NovelToon NovelToon

A Story Of Zhen Xi [Romansa Dewa Dewi]

Si Tampan Itu Menggendong Pelayan Laki-lakinya

Ketepak ketepak ketepak ketepak.

"Tuan Muda, jangan terlalu cepat! Tuan Muda, tunggu saya! Disini terlalu banyak orang!" seru penjaga pribadi seorang agung yang sedang lewat.

Hiik-!

Secara mendadak Tuan Mudanya itu menarik tali kontrol untuk menghentikan laju kudanya, sorot matanya tengah terfokus pada sebuah pedang yang di jual di stan pasar di sebelah kanannya.

Sang penjaga pribadi yang kewalahan mengejar dari belakang itu malah gagal fokus dan kesusahan mengerem secara mendadak, alhasil ia menabrak seorang gadis yang sedang berjalan di dekat sana.

Jebugh.

Hiiik hiiik-!

Kuda itu memang berhasil berhenti, tapi sayangnya pemiliknya harus jatuh terjembab ke tanah bersama perempuan berpakaian hitam yang ia tabrak barusan.

"Aduh!!"

"San Qi! Kau baik-baik saja??" Pangeran Wen Hua, anak dari salah satu Petinggi Dewa Hujan itu akhirnya menoleh menghawatirkan penjaganya.

"Tuan, jangan berlarian. Ini pasar. Ini bukan lapangan luas untuk berlatih kuda..." marah gadis bernama Zhen Xi itu sambil meringis sakit sesekali.

"Tck." Zhen Xi berdecak pelan sambil berusaha berdiri.

Wen Hua pun mengalihkan pandangannya pada gadis yang barusan berani mengomel marah ini dan memperhatikannya. Bukan karena apa, tapi gadis ini berpakaian aneh, serba hitam dan membawa pedang di balik punggungnya. Apa lagi Wen Hua dan pakaian bangsawannya ini seharus sangat dihormati disini, bagaimana gadis itu bisa mengomel barusan?

"Perempuan memang kurang sopan ya sekarang." San Qi ngedumel sambil membersihkan pakaiannya dari pasir.

Zhen Xi menghela nafas. Ia mengulurkan tangannya sambil memasang senyum paksa.

"Kemari, biar ku bantu. Untuk apa menyangkutkan hal ini dengan perempuan?" ucap Zhen Xi tanpa ekspresi.

Orang dengan pakaian yang apik dengan pedang di punggungnya itu mendongak untuk menengok sesosok yang berani mengulurinya tangan ini.

"Hei Nak, aku ini seorang penjaga Pangeran Besar. Memangnya aku perlu bantuan?"

Tep.

Laki-laki dengan umur sekitar kepala dua itu langsung berdiri tanpa bantuan sedikitpun, padahal jelas-jelas pergelangan kakinya itu ada yang terkilir.

"Penjaga Pangeran Besar?" Bibir Zhen Xi bergerak untuk mengucapkannya, tapi lagi-lagi itu tanpa ekspresi. Anak ini memang seorang wanita, tapi hanya dari cara berpakaiannya saja. Sikapnya yang begitu tenang tanpa ekspresi itu membuatnya keren seperti laki-laki tangguh yang sok dingin dan tak tampak lemah.

"Bukannya orang-orang akan langsung menunduk begitu mendengar nama itu? Sepertinya kamu tidak terpelajar." ejek pria itu pelan. Untungnya dia ini bukan tipe penjaga besar yang sombong yang akan naik darah melihat ketidak sopanan seorang gadis muda padanya.

"Sudah! Kau baik-baik saja, iya kan San Qi? Kalau begitu cepat kemari dan temani aku!" perintah Pangeran Wen Hua.

Zhen Xi menoleh ke arah Pangeran Wen Hua yang baru berteriak marah itu dengan kesal. "Kakinya itu terkilir... Apa karena Anda adalah Tuannya, Anda bisa marah dan memaksanya begitu?"

Mata San Qi melotot nyaris keluar dari sarangnya.

