"Dareen bangun!" Suara bokap gue melengking untuk membangunkan.
Mata masih lengket, gue tarik bantal untuk menutup kepala sehingga telinga pun tertutup bantal.
"Bangun Dareen! Malas sekali! contoh Abang mu jam segini udah berangkat kerja! Kamu jam segini aja masih tidur. Dareen!" sahut Papa berulang-ulang.
Akhirnya gue mengalah, telinga gue sakit mendengar bokap yang teriak-teriak membangunkan sedari tadi. Tapi yang membuat sakit hati, Bokap selalu bandingin gue dengan abang gue.
"Kamu mau jadi apa sih? Jam segini masih tidur." Bokap masih ngomel.
"Pan Dareen masih kuliah Pa. Baru masuk malah. Kuliah juga nanti siang kok."
"Ma, lihat itu anak mu selalu menjawab kalau di omongin orang tua!" Adu Papa ke Mama.
"Udahlah kalian tiap hari selalu berantem," jawab Mama.
"Dareen kamu mandi sekarang ya Nak. Papa berangkat kerja saja nanti kesiangan." Timpal Mama.
"Belain terus anaknya! Entah dia mau jadi apa!" ucap bokap sambil ngeloyor pergi.
Gue pun masuk kamar mandi setelah itu langsung menyambar sarapan yang telah tersedia di meja makan. Gue anak bontot dari dua bersaudara. Aril itu abang gue, dia yang selalu dibanggain sama Papa.
Kami lahir dan besar di Kota Bandung. Kami mempunyai wajah yang putih dan bermata sedikit sipit, hingga banyak yang mengira kalau 2 bersaudara ini ada darah chinesenya. Padahal mah lokal banget. Urang Sunda pisan.
Di kampus, gue sering disebut bujang sama temen-temen. Ada juga yang nyebut oppa biasanya cewek alay yang nyebut kek gitu sama gue. 'Saranghaeyo' teuing ah teu ngarti deuk sarang odeng oge kop lebok! (enggak tahu ah gak ngerti mau sarang tawon juga sok makan!)
"Jang, nanti nongkrong di tempat biasa ya habis pulang sekolah." Ajak Ferdy.
"Mau ngapain?"
"Galang dana buat korban banjir."
"Oke! Aink (Gue) usahain."
Jam pelajaran di kampus udah beres. Gue sama temen-temen berangkat untuk menggalang dana korban banjir yang ada di Kota Gedebage.
Kami mengumpulkan donasi melalui online dan turun langsung ke jalan untuk minta sumbangan dari para pengguna jalan.
Kami menggalang dana dari siang sampai sore hari. Malam menjelang kami baru selesai menuju rumah masing-masing.
"Assalamu'allaikum" gue mengucap salam ketika membuka pintu rumah.
Si Papa udah nangkring aja di ruang tamu sambil tumpang kaki dan mata yang menatap tajam ke arah ku.
"Jam segini baru pulang? Kamu main atau kuliah sih Dareen?" tanya papa.
Mak jleb! Belum juga gue jelasin Papa udah berpikiran jelek ke gue.
"Galang dana Pa," jawab ku lugas.
"Mana ada galang dana jam segini?" tanya papa menyelidik.
"Ya, Papa tanya aja sama temen-temen."
"Percuma kalau nanya sama temen-temen kamu. Kan temen-temenmu juga udah kamu kompromiin supaya kompak satu suara," ucap papa.
Hadeh kalau Papa udah kek gini gue cuma bisa jurus andalan yaitu DIAM biar aman. Biar ngocehnya cepet kelar, masuk dari telinga kiri keluar lagi dari telinga kanan.
Maafkan aku papa, kalau enggak kek gitu, gue banyak makan ati. Gerutu dalam hati.
"Contoh tuh si Abang jam segini dia udah pulang. Langsung ngerjain lagi tugas yang belum beres dari tempat kerjanya. Dia rajin!" Papa mulai membandingkan.
"Rajin atau lelet pak?" Tanya ku, kesal.
"Ya rajinlah, Abangmu sampai membawa pulang kerjaan yang belum beresnya. Kamu mana ada?"
"Ya enggak ada lah kan Dareen udh beres semua di kampus tugasnya. Ngapain bawa pulang?"
"Kamu tuh ya, kalau dikasih tahu orang tua suka ngejawab terus." Kata Papa yang mulai tersulut emosi.
