NovelToon NovelToon

LELAKI PENGGANTI Season 2

KABAR BAIK VS KABAR BURUK

Hi, Readers ...

Karena banyak permintaan agar LELAKI PENGGANTI lanjut ke season 2, maka kubuatlah novel ini untuk memuaskan hati kalian.

Di sini kalian akan melihat dengan gamblang keuwuan Janu si tentara cool. Apakah dia akan tetap cool saat perempuan pujaan hati sudah dalam genggaman?

Untuk kalian yang belum baca LELAKI PENGGANTI season 1, kusarankan bacalah dulu. Sehingga kalian nggak akan merasa tersesat di part-part yang aku sajikan dalam novel ini.

Ok. Happy reading....

Jangan lupa like, komen, vote, rate 5.

...----------------...

Bandung, tiga bulan setelah pernikahan Janu dan Maira.

Udara dingin di pagi buta, membuat malas membuka mata dan menggoda untuk kembali menarik selimut tebal. Namun Maira sudah harus bangun tepat jam empat pagi. Menyiapkan sarapan, beres-beres rumah dan semua aktivitas domestik ibu rumah tangga lainnya. Jam enam tepat nanti semua harus siap. Suami dan anaknya sudah akan duduk rapi di meja makan, menikmati sarapan, selanjutnya bersiap berangkat kerja dan sekolah.

Sreet ....

Maira urung bangkit dari ranjang. Ujung piyamanya ditarik dari belakang. Perempuan itu menoleh pada Janu yang masih memejamkan mata, sementara tangannya mencengkeram baju Maira.

"Mas, lepasin!" lirih Maira berkata.

"Hmm ..., " Mata Janu sedikit terbuka. Ada senyum aneh di bibirnya. Sementara tangan masih mencengkeram baju Maira.

"Aku mau mandi dulu," lanjut Maira.

Ritual suci suami istri yang mereka lakukan semalam mengharuskan dia mandi di pagi sedingin ini.

"Masih lama kan, subuhnya?" Janu menarik baju Maira sehingga perempuan itu kembali jatuh terjerembab, di dada suaminya.

"Maas ...!" pekiknya tertahan.

Janu tak mempedulikan. Tangannya liar bermain di dada Maira.

"Ih, Mas, mau ngapain?"

"Mau nambah," jawab Janu pendek, dengan nafas yang sedikit memburu.

"Aduuh ..., semalam kan, sudah!" gerutu Maira.

"Kurang, sayang," bisik Janu di telinga Maira.

"Maas ..., aku tuh, mau masak juga, mau beres-beres, mau ....!"

Kalimat Maira terpotong ketika Janu ******* bibirnya. Lelaki itu kemudian membalikkan tubuh Maira, membuatnya terbaring di ranjang. Janu mengunci tubuh istrinya dengan kungkungan badannya yang kekar.

"Nggak usah masak. Nanti beli lauk saja!" Bibir lelaki itu beralih ke telinga Maira. "Biar Oza cepet punya adik," bisiknya.

Janu kemudian menelusuri leher jenjang Maira dengan bibirnya. Jari-jari beraksi membuka kancing piyama istrinya.

Maira mendesah ketika bibir Janu mulai beraksi di area dadanya. Setengah hati dia berontak. Antara menikmati permainan Janu dan keinginan untuk segera melakukan kewajiban rutin ibu rumah tangga. Dan pemberontakannya berakhir, saat Janu semakin liar bermain di area bawahnya.

Pagi yang dingin itu kembali mereka hangatkan dengan ritual suci suami istri.

***

Tiga bulan menikah dengan Maira, membuat Janu serasa di surga. Setiap hari yang ada hanya rasa bahagia. Sempurna rasanya, memiliki istri cantik, baik, sekaligus anak yang lucu dan pintar.

"Nanti aku nggak pulang makan siang ya, Dik. Ada tugas ke lanud Husein."

"Mau bekal makan nggak, Mas?" tanya Maira sambil menyendokkan nasi ke piring Janu.

Sejenak Janu diam. Sebenarnya sudah ada jatah makan saat dia ada tugas keluar. Tapi masakan Maira selalu membuat lidahnya ketagihan.

"Em, boleh. Sedikit saja, ya!"

