NovelToon NovelToon

Jalan Pulang

1. kontrakan

Deritan rel beradu dengan roda besi begitu menyayat hati. Deritannya seakan menceritakan kelelahannya menempuh perjalan jauh menuju ke kota pelajar. Seolah membutuhkan sebuah pijatan keurat-urat  yang mulai berkarat atau hanya sekedar membutuhkan teman untuk curhat. Namun hanya tumbuhan perdu liar disamping rel yang mampu memahami ini, ia akan melambai-lambai ketika kereta datang dengan cepatnya. Sementara krikil-krikil tajam hanya diam membisu memperhatikan kelakuan antara perdu dan kereta ini. bukan bermaksud cuek, ia hanya sedang menahan panasnya sengatan matahari siang ini. sungguh terik nian jogja akhir-akhir ini, panasnya menyengat menembus pori-pori...

Di dalam sebuah rumah kontrakan, tidak jauh dari rel kereta api, beberapa mahasiswa baru pulang dari kampusnya, atau lebih tepatnya merehatkan badan untuk menunggu mata kuliah selanjutnya. Hazri duduk di depan pintu, kedua kakinya diselonjorkan di samping sepatu yang lain. Tas tergeletak disampingnya yang nampak ringan, ya memang tas itu hanya berisi satu buku dan satu pena, tak sesuai dengan volume tas yang besar. Dari sela asap rokok, dia mengamati Sodik yang sedang semangatnya bercerita dengan nada kesal tentang anggota baru organisasinya.

“Goblok! benar mereka, otaknya pada dungu macam keledai.!” Cerocos Sodik menggelegar. “Kalau generasi penerus kayak mereka semua, bubarlah ini organisasi !”

Buk!kaki kanan Sodik menendang helm yang berada disampingnya. Menggelinding dan copotlah kaca helm itu, dasar helm KW yang kualitasnya memang dipertanyakan. Helm itu kebetulan milik anggota yang baru. Yang punya hanya diam, walau diam si punya helm kelihatan kesal kepada Sodik. Tapi apa boleh buat nyali yang berbicara.

“Kampret! Kalau nanti mereka masih tidak becus, lihat saja nanti!” bentakan Sodik makin tinggi, marah betul kayaknya dia. Kini kaki kirinya siap menendang helm yang tadi menggelinding. Namun dengan cekatan yang punya langsung mengambil dan menggelindingkan helmnya kesalah satu ruangan kamar. Sodik menatap tajam yang punya helm. “Kasihan helmnya, Bang,..Hehehe”. Sodik hanya mendengus kesal. Sebatang rokok disulut, lalu diisap dalam-dalam untuk menurunkan emosinya.

Hazri masih diam, tenang sekali dia. Asap rokoknya pun ikutan tenang keluar dari mulut dan hidungnya. Berbeda dengan Sodik yang sudah menyulut rokok keduanya, seperti orang lapar saja dia, asap rokoknya sambung menyambung macam kereta api tempo dulu.

“Anak baru perlu ditraning lagi bang, biar nggak pada goblok.” Pentolan organisasi itu berujar sambil mengeluarkan rokok yang ketiga dari bungkusnya.

“Diikk...Sodik...., kapan berubahnya kau ini? Dari zaman Junaeidi sampai sekarang sama saja. Menggerutu, ngedumel, ngomel...” Hazri geleng-geleng.

Sodik terpaksa nyengir. “Mau gimana lagi bang, anak-anak baru itu aneh semua. Nyombongin organisasi, giliran suruh tampil pada melempem semua.”

“Ah, biangnya lebih aneh lagi..” timpal Hazri. “Tapi kalau kau mau istirahat nggak mikirin mereka besok bisa aku ganti dengan yang lain, mau?”

“Janganlah, Bang. Masih sanggup nih pikiran dan batin untuk menghadapi mereka, Hehehe....”

Mereka pun tertawa ringan, termasuk yang punya helm korban tendangan Sodik.

“Panas bener nih Jogja...” kata Sambil mengibas-ngibaskan kemejanya.

“Enaknya ngapain ya?” pancing Hazri kemudian.

“Mabuk, hehehe..,” Sodik cengengesan.

“Siang-siang gini?”

Sodik mengangguk cepat sambil terus cengengesan.

“Nanti kuliah bau alkohol loh.”