"Sudah-sudah! Cukup!" Mama melerai.
"Kalian itu dari pagi sampai malem kerjaannya ribut terus!" Timpal Mama.
"Ya, Papa yang mulai duluan Mam."
"Udah! Mama enggak mau dengar. Kamu masuk kamar Dareen!" Suruh Mama.
Gue ngeloyor tanpa pamit sama mereka karena keadaan semuanya sedang memanas malam itu.
Drett ... Dreettt ...
Hp bergetar. Ada pesan WA di dalamnya.
'Jang, besok galang dana lagi yuk buat korban yang lain?' Dari Ferdy.
'Liat besok, bro!' Balas gue.
'Kenapa?' Tanya Ferdy.
'Barusan aja Gue kena semprot Papa.'
'Kok bisa?'
'Yaelah, lu kek enggak kenal sama bokap aja!" jawab ku.
'Iya sih. Terus gimana dong besok?' tanya Ferdy lagi.
'Gue usahain ya? Tapi, enggak janji Gue.'
'Oke!' Percakapan pun selesai.
Pikiran menerawang apabila ingat omongan si papa yang selalu bandingin gue sama bang Aril.
Kadang terbesit dalam hati, apakah Gue bukan anak kandung Mama dan Papa ya? Tapi hal itu selalu dibantah bang Aril.
'Kamu tuh anak Papa dan Mama. Abang juga menyaksikan waktu kamu lahir dulu.'
Semua terbantahkan dengan kesaksian bang Aril.
Tapi kenapa Bokap kek benci banget sama gue? Bokap seneng banget muji-muji bang Aril. Apa mungkin karena bang Aril sudah kerja? Entahlah. Hanya bokap yang tahu.
"Dareen!" Tok ... Tok ... Tok .... (Papa mengetuk pintu)
"Bangun!" Papa mulai ngoceh lagi.
Gue bukakan pintu kamar sembari mata gue yang memang rada sipit menjadi semakin tak terlihat melek ketika bangun tidur.
"Buka matanya! Udah jam berapa ini? tanya si papa.
"Ini udah melek Pa. Baru juga jam tujuh masih ada waktu kuliah juga nanti siang."
"Dareen. Dareen. Papa mesti ngomong gimana sih sama Kamu? Contoh Bang Aril, Dareen. Lihat cara Dia menata hidup. Kamu itu jam tujuh aja baru buka mata. Kamu enggak sholat subuh, ya?" tanya Papa menuduh.
"Sholat kok, Pa."
"Kalau sholat, pasti kamu udah bangun dari tadi." Papa tambah jengkel.
"Sholat Pa, cuma tidur lagi. Dareen masih ngantuk," jawabku cuek.
"Ya Allah, yaa Robb!" Papa geleng kepala.
"Hem kebiasaan deh dua orang ini. Udah, bubar-bubar! Mama pusing denger kalian berdebat! Lerai Mama.
Karena Mama udah mulai ngomel, semua bubar takut gak dibikinin sarapan. Sekali Mama ngambek, nanti makan malamnya masak masing-masing.
Dari pada lihat Mama ngomel mending gue mandi terus kabur ke kampus.
"Gimana, Jang? Bisa ikut gak, Lu? Sapaan Ferdy di pagi hari dengan pertanyaan yang sama.
"Hadeh, lihat entar siang ya, Bro?" jawab ku.
"Yaelah Jang, kalau Lu enggak ikut, enggak ramelah, Bujang!"
"Heleh! Emang Gue siapa? Gak ngaruh juga kalau Gue enggak ikut."
"Ngaruh lah! Kalau ada Lu, pendapatan Kita buat nyumbang banyak," jawab Ferdy.
"Loh kok bisa?" tanya gue heran.
"Iya lah kan kata Cewek-cewek Kampus, Lu mirip Oppa korea haha." Tawa Ferdy pecah. Sudah puas dia ngeledekin gue di pagi hari.
"Anjirr berarti ajas pemanfaatan ini?"
Haha... Semua teman yang ngumpul tertawa pecah.
Kami semua memang suka menggalang dana untuk membantu korban bencana di sekitaran Bandung area. Kami memang tidak bisa memberikan materi secara langsung. Tapi, kami berharap komunitas kami bisa membantu meringankan sedikit beban mereka, melewati galang donasi yang kami selenggarakan.
"Bujang, selepas pulang kuliah Kita hitung donasi yang masuk ya? Lu yang jadi saksi," kata Ferdy.