"Bunda, aku juga dibuatkan bekal lauk ayam goreng, ya!" Oza tak mau kalah.

"Iyaa ...."

Setelah melepas suaminya berangkat dinas, rutinitas pagi Maira berlanjut dengan mengantar Oza ke sekolah. Sekolahnya tak begitu jauh dari rumah, masih di dalam komplek perumahan dinas juga. Oza sudah kelas satu SD, sebentar lagi naik ke kelas dua. Sejak pertama pindah ke sekolah itu, dia tak perlu ditunggui lagi. Anak pemberani itu tak pernah takut dan malu untuk bergaul dengan teman-teman barunya.

Rutinitas pagi Maira akan berakhir setelah mengantar Oza. Namun pagi ini dia tak langsung pulang. Maira mengarahkan motor menuju ke klinik kesehatan di dalam area komplek. Hasil testpack bergaris dua di dalam tasnya yang membuat perempuan itu berencana bertemu dengan dokter kandungan pagi ini. Sengaja dia tak memberi tahu Janu. Dia ingin memastikan terlebih dulu tentang kehamilannya.

"Selamat ya, Bu," ucap dokter kandungan yang beberapa waktu lalu memeriksanya.

"Jadi bener saya hamil, Dok?"

Dokter perempuan berusia paruh baya itu mengangguk sambil menebar senyum. "Kurangi aktivitas yang berat-berat, ya. Jaga asupan makan!" ucap dokter itu sambil menuliskan resep.

Sepanjang perjalanan pulang Maira tersenyum-senyum sendiri. Tiga bulan menunggu akhirnya berujung bahagia. Tak sabar rasanya menunggu Janu pulang.

Sore hari, sepasang lengan kekar tiba-tiba memeluk Maira dari belakang. Perempuan yang sedang mengaduk sayur di depan kompor itu tersentak.

"Mas!" pekiknya tanpa menoleh. "Assalamualaikum dulu, kek!"

Janu yang memeluk dari belakang tak menghiraukan. Dia sibuk menyesap aroma wangi tubuh istrinya. Mau tak mau Maira merinding dibuatnya. Perempuan itu bergidik sesaat ketika bibir basah Janu menyentuh leher belakangnya.

"Ish, nanti dilihat Oza, lho!" hardiknya.

Janu tak peduli. Dia justru membalikkan tubuh Maira, menghadap padanya. Lelaki yang masih berseragam loreng lengkap itu kemudian mencium bibir Maira.

"Oza main di luar, kan?" tanya Janu, menjeda permainannya di bibir Maira.

Belum sempat Maira menjawab, Janu sudah mengangkat tubuh istrinya.

"Mas!" pekik Maira lagi.

Janu tak mengindahkan. Dibawanya Maira masuk ke kamar.

Setelah beberapa waktu berselang, keduanya tampak sudah terbaring di ranjang. Keringat masih membanjiri kening, menandai tuntasnya penyatuan ragawi mereka.

Maira memiringkan tubuh menghadap Janu. Tangannya diletakkan di dada bidang suaminya. "Mas, aku ada kabar bahagia untukmu."

"Hem, apa itu?" Janu melingkarkan lengan di bahu Maira, menarik tubuh istrinya itu mendekat padanya. Lalu dia mulai mengusap-usap rambut Maira dan sesekali menciumnya.

Maira melepaskan pelukan Janu. Lalu dia bangkit dan berjalan menuju tasnya yang tergantung di dinding. Dari dalam tas dia keluarkan selembar kertas dan kembali pada Janu yang sekarang sudah duduk di tepi ranjang.

"Mas," Maira menyerahkan kertas hasil pemeriksaan dokter tadi pagi. "Aku hamil."

Mata Janu membulat. Mulutnya pun terbuka. Seakan tak percaya, lelaki itu bangkit dan memegang kedua bahu istrinya. "Serius?"

"Lihat saja hasil pemeriksaannya," ucap Maira dengan senyum terkembang.

Janu beralih pada kertas di tangannya. Lalu lelaki itu kembali menatap Maira dengan takjub. Sejurus kemudian dipeluk istrinya erat-erat. Diciumi wajah Maira hingga perempuan itu kesulitan bernafas.

"Alhamdulillah ... Alhamdulillah ...!"

"Mas, aku engap. Gak bisa nafas ini!" rajuk Maira.

