NovelToon NovelToon

MENANTI MENTARI

Menjelang Keberangkatan

Pembaca yang bijak,

Novel ini bisa dikatakan kelanjutan karyaku sebelumnya, SELALU ADA TEMPAT BERSANDAR. Untuk mengenal karakter para tokoh, pembaca bisa menengok novelku tersebut. Untuk melengkapinya, baca juga novel Kak Indri Hapsari, Cinta Strata 1. Di sini bukan lagi Via dan Farhan yang menjadi tokoh utama, melainkan sang adik yaitu Azka dan istrinya, Meli.

Selamat membaca.

❤️❤️❤️

Meli menarik kopernya ke luar peron. Kedua orang tuanya mengikuti dari belakang. Mereka menuju parkiran.

“Nak Via bilang kalau kita dijemput, Mel?” Bu Fatimah mempertanyakan, seperti kurang yakin.

“Iya, Bu. Sebentar, Meli lihat dulu.”

Mata Meli menyapu tempat parkir. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana. Semuanya mobil rakyat.

“Kok nggak kelihatan ada mobil Mbak Via, ya?” gumam Meli.

“Memangnya kamu hafal mobilnya? Semua kan plat AB,” celetuk Pak Roni.

“Ih, Ayah ni! Meli memang nggak hafal mobil Mbak Via. Tapi, setidaknya mobilnya bukan mobil rakyat yang harganya di bawah 500 juta,” sahut Meli.

Pak Roni menatap Meli ragu.

“Memangnya kamu tahu harga mobil-mobil itu?”

“Persisnya ya nggak tahu. Meli tahunya mobil-mobil itu harganya paling mahal sekitar 250 juta.”

Pak Roni menatap kagum. Ia merasa Meli sudah banyak tahu barang-barang mewah.

Meli mengambil gawai dari tasnya. Ia bermaksud menghubungi Via. Namun, hal itu diurungkan saat sebuah mobil premium produksi negeri sakura memasuki lokasi parkir. Tak lama seorang pria berusia sekitar 50-an tahun berlari mendekat.

“Ma-maaf, Mbak Meli, saya terlambat. Tadi terjebak macet karena ada kecelakaan dan saya tidak bisa putar balik,” ucapnya.

“Tidak apa-apa, Pak Nono. Kami juga belum begitu lama. Belum ada 30 menit, kok,” jawab Meli.

“Mari, kita ke rumah. Biar saya bawakan barang-barangnya,” kata Pak Nono sopan.

“Bapak bawa kardus itu saja. Kalau koper, biar Meli dan ayah yang bawa. Kardusnya agak berat,” sahut Meli.

Pak Nono menurut. Ia membawa 2 kardus besar yang cukup berat ke mobil. Setelah menata semua barang bawaan keluarga Meli, Pak Nono mengemudikan mobil menuju kediaman Via.

“Kenapa kita nggak ke kediaman Eyang Probo?” tanya Meli.

“Mbak Via nyuruh kita ke rumah Mbak Via,” jawab Pak Nono.

Jawaban Pak Nono memang tidak memuaskan. Namun, Meli tak mungkin mendesak. Ia memilih diam hingga sampai kediaman Via.

Via menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Ia mempersilakan ketiganya untuk membersihkan diri terlebih dahulu.

“Ada sesuatu yang terjadi hingga terlambat?” tanya Via setelah mempersilakan tamunya mengambil hidangan makan malam.

“Tadi ada kecelakaan kata Pak Nono. Sampai stasiun juga agak terlambat. Lalu dari stasiun ke sini ambil jalan memutar menghindari lokasi kecelakaan.” Meli menjelaskan.

“Oh, begitu. Silakan dinikmati, jangan sungkan!” ucap Via. Ia menuangkan air putih untuk ketiga tamunya.

“Kenapa kami nggak nginep di rumah Eyang Probo?” tanya Bu Fatimah.

“Iya, kami kan juga ingin menemui beliau,” sambung Pak Roni.

Via menghela nafas panjang. Kemudian, ia mengulas senyum tipis untuk menutupi kegundahan hatinya.