"Oke lah, Gue ikutin aja."
Setelah jam kampus selesai, kita hitung donasi yang masuk untuk dibagikan kepada korban banjir.
KRUKK... KRUKK...
suara cacing dalam perut gue mulai menagih bak dept collektor yang nagih duit maksa bener.
"Lu laper, Jang?" tanya Ferdy sambil terkekeh kecil.
"He ... He ...." Gue tertawa kecil karena malu.
Akhirnya kita semua makan mie ayam di kantin kampus.
"Ayok Jang, Lu ikut lah biar rame. Sekarang gak mintain donasi kok, Kita sekarang tinggal serah terima aja sama pengurus di sana."
"Bentaran doang?" tanya ku.
"Iya, kan kalau ada Lu rame. Lu bisa cairin suasana. Lu bisa main gitar sambil nyanyi pasti mereka terhibur."
"Ya udahlah, Gue ikut kalian."
Setelah rombongan kami sampai gue dikejutkan dengan pemandangan miris. Banyak anak-anak ya mendekati kami seraya menjulurkan tangannya seperti pengemis.
Ternyata mereka begitu kelaparan. Ketika rombongan kami memberikan beberapa potong roti yang kami beli menggunakan galangan donasi mereka begitu senang dan antusias menerima kedatangan kami.
Ya Allah gue bersyukur walau bokap gue suka marah-marah tiap waktu, tapi gue masih bisa makan bahkan bisa dibilang bergelimang makanan kalau hanya untuk menganjal perut yang lapar.
"Oppa, kamu kesini juga?" tanya mahasiswi pecinta drama korea, namanya Keyra.
Gue tersenyum masam. Males di sebut kek gitu.
"Ternyata selain ganteng, jiwa sosial Kamu juga tinggi, ya? Makin nge-fans nih Aku sama kamu, Oppa," ucap Key alias Keyra.
Hadeh! Sumpah ni kuping gue tiba-tiba pen di korek pakek cotton bud denger sebutan itu.
"Iya gue diajakin sama temen-temen. Ini juga udah pen pulang kok, permisi." Gue buru-buru cabut menghindar dari Keyra.
.
Drettt ... Drettt .... Hp Dareen bergetar.
'Apa Fer?' jawab gue.
'Lu di mana, Jang?'
'Sorry, Gue balik duluan Bro! ada keperluan mendadak.'
'Oh, ya udah. Hati-hati lu!' Hp di matikan.
Gue memacu motor Yamaha R25 melesat menuju arah pulang.
Cuma di tengah perjalanan terdengar suara adzan magrib. Gue pinggirin motor ketika ada mesjid. Gue turun untuk mengikuti sholat berjama'ah di mesjid.
Sayangnya di mesjid yang berjama'ah cuma sedikit, hampir rata-rata di dominasi sama orang tua. Enggak ada anak muda yang memakmurkan mesjid. Miris!
.
"Dareen! Tidak bisa kalau kamu pulang tepat waktu?" si papa ngomel lagi.
"Iya Pa, maaf. Tadi Dareen mau telpon tapi yang ada tinggal kuota. Kan papa enggak punya WA untuk di telpon."
"Dareen! Dareen! Ada aja alasan mu." Si papa enggak percaya.
"Terserah Papa! Dareen udah capek untuk menjelaskan ke Papa karena Papa selalu punya ansumsi lain terhadap Dareen. Jadi percuma juga Dareen cerita sama Papa."
Gue mulai jengah apabila terus dituduh dan disalahkan oleh papa. Gue ngeloyor masuk melewati papa di ruang tamu. Gue menaiki anak tangga yang meliuk dan memasuki kamar untuk istirahat.
"Hem! Lelah. Gue benci dengan keadaan ini!" Sambil membenamkan badan diatas kasur.
Memandang langit-langit kamar dan seluruh kamar yang didekor berwarna putih.
Putih?
Yap! Warna putih yang mendominasi kamar gue. Dari mulai tembok, lemari baju, bed cover, meja belajar semua berwarna putih. Menurut gue warna putih itu bersih. Menenangkan, apa lagi dengan keadaan sekarang yang membuat gue banyak sekali menuras emosi kalau papa sudah mulai membandingkan.
Hanya kamar ini yang memberi gue kenyamanan.
