NovelToon NovelToon

Sangkar Cinta Dosen Muda

Bab 1

Laura tak berhenti memandang tubuhnya di depan cermin, memastikan apakah penampilannya sudah cukup baik atau tidak untuk segera berangkat ke kampus.

Ini adalah tahun pertama ia memulai kehidupan baru menjadi seorang mahasiswi di salah satu universitas di Bandung. Setelah menuntaskan masa orientasi siswa, kini saatnya Laura memulai perkuliahannya.

"Hai, aku Rena." sapa seorang wanita sebayanya yang duduk di samping Laura.

"Laura." balas Laura tersenyum ramah.

"Aku tahu." ucap Rena santai. "Mereka membicarakanmu sejak MOS (Masa Orientasi Siswa) kemarin." Rena menunjuk pada sekumpulan lelaki yang duduk di belakang dengan ibu jarinya tanpa menengokkan kepala.

Mata Laura terbelalak, dia mencondongkan badannya pada Rena.

"Apa yang mereka bicarakan tentangku?" tanyanya berbisik penasaran.

Rena tersenyum melihat ketidaktahuan Laura yang begitu lugu dimatanya. Wanita cantik ini tak sadar telah menjadi buah bibir dan pusat perhatian kaum adam.

"Kecantikkanmu yang mereka bicarakan." ucap Rena tak kalah berbisik. Dan berhasil membuat wajah Laura merona karna malu.

Laura menegakkan kembali badannya, menghadap ke arah depan. Sedikit canggung dengan ucapan Rena. Dia merasa tak nyaman dengan pujian orang terhadap kecantikannya.

"Kau tak merasa menjadi primadona saat MOS kemarin?" tanya Rena mencondongkan tubuhnya ke arah Laura.

"Tidak. Apa bagusnya menjadi primadona?" jawab Laura cuek.

Wajah putih bersih, hidung mancung yang ramping, ditambah bibir yang mungil serta mata bulat dengan bulu mata lentik, hasil perpaduan ayahnya yang memiliki darah turki dan ibunya berdarah sunda sudah pasti berhasil membuat siapapun yang menatap Laura menganggap Ia adalah gadis yang cantik.

Hal itulah yang membuat Laura dijuluki primadona kampus oleh teman-temannya. Namun bagi Laura sendiri, pendapat teman-temannya yang mengkultuskan dirinya sebagai primadona kampus tidak berarti apapun. Dia tampak tak peduli, karna bagi Laura terkadang kecantikan justru akan menjadi bumerang sendiri bagi dirinya.

Pikiran itu tidak muncul begitu saja dari kepala Laura, dia berpikir begitu karna ia pernah hampir menjadi korban pelecehan seksual di sekolahnya dulu. Saat itu ada teman lelaki disekolahnya yang menyukai Laura, namun ketika Laura mencoba menolaknya, lelaki itu tak terima hingga ingin memaksakan kehendaknya pada Laura saat jam pulang sekolah. Untungnya hal itu tak terjadi, karna penjaga sekolah berhasil memergoki aksi lelaki itu. Dan menyelamatkan Laura dari aksi rudal paksa.

"Kau lucu Laura, saat wanita lain ingin sekali dipuja-puja lelaki lain karna kecantikan parasnya, kau malah tampak tidak peduli dengan puja puji mereka atas dirimu." Rena tersenyum tipis menatap heran Laura.

"Kau tidak tahu, wajah yang cantik itu terkadang bisa menjadi racun bagi dirimu." ucap Laura membalas tatapan Rena. "Berapa banyak lelaki mesum yang ingin menggagahi wanita cantik? Berapa banyak juga wanita cantik yang harus berakhir menjadi musuh bersama bagi wanita-wanita lain yang iri hati padanya?" Laura merasa harus menjelaskan dampak buruk dari wajah yang dipuja puji para lelaki itu.

"Semua itu karna wajah ini? Yang mereka pikir cantik" Laura melingkari wajahnya dengan telunjuknya.

"Baiklah, terserah apapun yang kau pikirkan." Rena cukup terkesima mendengar penuturan Laura. "Yang lebih penting dari itu, mari kita berteman." Rena mengulurkan tangannya tulus ingin berhubungan baik dengan Laura.

Seketika Laura tersenyum hangat menatap lembut pada Rena. Ia menerima uluran tangan Rena sebagai tanda setuju atas ajakan Rena menjadi temannya. Ini awal dia berkuliah, itu artinya awal juga bagi dirinya untuk memulai pertemanan baru dengan teman-teman di kampusnya.