“Maaf, kalau Om dan Tante ingin menemui eyang, sebaiknya sepulang dari Medan saja. Eyang tidak tahu kalau Om dan Tante akan ikut menghadiri wisuda Dek Azka. Kalau sampai tahu, tentu beliau akan merengek ikut. Padahal, kondisi eyang belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh. Ayah juga besok nggak ikut karena menjaga eyang. Cuma bunda yang hadir.”

“Oh, begitu. Lalu Nak Farhan ke mana? Belum pulang?” tanya Pak Roni.

“Mas Farhan di rumah Eyang Probo. Hampir setiap malam Mas Farhan di sana, menemani eyang hingga eyang tidur.  Kalau sudah tidur, barulah Mas Farhan pulang. Biasanya sekitar jam 9 malam.”

Dalam hati kedua orang tua Meli memuji akhlak Farhan. Mereka pun berharap sang menantu memiliki akhlak tak berbeda dengan kakaknya.

“Kita berangkat jam berapa besok?” ganti Bu Fatimah yang bertanya.

“Sekitar jam 10, Bu. Lusa kita baru menghadiri wisuda Dek Azka.”

“Kita berenam yang berangkat ke Medan?” tanya Meli.

“Bukan berenam, tapi berdelapan. Mas Rio akan ikut, sekalian jenguk adik angkatnya. Lagian dia kan dekat banget sama Dek Azka sejak dulu. Dan, jangan lupakan Zayn! Dia ikut juga.” Via menyunggingkan senyum.

Meli menepuk keningnya. Ia lupa keponakan lucunya.

“Kenapa aku bisa lupa Zayn?” desis Meli.

“Karena kau jauh darinya,” sahut Via.

Baru saja mereka menyelesaikan makan malam, Farhan pulang. Ayah satu anak itu menyapa keluarga Meli yang akan meninggalkan ruang makan.

“Nak Farhan baru pulang dari kediaman eyang? Bagaimana kondisi beliau?” tanya Pak Roni setelah saling bertanya kabar.

“Alhamdulillah stabil. Tapi, tetap saja beliau belum bisa bepergian jauh. Makanya, besok eyang nggak boleh ikut. Sebenarnya, eyang sangat ingin menunggui saat wisuda Dek Azka.”

“Ya, bagaimana lagi? Semua untuk kebaikan beliau,” ujar Pak Roni.

“Betul, Om. Silakan ke ruang keluarga. Kita bisa lanjutkan ngobrol di sana,” ajak Farhan.

Meli dan kedua orang tuanya menurut. Mereka meninggalkan ruang makan menuju ruang keluarga.

Tak lama kemudian, Bu Inah menyuguhkan teh hangat beserta camilan.

“Bagaimana rencana acara di Medan?” tanya Bu Fatimah.

“Insya Allah kita tiba di sana menjelang ashar. Kita menginap di rumah Om Candra. Insya Allah kami akan ke lapas untuk menjenguk adik angkat Rio sekitar jam 4 sampai jam 5. Esoknya, kita ke kampus Dek Azka menghadiri acara wisuda. Biar bunda dan Meli yang ikut masuk aula mengikuti prosesi. Setelah itu, kita menginap lagi semalam. Baru keesokan harinya kita kembali ke Jogja.” Via menjelaskan panjang lebar.

“Kampus Mas Azka jauh nggak dari rumah Om Candra?” tanya Meli.

“Enggak. Perjalanan nggak sampai setengah jam. Itu pun dalam kondisi lalu lintas padat.” Kali ini Farhan yang menjawab.

Mereka kemudian banyak bertanya tentang kuliah Azka. Akhirnya, mereka beralih topik ke resepsi pernikahan. Ya, Azka sudah menikah dengan Meli beberapa bulan sebelumnya di Jember, di kediaman Meli. Namun, mereka belum sempat mengadakan resepsi di Jogja, kota kelahiran Azka.

“Kalau Om dan Tante berkenan, dari Medan Om dan Tante kembali lagi ke sini. Kita bicarakan tentang resepsi pernikahan di rumah Eyang Probo. Sebenarnya, detailnya nanti bisa diserahkan kepada pihak WO. Tapi, untuk menghormati eyang, ayah dan bunda ingin pembicaraan ini melibatkan beliau,” tutur Farhan.