Lain cerita kalau aksesoris yang gue pakai, kebanyakan warna hitam yang gue pakai. Entah, gue merasa nyaman kalau memakai baju, topi, atau aksesoris gelang warna hitam. Mungkin karena kontras dengan kulit gue yang putih. Entahlah pokoknya gue merasa nyaman.
"Dareen," Mama memanggil dari balik pintu.
Gue memilih diam.
Tok ... Tok ... Tok ....
"Makan dulu, Dareen!" Mama masih memanggil.
Gue lebih memilih memasang earphone ke telinga dan memutar lagu sembari memejamkan mata. Selang beberapa menit ada suara mama dan papa berisik, seperti ada perdebatan yang terjadi. Gue lepas earphone dan mencoba mendengarkan dibalik pintu berwarna putih.
"Papa sih, terlalu keras sama anak!" Suara mama.
"Itu cara Papa, mendidik Dareen yang malas, Mam," jawab si papa.
"Tapi ya enggak gitu juga, Pa. Kan Dareen jadi enggak mau makan."
"Biarkan saja! nanti juga Dia turun cari makanan kalau Dia lapar!"
"Tuh kan, Papa kek gitu. Pantas saja Dareen ngambek!"
Tiba-tiba ada suara bang Aril yang melerai.
"Udah-udah ... Pa, Ma. Jangan jadi berantem lagi! Enggak akan menyelesaikan masalah juga. Malu sama tetangga, ini kan udah malam juga. Suara Mama dan Papa takut mengganggu mereka," ujar bang Aril.
Hening.
Mungkin semua sudah masuk kamar, karena bang Aril melerai mereka. Gue mending balik kasur dan memasang earphone untuk mendengarkan lagu.
Namun perut keroncongan tak bisa membuat mata ini tertidur.
"Sialan ... ni perut! gak bisa apa lapernya ditunda besok?" Sambil memegang perut yang lapar.
Diam-diam gue mengendap-endap masuk ke dapur. Berharap, ada makanan di meja makan. Namun nihil, semua sudah kosong. Mungkin tadi papa laper udah marah-marah.
Gue buka lemari dapur yang biasanya nyokap suka menaruh cemilan dalam lemari ini.
KREEKKK.
Bunyi suara lemari dapur yang gue buka.
"Shit! Semuanya kosong. Vangke memang!" Gerutu gue pelan.
Tiba-tiba, lampu dapur menyala, gue kaget setengah mati.
Menengok ke arah belakang, ternyata bang Aril.
"Kenapa Kamu, Dek? Lapar?" suara Bang Aril udah mirip kek di iklan-iklan aja.
Gue tersenyum malu sehingga terlihat wajah gue seperti tomat.
"Nih!" Bang Aril melempar cracker biscuits kesukaan gue.
Gue tersenyum lebar sama bang Aril.
"Thank's, Bang!" ucap gue.
"Makanya, kalau marah itu jangan sampai enggak makan! Baperan bener Adeknya Abang." Sambil mengacak-acak rambut gue.
Gue hanya tersenyum. Malu sih sebenernya tapi kek mana lagi? si perut kagak bisa di kompromiin. Gue ngeloyor pergi dari pada dengerin ledekan bang Aril mulu.
Satu lagi, gue enggak suka ngerokok jadi gue seneng sama cemilan-cemilan kek bocah. Bibir juga merah jambu, kagak kalah deh sama warna bibir cewek.
"Mau ke mana Kamu, Dek? Maen ngeloyor aja." Ledekannya keluar terus dari mulut si abang.
"Molor, Bang!" Sambil berjalan masuk dalam kamar.
Gue dan abang beda usia cukup jauh. Selisih sekitar tujuh tahun. Abang udah kerja, abang juga udah punya cewek.
Abang Aril lebih ramah. Makannya, papa sayang bener sama dia. Beda dengan sikap gue yang cenderung lebih ke cuek.
"Akhirnya, cacing udah molor kek nya. Tidur ah." Lanjut gue molor.
Tok ... Tok ... Tok ....
"Dareen!" Suara langganan tiap pagi, si papa.
"Ya Allah, perasaan Gue baru molor udah ada aja yang ganggu," gerutu kecil gue.
"Iya, Pa." Gue buka pintu.
"Kamu udah kebiasaan sih, pasang alarm cuma didengerin doang, bangun enggak, di matiin enggak. Berisik tahu!" Omel si papa.
"Hem ... Iya,iya nanti Dareen matiin. Ni mau sholat subuh juga Pa," jawab gue.