Janu segera melepaskan pelukannya. Lelaki itu kemudian beralih mengelus perut Maira dengan lembut. Kalimat tahmid tak henti dia ucapkan.

"Kenapa nggak bilang dari tadi, sayang. Tahu gitu kan, aku akan lebih hati-hati memperlakukan kamu di ranjang."

Maira tersipu. Lalu dicubitnya hidung Janu. "Makanya mulai sekarang jangan berangasan mainnya. Yang kalem!"

Janu kembali memeluk Maira, menciumnya lagi dan lagi.

Tiba-tiba gerakan lelaki itu terhenti. Mendadak dia ingat kabar yang juga ingin disampaikan ke Maira.

Surat penugasan itu ....

Kegembiraan yang beberapa detik lalu menguasai Janu, mendadak jadi hambar. Surat penugasan ke daerah Papua yang dia terima siang tadi, seperti mata pisau tajam yang merobek lembaran indah kebahagiaan.

Haruskah kutinggalkan Maira dalam kondisi hamil seperti ini?

Janu menghela nafas. Diciumnya puncak kepala Maira dengan hati gundah.

(bersambung)

MENEBAR KABAR BAHAGIA

...Hal yang sulit dilakukan adalah mengatakan sesuatu yang akan membuat kecewa orang teristimewa....

"Dik, selama sebulan ini aku akan pulang telat terus, ya. Banyak kegiatan di kantor," kata Janu pagi itu.

Maira yang sedang mengancingkan seragam loreng Janu, menengadahkan wajah. "Kegiatan apa, Mas?"

"Seperti biasa, latihan rutin."

Janu berbohong. Sebenarnya selama sebulan ini dia harus mengikuti pra tugas sebelum nanti diberangkatkan ke Papua.

"Kok, sebulan?" tanya Maira heran.

"Iya, Dik."

"Memangnya dalam rangka apa, Mas?" Maira melanjutkan mengancingkan seragam Janu.

"Enggak, kok. Latihan rutin biasa saja."

Sebenarnya ada sedikit rasa curiga di hati Maira, namun segera dia abaikan. Bukan hanya sekarang saja dia jadi istri tentara. Jadi dia sedikit banyak tahu kegiatan-kegiatan suami di kantor. Sebelum menikah dengan Janu, Maira adalah istri Galang, adik Janu yang tentara juga. Kecelakaan pesawat telah merenggut nyawa suami pertama Maira tersebut.

Sampai detik ini Janu memang belum memberitahu Maira tentang penugasannya ke Papua. Dia tak mau merusak kebahagiaan karena kehamilan Maira. Kabar penugasan itu pastinya akan membuat Maira sangat bersedih. Mereka baru menikah selama tiga bulan. Baru hangat-hangatnya menikmati kebersamaan. Apa jadinya jika mendengar kabar kalau sebentar lagi akan berpisah? Bukan sehari dua hari, bukan sebulan dua bulan, tapi setahun lamanya.

"O iya, aku nanti mau kasih kabar ke ibu sama Karina kalau aku hamil ya, Mas?"

Kancing paling atas baju seragam Janu selesai dikancingkan Maira. Perempuan itu sekarang menatap Janu dengan mata berbinar. Tangannya masih diletakkan di dada suaminya.

Janu melingkarkan lengan di bahu Maira. "Jangan lupa kasih kabar eyang Hartini juga."

"Pasti lah!"

Janu tersenyum. Direngkuhnya Maira dalam pelukan. Tangannya mengusap-usap rambut Maira yang masih setengah basah.

"Sayang, jaga diri baik-baik, jaga kesehatan, ya!" bisiknya. "Jangan kerja yang berat-berat, jangan angkat-angkat, jangan ...."

"Iya, iyaaa ...." potong Maira. "Banyak banget pesennya!"

"Soalnya kamu suka ngeyel, bandel. Suka seenaknya saja angkat ini, angkat itu. Kalau nggak diingetin nanti pasti sudah sibuk angkat-angkat meja, geser-geser kursi!" Janu melonggarkan pelukannya. Sekarang dia menatap Maira dengan mata tajamnya.