“Bagaimana, Bu? Sekalian kita liburan seminggu?” Pak Roni menawari.

“Terserah Ayah saja,” jawab Bu Fatimah pasrah.

“Kalau Meli bagaimana?”

Meli celingukan mendapat pertanyaan dari ayahnya. Ia ingin segera menetap di Jogja agar dekat dengan Azka, suaminya. Namun, ia sendiri malu mengungkapkan.

“Meli mungkin menyusul saja pulangnya. Dia cari kampus dulu,” usul Via..

“O iya, kamu juga mesti cari sekolah yang baru,” ucap Pak Roni.

Sampai saat ini, Meli kuliah di Jember, mengambil fakultas ekonomi. Berhubung Azka sudah lulus S-2 dan akan pulang menetap di Jogja, Meli pun ikut tinggal di Jogja. Kuliahnya juga harus pindah.

Perbincangan mereka berakhir kala waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Mereka perlu memenuhi hak raga untuk beristirahat. Paginya, mereka kembali melakukan perjalanan ke Medan.

***

Pukul 7 semua orang sudah selesai sarapan. Zayn, putra sulung pasangan Farhan dan Via, tak ketinggalan. Ia begitu senang diajak bepergian. Sambil menunggu waktu keberangkatan, ia bermain dengan Meli, sang  tante.

“Pak Yudi sudah berangkat jemput bunda?” tanya Via.

“Iya, sudah. Pak Nono sedang jemput Rio,” jawab Farhan.

Koper sudah berbaris di teras. Oleh-oleh untuk keluarga Pak Candra, adik dari almarhum papa Via, ikut berbaris di dekat koper.

Via buru-buru mengambil gawai dari dalam tasnya ketika mendengar notifikasi panggilan. Ikon warna hijau ia geser.

“Assalamualaikum.”

….

“Iya, sebentar lagi berangkat. Ini lagi nunggu bunda dan Rio.”

….

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Kapan, Om?”

….

“Iya, Om. Via mengerti.”

….

“Waalaikumsalam warahmatullah.”

Via menyimpan kembali benda pipih cerdasnya. Wajahnya terlihat sendu. Farhan segera menanyakan berita yang baru Via dapatkan.

“Siapa yang menelepon tadi? Ada apa? Ada yang meninggal?”

Via tidak langsung menjawab. Ia tampak menenangkan diri. Semua orang, kecuali Zayn yang belum tahu apa-apa, tampak tegang menanti.

“Om Candra yang menelepon. Iya, ada yang meninggal, Om ….”

Ucapan Via terjeda karena kedatangan Rio. Mata Via menatap lelaki teman Azka, adik iparnya.

***

Bersambung

Mohon dukungan dengan klik like dan tinggalkan komen di setiap episode. Terima kasih.

Di Rumah Duka

Via tidak langsung menjawab. Ia tampak menenangkan diri. Semua orang, kecuali Zayn yang belum tahu apa-apa, tampak tegang menanti.

“Om Candra yang menelepon. Iya, ada yang meninggal, Om ….”

Ucapan Via terjeda karena kedatangan Rio. Mata Via menatap lelaki teman Azka, adik iparnya.

“Assalamualaikum semua,” sapa Rio.

“Waalaikumsalam.” Semua menjawab serentak.

“Wah, sudah siap semuanya. Kita berangkat sekarang?” tanya Rio.

“Sebentar, nunggu bunda. Pak Yudi sedang menjemput ke rumah Eyang Probo.” Farhan menjawab sembari melirik Via yang tampak gelisah.

“Pak dokter Haris tidak ikut?”

“Tidak. Nanti yang jaga eyangku siapa?”

Baru saja dibicarakan, Bu Aisyah datang. Ia turun dengan menenteng hand bag-nya.

“Assalamualaikum,” ucap Bu Aisyah yang segera dijawab orang yang tengah duduk di teras.

“Sudah siap, ya?” tanya Bu Aisyah sembari menyalami besan dan menantunya. Farhan menyalami  terakhir.