"Nona! Anda sudah keterlaluan. Cukup, sebelum Anda terkena hukuman!" sosor San Qi.

Wen Hua menghela nafas panjang masih dengan raut berani di wajahnya, perlahan ia berjalan mendekati Zhen Xi dan menyentuh dagunya. "Apa katamu barusan?" tanyanya dengan tatapan intimidasi.

Pria paruh baya, penjual stan pembuatan pedang itu sampai menutup mulutnya ketakutan. "Ji Yue! Zhen Xi membuat masalah dengan anak Petinggi Dewa Hujan!"

Seorang Wanita langsung keluar dari stan pembuatan pedang dengan langkah zig-zag saking paniknya, ia langsung bersujud di hadapan Wen Hua.

"Tu-tuan Muda. Ah tidak. P-pangeran, maafkan dia... kasihani dia... Dia ini yatim piatu. Kelakuannya terkadang kurang menyenangkan, mohon dimaklumi."

"Kalau mau... hukum saja hamba!" Wanita itu kembali bersujud sampai ke tanah.

Wen Hua hanya melirik wanita itu tanpa memberi tanggapan.

Ekspresi keras Zhen Xi langsung luluh. Ia menggeleng sampai jari-jari Wen Hua yang menekan dagunya itu terlepas. "Bibi, jangan begitu..."

Ji Yue langsung berdiri sambil menunjuk ke arah Zhen Xi. "Kau benar-benar tidak tahu diri! Cepat minta maaf! Apa kau tahu?? Tuan Muda ini adalah pangeran petinggi Dewa Hujan!"

"Kalau hanya bisa makan dan tidur, seharusnya kau lebih sopan sedikit! Jangan membuat masalah di tokoku!" lanjut Ji Yue.

Wen Hua sempat tertegun melihat wanita paruh baya itu membentak Zhen Xi.

"Walau aku tidak salah... aku minta maaf." Zhen Xi mendongak ke arah Wen Hua dengan wajah jutek.

"Apa??"

"Berlutut!" perintah Wen Hua dengan kesal.

Zhen Xi pun mengangguk, mati kutu, dan mulai berlutut. Melihat perubahan drastis dari gadis aneh di depannya membuat Wen Hua sedikit tak tega.

"Ya. Jangan diulang." jawab Wen Hua sembari membalikkan badannya membelakangi Zhen Xi.

"Ayo San Qi."

San Qi segera tersadar dari ketegangan barusan. "Ep, bukannya Tuan ingin membeli pedang?"

"Tidak jadi. Kita beli di tempat lain saja."

Begitu mengatakan hal itu, Wen Hua langsung menaiki kudanya bersiap untuk pergi.

"Lihat, jika orang besar seperti itu akan membeli pedang disini, toko ini akan semakin terkenal! Tapi hanya karenamu, hari ini aku harus mendapat aib!"

Plakk!

Ji Yue menampar Zhen Xi dengan keras.

Wen Hua lagi-lagi berusaha menghiraukan masalah keluarga di depannya barusan dan tak ingin ikut campur. "San Qi! Cepat!" perintahnya.

"Ya Tuan!"

"Sssh." San Qi merintih sambil berusaha mengkondisikan pergelangan kakinya yang terkilir.

"Aduh aduh adu- duh."

Bruk.

San Qi memejamkan mata sambil menutup wajahnya mengumpati dirinya yang sedang sial. Bagaimana bisa orang sepenting dan setegap dirinya terjatuh di tengah jalanan pasar begini? Bodoh... bagaimana sekarang? batinnya.

Wen Hua menoleh dengan sebuah kerutan di antara alisnya.

"Lihat! Sudah ku katakan kalau kakinya itu terkilir!" Zhen Xi meneriaki Wen Hua. Gadis ini entah belum sadar atau sudah sadar kalau ia sedang meneriaki bangsawan, tapi dia memang selalu berani seperti itu.