Selang beberapa menit, terdengar pintu kelas yang dibuka. Seorang dosen muda berjalan dengan tas jinjing di lengan kanannya. Sementara matanya menatap dingin para mahasiswa yang telah rapi duduk di sisi kanan dan kiri ruang kelas tersebut.

"Selamat pagi semua." sapanya datar ketika sudah berada di meja dosen, dan langsung dijawab oleh semua mahasiswa yang hadir.

"Perkenalkan, saya Sabiel. Dosen mata kuliah kalian hari ini." ujarnya percaya diri. Dia berjalan sedikit lebih dekat dengan meja barisan pertama yang ada di depannya. Tangannya bergerak memasang kacamata yang tadi ia sangkutkan di sela kerah kemejanya. Dan memulai sesi perkuliahan dengan mahasiswa baru tersebut.

Terdengar suara bisik-bisik dari arah belakang Laura dan Rena, bisik-bisik itu keluar dari mulut para gadis yang sibuk membicarakan penampilan Sabiel yang terbilang masih sangat tampan dan gagah untuk lelaki seusianya.

Bisik-bisik itu terus terdengar disepanjang perkuliahan, baik Laura maupun Rena sama-sama tidak peduli, mereka membenamkan kepalanya untuk fokus pada diktat yang ada di mejanya masing-masing.

Hari pertama kuliah tanpa terasa berakhir begitu saja. Laura merenggangkan tubuhnya yang kaku, dia melihat pada Rena yang sudah siap akan beranjak dari kursinya.

"Ayo Laura." ajak Rena sembari berdiri dari duduknya.

"Oke." Laura pun ikut berdiri, mereka melangkah menuju pintu kelas.

Tanpa mereka sadari Sabiel berjalan dibelakang mereka, dia melihat Laura dan Rena berjalan bersisian. Tangan Laura bergerak untuk menguncir rambutnya yang berlurus melebih bahunya, dia merapikan beberapa helai anak rambut untuk kemudian ia satukan menjadi cempol dan di ikat ke atas. Leher jenjang yang putih bersih terlihat jelas oleh Sabiel yang berada tepat di belakangnya, ia menatap dengan pandangan datar.

"Eh tunggu Rena, sepertinya aku melupakan sesuatu di meja." Laura berhenti berjalan ketika mengingat sesuatu.

Tanpa pikir panjang, dia langsung membalikkan badannya kasar.

Buk!

Kepalanya langsung membentur dada keras seseorang. Sambil mengaduh dengan tangan yang sibuk mengusap keningnya. Ia melihat siapa yang ia tabrak barusan.

"Ah, maaf pak." ucap Laura memohon maaf pada Sabiel yang kini berada di hadapannya.

"Lain kali kau harus hati-hati ketika membalik badan." ucapnya dingin seraya berjalan meninggalkan Laura yang tampak canggung.

Rena yang melihat itu hanya terkekeh menyaksikan wajah Laura yang sempat memucat karena menabrak dosen mereka.

"Sial!" gumam Laura langsung menghampiri meja dan mengambil sesuatu yang tertinggal disana untuk kemudian keluar kelas kembali.

***

Sepulang dari kuliahnya, Laura kembali ke asrama kampus. Dia memang tinggal disana, ayah Laura belum mengijinkan ia untuk menyewa indekost sebagai tempatnya untuk tinggal.

Di asrama kampus, setiap kamar penghuninya diisi oleh dua orang mahasiswa, Laura sekamar dengan satu mahasiwa baru dari jurusan Kimia.

"Kau sudah datang?" tanya teman sekamar Laura yang bertubuh bongsor ketika Laura membuka pintu kamar.

"Seperti yang kau lihat." Laura langsung menghampiri kasurnya dan merebahkan diri disana.

Dalam satu kamar terdapat dua kasur berukuran single dengan masing-masing meja belajar di sampingnya. Sedangkan di dekat pintu, berdiri dua lemari berukuran sedang untuk menampung pakaian Laura dan Gisel, teman sekamarnya.

"Laura, akhir pekan ini akan diadakan pesta inagurasi asrama. Apa kau akan datang?" tanya Gisel menatap Laura yang sedang asik merebahkan diri.

"Bukankah itu acara khusus untuk senior?" Laura bangkit menatap temannya itu.