“Sudah, Bunda. Tapi, Via mau bicara dengan Bunda sebentar.” Via mengajak Bu Aisyah ke dalam.

Farhan hanya melihat keduanya melalui ekor matanya. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka keluar.

“Bagaimana kalau kita berangkat sekarang agar tidak terburu-buru?” Bu Aisyah menawari.

“Iya, kita berangkat,” Pak Roni menyahut dengan penuh semangat.

Meli mengangkat tubuh Zayn. Via justru hanya membawa tas kecil berisi dot dan keperluan Zayn yang lain. Sementara Farhan dan Rio dibantu satpam mengangkat koper dan barang lain ke bagasi mobil.

Dua mobil Via meninggalkan rumah megah yang dibangun semasa papa Via masih hidup. Roda mobil mulai menggilas aspal jalanan Kota Gudeg dengan kecepatan sedang.

“Eh, Zayn ikut Meli, ya? Apa nggak rewel itu anak?” Bu Aisyah baru menyadari kalau cucunya tak berada di mobil yang ia tumpangi.

“Biar saja dekat dengan tantenya. Kalau rewel, Meli tentu telepon. Kita bisa berhenti sejenak,” jawab Farhan santai.

Bu Aisyah menarik nafas lega. Ia tak lagi mencemaskan cucu pertamanya.

“Tadi  di telepon Om Candra bilang apa, sih? Siapa yang meninggal?” tanya Farhan.

Via melirik Bu Aisyah. Kebetulan, bunda mertuanya tengah menatapnya. Sang bunda mengangguk, memberi isyarat agar Via menceritakan kepada Farhan.

Farhan mendengarkan cerita Via dengan saksama. Ia mengangguk-angguk setuju.

Perjalanan ke bandara cukup lancer. Demikian pula penerbangan ke Medan. Pesawat tidak delay. Sebelum ashar, mereka sudah tiba.

Ternyata, Azka ikut menjemput. Begitu melihat keluarganya, Azka segera mendekat. Ia mencium takzim tangan Bu Aisyah dan kedua orang tua Meli. Setelahnya, baru ia memberi pelukan dan ciuman untuk sang istri.

“Kita juga pemilik dunia ini, Bro! Masa dikacangin,” gerutu Rio.

Azka melepas pelukannya. Ia tertawa lalu memeluk Farhan dan Rio bergantian.

“Kakak iparmu nggak usah dipeluk!” ucap Farhan dingin.

“Siapa juga yang mau meluk? Mulai deh, posesifnya kambuh,” desis Azka.

“Sudah, sekarang bantu angkat barang ke mobil, Ka!” Bu Aisyah melerai.

Mereka berjalan beriringan menuju mobil.

“Kaum pria jadi satu mobil. Ibu-ibu misah, ya,” kata Via.

“Eh, aku nggak bareng Mas Azka dong!” Meli kebingungan.

“Nanti malam boleh kamu puaskan berdua Mas Azkamu. Sekarang ada hal penting yang harus dibicarakan. Udah, nanti kuberi tahu di mobil,” bisik Via.

Sesuai instruksi, Via, Bu Aisyah, Bu Fatimah, dan Meli juga Zayn berada dalam satu mobil. Yang lain masuk ke mobil berbeda. Setelah semua siap, sopir melajukan mobil perlahan membelah keramaian Kota Medan.

“Maaf, Mel. Aku nggak bermaksud mengerjaimu. Ada hal yang harus dibicarakan dengan Mas Rio. Mungkin dia akan lebih nyaman bila di dekatnya kaum  pria, tidak ada wanita.” Via memberi Meli pengertian.

“Memang membaicarakan soal apa?”

“Musibah. Orang tua angkat Mas Rio meninggal. Tadi waktu kita akan berangkat, Om Candra mengabarkan  hal ini.”

“Innalillahi wa innailaihi rajiuun. Kasihan bener Mas Rio. Menjelang pernikahannya malah orang tuanya meninggal.”

