NovelToon NovelToon

Istri Pertama Yang Tak Diinginkan

Bab1

Langit pagi begitu cerah, dan sinar matahari yang baru muncul menembus jendela kamarku. Namun, bagiku, keindahan itu tak terasa sama sekali. Hari ini bukan hari yang membawa keceriaan. Hari ini adalah hari yang menyakitkan. Hari di mana aku harus menerima kenyataan bahwa aku akan memiliki madu. Ya, suamiku, Angga, memutuskan untuk berpoligami.

Aku tahu, dari awal aku menolak perjodohan ini. Namun, aku tak bisa membohongi perasaanku. Aku sudah menyukai Angga sejak kami kecil. Dulu, hubungan kami tidak sesuram ini. Kami bermain bersama, berbagi cerita. Tak pernah terlintas di pikiranku, bahwa suatu hari, orang tua kami akan menjodohkan kami. Dan kini, aku harus menerima keputusan yang sudah aku buat.

flashback

"As-salamualaikum," sapaku, sambil melangkah masuk.

"Waalaikum salam," jawab kedua orang tuaku hampir bersamaan.

"Nara, sini duduk," ucap Papa, sambil menepuk kursi di sampingnya.

Aku tersenyum melihat Om Arya dan Tante Sindy, kedua orang tua Angga, yang juga ada di ruang tamu. "Eh, ada Om dan Tante juga," kataku, sembari duduk.

Tante Sindy langsung memulai percakapan, "Nara, kami ke sini karena ada hal penting yang ingin kami bicarakan. Kami sudah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan anak kami, Angga."

Mendengar itu, jantungku berdetak cepat. "Apa?" tanyaku, terkejut. Rasanya tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

"Kalian cuma selisih lima tahun, Nara. Kami pikir ini waktu yang tepat," lanjut Tante Sindy dengan lembut.

"Tapi, Tante, ini terlalu mendadak. Saya belum..." ucapanku terpotong ketika Angga, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara.

"Mama, aku sudah bilang, aku tidak mau. Nara juga pasti tidak setuju," katanya dengan nada tegas, sembari melirikku tajam, seolah memintaku untuk menolak.

"Diam, Angga!" Om Arya menyela, terlihat tidak suka dengan sikap putranya.

Tante Sindy mencoba melunakkan suasana, "Nak, cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Kami ingin kalian bahagia. Lagi pula, kami ingin segera menimang cucu."

Papa menatapku serius, "Nara, selama ini Papa tidak pernah meminta apa pun darimu, kan?"

Aku terdiam, menunduk. "Tidak pernah, Pa."

"Kalau begitu, tolong turuti keinginan Papa kali ini. Menikahlah dengan Angga."

Hatiku hancur. Aku tidak ingin mengecewakan orang tua, terutama Papa yang sangat aku hormati. "Baiklah," kataku, pasrah. Angga menatapku penuh kemarahan, namun aku hanya bisa menundukkan kepala.

Om Arya tersenyum puas, "Nah, Angga, Nara sudah setuju. Kamu juga harus menerimanya."

"Baiklah," jawab Angga akhirnya, meski jelas dia tak senang.

"Kapan kalian ingin melangsungkan pernikahan?" tanya Om Arya.

"Besok," jawab Angga singkat, membuat suasana semakin berat bagiku.

---

Keesokan Harinya

Di rumah, segalanya telah tersusun rapi. Tidak ada pesta besar, hanya keluarga dekat yang hadir. Perasaan bahagia dan sedih bercampur aduk dalam diriku. Pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan karena paksaan.

'Bagaimana ini? Aku merasa bersalah pada Angga. Dia terpaksa menikahiku karena aku menyetujui perjodohan ini,' gumamku dalam hati.

Aku merasa berdosa pada Angga, tapi apa dayaku? Ini semua kehendak orang tua. Aku hanya bisa pasrah.

"Kak," suara adikku, Kenan, memanggil.

"Kenan?" jawabku, menoleh padanya.

"Kak, apa Kakak yakin mau menikah dengan orang yang Kakak tidak cintai?" tanyanya dengan nada serius.

"Kenan, ini sudah keputusan Kakak," jawabku pelan.

Kenan tiba-tiba memelukku erat. Air matanya jatuh, membuatku tersentuh karena jarang sekali dia menangis. "Kak, walaupun Kakak suka ngeselin, tapi rasanya berat melepaskan Kakak," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku tersenyum tipis, lalu mencubit pinggangnya. "Aduh, sakit, Kak!" rengeknya.