“Halah, mau bau alkohol, bau parfum nggak ngaruh sama dosennya. Mana berani mereka sama kita, Bang.”

Hazri tersenyum.

“Ya sudah..., Sono mabuk, ambil nih uang. Ajak anak baru. Kasihan mereka yang cari modal. Anggap saja sebagai ucapan selamat datang!”

Wajah Sodik terlihat sumringah. “Sekarang, Bang?” dia bertanya sambil mengambil uang yang diberikan Ha’zri.

“Tahun depan...

“Laksanakan, Bang... Hehehe”

Sodik segera mengarahkan pandangannya mencari  Najib si pemilik helm.

Soal mabuk, Sodik dan anak buahnya memang paling semangat diantara anak buah Hazri lainnya dalam organisasi Kopen. Dimana pun, dan kapan pun, asal ada kesempatan....bakalan jadi. Kalau bisa, maunya mabuk terus mereka.

“Jib...Najib sini cepet.” Panggil Sodik dengan nada tinggi

Hazri hanya geleng-geleng kepala. Itulah Sodik, salah satu ketua wilayah Kopen  yang tidak punya bakat sunyi. Urat lehernya ngegas terus.

“Kemana tuh anak, Jib...Najib” panggil Sodik sekali lagi.

Najib bergegas menghampiri Sodik yang hendak berdiri mencarinya . Sambil memasang jaketnya, dia berlari lari kecil. “Sebentar bang,....sebentar,” serunya tersendat-sendat.

“Sorry bang, tadi siap-siap mau ke kampus...” jawab Najib sambil menarik resleting jaketnya. Sreet!... berhasil.

“Jam berapa ini kau mau ke kampus, lawong mata kuliahnya masih setengah jam lagi..?” bentak Sodik. “Cari ayam kampus nih anak”

Najib meringis menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. “Ada apa sih, Bang ?”

“Apa...apaan lagi.., Cari minum...!.” Sodik menyodorkan uang ke Najib.

Mendengar kata minum, wajah Najib langsung sumringah. Lalu cekikikan sendiri tanpa sebab yang jelas. Melihat ini, Sodik terpaksa ikut terkekeh. Bagaimana tidak? Diamnya saja wajah nih anak saja sudah buat ketawa, apalagi saat terkekeh seperti ini.

“Vodka buat, Bang Hazri, lainnya biasa, yang penting dingin dan menyegarkan.”

Setelah menerima uang dan penjelasan dari Sodik, Najib belum beranjak.

“Hee...nunggu apa lagi!.” Bentak Sodik.

“Sekarang bang?” Nampak Najib masih bingung.

“Tahun depan...Ya sekarang lah,,,” Sodik pura-pura marah.

Dengan cekatan Najib berlari mengambil sandal menuju salah satu warung dipojok jalan. Sangking paniknya dia tidak sadar kalau sandal yang dia pakek tidak sama. Hazri tersenyum lebar melihat kedau anggotanya ini, sementara Sodik terus terpingkal-pingkal.

Pada akhirnya, acara mabuk itu pun terlaksana. Dari tempat ia duduk, Hazri mengamati Sodik dan anak buah  lainnya yang sedang teler siang bolong. Anak baru pun ada disana setelah mendapat SMS dari ketua wilayahnya itu. Sebenarnya ada 8 orang lagi yang tinggal dikontrakan ini, namun kayaknya mereka masih ada urusan di kampus sehingga mengurungkan niat untuk rehat di kontrakan yang mereka sewa ini.

Hazri tersenyum melihat keakraban Sodik dan anak buahnya. Meskipun jabatan mereka berbeda, namun saat acara mabuk seperti ini, hilang strata sosial itu. Ditatapnya lekat beberapa pemuda anggota baru itu, kira-kira seperti itulah dia dulu waktu pertama datang ke Jogja untuk belajar. Empat tahun yang lalu.

Lamat-lamat pikirannya menerawang ke masa-masa itu...

Sekedar info

Batang rel terbuat dari besi ataupun baja bertekanan tinggi, dan juga mengandung karbon, mangan, dan silikon. Batang rel khusus dibuat agar dapat menahan beban berat (axle load) dari rangkaian KA yang berjalan di atasnya

2. rumah

Sore menjelang maghrib, matahari tengah bersiap merehatkan diri setelah seharian begitu terik menyinari. Semburat jingga memenuhi langit biru di ufuk barat menyanjikan sebuah lukisan alam yang begitu elok nan indah. Senja selalu menyimpan kenangan akan kehadirannya.