"Aku dengar peraturannya dirubah. Mereka mengundang mahasiswa baru untuk datang." Gisel menjelaskan.

"Oh. Aku malas, sepertinya aku akan tinggal disini saja." tolak Laura cuek.

"Aish. Aku tidak mau jika harus pergi sendiri. Aku belum mengenal siapapun disini kecuali kau." Gisel mengerucutkan bibirnya. Pandangannya kembali menatap pada diktat kuliah yang sedang ia buka kasar.

"Kita lihat saja nanti." putus Laura kembali merebahkan diri.

Malam harinya mereka berdua pergi ke ruang tv. Disana mereka melihat beberapa maba (mahasiswa baru) sedang terpekur menonton bersama. Gedung asrama terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama banyak diisi oleh kaka tingkat sama halnya dengan lantai tiga, sedangkan di lantai dua hampir semua kamar diisi oleh maba. Masing-masing lantai juga di fasilitasi ruang tv. Disinilah semua maba berkumpul dan mulai berkenalan satu sama lain.

"Oh My God, jika ada lelaki seperti itu akan aku kejar dia hingga dapat." celetuk Gisel mengomentari film yang sedang mereka tonton.

"Hey. Kalian sudah dengar berita itu?" tanya seorang maba berkacamata tebal setengah berbisik.

"Berita apa?" tanya seorang lagi.

"Gosipnya, akhir-akhir ini di sekitaran kampus sedang marak kasus hubungan mahasiswa dan dosen." ungkap maba berkacamata itu.

Seketika beberapa maba yang berada dalam ruangan langsung menengok padanya, merapatkan diri mendengarkan isu yang akan mereka dengar. Berita itu membuat mereka penasaran. Kecuali Laura, dia memilih diam tak peduli dengan gosip picisan terkait asmara dosen dan mahasiswa.

Sebenarnya gosip hubungan mahasiswa dan dosen bukan lagi cerita baru di sekitaran kampus, itu adalah cerita lama yang terus diulang dan tersebar dari mulut ke mulut.

Berawal dari kejadian tertangkap basahnya seorang dosen salah satu jurusan, yang sedang melakukan adegan vulgar di ruang perpustakaan ketika jam perkuliahan telah berakhir. Dosen yang sudah memiliki istri itu melakukan hal senonoh dengan mahasiswanya saat kondisi perpustakaan sudah tutup, namun naasnya hal itu diketahui oleh dua orang penjaga perpustakaan yang ternyata belum pulang.

Dua penjaga itu segera melaporkan perbuatan asusila sang dosen dan mahasiswa pada Dekan Jurusan. Setelah pelaporan itu, entah darimana awalnya berita asusila dosen tercium oleh orang lain, kemudian menyebar menjadi gosip kampus yang akhirnya sering dijadikan topik pembicaraan, baik di tataran dosen ataupun sesama mahasiswa.

Hingga kini, kasus itu terus saja diceritakan dari waktu ke waktu. Sedangkan dosen dan mahasiswa yang terlibat itu sudah mengundurkan diri dari kampus karna tak kuat dijadikan bahan gunjingan seluruh orang di kampus.

***

Silahkan tinggalkan Like, Koment dan Vote-nya ya 😘😘

Bab 2

Pagi yang cerah dengan langit biru yang bersih dari gumpalan awan putih. Di dalam ruangan Dekan salah satu jurusan, seorang Dekan lelaki yang sudah tua dengan beberapa keriput yang terlihat jelas di wajahnya berdiri menghadap jendela berteralis. Pandangannya datar menatap taman Dekanat yang cukup luas dari balik jendela ruangannya. Salah satu tangannya ia masukkan kedalam saku celana.

"Kau tidak akan terlibat hal seperti itu bukan, Sabiel?" tanyanya pada dosen muda yang sedang duduk di ruangannya.

"Tenang saja, saya tidak tertarik menjadi salah satu pelaku dalam gosip murahan itu." sahutnya santai.

"Bagaimana pun aku sedikit khawatir, karena kau termasuk dosen muda yang cukup tampan disini. Kau bisa dengan mudah menjadi target para mahasiswi." ucap Dekan itu sembari menghisap puntung rokoknya.

"Buang rasa khawatirmu itu pak Dekan, tidak ada yang perlu bapak khawatirkan. Saya bukan seorang lelaki yang suka terlibat dalam sebuah hubungan rumit seperti yang bapak pikirkan. Saya tidak tertarik hal-hal seperti itu."