San Qi langsung menoleh pada Zhen Xi dan menggeleng tanda tak ingin di bela lebih lagi, sementara Ji Yue semakin mengepalkan tangannya hendak menghajar Zhen Xi yang berani meneriaki Pangeran Wen Hua.

Wen Hua langsung turun dari kudanya, menghampiri San Qi.

"Tuan Muda, saya tidak apa-apa." San Qi berusaha berdiri kembali. Tapi sepertinya tubuhnya itu akan jatuh kembali.

Tep.

"T-tuan Muda??" Wajah San Qi nyaris memerah begitu Wen Hua menggendong dirinya.

Zhen Xi juga membelalak lebar nyaris tak berkedip sambil menutup mulutnya.

"Aku titip kudanya San Qi. Besok pelayanku akan mengambilnya. Maaf yang barusan." bisik Wen Hua. Ia langsung berbalik menuju kudanya dan membawa San Qi pulang dengan menaiki satu kuda saja.

"Hiya!"

Ketepak-ketepak. Ketepak-ketepak.

Bisikan yang terkesan dingin tapi lembut barusan membuat Zhen Xi terpaku. Tanpa sadar ia melangkah mundur saat ia mengingat gerakan elegan Wen Hua saat menggendong San Qi ala pengantin wanita.

Seorang gadis lainnya berlari menyusul Zhen Xi dan mengalungkan tangannya pada leher Zhen Xi.

"Parah!"

"Dia itu..." Zhen Xi bergumam masih tak bisa berfikir.

"Ternyata punya hati yang baik juga ya." ucap Yen Li melanjutkan gumaman Zhen Xi.

"Kak Yen Li?" Zhen Xi menoleh.

Ibu Tiriku Materialistis

"Dia itu bukan Pangeran Dewa Hujan, walau cuma anak petinggi yang paling dipercaya Dewa Hujan saja dia bisa jadi orang yang paling ditakuti di mana saja. Benar-benar beruntung." keluh Yen Li.

Kelopak mata Zhen Xi meneduh mendengar celotehan kakak tirinya. Kakak paling baik yang sangat menyayanginya tanpa pamrih, padahal ia hanya anak pungut.

"Kalau saja aku lahir di keluarga bermartabat begitu." guman Yen Li.

"Kak, jangan begitu. Paman dan Bibi adalah orang yang baik."

Yen Li melebarkan matanya dan menatap Zhen Xi serius. "Baik? Mereka selalu memarahimu. Apa kau masih menyayangi mereka?"

Zhen Xi mengangguk. "Walau begitu, tanpa mereka... mungkin aku sudah mati. Tak ada yang merawat."

"..."

Zhen Xi menoleh pada Yen Li yang tak kunjung menjawab. Rupanya pandangannya masih melayang jauh mengikuti pantat kuda Pangeran Wen Hua yang sudah sangat jauh dan terlihat kecil dari sini.

"Tapi... dia itu tampan sekali kan." Yen Li benar-benar melayang ke langit ke tujuh puluh tujuh saat membayangkannya.

"Lumayan." Tanpa sadar Zhen Xi menjawabnya pelan.

"Apa? Lumayan?? Astaga! Adikku yang tomboi dan tak pernah mengagumi laki-laki ini mengagumi Pangeran Wen Hua!"

Zhen Xi menggeleng keras. "Aku tidak pernah mengagumi laki-laki? Aku masih normal kok! Tapi kali ini kakak salah dengar!" elaknya.

Yen Li masih menggeleng dan bersikeras dengan antusias. "Tidak, tidak, kau barusan-"

Bak!

Sebuah pukulan mendarat di paha Zhen Xi. "Diam!!"

Zhen Xi langsung menunduk menatap jari kakinya sendiri sambil menyentuh pahanya yang terasa sakit. Sementara Yen Li menatap protes pada ibunya.

"Ibu, jangan memarahinya terus." cegah Yen Li.

"Apa kau tidak tahu seberapa berharganya Pangeran Wen Hua?? Toko ini akan bangkrut sebentar lagi!" bentak Ji Yue.