Via menarik nafas panjang untuk mengurangi sesak di dadanya. Ia tahu betul nasib Rio. Seorang anak yatim piatu yang sejak bayi hidup di panti asuhan. Ia diangkat anak keluarga Danu waktu berusia sekitar 3 tahun karena keluarga angkatnya belum memiliki keturunan. Setahun kemudian, adik angkatnya lahir. Baru saja ia lulus S1, keluarga angkatnya jatuh miskin hingga ayah angkatnya stroke. Orang tua dan adik angkatnya menumpang di rumah adik mamah angkatnya. Dia ditelantarkan hingga kembali tinggal dipinti asuhan.

“Maaf, kita langsung ke rumah Om David. Pemakaman jam 4 sore. Kita berhenti di masjid nanti untuk salat,” kata Bu Aisyah.

Meli dan ibunya mengangguk setuju. Perjalanan langsung menuju ke kediaman keluarga David.

Saat mereka turun, upacara pemberangkatan jenazah akan dimulai. Rio berjalan paling depan dengan muka sedikit sembab.

“Mas Rio! Mamah, Mas. Mamah sudah ….” kalimat gadis memakai seragam napi terjeda.

Rupanya ia tak sanggup melanjutkan. Gadis itu memeluk Rio erat dan menenggelamkan wajahnya di dada Rio.

“Iya, Mas tahu. Kamu harus sabar, Lia. Ikhlaskan mamah pergi, ya,” ucap Rio dengan suara parau.

Tangis gadis bernama Lia itu mereda. Ia belum melepas pelukannya.

“Papah, bagaimana dengan papah, Mas?”

“Nanti biar aku yang urus papah. Kamu nggak usah mikir terlalu berat. Doakan mamah agar mendapat ampunan dari Allah, dilapangkan kuburnya.”

Tepukan di bahu Lia membuatnya tersentak dan melepaskan pelukannya. Lia menoleh, ternyata Via di belakangnya.

“Via, maafkan mamah. Maafkan keluargaku. Keluargaku sudah banyak salah,” tangis Lia meledak lagi.

“Iya, insya Allah kami sudah memaafkan. Jangan meratapi kepergian mamahmu agar perjalannya tidak tersendat. Kamu saying mamah, kan?” ucap Via lembut.

Lia melepaskan pelukannya. Ia mengusap air mata yang membanjiri pipi.

“Upacara sudah hampir dimulai. Mas, apa nggak menyalatkan jenazah?” bisik Via ke telinga Farhan.

“Iya, ni Mas mau ajak Rio, Dek Azka, dan Om Roni.”

Keempatnya mendekat ke keranda. Mereka bergabung dengan beberapa orang yang hendak menyalati jenazah.

“Lho, kamu bilang yang meninggal 2 orang. Kenapa keranda cuma satu?” bisik Meli.

“Om David agamanya Nasrani. Pemakamannya nggak sekarang. Mungkin jenazahnya disemayamkan di ruangan lain,” jawab Via juga dengan berbisik.

“Gadis itu adik angkat Mas Rio?” bisik Meli lagi.

Via mengangguk mengiyakan. Lia yang dibicarakan Meli tampaknya tidak mendengar. Ia tenggelam dalam lamunan.

“Lia, kamu kan sudah mulai berhijrah. Kamu jangan sampai goyah, ya! Minta ajari kepada pembimbingmu bagaimana mendoakan orang tua yang telah meninggal. Untuk papahmu, biar nanti diurus Mas Rio. Mungkin nanti papahmu kami bawa.”

“A—aku sendirian di kota ini?” desis Lia.

“Bukankah di lapas banyak teman? Setiap kali aku ke Medan, insya Allah kusempatkan menemuimu. Ingat, aku punya om di sini. Jangan merasa sendiri, merasa terasing atau dikucilkan!” hibur Via.

Lia mengangguk. Ia sudah sedikit tenang.

“Lalu, pemakaman Om David kapan dilakukan?”

“Entahlah, aku belum sempat menanyakan. Aku juga baru datang sekitar seperempat jam yang lalu. Kudengar pengacara Tuan Candra Wijaya yang mengurus ijin agar aku bisa mengikuti prosesi pemakaman mamah.”

Via mengangguk-angguk. Ia mengerti, om-nya pasti ikut campur dalam hal ini. Kalau tidak, mungkin Lia tidak dapat mengantar mamahnya ke tempat peristiraahatan terakhir.