"Kamu yang ngeselin!" balasku, pura-pura kesal.

Kenan tertawa kecil, "Hahah, maaf, Kak. Gue sayang sama lu."

Aku mengusap kepalanya, "Terima kasih, adikku yang nggak ada ahlak," candaku, sambil tertawa bersama.

Kenan, yang berusia 18 tahun, memang selalu menjadi penghiburku. Walau kami berbeda usia tujuh tahun, hubungan kami sangat dekat.

Kini, semuanya telah selesai. Aku dan Angga resmi menjadi suami istri. Dengan hati berat, aku ikut Angga pulang ke rumah barunya.

Bab2

Sesampainya di rumah Angga, aku menurunkan koperku sendiri. Sedari tadi, Angga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku benar-benar tidak suka suasana hening seperti ini.

"Masuk," ucapnya singkat.

"Iya," jawabku, juga singkat.

"Kamarmu di lantai dua. Aku tidur di kamar bawah," katanya tanpa menoleh.

"Iya," aku kembali menjawab, tanpa banyak bicara.

Aku masuk ke kamar dan mulai merapikan barang-barang. Rasa sakit di hatiku kian terasa. Angga bahkan tidak peduli padaku, menatapku pun ia enggan.

'Ya, ini memang keputusan yang aku buat sendiri. Aku yang memilih untuk menerimanya. Jadi, aku juga yang harus menanggung semua rasa sakit ini,' pikirku sambil menghela napas panjang.

---

Pagi Hari

Pagi itu mendung, meskipun matahari masih terlihat bersinar di balik awan. Aku tidur cukup nyenyak semalam, meskipun kemarin adalah hari yang melelahkan. Saat aku berjalan menuruni tangga menuju dapur, seorang asisten rumah tangga yang baru saja datang langsung menyapaku.

"Pagi, Nyonya," ujarnya ramah.

"Pagi. Kamu siapa?" tanyaku.

"Saya Mimin, Nyonya. Asisten rumah tangga di sini," jawabnya.

"Oh, baiklah. Bi Mimin, apakah sudah ada sarapan?" tanyaku lagi.

"Sudah, Nyonya. Silakan," katanya sambil tersenyum.

Aku berjalan menuju meja makan dan duduk. Rasanya aneh. Baru kali ini aku merasa begitu kesepian. Biasanya, kalau di rumah, ada Kenan yang selalu mengusili ku. Tapi sekarang aku sendiri, dan tanpa sadar, air mataku jatuh.

"Loh, Nyonya, kok nangis?" suara Bi Mimin membuyarkan lamunanku.

"Ah, tidak apa-apa, Bi. Saya hanya rindu pada kedua orang tua saya," jawabku sambil menyeka air mata.

"Oh, saya kira kenapa," jawabnya, terlihat sedikit lega.

"Bi, Mas Angga sudah berangkat?" tanyaku.

"Sudah, Nyonya. Tuan tidak sarapan, langsung berangkat tadi pagi."

"Oh," jawabku singkat, merasa makin sepi.

Setelah selesai makan, aku kembali ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Tidak lama kemudian, ponselku berbunyi. Ternyata itu dari Nabila, sahabat sekaligus asistenku. Aku adalah seorang model, meskipun pekerjaan ini sering dipandang rendah oleh banyak orang. Tapi aku tidak peduli. Aku bangga dengan apa yang aku lakukan, meskipun lahir dari keluarga berada.

"Halo, Bil."

"Kenara, apa kamu lupa? Hari ini kamu ada jadwal pemotretan."

" Ah, iya, aku lupa. Maaf ya, Nabila. Bisa jemput aku di rumah?"

"Baiklah, aku ke sana sekarang."

"Eh, tunggu! Sekarang aku pindah rumah. Alamatnya di Jalan A."

"Oke, aku tunggu di depan rumahmu."

Setelah menutup telepon dari Nabila, aku langsung bersiap dan keluar dari kamar.

"Bi Mimin," panggilku.

"Ya, Nyonya?"

"Bi, saya mau berangkat kerja. Kalau ada apa-apa, telepon saya ya, ini nomor saya," kataku sambil menyerahkan nomor kontak.

"Baik, Nyonya. Tapi, apakah Nyonya sudah izin pada Tuan?" tanya Bi Mimin ragu.