Zhen Xi dan Yen Li menoleh ke arah toko yang semula ramai itu menjadi sepi. Beberapa orang yang lewat terus menatap pada Zhen Xi dan mulai membicarakan kelakuan bodohnya pada Pangeran Wen Hua barusan.

"Setidaknya jangan merusak reputasi toko ini! Haa?!" Ji Yue tampak begitu marah sampai air matanya menetes mengaliri pipi keriputnya.

"Ibu..." Yen Li menyentuh pundak ibunya.

Zhen Xi mengepalkan tangannya, bibirnya melipat ke dalam.

"Sejak awal, kau memang membawa sial. Entah kenapa aku masih mau merawatmu..." Ji Yue mulai terisak.

"Ji Yue! Jangan mengatakan hal buruk itu padanya!" Pria yang lelah bekerja keras, seharian memukuli logam untuk membuat pedang itu datang dengan raut cemas yang ditujukan pada Zhen Xi.

Zhen Xi semakin merasa bersalah melihat kedua orang baik dihadapannya ini. Keringat dan bekas luka bakar pada tubuh ayah angkatnya yang bernama Se Lik itu menambah sayatan di hati Zhen Xi.

"Ayah, Kakak. Ini salahku." ucap Zhen Xi.

"Ini memang kesalahanmu! Apa kau baru sadar??!" sahut Ji Yue sambil menunjuk wajah Zhen Xi dengan mata mencuat saking marahnya.

"Hanya ini harta kita satu-satunya Zhen Xi! Hanya ini!" Ibunya menekankan lagi.

"Pembuatan pedang dan ramuan bahannya, semua ini harta karun kami satu-satunya. Kalau ini sampai habis tak bersisa hanya karena kebodohanmu barusan... aku bisa mati!" Ji Yue mengambil salah satu pedang yang ada di etalase toko dengan kasar, ia menodongkannya pada lehernya sendiri.

"Tidak! Ibuuu!" Yen Li langsung berteriak panik sambil menangis.

"Ji Yue!" Se Lik menahan dan menarik tangan Ji Yue.

Zhen Xi tak pernah menyangka, hari ini akan begitu sial sampai ia ingin menangis sekeras-kerasnya. Adegan kepanikan barusan membuat syarafnya tegang hingga traumanya terus datang menghujami pikirannya. Entah bagaimana masalah keuangan bisa jadi bahan untuk memojokkan dirinya lagi.

"Sejak awal memang aku selalu membuat kalian susah." desis Zhen Xi.

Yen Li menggeleng, air matanya menetes. "Zhen Xi, bukan begitu..."

"Aku sangat merepotkan. Aku membawa sial. Aku memang sangat sial, sejak awal tidak punya ayah. Ibuku juga meninggal secepat itu. Lalu sejak aku kecil, kalian juga selalu bertengkar karenaku."

"Kalau dari lahir sudah sial, kenapa aku harus dirawat kalian dan menularkan kesialan?" Zhen Xi membuang muka untuk menyembunyikan tangisnya.

"Zhen Xi..." Se Lik, pria yang menemukan bayi malang yang menangis di malam yang dingin setelah kekacauan akibat serangan Istana Naga Langit itu merasa sedih mendengar keputus asaan anak angkatnya ini.

"Zhen Xi... Masalah ini akan segera selesai. Ji Yue akan tenang, ini hanya masalah waktu. Kita masih bisa membuka toko lagi. Bagaimana kalau menjual roti hangat isi daging yang biasa kau buatkan untuk kami?" bujuk Se Lik.

Zhen Xi mengusap air matanya, lalu berusaha tersenyum tegar sambil menyentuh pundak berlapis pakaian lusuh ayahnya. "Ayah, itu buatan kak Yen Li. Sebenarnya aku diajari olehnya."

Se Lik menggeleng pelan karena bingung.

"Aku memang tidak bisa apa-apa seperti yang bibi bilang." aku Zhen Xi.

Se Lik agak kecewa dengan pernyataan Zhen Xi barusan.