"Aku pegang perkataanmu. Aku hanya tidak ingin selama aku masih menjadi seorang Dekan disini, terjadi kasus yang mencoreng kredibilitas jurusan kita." ujar Dekan tersebut seraya menengok pada Sabiel yang duduk di kursi tamu.

"Anda bisa percaya pada saya." ucap Sabiel yakin.

"Berhenti berbicara formal kepadaku, Sabiel." ucapnya menahan geraman mendengar bahasa formal yang Sabiel gunakan sejak tadi. "Bagaimana kabar istrimu?" tanyanya kemudian, Dekan itu berjalan menghampiri Sabiel dan duduk di kursi samping Sabiel.

Sabiel terkekeh mendengar nada protes itu. "Baik. Saat ini dia sedang ingin bekerja keluar negeri, dia ingin menerima pekerjaan di perusahaan Singapura untuk menjadi Desainer." Sabiel tampak malas untuk bercerita.

"Apa hubunganmu dengannya baik-baik saja?" Dekan itu memicingkan mata menyelidik.

Dekan yang bernama Sanjaya itu mengenal baik dosen Sabiel. Lebih tepatnya, Dekan Sanjaya adalah teman karib dari mendiang orangtua Sabiel. Orangtua Sabiel meninggal saat Sabiel sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Mereka meninggal karna kecelakaan saat hendak pergi berlibur.

Sabiel yang merupakan anak satu-satunya itu sudah menganggap Dekan Sanjaya sebagai pengganti ayahnya. Bahkan ia sering menginap di rumahnya, terutama saat orangtuanya sudah meninggal. Kedekatan Sabiel dengan Sanjaya yang layaknya ayah dan anak, membuat Sanjaya tahu pasti permasalahan apa yang terjadi dalam rumah tangga anak sahabatnya itu. Bahkan sering kali Sanjaya menyarankan Sabiel untuk berpisah dengan Istrinya saat permasalahan rumah tangganya semakin di ujung tanduk.

Intan. Wanita yang disunting Sabiel 7 tahun lalu adalah seorang wanita yang berambisi untuk terus berkarir. Dia adalah contoh seorang wanita feminis yang selalu menuntut haknya untuk mendapatkan kesempatan gemilang meraih karirnya sebagai desainer terkenal.

Sikapnya yang egois dan keras kepala sering membuat Sabiel jengah, hingga berada pada satu titik dimana ia ingin menyerah. Namun ketika Sabiel ingin menyerah akan hubungannya dengan intan, ia selalu dihantui oleh janjinya sendiri kepada mendiang ibu mertuanya untuk tidak menyerah menghadapi Intan. Sehingga untuk kesekian kalinya ia mengurungkan kembali niatnya untuk berpisah dengan istrinya itu.

"Raut wajahmu mengatakan bahwa hubunganmu masih saja tidak baik dengan dia." Sanjaya menyimpulkan ketika tidak ada respon dari Sabiel yang tampak diam terpaku.

"Bapak sudah tahu sendiri bukan?!" Sabiel menanggalkan sikap formalnya kepada Ayah angkatnya itu.

"Aku heran, 7 tahun kau berhadapan dengan istri seperti itu. Namun masih saja enggan untuk berpisah dengannya." ucap Sanjaya sembari menyodorkan kudapan di hadapan Sabiel.

"Apa dia masih tidak ingin memiliki anak?" Sanjaya bertanya serius. Dalam bola mata tersirat perasaan iba akan kondisi yang menimpa dosen muda di hadapannya itu.

Tujuh tahun menikah, Intan enggan untuk memiliki anak dengan alasan bahwa keberadaan seorang anak akan menghambat karirnya. Bahkan ketika dulu saat malam pertama, Intan dengan egoisnya telah mengkonsumsi pil KB tanpa ijin dan persetujuan Sabiel sebagai suaminya. Hal itu dikarnakan Intan memang tidak berniat memiliki anak setelah menikah, dia ingin fokus pada karirnya sebagai designer muda berbakat yang saat itu sedang dilirik oleh berbagai brand ternama.

"Entahlah, aku tidak tahu akan sampai sejauh apa ia bersikap seperti itu." Sabiel enggan mengingat-ngingat perbuatan Intan dulu terkait pil KB yang membuatnya tak kembali ke rumah dalam waktu berminggu-minggu.