"Ya udah!" jawab si papa singkat.
Akhirnya, setengah sadar gue masuk kamar mandi.
Tumben-tumbenan ini hari dingin bener, wudhu aja deh kagak usah mandi. Omongan dalam hati.
Udah beres sholat, karena pagi teramat dingin. Gue memutuskan naik ke ranjang, tarik selimut, tidur lagi.
"Nak, sayang. Bangun udah siang. Sarapan dulu yuk." Ajak mama.
"Hem ...." Gue belum sadar.
"Nak, Dareen! Bangun kasep, bujangnya Mama." Mama masih belum menyerah.
Tiba-tiba gue kaget terdengar suara melengking papa yang mengegedor pintu.
"Dareen! Bangun!" Sambil ngetok pintu kenceng banget.
"Iya, Pa!" Sahut gue di balik pintu.
"Hem! Gitu kalau membangunkan anak mu, kalau kayak tadi nyampe lebaran juga dia enggak bakal bangun Ma!" ujar si papa.
Mama hanya menatap wajah papa yang sepertinya udah kesel banget sama gue.
Gue buka pintu, tapi si papa udah enggak ada. Yang ada malah mama.
"Loh, tadi yang bangunin kan si Papa. Kenapa yang ada di depan pintu malah Mama?" tanya Gue bingung.
"Dari tadi Mama bangunin Kamu enggak bangun-bangun. Jadi si Papa yang kesini, barusan udah pergi lagi ke meja makan, ketika denger suara Kamu dari dalam kamar."
"Oh."
"Ya udah, ayok sarapan Kasep." Ajak si mama.
"Ntar Ma, tadi Dareen belum mandi."
"Ya udah mandi dulu, nanti Mama tunggu di meja makannya, kasep."
"Iya, Ma."
.
"Mana si Dareen?" tanya si papa.
"Ada, katanya mandi dulu," jawab Mama.
"Hadeuh itu anak mau jadi apa sih?" Papa mulai menggerutu.
Mama diam.
Hening sesaat.
"Ya udah, Papa berangkat kerja dulu! stres menghadapi Dareen," ujar Papa sebelum berangkat kerja.
"Eh ... Mama makan sendirian?" tanya gue.
"Enggak, barusan si Papa berangkat kerja."
"Oh." Tak banyak komentar dari gue.
"Oh ... iya, Motor mu di pakai Bang Aril. Mobil Bang Aril lagi di bengkel katanya."
"Lalu Dareen naik apa?"
"Naik angkot dulu ya, Nak. Nanti Mama tambah uang jajannya."
Gue hanya mendengus. Kesel sih sebenernya. Disamping selalu dibandingin, masalah kek gini juga pasti gue disisihin. Sepertinya gue nih enggak ada kepentingan. Jadi apa pun ya gue mesti nerima gitu aja.
Akhirnya gue berangkat kuliah.
Tin ... Tin ....
Suara klakson mobil menyapa ku di pagi hari.
Kaca mobil berwarna merah itu di turunkan.
"Jalan kaki aja oppa?" sapa si Key.
Hadeh ya Allah, malah ketemu si Alay. ****** gue. Gerutu dalam hati.
"Iya nih, motor gue di bawa Bang Aril," jawab gue.
"Uduh ... kasian, dari pada Kamu kepanasan, mending bareng Aku aja yuk?" Ajak si Key.
"Hehe ... Makasih, Key! gue naik angkot aja," gue ngeles.
"Sekarang jam Dosen Killer loh, sekarang udah jam berapa? Nanti kamu telat loh Oppa."
Gue lihat jam tangan, ******! Bener juga nih si Alay. Ya udah deh dari pada kena hukuman mending Gue ikut aja, dapet gratis lagi. Kata dalam hati.
"Ya udah deh."
"Gitu dong Oppa!" Sembari membukakan pintu mobil dari dalam.
Sepanjang jalan ni cewek ngomong terus. Telinga gue sampe merah kek nya kalau gue bisa lihat telinga gue sendiri.
"Oppa!"
"Hem."
"Kamu tahu enggak?"
"Apa?"
"Entah kenapa ya, kalau Gue itu lebih seneng curhat sama Cowok dibanding curhat sama temen-temen Cewek Gue?"
"Ooo."
"Kok Ooo, doang? Tanya dong kenapa?" Pinta si Key.
"Ya udah memang kenapa kalau curhat sama Cowok?" tanya gue.