“Kamu sudah bertemu papahmu?:

“Sudah, sebentar. Papah terlihat sangat terpukul. Ia juga bingung siapa yang akan merawatnya. Kamu tahu sendiri kondisi papahku. Tapi, tadi Mas Rio bilang siap merawat papah. Aku sedikit lega. Mudah-mudahan papah mau,” jawab Lia.

“Kamu sepertinya ragu? Kalau papahmu nggak mau, apa mau tetap di sini? Tantemu sendiri saat ini masih dirawat di rumah sakit. Sepupumu mau merawat papahmu?”

“Iya, di sini memang tidak ada yang merawat papah. Tapi, papah orangnya keras kepala. Mungkin saja papah menolak karena gengsi, dulu ikut menelantarkan Mas Rio.”

Via menghela nafas panjang. Ia juga tahu kerasnya hati seorang Danu Santoso, papah Lia.

“Kkkah—mu di—ssii—nih?” pekik seorang pria tua yang duduk di kursi roda.

Via dan Lia menoleh. Mereka tampak terkejut

***

Bersambung

Siapa pria itu? Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti terus, ya! Bagi yang ingin mengenal karakter para tokoh, silakan baca dulu novel SELALU ADA TEMPAT BERSANDAR dan CINTA STRATA 1!

Jangan lupa klik like dan tinggalkan komentar.

Membuka Mata Hati

Via menghela nafas panjang. Ia juga tahu kerasnya hati seorang Danu Santoso, papah Lia.

“Kkkah—mu di—ssii—nih?” pekik seorang pria tua yang duduk di kursi roda.

Via dan Lia menoleh. Mereka tampak terkejut.

Lia buru\=buru mendekati papahnya yang mendekat, didorong salah satu satpam rumah Pak David. Ia berjongkok di depan kursi roda.

“Pah, tolong dengarkan Lia. Selama ini kita sudah berusaha mencelakai keluarga Via. Bahkan, Lia menyuruh orang membunuh suaminya. Memang usaha Lia gagal dan berujung dijebloskannya Lia ke penjara. Lia akui Lia salah. Meski begitu, mereka masih baik sama Lia.”

Pria itu membuang muka ke kiri. Sementara Lia masih di posisinya, berjongkok di depan papahnya.

“Pah, Lia sekarang sudah sadar. Lia ingin bertobat. Papah juga, ya. Berdamailah dengan diri sendiri! Hapuskan dendam yang ada di hati papah. Lihatlah kenyataan yang ada! Keluarga Via tidak jahat. Mereka justru mau menengok Lia di penjara di saat keluarga Lia tak ada yang mau menengok.”

Tangis Lia kembali pecah. Tidak hanya isakan yang terdengar tetapi raungan. Papahnya tampak tertegun.

“Lia, jangan begitu! Orang-orang lihatin kamu, tuh. Ayo, hapus air matamu! Sebentar lagi upacara pemberangkatan jenazah mamah kamu,” bujuk Bu Aisyah yang segera mendekat begitu mengetahui Lia menangis keras.

Dengan dibantu Bu Aisyah, Lia berdiri. Baru saja berdiri, ia memeluk Bu Aisyah dan menumpahkan tangisnya.

Dengan sabar, Bu Aisyah membujuk Lia dan menenangkan gadis itu. Setelah beberapa saat, tangis Lia mereda.

“Pak Danu, lupakanlah dendam Bapak. Apalagi saat ini keluarga Bapak tengah berkabung. Sebaiknya kita fokus pada pemakaman istri Bapak,” ucap Bu Aisyah.

Papah kandung Lia hanya diam membisu. Sebenarnya, hati kecilnya mengakui kalau dia yang salah. Dia yang telah membuat perusahaan almarhum papa Via bangkrut. Lia beberapa kali berusaha mencelakai Via. Demikian juga dirinya dan sekutunya, pernah berusaha membuat Via celaka.