"Kau gila Sabiel. Kau menghabiskan waktumu dengan percuma." Sanjaya sangat kesal dengan sikap Sabiel yang tak memutuskan berpisah saja dari Intan. "Sudah saatnya kau memikirkan kebahagiaanmu, lupakan janjimu pada mertuamu itu. Dia akan mengerti jika tahu bagaimana anaknya bersikap sebagai seorang istri." sambungnya menahan kesal di dada.

"Bagaimana kabar Ibu?" Sabiel memaksa mengubah topik pembicaraan.

"Dia baik-baik saja. Asal kau tahu Sabiel, Ibu angkatmu itu juga sama sepertiku. Dia khawatir padamu. Jika mengingat sikap Intan yang sangat jauh dari kata baik sebagai seorang istri." Sanjaya mencoba terus meyakinkan Sabiel untuk berpisah dari istrinya yang lebih mementingkan karir ketimbang perannya sebagai seorang istri.

"Sudahlah, kalian harus berhenti mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Masalah Intan, biar saja nanti akan aku urus sendiri." Sabiel menenangkan lelaki tua di hadapannya itu. Dia sadar masalah rumah tangganga sudah cukup rumit, tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuknya terus bersabar dengan semua sikap Intan. Mungkin kini saatnya ia harus melupakan janjinya pada ibu mertuanya, dan mulai memikirkan kehidupan rumahtangga bahagia dengan banyak anak-anak yang ia impikan sejak dulu.

"Aku harus kembali ke kelas. Nanti malam jika sempat, aku akan berkunjung menengok ibu." ucap Sabiel seraya berdiri dari duduknya. Di ikuti Sanjaya di belakangnya.

"Bawakan dia bunga lili, agar kau tidak perlu mendengar ceramahnya nanti." ucap Sanjaya setengah berbisik ketika ia berjalan bersisian dengan Sabiel menuju pintu ruangan. Seringai hadir di sudut bibirnya, ketika ia mengingat betapa senangnya istrinya itu pada bunga lili.

"Pasti. Bunga lili akan menjadi penyelamat telingaku." balas Sabiel sembari terkekeh menatap lembut ayah angkatnya itu.

***

"Kuliah hari ini cukup sampai disini, jika kalian ada pertanyaan. Silahkan tanyakan langsung." Sabiel menyudahi sesi kelasnya dengan baik.

Ditatapnya beberapa raut wajah siswa yang tampak kuyuh karna sejak pagi dijejali materi perkuliahan. Beberapa siswa yang duduk di baris paling belakang tampak sedang asik menggoda siswi yang duduk tepat di depannya. Entah apa yang mereka katakan hingga siswi tersebut memukul kepala mereka satu per satu dengan tas slempangnya. Di sudut lain, matanya melihat siswi yang sibuk berbicara akan rencana sepulang kuliah. Terdengar mereka menyebut salah satu tempat hits di Kota Bandung yang akhir-akhir ini sedang digandrungi muda-mudi. Kemungkinan mereka akan pergi kesana.

"Pak." seorang siswi cantik mengangkat sebelah tangannya. Siap mengajukan pertanyaan.

"Yah. Silahkan." Sabiel mempersilahkan siswi tersebut mengutarakan pertanyaannya. Seketika kondisi kelas hening, mereka ingin mendengar pula pertanyaan dari siswi cantik tersebut.

"Apa bapak sudah menikah?" tanya siswi yang tampak ragu dan malu itu. Beberapa teman di sisi kiri kanannya tampak mendukung pertanyaan siswi tersebut.

"Sudah." Sabiel menjawab singkat yang kemudian mendapat seruan kecewa dari pada siswi sekelas.

"Pasti bohong." salah seorang siswi berhodie menyangkal pernyataan Sabiel. Siswi yang lain tampak terdengar menyangkal pula.

"Saya sudah menikah." ucap Sabiel penuh penekanan sembari menunjukan cincin yang melingkar di jarinya.

"Huuuuuuhhh." sorak para siswi membahana memenuhi ruang kelas.

Hanya gadis berambut cempol yang duduk di tengah-tengah lah yang nampak tak peduli dengan pengumuman Sabiel. Matanya terpejam dengan tangan menopang dagunya. Sesekali gadis itu tampak mengangguk-nganggukkan kepala pelan. Mengikuti alunan musik yang terdengar dari headset yang ia kenakan pada telinganya.