"Biarkan saja. Dia tidak akan peduli padaku, jadi aku pergi dulu ya."

Suara klakson mobil Nabila sudah terdengar di luar. Aku pun langsung keluar dan menuju mobilnya.

"Wih, lu pindah rumah nggak bilang-bilang sama gue? Sahabat macam apa lu?" canda Nabila saat aku masuk ke mobil.

"Eh, ini rumah suamiku. Mana mungkin aku pindah sendiri ke rumah sebesar ini," jawabku sambil tertawa kecil.

"Ah, iya, gue lupa. Lu kan penakut," ledeknya.

"Sudahlah, ayo berangkat."

"Sorry ya, Nar. Gue nggak datang ke nikahan lu," ucap Nabila merasa bersalah.

"Ya nggak apa-apa. Lagian cuma akad, nggak ada pesta juga," jawabku ringan.

---

Sesampainya di lokasi pemotretan, aku langsung turun dan menuju ruang ganti. Meskipun aku seorang model, aku tidak pernah memakai pakaian terbuka. Aku hanya mengenakan pakaian muslim atau gaun.

"Bil, gue udah ganti. Ayo mulai," kataku setelah selesai berpakaian.

"Sabar kali, Nar. Emang lu pikir cuma lu yang jadi model di sini?" jawab Nabila dengan nada bercanda.

"Hehe, iya, maaf," ujarku sambil tertawa.

Setelah pemotretan selesai, aku ganti baju dan bersiap pulang. Namun sebelum pulang, aku dan Nabila memutuskan untuk makan di restoran di seberang lokasi pemotretan. Kami duduk dan memesan makanan.

"Nara, lo kok jadi makin kurus?" tanya Nabila tiba-tiba.

"Eh, Bil, lu jangan mentang-mentang badannya berisi terus ngeledek gue," jawabku setengah bercanda.

"Heh, Kenara Alianiy Putri, gue nggak ngeledek. Gue cuma ngomong apa yang gue lihat," jawabnya dengan nada serius.

"Mungkin mata lu aja yang minus," jawabku sambil tertawa.

"Enak aja, kampret!" balasnya.

"Ya elah, udahlah. Ayo makan, tuh makanan udah datang," ujarku sambil menunjuk ke arah pelayan yang membawa pesanan kami.

Bab3

Aku dan Nabila akhirnya berhenti bicara dan mulai menyantap makanan yang kami pesan. Namun, di tengah makan, betapa terkejutnya aku melihat pemandangan yang tak mengenakkan. Di meja sebelah, duduk Angga bersama seorang wanita yang ku pastikan adalah kekasihnya. Aku hanya bisa berpura-pura tidak melihat, berusaha tenang. Untung saja Nabila tidak menyadari bahwa pria di meja sebelah adalah suamiku.

"Nar, lo kenapa?" tanya Nabila, membuyarkan lamunanku.

"Ah, gue nggak apa-apa. Ayo lanjut makan. Setelah ini gue mau mampir ke restoran," jawabku cepat, berusaha mengalihkan perhatian.

"Ngapain ke sana? Tumben," tanyanya heran.

"Udah lama nggak ke sana aja," balasku singkat.

Aku pun fokus kembali ke makananku, berusaha keras untuk tidak melirik ke arah Angga. Namun, Angga yang sudah menyadari keberadaan ku sedari tadi, tampaknya sengaja bermesraan dengan wanita itu di hadapanku.

"Sayang, makan pelan-pelan dong, nanti keselek," ujar Angga, nadanya terdengar menyindir.

"Lah, aku makannya pelan kok," jawab wanita itu dengan manja.

"Oh, mungkin aku salah lihat, hhha," balas Angga dengan tawa ringan. Aku tahu, ucapan itu jelas ditujukan padaku.

"Sayang, kamu kapan mau nikahin aku?" tanya wanita itu, yang langsung membuatku tersedak.

"Secepatnya," jawab Angga dengan tenang.

Aku batuk-batuk, mencoba menahan perasaan yang bercampur aduk.

"Nar, lo kenapa?" tanya Nabila, khawatir.

"Ah, nggak. Barusan ada 'virus' lewat," jawabku, berusaha bercanda.

"Virus? Mana virusnya?" tanyanya, bingung.

"Nggak ada, udah hilang," jawabku cepat, mencoba mengakhiri percakapan.

"Bikin kaget aja lo, Nar."