Zhen Xi berjalan mendekati Ji Yue dengan wajah tertunduk. "Bibi, aku akan pergi. Zhen Xi benar-benar minta maaf. Setelah Zhen Xi punya uang, Zhen Xi akan menebus semuanya. Zhen Xi berjanji."

"Tidak, kau mau kemana?! Zhen Xi, jangan begini!" Yen Li terlihat panik seketika, karena adik angkatnya itu belum pernah bercanda.

Zhen Xi tak menghiraukannya. Ia mendongak menatap ibu angkatnya yang selama ini tak pernah sudi dipanggil dengan sebutan ibu. "Tapi sebelum pergi, apa Zhen Xi boleh memanggil bibi dengan sebutan ibu? Sekali saja..."

Ji Yue tampak sedikit kasihan, tapi ia memaksakan raut wajahnya itu untuk tetap bersikeras membenci Zhen Xi.

"Tidak akan pernah." jawab Ji Yue dengan nada dingin.

Air mata Zhen Xi lagi-lagi jatuh beruntun membasahi pakaian hitamnya yang panjang.

"Baiklah. Sekali lagi Zhen Xi minta maaf. Zhen Xi juga berterimakasih pada ibu. Ibu sudah merawat Zhen Xi hingga sedewasa ini." Zhen Xi membungkuk sedikit untuk syarat kesopanan sebelum berlari masuk ke dalam rumah untuk memberesi pakaiannya.

"Zhen Xi!" Yen Li berlari menyusul.

"Zhen Xi! Zhen Xi! Jangan pergi! Apa kau membenci ayah??" Se Lik hendak menyusul ke dalam juga.

"Jangan hentikan dia!" Ji Yue menggenggam tangan suaminya.

Se Lik mengibaskan tangannya dengan kasar dan berlari menyusul Zhen Xi ke dalam, meski ada tatapan dilema antara memilih istrinya atau anak angkat kesayangannya itu.

Zhen Xi mengumpulkan pakaian-pakaian kesukaannya di atas sebuah kain lebar yang ia beber di atas lantai, lalu mengikatnya dengan kuat.

"Zhen Xi! Tenanglah! Zhen Xi! Pikirkan ini dengan kepala dingin!!" Yen Li mengguncang pundak adik tirinya dengan air mata.

"Kakak, terimakasih sudah menjadi kakak yang sangat menyayangiku. Kakak adalah kakak terbaik."

"Kak, tolong jaga ayah. Jangan biarkan ayah kelelahan atau terkena cetakan logam yang panas lagi. Aku tidak bisa lagi menjaganya. Ah iya, jangan lupa buatkan ibu teh herbal setiap pagi, kepalanya sering pusing. Apa dia terkena tekanan darah tinggi?"

Yen Li menggeleng pelan.

"Zhen Xi, kau akan tinggal dimana? Setelah masalah ini mereda, kakak akan menjemputmu..." tawar Yen Li dengan raut serius.

Sahabatku Bilang Dia Sedang Tidak Diet Hari Ini

"Tidak Kak, jangan jemput Zhen Xi. Zhen Xi sudah cukup merepotkan kalian. Zhen Xi bisa mandiri." Zhen Xi menepuk-nepuk pundak Yen Li lalu berlari kencang sebelum ayah dan kakaknya itu menahannya lagi.

"Zhen Xi!! Zhen Xi!!"

Se Lik berlari kencang sekuat tenaga hendak mengejar putri angkatnya.

Swuzh! Swush!

Tapi lari Zhen Xi benar-benar cepat, melebihi angin. Ia bahkan bisa melompat setinggi atap dan kabur dari sana.

Yen Li segera menahan tangan ayahnya.

"Ayah, tidak ada gunanya mengejar Zhen Xi." kata Yen Li dengan tatapan kosong.

Se Lik menyentuh pundak anaknya dan menatapnya dengan serius bercampur takut. "Yen Li. Sejak kecil anak itu tidak biasa. Dia berlari secepat kuda bahkan pernah menolong ayah yang lebih tua ini untuk mengejar perampok."