"Cowok tuh bikin nyaman. Semua cerita atau curhatan dijamin enggak bocor kalau ngomong sama cowok!" tandasnya.
Ya iya lah kagak bakal bocor, lah curhat Lu aja kagak di dengerin kek Gue saat ini, males! Gue jawab dalam hati.
"Oppa! dari tadi diem aja, ngobrol dong," pinta si Key.
"Ya ... Gue ngomong apa, Key? Oh iya satu lagi. Gak usah bilang Oppa ke Gue deh, enggak nyaman Gue. Punya turunan Korea aja kagak, Lu manggil Oppa-Oppa aja. Malu kalau kedenger orang," pinta gue.
"Ya biarinlah. Enggak ada yang nyangka juga. Kan wajahmu Oppa Korea banget," jawab si Key.
Gue cuma geleng-geleng kepala, mendengar cewek ini.
Allhamdulillah, akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan. Yang bikin telinga gue panas kek kebakaran denger ni cewek ngomong terus. Akhirnya, gue bebas! langsung gue turun dari dalam mobil.
"Makasih. Ya, Key!" ucap gue.
"Gwenchana," jawab Key.
Teuing ah Aink teu ngarti (enggak tahulah Saya enggak ngerti) gerutu dalam hati.
"Akhirnya! dateng juga Lu, Jang," ucap Ferdy.
Gue tersenyum.
"Hampir saja Lu telat. Nanti bisa dihukum loh."
"Heleh! Anak Sultan mah bebas." Candaan gue.
"Oh iya, Fer. Lu punya info loker enggak?" tanya gue.
"Buat siapa?" Ferdy heran.
"Buat gue."
"Lah kenapa sih?"
"Enggak kenapa-kenapa. Pengen coba hidup mandiri aja."
"Weh ... Weh ... Hebat!"
"Seriusan Gue!" Gue menatap matanya tajam.
"Nanti gue coba tanya-tanya deh kalau Lu serius."
"Beneran ya?"
"Iya! Masa Gue bohong?" Tandas Ferdy mengakhiri.
“Fer, Gue ikut balik, ya?” Pinta gue.
“Motor Lu ke mana, Jang?”
“Di bawa Bang Aril gawe!”
“Lah, tadi Lu sama siapa berangkat?" tanya ferdy kepo.
“Sama si Key.”
“Haha ... tumbenan Lu mau deket-deket sama Dia?”
“Kepaksa!”
“Kenapa? diancam mau dicium?” Ferdy terkekeh puas ngeledek gue.
“Njirr! bukanlah.”
“Nanti Gue WA deh kalau ada lowongan kerja ya?”
“Oke! ditunggu kabarnya.” Gue mengakhiri perbincangan.
Tak terasa, gue memasuki smester lima di kampus. Gue mencoba untuk dapat bangun sendiri terpaku kepada alarm jam yang gue setting di hand phone.
Dengan harapan, papa bisa mengurangi ngomel-ngomel di pagi hari.
Memang tepat sasaran. Sekarang papa mulai enggak teriak-teriak terus. Suara melengking di pagi hari mulai menghilang.
“Dareen. Sarapan dulu Nak. Mau berangkat kampus ya?” Nyokap memanggil di depan pintu kamar yang terbuka.
“Iya Mam, nanti Dareen turun,” Jawab gue, sambil masih mengemas perlengkapan yang mesti di bawa ke kampus.
“Selamat pagi semuanya?” sapa gue di meja makan.
Disana sudah berkumpul. Ada bang Aril, mama, papa juga ada.
“Dareen, nanti malam Bang Aril sama Amanda mau tunangan. Kamu jagan telat pulangnya ya?” Pinta papa.
“Memang acaranya jam berapa Pa?”
“Nanti, sehabis sholat magrib kita ke rumah Amanda.”
“Oh.”
“Jangan cuma oh, awas! jangan sampai telat ya!” Papa meyakinkan.
“Iya-iya,” kata gue. Sambil ngambil roti yang gue lapisi dengan selai coklat.
“Ma, Pa, Bang Aril. Dareen berangkat kuliah ya?”
“Hem,” kata si Papa.
“Hati-hati ya Nak!” kata si Mama.
“Oke!” kata bang Aril.
Kelihatan kan, mana yang sayang sama gue?
Kalau bang Aril emang lebih seperti sahabat. Orangnya baik, kak Manda beruntunglah milikin abang Aril. Secara bang Aril itu orangnya ganteng, putih, hidung mancung, rambut lurus dengan gaya mirip oppa korea. Kata tetangga.