Maira tertawa. Hobinya memang berbenah rumah. Menata ruangan-ruangan mungil di rumah dinasnya atau merawat tanaman di halaman depan. Terkadang dia harus angkat-angkat perabotan rumah atau memindahkan pot-pot bunganya. Pantas saja Janu khawatir. Takut Maira lupa ada janin yang harus dijaga.

"Siap, Komandan!" guraunya.

Kembali Janu memeluk Maira, erat. Lelaki itu seakan enggan melepaskan. Diciuminya rambut Maira.

Ah, gimana ini caranya aku memberi tahu dia?

***

Seperti kata Janu, lelaki itu pulang ketika hari sudah gelap. Maira menunggunya di teras depan. Setelah mencium tangan Janu, dia segera mengambil tas ransel suaminya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah.

"Oza, mana, Dik?"

"Ngaji, ini kan hari Rabu, jadwal dia ngaji."

Janu merebahkan tubuh di sofa depan TV. Maira segera membuka kancing baju lorengnya.

"Dik!" Janu menahan tangan Maira. "Mulai sekarang kamu jangan terlalu memanjakan aku seperti ini. Kamu harus perhatikan kesehatanmu sendiri. Jangan terlalu sibuk melayani aku."

"Tapi, Mas, ini kulakukan dengan senang hati, kok. Aku gak merasa berat sama sekali. Justru aku bahagia bisa melayani dan mengurusi kamu setiap saat."

Jani tersenyum. Mata elangnya teduh menatap Maira. Dicium kening istrinya dengan lembut.

Mungkin beberapa waktu lagi kamu tak akan bisa melayani aku, Dik. Ah, semoga pemberangkatan pasukan tidak terlalu cepat. Sehingga aku masih punya banyak waktu menikmati kebersamaan ini denganmu.

"Eh, kok, malah bengong, to?"

Janu terkesiap.

"Hayo, melamunkan apa?"

"Tentu saja melamunkan kamu, sayang," jawab Janu sambil memencet hidung Maira. "Eh, sudah jadi kasih kabar ke Jogja sama ke Karina belum?"

"Belum. Nunggu mas Janu pulang. Aku mau kasih kabar bahagia itu bareng-bareng sama kamu."

"Kenapa harus bareng?"

"Ya, biar rasa bahagianya lebih nampol," jawab Maira sambil tertawa.

Janu menggeleng-gelengkan kepala. "Oza sudah tahu belum?"

Maira menggeleng. "Nanti biar ayahnya yang kasih tahu," ucapnya dengan nada manja.

"Ya, sudah, telepon Jogja sekarang saja!"

"Eh, mandi sama makan dulu lah. Bau asem!" Maira menutup hidung sambil nyengir.

Bukannya berdiri, Janu kemudian malah memeluk Maira. "Nih, asem, nih ...!" serunya dalam derai tawa.

Maira memekik. Susah payah perempuan itu melepaskan diri dari pelukan Janu. "Jangan kenceng-kenceng. Nanti dedek bayinya kepenyet!"

Janu segera melepaskan pelukan. Lalu tangannya mengelus-elus perut Maira. "Maafkan ayah ya, Sayang," ucapnya lembut, di depan perut Maira. Lalu dikecupnya perut yang masih tampak langsing itu.

Lepas isya, mereka sudah berkumpul di ruang tengah. Oza mulai membuka bukunya.

"Za, ada PR?" tanya Janu.

"Nggak ada, Ayah."

"Coba kesini!" Janu menepuk sofa tempatnya duduk.

Oza segera bangkit dari duduknya di lantai. Anak itu kemudian duduk di sofa, di antara ayah dan bundanya.

"Oza, Oza mau nggak kalau punya adik?"

Mata anak itu berbinar. Ditatapnya wajah Janu dengan senyum terkembang. "mau, mau, Ayah!" serunya.

"Coba pegang perut bunda!"

Dengan sorot mata penuh tanya, anak itu beralih pada Maira. Tangan mungilnya menyentuh perut Maira.

"Nah, di dalam perut bunda sekarang, ada calon dedek bayinya."

"HAH! Beneran, ayah?"

Janu tersenyum.

Oza berpaling pada Maira. Beneran, Bunda?"

Maira pun mengangguk. Direngkuhnya Oza dalam pelukan. "Bener, Sayang," bisiknya lirih.

"Alhamdulillah!" pekik Oza. Dicium-cium perut bundanya dengan girang.