Yen Li mengangguk membenarkan.

"Walaupun dia memang sering membuat kekacauan, dia itu sudah ada di hati Ayah..." tangis Se Lik.

Yen Li mengerjap pelan, sedikit ada desiran cemburu dari sang anak kandung walau tipis. Yah wajar sekali.

"Dia juga yang mempromosikan pedang Ayah selama ini. Dia selalu memakai pakaian hitam pendekar dan membawa pedang keluaran terbaru Ayah di pundaknya walau berat."

"Ibumu itu tau apa?? Anak itu memang tidak pernah mencuci piring atau memasak seperti wanita pada umumnya... Tapi dia itu.. hiks. Dia itu... berharga bagi Ayah..." Se Lik jatuh berlutut ke tanah sambil menangis sejadinya.

Yen Li hanya mengangguk-angguk sambil mengelus punggung ayahnya, berusaha menghayati perasaan ayahnya walau sedikit merasa iri.

"Dia bercita-cita menjadi pendekar, ayah bahkan belum sempat membayarinya sekolah jadi pendekar..." keluh Se Lik lagi.

Yen Li memutar bola matanya pelan. "La-lagi pula pendekar wanita itu tidak lazim."

Se Lik masih tak menghiraukan pemikiran putri kandungnya, ia sibuk dengan pemikirannya mengenai Zhen Xi. "Walaupun tokoku akan hancur setelah dia membuat masalah dengan seorang bermartabat, aku yakin Pangeran Wen Hua itu bukan orang jahat yang akan memakai kekuasaannya untuk menindas musuh kecil."

"Huuuuhuuu..." tangis Se Lik semakin keras.

"Sudah Yah. Yen Li yakin, Zhen Xi tidak akan pergi jauh. Dia dua tahun lebih muda dariku. Aku yakin dia tidur di rumahnya Ci Hui, teman dekatnya. Besok, setelah tenang... kita jemput dia." saran Yen Li.

Akhirnya Se Lik mengangguk seakan lebih lega meski masih menatap ke ujung atap tempat Zhen Xi menghilang dengan tak rela.

.

.

"Hhh astaga... ternyata kabur dari rumah itu sangat menyedihkan." gerutu Zhen Xi.

Ci Hui menatap melas sahabat dekatnya seakan merasakan penderitaan Zhen Xi. "Zhen Xi..."

"Hm?" Zhen Xi menoleh.

"Kamu diusir?" Suara feminim yang sangat lembut itu benar-benar menggelikan bagi telinga Zhen Xi. Ya, Zhen Xi dan Ci Hui memang sama-sama perempuan. Tapi keduanya nyaris berkebalikan hanya karena kebiasaan sok tegar Zhen Xi yang membuatnya terlihat tomboi.

Zhen Xi menggeleng. "Aku memang ingin pergi." jawab Zhen Xi singkat seakan tak ada beban di pikirannya.

"Tapi aku dengar, kau memang membuat masalah dengan anak Petinggi Dewa Hujan ya?? Kamu ini memang selalu berulah..." keluh Ci Hui yang sudah sangat hafal dengan sifat Zhen Xi.

"Aku tahu kau memang sangat blak-blakan dan adil orangnya. Tapi sesekali pikir dulu sebelum melakukan sesuatu..." nasehat Ci Hui dengan raut peduli.

Zhen Xi menghela nafas sambil tersenyum datar. "Sejak kecil... Ayah dan Ibu selalu bertengkar karenaku. Ayah sangaaat memanjakanku. Sedangkan ibu selalu merasa aku bukan anaknya."

"Kalau bukan soal ayah yang membelaku, Ayah dan Ibu tidak akan bertengkar. Aku benar-benar sudah mengacaukan keluarga indah Kak Yen Li." Zhen Xi terkekeh.

Mata Ci Hui meredup, ia benar-benar menghayati cerita Zhen Xi. "Masalahnya sesimpel itu?"