Kalau kata gue, ya mirip gue. Cuma beda di sifatnya aja. Kalau gue lebih ke cuek.
Bang Aril kerja sebagai salah satu staf di kantor papa. Kak Manda juga bekerja di tempat yang sama. Mungkin cinta mereka bersemi karena sering bertemu. Entahlah hanya si abang yang tahu.
Memang Papa tidak langsung mengangkat bang Aril sebagai orang yang penting diperusahaannya. Kata Papa, mesti tahu dari bawah. Biar bisa menghargai orang walau bang Aril sebagai anak dari CEO perusahaan.
Gue melaju kencang bersama R25 kesayanangan. Motor ini hadiah terindah dari Mama ketika aku naik kelas 3 SMA. Gue merawat dan menjaganya, hingga detik ini belum ada yang lecet pada body motor gue.
“Jang, sepulang ngampus galang dana yok?”
“Sorry, bro! Aink (gue) gak bisa.”
“Kenapa?”
“Ada acara, nanti malam Abang Gue mau tunangan.”
“Bang Aril?” tanya Ferdy.
“Ya iya lah Bang Aril. Emang Gue punya Abang yang laen?”
“Hehe ....” Ferdy terkekeh.
“Oh. Iya, bro! Gue denger ada lowongan tuh, di showroom mobil, Lu mau daftar enggak?”
“Boleh, syaratnya apaan?”
“Itu mah gampanglah, yang penting Lu mau, udah beres.”
“Kok bisa?” gue heran.
“Iya, Gue kenal sama orang yang menerima karyawan barunya. Cuma, di sana buka bagian mekanik/montir. Lu mau enggak?”
“Iya Gue mau, tapi kalau urusan mobil, ya Gue masih kurang paham banget, bro! kalau motor, Gue paham betul.”
“Nyantailah, kalau masalah itu. Entar lu juga diajarin sama Montir yang udah senior di sana.”
“Oke! Gue mau.”
“Sip! nanti Gue WA, apa aja yang perlu Lu bawa bro!”
“Thank’s ya, Bro! nanti, gaji pertama Gue traktir Lu, dah.” Sambil menepuk bahu Ferdy.
“Dasar, Lu! kerja aja belum udah halu mau traktir segala.” Ledek Ferdy.
“Yaelah, Bro! wajar kalik, punya angan-angan baik mau neraktir Kawan?” Sambil tersenyum.
“Hem,” Suara Ferdy mengakhiri.
Gue buru-buru tancap gas menuju rumah. Takut telat nyampe rumah, kebanyang nanti Papa marahnya seperti apa.
“Haduh, ****** Gue! macet lagi!” Gue mulai panik.
Tin ... Tin ... Tin ....
Bunyi klakson motor dan mobil meramaikan di sore hari yang melelahkan.
Akhirnya, Gue nyelip-nyelip setelah ada kesempatan dan sela, motor Gue akhirnya melewati kemacetan yang parah. Yes! berhasil! Gue lolos dari kemacetan. Namun, entah bisa lolos dari omelan si Papa atau enggak? Konflik batin gue.
“Assalamu’allaiku.” Gue buru-buru masuk sebelum adzan maghrib.
“Haduh Dareen, kebiasaan! sana cepat mandi, nanti sholat magribnya di rumah aja, ya? Kita langsung berangkat ke rumah Amanda selepas sholat magrib.” Suruh Papa.
“Oke!” gue bergegas mandi.
Setelah sholat berjama’ah di rumah. Akhirnya kami berangkat juga menuju rumah kak Amanda.
Acara pun dimulai, dengan dihadiri keluarga gue, keluarga besar dari kak Amanda dan segenap karyawan dari kantor papa.
Selesai sudah acara lamaran. Cin-cin lamaran pun di sematkan ke jari kak Amanda dan satunya ke jari bang Aril.
Ada satu sosok gadis kecil yang memperhatikan gue dari tadi. Ketika gue menatap, dia tersenyum.
Heleh! cuma gadis ingusan! Batinku berkata.
Sepertinya dia masih duduk di bangku SMP. Wajahnya manis, matanya bulat kek boneka, rambut lurus sebahu. Bentuk wajahnya oval dengan dagu yang runcing, dia menatapku lekat di sebrang meja.