Maira tertawa kegelian. "Sudah, sudah, Bunda mau telepon eyang dulu!"

"Kasih tahu eyang ya, Bunda. Bilangin kalau Oza mau punya adik. Eyang Hartini juga, budhe Wulan, pakdhe Sapto, tante Karina, om Bayu!" Oza mulai mengabsen.

"Iya, sayaaang ...!"

Tak berapa lama Maira sudah menelepon ibunya, kamudian ibu Janu, berlanjut Wulan, terakhir Karina. Sepanjang pembicaraan mereka melalui telepon, yang ada hanya riuh tawa dan kegembiraan. Sesekali Oza menimpali dengan kalimat-kalimat polos dan lucunya.

Janu hanya menyaksikan mereka dengan perasaan bahagia bercampur nelangsa. Semakin tak tega rasanya memberi tahu Maira tentang penugasan ke Papua. Kebahagiaan Maira dan Oza, serta anggota keluarga besar lainnya, terlalu riuh untuk disela oleh kabar tak mengenakkan.

"Semoga kamu nanti segera menyusul ya, Rin," ucap Maira saat menelepon Karina. Adiknya itu sebulan yang lalu juga sudah menikah dengan Bayu. Dan saat ini juga sedang menanti-nanti kehamilan.

"Iya, ada nih, di sini," kata Maira, masih di telepon. Lalu handphone dia berikan kepada Janu. "Karina mau ngomong, Mas."

Janu menerima telepon genggam itu. "Halo, Rin. Ada apa?"

"Mas, kata mas Bayu, mas Janu ikut penugasan ke Papua, ya?"

Deg!

Sesaat Janu kelu. Dia tak mengira Karina sudah tahu. Mungkin saja Bayu mendengar kabar itu dari teman-teman satu lettingnya yang dinas sekantor dengan Janu.

Gimana ini. Aku harus jawab apa?

(bersambung)

// Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa like, komen, vote, rate 5, yaa ...❤️❤️❤️🙏🙏🙏 //

RENCANA JANU

"Mas, kata mas Bayu, mas Janu ikut penugasan ke Papua, ya?"

Deg!

Sesaat Janu kelu. Dia tak mengira Karina sudah tahu. Mungkin saja Bayu mendengar kabar itu dari teman-teman satu lettingnya yang dinas sekantor dengan Janu.

Gimana ini. Aku harus jawab apa?

"Oh, e ... iya, Rin. Sebentar, ya!" Janu menoleh sejenak pada Maira. Istrinya itu tampak sedang menemani Oza belajar. "Dik, bisa minta tolong bikinin teh?" tanyanya.

Tanpa menjawab, Maira mengangguk dan beranjak ke dapur.

Janu pun berdiri dan berjalan ke arah teras.

"Mas Janu?" suara Karina dari seberang.

"Iya, sebentar." Sampai di teras Janu kembali bicara. "Rin, aku belum memberi tahu Maira."

"Wah, jadi mbak Maira belum tahu? Untung aku tadi nggak keceplosan. Jadi bener mas Janu ikut penugasan?"

"Iya, Rin."

"Yah, padahal mbak Maira lagi hamil muda gitu," sesal Karina. "Kapan berangkat, Mas?"

"Belum tahu. Ini lagi pra tugas."

"Tapi sebaiknya mbak Maira segera diberi tahu saja, Mas. Takutnya kalau nanti dekat pemberangkatan, mbak Maira malah belum siap."

"Iya, Rin. Ini lagi nyari waktu yang tepat."

Pintu rumah dibuka dari dalam. Maira keluar sambil membawa segelas teh panas.

"Eh, Bayu kemana, Rin?" Cepat-cepat Janu mengalihkan pembicaraan.

"Lagi naik piket. Ada mbak Maira ya, Mas?"

"Iya."

"Ya, udah, deh. Tutup dulu, ya. Mudah-mudahan nanti mbak Maira nggak terlalu sedih mendengar kabar dari mas Janu."

"Iya, Rin. Ya, sudah, salam buat Bayu, ya."

"Oke, Mas. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."a

Janu memutus sambungan telepon. Lalu beralih pada Maira yang sudah duduk menunggu di kursi teras.

"Kok, teleponnya pindah ke depan, sih, Mas?"