Hazri membersihkan kandang kelinci serta memberi makan berupa rumput yang sempat dia cari sewaktu pulang sekolah tadi. Tak lupa dia menghitung kembali kelinci-kelinci peliharaannya. Ada sekitar sepuluh ekor kelinci sekarang. Beres dengan kelinci, Hazri beranjak ke kamar mandi. Langkah kakinya pelan dengan kepala sedikit menunduk. Sudah beberapa hari dia memikirkan cara untuk menyampaikan niat ke ibunya. Tapi, belum juga ketemu hingga saat ini. Buntu rasanya, padahal biasanya begitu mudah.

Di dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi, tampak Maemunah, ibunya, sedang menanak nasi serta menggoreng tempe untuk makan malam nanti. Saudara kembarnya, Faiq dan Usi, turut ikut membantu mengiris sayuran dan menyiapkan sambal. Menu malam ini sepertinya gorengan tempe, rebusan sayur dan tentunya sambal terasi. Hazri menatap mereka sejenak lalu menghela napas dengan berat.

Pokoknya malam ini niatnya harus tersampaikan ke ibu, batin Hazri. Mumpung formulir telah dia dapat tadi waktu di sekolah. Masalahnya, kalau niat Hazri tertunda lagi untuk disampaikan ke ibunya, maka dia akan kalah cepat dengan yang lain dan berakhir tidak diterima. Pemuda kampung ini memejamkan mata, mengumpulkan segenap keyakinan diri.

Matahari perlahan-lahan semakin surut, giliran nyamuk-nyamuk yang mulai bermunculan berkerubut semakin banyak. Sayup-sayup terdengar adzan maghrib berkumandang disalah satu langgar yang kemudian diikuti dengan langgar lainnya. Begitu syahdu saling bersahutan. Hazri pun mengambil air wudhu kemudian berangkat ke langgar untuk sholat berjamaah...

Usai sholat maghrib berjamaah, dia beranjak ke meja makan. Disitu sudah ada ibu, bapak, serta saudara kembarnya, lengkap. Mereka terbiasa makan malam selepas maghrib. Dengan lauk tempe goreng, sambal terasi dan tidak lupa lalapan berupa rebusan sayur kangkung yang dipetik ibunya waktu pergi ke sungai tadi. Begitu nikmat menu sederhana ini, mereka pun menyantapnya dengan lahap. Mereka larut dengan suasana penuh keakraban ini, sesekali ngobrol bahkan bersanda gurau. Namun malam ini semuanya menikmati makanan dengan diam tidak banyak bicara. Seakan begitu pas dengan suasana hati Hazri yang kalut.

Setelah makan malam, seperti biasa si kembar telah siap dengan buku iqro’nya masing-masing, mengantri minta diajari bapak mengaji. Sudah menjadi kebiasaan di kampung Hazri kalau selepas maghrib anak-anak  akan belajar mengaji terlebih dahulu sebelum nanti belajar umum atau mengerjakan PR mereka. Maka tidak heran jika selepas maghrib setiap rumah akan terdengar lamat-lamat suara anak-anak mengaji bersahutan dengan suara jangkrik yang tak mau kalah eksis malam ini.

“Nggak ngaji, Hazri?” tanya Tuginah.

“Libur dulu Mak, agak capek badannya....”

“Ngaji kok peke libur toh Hazri?”

Hazri hanya nyengir mendapat sindiran dari ibunya.

Hazri membantu ibunya mengangkat piring kotor bekas makan mereka ke tempat cuci piring disebalah kamar mandi. Hazri mengisi ember dengan air sampai penuh, lalu ikut berjongkok membantu ibunya membilas piring. Senyap, hanya ada suara jangkrik yang kini ditemani tengkorek berdayu-dayu bunyinya, sementara suara anak-anak mengaji mulai berkurang. Hanya suara si kembar yang terdengar jelas mengeja huruf-huruf hijaiyah dari dalam rumah. Setelah hening cukup lama, akhirnya Hazri memberanikan diri untuk menyampaikan niat le ibunya.