"Nabila, udah yuk. Gue harus cepet-cepet, ada yang nunggu," ujarku, mulai kesal dan tidak tahan lagi dengan sindiran Angga.

"Siapa?" tanya Nabila penasaran.

"Pacarku," jawabku, sengaja mengucapkan dengan nada yang cukup keras, membuat Angga melirik ke arahku seketika.

"Apa? Lu kan udah nikah," ujar Nabila heran.

"Emang kenapa kalau udah nikah? Lu pikir gue nggak bisa selingkuh, ya?" balasku, menyindir Angga yang terlihat kesal namun berusaha menahan dirinya.

"Hebat, Nar! Emang kita, sebagai cewek, harus cepat bergerak. Jadi kalau ditinggalin, udah ada pelampiasan, haha," ledek Nabila, mendukung ucapanku.

"Haha, iya lah," jawabku, tersenyum getir. Setelah selesai makan, aku langsung membayar dan kami pun pergi.

---

Di dalam mobil, Nabila tampak ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, "Nar, gue ngerasa tadi kayak lo lagi adu sindir sama seseorang, deh."

"Hah, perasaan lo aja kali, Bil," jawabku mencoba santai.

"Serius. Gue ngeliat cowok di meja sebelah tadi kayak nggak senang denger omongan lo," katanya lagi.

"Yakali. Nggak mungkin," jawabku, mencoba mengelak.

"Ah, lo mah," Nabila tampak menyerah. Perjalanan kembali berlangsung dalam diam.

Dalam hatiku, ada perasaan yang begitu sakit saat wanita itu bertanya kapan Angga akan menikahinya. Hatiku hancur meski aku tahu pernikahan ini hanya karena perjodohan. Tapi aku tetap istrinya. Kenapa dia terus melukai hatiku? Rasanya ingin menyerah sebelum berjuang.

Beberapa menit kemudian, kami sampai di restoran milikku. Begitu aku masuk, para karyawan langsung menyambut ku.

"Siang, Bu Nara," sapa salah satu dari mereka.

"Siang juga," jawabku sambil tersenyum. Aku pun masuk ke ruang kerjaku, diikuti oleh Nabila.

"Huh, nggak banyak yang tau kalau si model cantik ini ternyata pemilik Ken Restoran," ujar Nabila, menggoda.

Ya, memang hanya orang terdekatku yang tahu aku adalah pemilik restoran yang cukup terkenal di kota ini dan beberapa kota lainnya. Banyak yang mengira aku hanya model biasa dengan penghasilan kecil.

"Untuk apa banyak orang tahu? Kalau mereka tahu, mereka akan mendekat tanpa ketulusan," jawabku.

"Bener juga sih," balas Nabila setuju.

Setelah selesai mengurus beberapa urusan di restoran, aku dan Nabila langsung keluar. Dia pun mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, aku terkejut melihat sosok pria yang berdiri di depan pintu. Itu Angga.

"Angga," ucapku pelan, tidak menyangka.

"Ya, ini aku," jawabnya singkat.

"Oh."

"Kenara, aku tidak suka kalau kamu bermain dengan pria lain di belakangku," ucapnya sambil menggenggam tanganku dengan erat.

"Jadi, aku tidak boleh bermain dengan pria lain, tapi kamu bebas bersama kekasihmu? Itu tidak adil, Angga," balasku, suaraku bergetar menahan emosi.

"Aku sudah katakan berkali-kali, ini berbeda. Aku akan menikahinya dua minggu lagi," jawab Angga dingin, seolah tak peduli dengan perasaanku.

"Lepaskan tangan aku! Menikahlah dengannya, dan ceraikan aku!" Aku tak bisa lagi menahan air mata yang akhirnya jatuh.

"Haha, mimpi! Aku tidak akan menceraikan mu. Jangan terlalu berharap," ucap Angga sambil melepaskan genggamannya. Aku langsung berlari ke kamar, mengunci pintu, dan terisak.

'Tuhan, sesakit ini kah mencintai orang yang tidak mencintaiku? Salahkah jika aku memintanya menceraikan aku?' gumamku dalam hati.

'Ma, Pa, maafkan Kenara yang mungkin tidak bisa mempertahankan rumah tangga ini,' pikirku dengan perasaan yang hancur.

Aku terus menangis tanpa henti. Siapa yang tidak bingung dengan pemikiran pria seperti Angga? Dia tidak mencintaiku, tapi juga tidak mau melepas ku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!