Sorot mata Sabiel yang awas langsung tertuju pada sosok gadis itu, dia melepaskan kacamatanya sambil tetap melihat dengan seksama gadis berparas cantik tersebut. Pertanyaan serampangan mengenai istrinya yang dilontarkan beberapa siswi tak ia hiraukan. Pandangannya sudah terbius oleh sikap acuh yang diperlihatkan oleh satu siswi di kelasnya.

Tuk.

Bunyi meja diketuk. Laura membuka matanya perlahan, matanya menyusuri sosok tubuh yang berdiri menjulang dihadapannya.

"Ah.. Maafkan saya, apa kelasnya sudah selesai?!" tanya Laura. Matanya berpencar melihat hanya beberapa siswi yang masih berada di ruang kelas.

Ternyata sesi tanya jawab yang membosankan itu telah berakhir beberapa saat yang lalu.

"Apa yang sedang kau dengarkan?" Sabiel menduduki kursi di hadapan Laura. Secara sengaja ia menarik headset yang masih terselip di telinga gadis itu, dan menyelipkannya pada telinganya.

"Beethoven." ucap Laura sembari tersenyum canggung.

"Hebat sekali seleramu. Bukankah sangat jarang mahasiswi disini mendengarkan melodi klasik seperti ini?!" tanya Sabiel penuh rasa takjub.

"Sangat jarang, bukan berarti tidak ada sama sekali bukan?!" Laura menyeringai senang.

Sabiel mengangguk tanda setuju. Gadis dihadapannya tampak menyenangkan untuk diajak berbicara.

"Laura!" teriakan Rena membuat kedua orang itu menengokkan kepala melihat kearah Rena yang berdiri di ambang pintu.

"Sebentar." Laura menyahut seraya membenahi bukunya. Sementara Sabiel melepaskan headset yang ia kenakan untuk ia kembalikan pada Laura.

"Mohon maaf pak, saya pamit terlebih dulu." ucapnya sopan.

Sabiel hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun. Dia masih memperhatikan Laura melangkah keluar ruangan dan tersenyum menghampiri temannya.

"Gadis yang menarik." gumamnya dalam hati.

***

Silahkan tinggalkan Like, Koment dan Vote-nya ya 😘

Bab 3

Malam dikediaman Sabiel.

"Oke Mister, nanti saya akan kabari begitu tiba waktu keberangkatan" Intan tampak tersenyum senang berbicara dengan salah satu CEO perusahaan mode di Singapura melalui sambungan seluler.

"Kami akan sangat menanti keterlibatan anda dalam perusahaan kami." terdengar samar suara lelaki dewasa dari seberang sana.

"Baik. Terima kasih." Intan menganggukkan kepala meski seseorang disebrang sana tak melihatnya. Dia terlanjur merasa senang karna impiannya untuk menjadi seorang desainer muda berbakat di manca negara sepertinya akan ia raih sebentar lagi.

Sebenarnya Intan sudah berencana untuk pindah ke Singapura dan meniti karir disana sejak lama. Namun rencananya itu tidak berjalan mulus, karna Sabiel suaminya tidak pernah merestuinya untuk pindah ke Singapura. Hal itu membuatnya mengurungkan diri dan harus menerima untuk bekerja sebagai desainer texstil di Kota Kembang ini.

Namun beberapa waktu yang lalu, Intan menerima email dari satu perusahaan mode besar di Singapura. Mereka sempat melihat karya desain Intan di laman medsos dan tertarik untuk mengajak Intan Join di perusahaan itu. Intan yang terlalu merasa senang dan bangga, serta merta menyetujui ajakan itu tanpa merundingkannya terlebih dulu dengan Sabiel. Alhasil Sabiel marah besar padanya, sampai beberapa hari bahkan ia tak mau berbicara dengan Intan. Hingga akhirnya Intan berjanji pada Sabiel, jika ia bisa masuk dan menjadi desainer utama diperusahaan itu. Maka ia akan setuju untuk memiliki anak. Dan akhirnya Sabiel setuju.

Setelah berbicara panjang lebar dengan CEO perusahaan itu, Intan menutup ponselnya dan berbalik badan menghampiri Sabiel yang sedang duduk bersandar di kasur. Pandangannya datar menatap sebuah buku yang sedang ia baca. Sabiel mendengar obralan itu, tapi dia tidak peduli.