“Mak...aku mau ke Jogja....,” ujar Hazri pelan

Maemunah berhenti sejenak, menatap Hazri anak laki-lakinya ini dengan lekat-lekat, lalu melanjutkan pekerjaannya.

“Boleh, Mak?” tanya Hazri sekali lagi

“Mau apa kamu ke Jogja?” suara Maemunah terdengar parau

“Kuliah. Aku mau melanjutkan belajarku ke tingkat yang lebih tinggi lagi, Mak, katanya di Jogja tempat kuliahnya bagus-bagus...,” Hazri menyampaikan alasannya dengan hati-hati. Dia sadar kondisi fisik ibunya tak lagi mudah. Tenaganya tak sekuat sewaktu muda dulu, ditambah sekarang ibunya harus menjadi tulang punggung keluarga setelah bapaknya kena PHK.

Maemunah terdiam. Ia terus melanjutkan mencuci piring-piring kotor.

“Nanti kalau aku lulus kan bisa menjadi kebanggaan keluarga, terlebih nanti kalau nyari kerja lebih mudah soalnya ada ijazah yang lebih tinggi...”

Terdengar isak tangis tertahan, tapi Maemunah masih diam. Hanya butiran bening yang nampak menggantung di kedau kelopak matanya.

“Boleh ya, Mak?”

“Andaikan Emak bisa mengabulkan permintaanmu ini Hazri, tapi kondisi ekonomi kita yang terbatas...”

Akhirnya tumpah juga air mata perempuan ini. mengalir mengikuti setiap lekuk wajahnya yang mulai ada keriput disudut-sudutnya.

Kerongkongan Hazri tiba-tiba terasa kering. Dia paham betul tentang kondisi ekonomi keluarganya saat ini. Dulu sewaktu bapaknya masih bekerja sebagai tukang sapu salah satu universitas keadaan ekonomi keluarga Hazri masih tertolong, namun setelah bapaknya terkena PHK kondisi ekonomi keluarga ini mulai seret. Hingga akhirnya Maemunah bertekat untuk jualan sayur keliling kampung. Itupun belum cukup untuk merubah nasib mereka. Uang hasil jualan hanya  cukup untuk membayar uang sekolah si kembar yang kini masih dudu di kelas empat sekolah dasar. Sementara sisanya hanya cukup untuk membeli beras dan sedikit lauk untuk teman makan. Uang dari mana lagi jika harus ditambah membiayai kuliah Hazri. Belum lagi nanti untuk biaya kos, makan dan lain-lain sewaktu di Jogja.

“Maaf nak, Emak belum bisa mengabulkan permintaanmu ini...” suara Maemunah semakin parau karena tercampur isak tangis.

Hazri hanya bisa diam, ia tidak sanggup lagi melanjutkan permintaannya untuk pergi ke Jogja. Bola mata Hazri lamat-lamat ikut kabur tertutup air mata yang hampir tumpah....

Sekedar info

Beberapa desa masihmempertahankan budaya mengaji selepas maghrib hingga sekarang. Metode belajar mereka bukan menjadikan anaknya pintar, akan tetapi untuk memperbaiki tutur kata dan budi pekerti.

3. kamar

“Dik, Bang Hazri di sini?” Romi tiba-tiba ada di sebelah Sodik. Nampak begitu lesu dan banyak pikirannya.

“Loh, Bang? Nggak kelihatan datangnya...,” sapa Sodik. Bau alkohol menyeruak dari mulutnya saat bicara tadi.

“Bang Hazri di sini?” tanya Romi sekali lagi

“Ada di dalam kamar. Sedang istirahat kayaknya.”

Romi segera beranjak masuk ke dalam kontrakan, Sodik mengikuti dari belakang meninggalkan Najib dan anak-anak lainnya yang mulai bersiap-siap hendak berangkat ke kampus. Maklum masih mahasiswa baru jadi takut terlambat. Berbeda dengan Hazri, Sodik, dan Romi sebagai mahasiswa lama mereka lebih santai, terlambat 10-20 menit bukan soal bagi mereka.

“Ada apa, Bang?” Sodik bertanya.

Romi menggeleng. Tidak menjawab sambil terus berjalan menuju kamar yang dimaksud oleh Sodik.

Setibanya di depan kamar, Romi mengetuk pintu. “Bang...” belum ada jawaban. Hening, sepertinya sedang tidur. “Bang Hazri...”