“Dek, ngambil makan sana! dari pada diem aja.” Suruh bang Aril.
“Iya, Bang.”
Akhirnya gue menghampiri meja yang tersedia banyak makanan. Dekat meja itu juga si gadis kecil berdiri. Gue ambil nasi dan lauk, karena gue enggak terlalu suka sayur.
“Yumna!” sosok ibu paruh baya memanggil nama gadis itu.
Gadis kecil itu menghampiri.
“Iya, Bu!” jawabnya.
Oh, ternyata itu Ibunya. Namanya Yumna, eh! kenapa Gue jadi kepo, sih? Pertanyaan dalam hati.
“Udah ambil makan belum?” tanya si ibu.
“Ini, baru mau ambil, Bu!” jawab anak kecil itu.
“Ya udah, cepetan ya? nanti, sehabis Kamu makan, Kita langsung pulang.”
“Iya, Bu.” Jawabnya singkat.
Gadis kecil yang beranjak ABG itu menghampiri gue. Ia menatapku lalu tersenyum manis.
“Kakak ambil apa?” tanya gadis itu.
“Nasi sama lauk.” Ini anak mulai kepo.
“Kak, namanya siapa sih?”
Haduh gue diajak kenalan sama ABG labil.
“Dareen.”
“Lengkapnya?” tanya lagi.
“Cullen Dareen”
“Aku Yumna.” Ia menjulurkan tangan mungilnya.
“Salam kenal ya, Oppa?” ucap Yumna.
****** Gue! Oppa lagi, Oppa lagi! Gue menjabat tangannya.
“Yumna, Gue makan di situ, ya?” Gue mundur alon-alon biar dia enggak mengekor.
“Iya, Oppa.”
.
Pesta sudah beres, para tamu undangan pun telah beres makan. Yumna kini tak terlihat lagi. Mungkin Dia udah balik, eh! Kenapa Gue jadi keinget Anak itu? bisik dalam hati.
Setelah menentukan tanggal pernikahan si abang. Akhirnya keluarga kami pamit untuk pulang.
“Dareen, hampir saja Kita semua malu karena Kamu pulang hampir telat!” ucap si Papa.
Hadeh tuh kan si papa mulai lagi ngomel.
“Udah Pa, kan Kita juga enggak telat menghadiri acaranya,” ucap Mama.
Gue hanya terdiam mendengarkan perdebatan.
“Ya udah sih Pa, Ma. Jangan ribut lagi. Toh enggak ada yang mesti di khawatirkan, ya enggak, Dek?”
Bang Aril masih bisa hibur gue sekalipun dia sedang mengemudikan mobilnya.
Gue hanya tersenyum masam mendengarkan omongan mereka.
***
Drett ... Drettt ....
Hand phone bergetar. Ada WA masuk dari Ferdy.
'Besok, Lu cuma disuruh bawa KTP yang asli sama foto copy-nya 1 lembar, Bro!’ Isi WA Ferdy.
‘Oke!’ gue balas singkat.
.
Ngampus again.
“Jang, KTP udah lu foto copy, belum?” tanya Ferdy nodong.
“Udah beres. Terus, Gue mesti ngapain?”
“Nanti pulang Kampus, Kita ke showroom bareng-bareng, ya? Gue titipin Lu sama orang yang Gue kenal.” Ajak Ferdy.
“Sip! thank’s, ya ” jawab gue.
Sepulang dari kampus, motor Ferdy dan gue berjalan berdampingan menuju showroom mobil.
“Bang Andi, kenalin teman Gue yang mau masuk di sini.” Ferdy mengenalkan gue.
“Dareen,” jawab gue sambil berjabat tangan.
“Oh ... ini?” Matanya mendelik, memperhatikan. Entah apa yang ia perhatikan dari gue.
“Lu siap kerja di sini dari jam 9 nyampe jam 3 sore?” tanya bang Andi.
“Iya, bisa Bang!” jawab gue.
“Nanti, gimana kuliah Lu?”
“Nanti Gue lanjut kuliah ambil Kelas Karyawan aja, Bang. Bisa diatur.” Gue meyakinkan.
“Oke! Gue terima kalau kuliah Lu, enggak mengganggu tanggung jawab Lu kerja di sini.”
“Makasih, Bang. Gue mulai bisa kerja kapan?”
“Nanti aja hari Senin. Sekalian, Lu urusin dulu kuliah Lu.”
“Oke! Bang, sekali lagi, makasih.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!