"Sayang, kau dengar?" Intan naik ke atas kasur dan mengambil tempat di samping Sabiel yang acuh. " Perusahaan itu ingin bertemu denganku. Mereka berharap aku setuju untuk menjadi salah satu desainer magang di perusahaannya." Senyuman bangga terbit dari bibir mungilnya.

"Sayang..." Intan merajuk ketika melihat tak ada respon dari suaminya.

"Iya aku dengar." ucap Sabiel ketus. Ia malas setiap kali Intan membicarakan tentang karirnya. Dia menganggap Intan terlalu berambisi mengejar karirnya hingga ia lupa akan kewajibannya sebagai seorang istri.

"Aku akan berangkat kesana akhir pekan ini." Intan kembali bersemangat. "Aku sudah tidak sabar ingin segera kesana." sambungnya sembari menepuk-nepuk bantal untuk ia pakai di kepalanya.

"Lalu bagaimana denganku?" tanya Sabiel menoleh pada istrinya yang bersiap untuk tidur.

"Apa maksudmu? Bukankah kau sudah menyetujui keberangkatanku?" Intan bertanya heran.

"Itu karna kau memaksaku. Bukan kemauanku." jawab Sabiel sinis. "Apa kau tidak memikirkan aku saat kau berkata ingin berkarir disana?" Sabiel geram dengan keegoisan Intan. Intan selalu saja mengedepankan karirnya daripada kewajibannya.

"Sayang, ayolah... kenapa kau tiba-tiba berbicara seperti itu?" Intan meminta Sabiel untuk mengerti.

"Kau tidak memikirkan kebutuhanku sebagai seorang suami, Intan." Sabiel menutup kasar buku yang ia baca tadi. Pandangannya sepenuhnya menatap tajam pada Intan yang mulai bangkit kembali dari tidurnya.

"Seks maksudmu?! Ya ampun sayang, jarak Bandung dan Singapura tidak terlalu jauh. Baik aku maupun kau, kita bisa saling mengunjungi satu sama lain." Intan mengemukakan solusi dari kekhawatiran Sabiel akan kebutuhannya sebagai seorang suami.

"Intan. Kita ini suami istri, apa wajar jika kita berjauh-jauhan dalam waktu yang lama? Suami tidak hanya butuh seks. Ia butuh perhatian, butuh penyemangat, butuh kasih sayang istri yang sepenuhnya." Sabiel mencoba menahan kegeramannya.

"Tapi aku sudah melakukannya." Intan mengangkat bahu santai membela dirinya.

"Aku yang merasakan Intan. Aku yang merasakan bagaimana kau bersikap kepada suamimu ini." Sabiel mendelik tak terima.

"Jadi maksudmu, aku tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri?" tanya Intan dengan intonasi suara yang tinggi. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat, pertanda hatinya diliputi emosi.

Sabiel menarik nafas panjang ketika melihat bola mata Intan yang tampak memerah dan berair. Nafasnya terdengar memburu tak terkendali. Itu senjatanya. Menangis dan mengingat-ngingat janji Sabiel untuk menjaganya kepada mendiang orangtuanya. Dan seperti biasa, Sabiel harus rela menurunkan egonya dan mengalah pada istri keras kepalanya itu.

"Sudahlah, aku tidak ingin kita bertengkar. Lebih baik kau tidur." Sabiel hendak turun dari kasurnya namun tangan Intan menahannya.

"Kau akan meninggalkanku? Kau sudah berjanji pa... "

"Sssttthh! Aku hanya ke ruang kerja. Tidak meninggalkanmu." Jari telunjuk Sabiel menempel di bibir Intan yang hendak mengingatkannya pada janji itu. Intan melepaskan pegangannya di lengan Sabiel, membiarkan suaminya itu berjalan menuju ruang kerjanya.

Pintu tertutup dari luar, Sabiel mengelus dadanya sesaat. Menenangkan emosi yang masih bergejolak di dalam hatinya. Andai saja waktu itu ia tidak berjanji pada orangtua Intan, mungkin sudah sejak lama ia akan menceraikan wanita itu.

***

Sabiel terus memandangi gelapnya malam dari balik jendela ruang kerjanya. Lantunan melodi Moonlight Sonata milik Ludwig Beethoven mengalun indah melalui Gramofon langka yang ia dapatkan sebagai salah satu warisan orangtuanya yang merupakan kolektor piringan hitam.