Di dalam kamar, lamat-lamat Hazri mulai tersadar dari lamunanya.

“Bang....” pintu kembali diketuk Romi, kali ini agak sedikit lebih kencang.

“Iya, masuk...” ujar Hazri dari dalam kamar

Romi membuka pintu dan langsung masuk, Sodik masih mengikuti Romi dari belakang.

“Siang, Bang,” sapa Romi dengan nada dan ekspresi wajah yang lesu.

Hazri bangkit dari posisi tidur lalu mengangguk. “Duduk, Rom !” tanpa ikut disuruh Sodik pun mengikuti Romi untuk mengambil posisi duduk. “Ada apa Rom?”

Romi menghela napas panjang, mencoba mengeluarkan segala beban yang ada. “Begini, Bang, kayaknya kita ada sedikit masalah dengan Pak Day..”

Hazri tertegun, “Pak Day?”

Romi mengangguk cepat.

“Kau keluar dulu, Dik, ini urusannya Romi,” kata Hari kepada Sodik.

Sodik mengangguk. Dengan sigap dia keluar sambil menutup pintu.

Hazri mengambil gelas dan mengisinya dengan Vodka yang dari tadi belum disentuhnya, lalu diberikan ke Romi. Sementara Hazri mengambil rokok dan menyulutnya, dihisapnya dalam-dalam dan dikeluarkan. Asap pun membumbung memenuhi ruang ini. Tanpa menunggu perintah Romi pun mengambil rokok dan ikut menyulutnya. Maka ruangan yang tidak begitu luas dipenuhi dengan asap rokok, untungnya masih ada ventilasi yang membantu sirkulasi udara.

“Bagaimana, Rom? Ada masalah apa yang bisa kau laporkan?” Hazri mulai membuka diskusi.

“Begini, Bang, kita sudah membelikan barang elektronik bodong untuk kampus biru seperti yang dipesan Pak Day, kualitas juga sama seperti yang diminta KW 2. Bahkan sudah dikirim pula seperti perintah Abang. Anak-anak Baret yang kawal...,” Romi berhenti sejenak menghisap rokoknya, kali ini lebih santai. Hazri menunggu kelanjutannya.

“Sampai di situ urusan aman terkendali. Uang aparat sudah kukasih. Semua aparat tutup mata sampai ke kampus biru.”

Hazri sedikit bernapas lega. Tadinya dia pikir ada masalah dengan aparat yang bersangkutan. “Terus, kenapa?”

“Besoknya, berarti kemarin, aku ke kampus biru sama Ridwan mau nagih bayaran ceritanya...,” Romi memandang Hazri. “Begitu kan perintah yang Abang berikan?”

“Iya, lanjut...” jawab Hazri

“Itulah. Cuma waktu sampai di kampus biru, disana kami nggak diperbolehkan masuk...”

“Nggak boleh masuk gimana, Rom?” ekspresi wajah Hazri agak heran. Padahal untuk urusan masuk ke kampus-kampus yang ada di Jogja selama ini aman-aman saja. Asal satpamnya tahu itu anggota Kopen maka segala urusan lancar.

“Kampus Biru dijaga ketat sama anggota-anggotanya Kapri. Kami bilang hendak ketemu Pak Day, mereka malah marah-marah, pakek bentak pula. Katanya Pak Day tidak bisa diganggu untuk saat ini.”

“Kapri siapa?” tanya Hazri

“Itu loh organisasi yang dulu sempat Abang hajar karena menghalangi masuk ke kampus orange.” jawab Romi sambil meneguk minuman yang disodorkan Hazri tadi.

Hazri mengingat-ingat. “Yang anaknya pada sok jago itu?”

Romi mengangguk.

“Lah satpamnya bagaimana saat melihat ini?” tanya Hazri lagi.

“Satpamnya hanya berdiri melihat tanpa ada respon. Entah takut atau memang sudah disogok untuk tidak ikut campur.” jawab Romi menjelaskan. Rokok di tangannya sudah habis. Romi mengambil lagi kemudian menyulutnya. Sementara rokok di tangan Hazri telah habis sejak tadi, namun dia enggan untuk menyulut lagi. Dia lebih memilih memperhatikan penjelasan dari Romi.

Hazri mulai mendidih, ekspresi wajahnya menegang. “Anak kemarin sore dah sok-sokan jadi jagoan tuh Kapri...” Hazri mengumpat. “Kau bilang urusan kita nagih bayaran ke Pak Day bukan yang lainnya?”