"Takut mengganggu belajarnya Oza, sayang," jawab Janu berbohong.

Karina ngomong apa tadi?"

"Nggak ngomong apa-apa."

Seketika Janu sadar kalau maira curiga, saat melihat kerut di kening istrinya. "Cuma nanya kabar sama nanyain gimana resepnya bisa cespleng menghamili kamu."

"Auw ...!" Sebuah cubitan sayang mendarat di pinggang Janu.

***

Saat istirahat siang, Janu mendapat telepon dari Bayu. Lelaki itu melihat sejenak jam di pergelangan tangan. Masih cukup waktu untuk menjawab telepon sebelum kegiatan selanjutnya.

Masa pra tugas memang sangat padat kegiatan latihan dan pembekalan. Latihan fisik, latihan nembak, pembekalan informasi seputar tugas mereka kelak di sana.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Bang. Gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah baik, Yu."

"Bang, tentang tugas ke Papua, jadi benar Abang memang ke plot?"

"Iya, Yu. Kamu dengar dari siapa?"

"Dari Rian, yunior Abang di situ."

"Oh, iya, dia juga ke plot."

"Bang, mbak Maira bener belum Abang kasih tahu?"

"Belum, Yu," jawab Janu tak bersemangat.

"Sebaiknya segera dikasih tahu saja, Bang. Toh, mbak Maira sudah pengalaman jadi istri tentara. Aku yakin dia pasti siap."

"Iya, dia memang berpengalaman jadi istri tentara. Tapi aku kan, belum berpengalaman kasih kabar penugasan ke istri, Yu!"

Bayu tertawa. "Ha-ha-ha, jadi selama ini yang takut justru Abang?"

"Bukan takut, Yu, khawatir membuat dia kecewa."

Bayu menuntaskan sisa tawanya. "Sudahlah, Bang, nggak apa-apa. Segera saja kasih tahu dia!"

"Iya, Yu. Eh, weekend nanti kamu sama Karina bisa ke Bandung nggak?"

"Kenapa memangnya, Bang?"

"Aku mau nitip Oza."

"Lhah, Abang sama mbak Maira mau kemana."

Sejenak Janu terdiam. Sebuah rencana sudah dia susun semalam.

"Aku mau ajak Maira menginap di Dago."

"Wuih, bulan madu kedua, Bang?"

"Bukan gitu, Yu. Aku mau kasih tahu kabar penugasan itu saat kami sedang dalam situasi yang menyenangkan. Aku rasa, liburan di Dago bisa sedikit meredam rasa kecewanya nanti."

"Tapi Abang kan, sedang pra tugas. Apa bisa dapat libur weekend nanti?"

"Bisa sepertinya, Yu. Pra tugas cuma di Mako saja, kok. Jadwal kegiatannya di hari kerja saja."

"Oke, siap, Bang. Akhir minggu nanti kami meluncur ke Bandung."

Malam harinya Janu menyampaikan rencana liburan ke Dago pada Maira. Istrinya itu pada awalnya menolak jika harus meninggalkan Oza. Dia ingin mengajak serta anaknya itu jika memang akan liburan.

"Nanti Bayu dan Karina kesini, kok, sayang. Mereka yang akan menjaga Oza."

"Tapi, Mas, kenapa hanya berdua. Kenapa Oza nggak diajak saja?"

"Lain kali kita ajak Oza. Sekarang aku mau kita berdua saja. Itung-itung untuk bulan madu yang belum pernah kita lakukan. Iya, kan?"

Maira tak sanggup menolak lagi. Semenjak pernikahan mereka tiga bulan lalu, Maira dan Janu memang belum pernah menikmati liburan berdua saja. Jika menginap ke luar kota, mereka selalu mengajak Oza.

Mungkin mas Janu memang merindukan kebersamaan kami berdua saja.

Rencana menginap di Dago berjalan lancar. Oza juga tak rewel saat diberi tahu akan ditinggal. Kabar bahwa Bayu dan Karina akan menemaninya membuat anak itu sangat bersemangat. Sudah lama dia tak bertemu dengan om dan tantenya itu.

Malam Sabtu, Bayu dan Karina sudah sampai di Bandung. Padahal Janu dan Maira baru akan berangkat hari Sabtu. Tapi sepasang pengantin baru itu tak sabar ingin segera bertemu Oza.