Sejenak ia bisa menetralkan kembali emosinya yang hampir saja tersulut karena keegoisan istrinya. Kepalanya yang tadi sempat pening berangsur membaik. Ternyata benar, pernah ada orang yang berkata bahwa sedikit memberi jarak pada dua hati yang bergejolak itu memang diperlukan. Kini kondisinya membenarkan ungkapan itu. Untuk mencegah hal yang buruk terjadi, kedua manusia memang sewajarnya membuat sekat. Guna membentengi diri dari ledakan emosi yang tak terkendali.

Sabiel memijit pelipisnya pelan. Dia merasa gusar akan keinginan sepihak Intan untuk pergi ke Singapura. Karir yang di dambakannya tak lain adalah belenggu yang menjerat leher Sabiel dengan duri-duri tajam yang tertancap tanpa bisa ia lepas.

Apa yang sebenarnya Intan cari? Segala kebutuhannya sebagai seorang wanita, telah terpenuhi dengan berlimpah ruah. Meskipun Sabiel hanyalah dosen muda di salah satu universitas. Namun orangtua Sabiel tidak meninggalkan Sabiel dengan tangan kosong. Beberapa properti di pusat kota Bandung, adalah miliknya. Outlet-outlet yang bertebaran di Jalan Setiabudi dan Jalan Martadinata juga miliknya. Belum lagi warisan dalam bentuk deposito dan saham yang orangtuanya tinggalkan untuk Sabiel sebagai anak tunggalnya. Itu semua cukup untuk membiayai keluarga kecil Sabiel hingga tujuh turunan.

Sebenarnya Sabiel bukanlah tipe suami kolot yang tidak suka apabila istrinya bekerja. Di awal hubungannya dulu dengan Intan, Sabiel sangat mendukung keinginan Intan untuk bekerja. Bahkan Sabiel memberikan fasilitas untuk mendukung karir Intan tersebut. Namun dukungan Sabiel ternyata disalah gunakan oleh Intan. Intan secara egois terus saja fokus pada karirnya, dia mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Intan tidak pernah menyiapkan kebutuhan Sabiel seperti pakaian untuk mengajar, makanan untuk sarapan atau makan malam. Bahkan Sabiel sering makan seorang diri tanpa kehadiran Intan disampingnya. Hingga kini Sabiel tak ingin mempermasalahkan hal-hal teknis yang sepele itu. Yang menjadi masalah besarnya adalah hanya karena karir Intan bahkan tega membuat Sabiel menunggu kesiapannya untuk memiliki seorang anak.

Setahun dua tahun, Sabiel coba terus bersabar dengan sikap egois Intan. Hingga tanpa terasa tujuh tahun sudah ia lewati biduk rumah tangganya dengan berbagai drama pertengkaran. Jika sudah merasa tersudut, Intan pasti akan mengingatkan Sabiel kembali pada janjinya dulu di hadapan mendiang orangtua Intan. Bahwa ia tidak akan meninggalkan Intan, apapun yang terjadi. Dan karna itulah Sabiel selalu mengalah.

Sabiel benar-benar dalam kondisi tertekan. Disatu sisi dia terikat dengan janji itu, disisi lain ia ingin bebas dari Intan.

Apa yang harus Sabiel lakukan saat ini? Sesungguhnya ia sudah berada pada titik dimana ia merasa jenuh hidup berumah tangga. Ia ingin merasa dicintai dengan baik.

Hingga instrumen melodi Moonlight Sonata selesai di dengarkan, Sabiel masih diam memandang langit Bandung yang gulita. Dilangit kelam sana sekelebat bayangan kehidupan indah tergambar. Layaknya sebuah layar, di langit itu Sabiel mengkhayalkan kondisi dimana ia memiliki seorang istri yang cantik dan baik, tersenyum lembut menatap bocah-bocah kecil yang berlarian bersamanya. Sang istri dengan telaten menyiapkan makanan yang ia keluarkan dari keranjang persegi terbuat dari rotan yang saling terjalin. Ketika makanan telah siap, ia memanggil suami dan anak-anaknya. Tangannya yang ramping melambai, seketika itu Sabiel berlari menuju istrinya, dan diikuti para bocah yang tertawa riang mengejarnya.

Tiba-tiba Sabiel menggelengkan kepala kasar, ketika raut wajah istri dalam khayalannya menampilkan sosok yang ia kenal.

"Kenapa dia?" gumamnya lirih.

***

Silahkan tinggalkan Like, Koment dan Vote-nya ya 😘

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!