"Itu sama sekali tidak simpel. Ah sudahlah. Tidurlah, jangan beri tahu paman dan bibi kalau aku baru saja kabur dari rumah. Katakan kalau aku hanya mampir sebentar."

"Ngomong-ngomong, makasih makanannya." lanjut Zhen Xi sambil meneguk segelas air lagi dan meletakkan tempayannya kembali ke atas meja kayu yang ada di depannya.

"Ehh kamu mau pergi kemana??" Ci Hui langsung beranjak dari tempatnya.

"Menginap saja dulu disini..." pinta Ci Hui lagi.

"Ke suatu tempat." Zhen Xi tersenyum, senyumannya benar-benar membuat Ci Hui tenang. Dia begitu menguasai gerak-gerik wajah, Zhen Xi ingin membuat kesan bahwa ia memang akan baik-baik saja dan sudah punya rencana.

"Zhen Xi...! Zhen Xi...!"

Zhen Xi dan Ci Hui terperanjat kaget.

"Bodoh ya? Kalau mencariku jangan berteriak begitu, aku pasti sembunyi." gumam Zhen Xi.

Zhen Xi menatap tajam sekaligus serius mata Ci Hui. "Ci Hui, katakan kalau aku tidak menemuimu. Percaya padaku, aku akan menemuimu lagi suatu saat. Kau tidak usah khawatir, kau juga tahu kalau aku ini jenius, aku sangat bisa bertahan hidup." pesan Zhen Xi bertubi-tubi.

Ci Hui menatap Zhen Xi dilema, ia tak tahu harus menjawab apa. "T-tapi, kau akan pergi kemana?? Lebih baik kau pulang dengan mereka. Ini bukan lelucon Zhen Xi!"

"Zhen Xi...!" Suara Kak Yen Li yang memanggil-manggil itu semakin dekat. Zhen Xi dan Ci Hui semakin panik.

Zhen Xi yang merasa terdesak itu pun menarik telapak tangan Ci Hui dan menggenggamnya. "Kalau kau berjanji untuk mengatakan itu pada Ayah dan Yen Li, aku juga akan berjanji untuk tetap hidup!"

"Aku tidak mau pulang, aku tidak bisa hidup Ci Hui..."

Ancaman terakhir itu berhasil membuat Ci Hui mengangguk cepat karena takut. "Ba-baiklah. Berjanjilah kau akan kembali menemuiku. I-ini, bawa ini!" Ci Hui melepas kalung emasnya, satu-satunya perhiasan yang ia punya.

"Tidak perlu!" Zhen Xi mengembalikannya, lalu melompat cepat ke atap sebelum ayah dan kakak tirinya itu menemukan dirinya.

Yen Li berlari ke arah Ci Hui dan menatapnya serius. "Ci Hui, apa Zhen Xi datang kemari??"

Ci Hui menggeleng. "Hng... emm tidak. Memangnya ada apa?"

"Dia kabur dari rumah." sahut Se Lik sambil menangis menutupi wajahnya.

"Paman bercanda?! Kok bisa??"

Mendengar akting Ci Hui barusan, Zhen Xi tersenyum lega dari atas sana.

Pandangan Yen Li berhasil menangkap sebulir air mata di pipi Ci Hui. "Tunggu, kenapa kau menangis??"

Ci Hui tersentak kecil, lalu mengusap sisa air matanya. "Tidak. Barusan anginnya sangat kencang, mungkin aku kelilipan."

"Angin? Tidak ada tuh." Yen Li menyipitkan matanya tak percaya, lalu menoleh pada dua piring kosong di atas meja Ci Hui.

"Makanan ini..." Yen Li menunjuk ke arah piring.

"Aku memang lapar, jadi aku makan dua piring kali ini. Aku belum pernah diet!" sahut Ci Hui cepat dengan raut tak tenang, disusul cengiran aneh yang membuat Yen Li agak curiga.

Akhirnya Yen Li menggeleng menepis pemikirannya, ia mencoba mempercayai walau merasa kikuk. "Ba... iklah..."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!