“Sudah, Bang. Malah salah satu anggotanya ngomong katanya nggak pakai bayar-bayaran, Pak Day nggak mau bayar. Pokoknya nggak ada urusan lagi sama Kopen.”

“Brengsek!, kurang ajar betul mereka..” Hazri kesal.

“Nggak tahan aku sama Ridwan, kesal banget lihat lagaknya yang sok jago itu. kuhajar dia. Teman-temannya datang...jadi. Delapan lawan dua. Aku kesabet pisau, sementara Ridwan mengenaskan. Untung kami masih bisa kabur.”

Romi memperlihatkan beberapa luka lebam yang ada di wajah dan luka sayatan di pinggang kanannya. Lumayan parah walaupun nggak sangat. “Aku nggak apa-apa. Ridwan yang kritis.”

“Dimana dia sekarang?”

“Aku bawa ke Sarjito. Parah benar dia, kepalanya bocor kena pukulan balok kayu. Kata dokter kemungkinan dia akan gagar otak. Itu pun kalau dia bisa selamat  Bang.”

“Ha? Kurang ajar..” Hazri semakin kesal.

“Tiga anak Baret aku suruh jaga-jaga disana.” Lanjut Romi.

Hening suasana. Ruangan yang tidak begitu luas itu semakin pengap.

“Jadi, kita belum dapat duit dari Day?” Hazri menegaskan.

“Belum, Bang. Makanya aku datang kesini melapor.”

Hazri menelpon Day lewat HP. Diputus..., dicobanya lagi, diputus kembali. sampai tiga kali. “Setan alas! Kemana ****** sialan itu!” makinya sambil melihat menu WA. Kosong, tidak ada pesan masuk.

Hening kembali suasana siang ini. Hazri diam, mencoba mengingat-ingat kembali semua proses, dimulai dari awal saat dia dan Day bernegosiasi sebulan yang lalu. Tahap demi tahap diingatnya kembali, siapa tahu ada kesalahan dari pihaknya. Nihil, dia tidak menemukannya, semuanya berjalan sesuai kesepakatan. Romi juga diam sambil memainkan gelas minumannya yang sudah dia teguk separuh tadi.

“Menurutmu, siapa yang buat masalah?” tanya Hazri.

“Pak Day!” jawab Romi tegas tanpa berpikir panjang.

“Kau siap?”

“Kapan pun Abang perintah.”

“Ayo!” Hazri beranjak keluar ruangan, diikuti Romi di belakangnya.

Melihat kemunculan Hazri dengan wajah yang dingin seperti bongkahan es balok, dingin dan keras. Sodik paham bahwa bosnya ini sedang marah besar.

“Ada apa Bang?” tanya Sodik memberanikan diri.

“Dik, kita punya urusan. Kau dan anak buahmu yang ada di kontrakan ini bersiap-siaplah. Tetap waspada dan siaga. Tunggu sampai perintahku selanjutnya. Mengerti?”

“Siap, Bang,” jawab Sodik cepat. Romi di samping Hazri memberi isyarat tangan mengepal. Dia pun mengangguk paham.

“Ada yang ditanyakan?” tanya Hazri mencoba memastikan kesiapan anak buahnya ini.

Sodik menggelengkan kepala, “Jelas, Bang.”

“Oke, aku sama Romi pergi dulu.”

Sodik menganggukkan kepala diikuti dengan kepergian Hazri dan Romi. Mereka berdua menuju sepeda motor Tiger yang terpakir di depan rumah kontrakan ini. “Biar aku yang bawa Bang.” Ujar Romi. Hazri pun menyerahkan kunci motor Tiger hitamnya ke Romi.

“Ke tempat kosku dulu...”

Sekedar info

Honda Tiger 2000 pernah berjaya di masanya. Motor sport touring Honda ini lahir sebagai kasta tertinggi dari model di jajarannya setelah GL Pro dan Mega Pro. Selama masa hidupnya dengan rentang dua dasawarsa Tiger punya lima generasi. Tapi bagi pecinta Tiger klasifikasinya dibuat lebih ringkas hanya tiga, yaitu Tiger Lawas ( Tilas), Tiger Lama ( Tilam), dan Tires (Tiger Revo).

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!