"Kami berangkatnya masih besok siang, lho, Rin. Kok, sudah kesini sekarang?" tanya Maira setelah menyambut kedatangan adik dan iparnya.

"Ya, nggak apa-apa. Memangnya kenapa?" Karina mencibir, dengan muka manja.

Maira mengacak rambut adiknya, gemas. Karina segera berkelit lalu berbalik menggelitik pinggang kakaknya. Jadilah malam yang mulai larut itu riuh oleh canda mereka.

"Heh, sudah malam. Dimarahin tetangga lho, nanti!" hardik Bayu. "Ini rumah dinas, saling berdempetan. Jangan disamakan dengan habitat asli kalian, ya!" ledeknya.

Karina dan Maira sama-sama mendelik. Lalu mereka berdua kompak menggelitik Bayu. Lelaki itu berteriak kegelian, lalu lari ke kamar Oza.

Janu cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, melihat cara mereka saling melepas rindu. Cara 'barbar' yang menandakan kedekatan antar saudara.

"Sudah, sudah, sebaiknya kamu segera istirahat, Rin. Tidur sama aku saja!" ajak Maira.

"Nggak mau, ah. Masa tidur diantara mbak dan mas Janu!"

"Hih!" Maira gemas. "Ya, enggak lah! Mas Janu biar tidur di sofa."

"Nggak mau, aku mau tidur di kamar Oza saja!"

"Sempit, lho. Kan, sudah ada Bayu di sana." Janu memperingatkan.

"Nggak apa-apa. Lebih sempit, lebih hangat!" ujar Karina seenaknya. Perempuan itu kemudian ngeloyor masuk ke kamar Oza. Dia ingin memberi surprise pada keponakannya itu saat Oza bangun besok pagi.

***

"Mbak berangkat pagi ini saja. Biar puas menikmati suasana di sana!" ujar Karina pagi ini.

"Enggak ah, nanti agak siangan saja, atau sore sekalian."

"Dih, sore?" Karina mencibir. "Sampai sana cuma tidur, terus bangun, terus pulang! Kalau gitu, ngapain jauh-jauh ke Dago? Mending kelonan di rumah saja, gratis!"

"Hush!" hardik Maira, memperingatkan kecablakan adiknya.

Karina cuma nyengir sambil berlalu ke halaman depan. Di sana Oza sudah riuh bermain dan bercanda dengan om Bayunya.

"Bener juga apa yang dikatakan Karina," ucap Janu yang baru keluar dari kamar mandi. Lelaki itu sedang mengusap-usap rambutnya dengan handuk.

"Apa, sih, Mas. Nguping, ya?"

Janu menyeringai. "Kita berangkat pagi aja, yuk!"

"Ih, nanti kelamaan lah, di sana!"

"Kelamaan kalau sama kamu kan, bikin betah," goda Janu. Lelaki itu kemudian memeluk Maira dari belakang.

Entah kenapa setiap melihat Maira memasak di depan kompor, dengan rambut diikat ke belakang, menampakkan leher jenjang dan anak-anak rambut yang lepas dari ikatan, Janu selalu tergoda untuk memeluknya. Diciumnya belakang telinga Maira, membuat perempuan itu bergidik sesaat menahan geli dan denyar nikmat di seluruh sel tubuhnya.

"Duuuh ..., makanya kubilang berangkat pagi aja!"

Seruan Karina mengagetkan mereka. Janu segera melepaskan pelukannya. Dengan canggung, lelaki itu kembali mengusap-usapkan handuk ke rambutnya.

"Di sini kalau ngebucin banyak yang lihat. Di sana mau ngebucin sepuasnya gak bakalan ada yang komentar!" lanjut Karina.

Maira melotot ke arah adiknya. Tetapi Karina tak peduli. Dengan paksa diambil alih spatula dari tangan kakaknya.

"Sudah sana, siap-siap dulu, terus berangkat!" omel Karina.

Maira dan Janu saling berpandangan, hingga akhirnya Karina mendorong mereka keluar dari dapur.

"Ish ish ish ..., ngebucinnya ngalah-ngalahin pengantin baru saja!" gerutu Karina.

(bersambung)

// Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa like, komen, vote, rate 5, yaa ...❤️❤️❤️🙏🙏🙏 //

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!