknya mengulurkan pada anak tersebut, anak itu menatap Daniel ragu, lalu perlahan mengambil roti isi miliknya.
Setelah membantu warga sekitar Budi kembali untuk makan siang, langkahnya terhenti saat melihat Jesika dan Daniel tengah makan bersama dengan seorang anak bersama mereka. Budi tersenyum paham kedua rekannya tengah berbagi makanan, lantas ia mengambil kamera ponselnya untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut.
"Daniel coba ini." Jesika mengulurkan tangannya hendak menyuapi Daniel, tetapi Daniel menolak.
"Ayolah, masa hanya kamu yang berbagi makanan. Ayo makan ini, kita membutuhkan energi untuk lanjut menolong mereka."
Akhirnya dengan paksa Daniel membuka mulutnya.
***
"Ah, badanku terasa pegal seharian membantu warga mengangkat barang-barang," keluh Budi seraya meregangkan tubuhnya.
"Hush ... jangan mengeluh. Anggap saja itu ladang pahala untukmu," omel Daniel.
"Iya, kamu benar. Aku ingin tidur lebih cepat, Sarah aku sudah mengirim hasil dokumentasi hari ini," ujarnya pada Jesika.
Jesika menyalakan ponselnya, tetapi ia tak langsung memeriksa gambar yang Budi kirim, ia membuka laptop dan mengerjakan isi laporan kegiatan hari ini terlebih dahulu.
"Perlu ku bantu?" tanya Daniel.
"Ah, tidak usah. Kamu istirahat saja, aku hanya akan memasukkan kegiatan kita hari ini. Ini tidak memerlukan waktu lama," tolak Jesika.
"Baiklah, aku tidur duluan. Kalau butuh bantuan kamu bisa ke tendaku dan Budi."
Jesika mengangguk dan menatap punggung Daniel yang berjalan keluar.
Setelah menulis hasil kegiatan hari ini, Jesika mengecek gambar yang Budi kirim, memilah-milah gambar mana yang cocok untuk dilampirkan. Namun, jarinya terhenti pada sebuah gambar, ia memperbesar gambar tersebut. Terlihat gambar dirinya dan Daniel sedang makan bersama anak pengungsian, dirinya sedang menyuapi Daniel. Terbit senyum senyum samar menyorot penuh arti.
***
Di dalam sebuah tenda tampak seorang dokter cantik bernama Jesika. Kini dia telah menyelesaikan laporan kegiatan hari ini dan sudah mengecek seluruh gambar yang Budi kirim. Jesika menutup laptopnya dan beranjak pergi menuju tenda tidur.
Beberapa rekan kerjanya sudah tertidur pulas, sedangkan Jesika masih tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit tenda dan berpikir sejenak.
"Andai saja aku mengenalmu lebih dulu, Daniel. Mungkin sekarang kita sudah menikah dan hidup bahagia. Tapi, Dissa sudah menghancurkan impianku. Wanita itu tidak pantas menjadi pendamping hidupmu, Daniel. Akulah yang pantas hidup bersamamu. Akan ku pastikan kalian tidak akan bisa bersatu karena aku sendiri yang akan memisahkan kalian." gumam Jesika.
Budi merasa haus. Dia terbangun dari tidurnya dan berjalan menuju tenda bagian konsumsi. Namun, sebelum menuju ke tempat tujuan, tanpa sengaja ia mendengar suara yang sangat familiar. Dia berjalan menuju sumber suara.
"Aku tidak menyangka, ternyata, kamu adalah wanita yang berhati iblis, Jesika. Kini kamu bisa melakukan apa pun sesuka hati, tetapi nanti aku yang akan menghalangimu. Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hubungan Daniel dan Dissa," ucapnya dengan tatapan marah.
***
Dissa dan keluarganya baru saja selesai makan malam. Dia membereskan sisa makanan di meja makan.
"Nyonya, biar saya saja yang mengangkat piring kotor ini. Lebih baik Nyonya langsung istirahat saja." Bi Marni mengambil piring kotor dari tangan Dissa, tetapi wanita itu menolak.
"Biarlah, Bi. Tidak usah. Bibi cukup bantu bawa gelas itu saja." Mata Bi Marni mengikuti jari Dissa yang mengarah pada beberapa gelas berisi jus di atas meja makan.
"Baik, Nyonya." Bi Marni mengambil satu per satu gelas di atas meja dan membawanya ke dapur.
Setelah membantu Bi Marni membersihkan piring dan gelas yang kotor, kini Dissa kembali ke meja makan untuk mengambil beberapa buah untuk dimakan sebagai cemilan di dalam kamarnya.
Ponsel Dissa di meja makan bergetar, menandakan ada pesan masuk. Dissa melihat ada pemberitahuan pesan masuk, tetapi nomor itu tidak dikenalinya.
“Sebenarnya, apa yang sedang kamu lakukan di sana?” gumam Dissa.
Beberapa kali terdengar suara ledakan dan tembakan beruntun di sekitar pemukiman warga pengungsian. "Sepertinya, ada suara ribut yang tidak biasa." Daniel hendak melangkah keluar, tetapi tangannya ditahan oleh Jesika.
"Daniel, kamu mau ke mana? Tunggu kami selesai sarapan dulu."
"Baiklah, aku akan menunggu kalian." Daniel kembali duduk, tetapi hatinya sangat cemas.
"Sepertinya, sudah terjadi kekacauan di luar sana. Kita harus cepat bergerak."
Budi dan Jesika segera menghabiskan sarapan mereka. Setelah selesai, mereka bertiga bergegas ke luar tenda.
Tiba-tiba, suara tembakan dan ledakan kembali terdengar. "Ayo, kita harus cepat! Warga-warga di pengungsian sangat membutuhkan bantuan kita," ujar Daniel.
...***Jangan Lupa dukung cerita ini ya, dengan cara mengklik vote, rate, like dan beri komentar ya pada cerita ini*...
...*Untuk mengetahui episode selanjutnya silahkan follow aku juga ya supaya aku lebih semangat up ceritanya***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!