Namun, keadaan berbalik saat Via telah menikah dengan Farhan. Perusahaan milik Danu Santoso beserta sekutunya gulung tikar. Ia sendiri menderita stroke karena tekanan batin yang ia rasakan. Itu membuatnya masih membenci Via.

Beberapa saat kemudian, upacara pemberangkatan jenazah dimulai. Memang tak banyak yang hadir dan upacara pemberangkatan jenazah pun berlangsung singkat.

Begitu liang lahat tertutup tanah, air mata Lia kembali membanjiri pipinya. Tak ada isak yang keluar. Ia menatap Rio dan papahnya bergantian.

“Pah, sebentar lagi Lia kembali. Tolong jaga diri papah baik-baik. Ikutlah Mas Rio! Biarkan Mas Rio yang merawat papah, ya!” ucap Lia sembari menghapus air matanya.

Pak Danu diam. Ia membalas menatap Lia dan Rio. Rio pun mendekat.

“Iya, Pah. Izinkan Rio merawat papah. Sementara, papah ikut Rio menginap di rumah Om Candra, ya. Lusa kita kembali ke Jogja,” kata Rio penuh harap.

Papah angkat Rio masih diam. Matanya tampak berkaca-kaca. Akhirnya, ia mengangguk.

Rio dan Lia menarik nafas lega. Mereka saling tatap dan mengulas senyum tipis.

“Nona Aurelia, saatnya Nona kembali. Mari!” kata seorang petugas lapas sopan.

“Iya, Bu. Sebentar, saya pamitan dulu,” jawab Lia.

Gadis itu berjongkok kembali di samping makam yang masih basah. Ia berkata-kata sejenak lalu menghampiri papahnya.

“Pah, Lia kembali ke lapas. Doakan Lia agar bisa jadi orang baik! jaga diri Papah, ya!” ucap Lia dengan suara bergetar.

Gadis itu menoleh ke Rio, kakak angkatnya. Ia memegang kedua tangan Rio.

“Mas, titip papah. Lia yakin Mas Rio orang baik, tidak menaruh dendam meski kami dulu pernah berlaku buruk. Semoga kita bisa berkumpul lagi.” Lia kembali meneteskan air mata.

“Iya, kamu juga jaga diri di sana! Ikuti bimbingan rohani dengan baik. Insya Allah kita bisa berkumpul kembali,” sahut Rio.

Lia digandeng petugas lapas melangkah menjauh. Semua yang ada di makam menatap kepergian gadis itu.

“Rio, sebaiknya kau membereskan keperluan papahmu. Setelah itu, kita ke rumah Om Candra.” Farhan menepuk bahu Rio.

Pemuda itu mengangguk. Ia segera mendorong kursi roda papahnya menuju kediaman om angkatnya.

***

Sesampai kediaman Candra Wijaya, semua dipersilakan menempati kamar tamu yang telah disediakan. Mereka menempati kamar di lantai 1, kecuali Azka, Via dan Farhan. Mereka memang memiliki kamar sendiri. Azka tinggal di rumah Pak Candra selama kuliah. Sementara, Via adalah satu-satunya keponakan Pak Candra Wijaya.

Pak Candra sengaja tidak menemui Papah angkat Rio, Danu Santoso. Ia khawatir Danu Santoso akan kembali teringat akan dendam lamanya kepada papa Via yang telah tiada karena kecelakaan. Wajah Candra Wijaya memang sangat mirip dengan Beni Wijaya, papa Via, yang lebih dikenal dengan nama Wirawan.

Saat makan malam, Rio mengalah tidak makan bersama yang lain. Ia menemani papahnya makan di kamar. Danu memang masih canggung di rumah itu.

Usai makan malam, mereka berbincang di ruang keluarga. Azka menjadi bintang utama.

“Ka, kamu beneran sudah nggak betah di Medan?” tanya Candra Wijaya.

“Bukannya nggak betah di Medan, Om. Azka kan deserahi mengurus salah satu anak cabang Kencana Grup. Selain itu, Eyang Probo yang sakit membua Azka tak tenang berjauhan dengan eyang.”

“Sudah, cuma itu alasanmu, Dek?” Farhan manaik-turunkan alisnya.

“Memang apa lagi?” Azka balik bertanya.

Via melirik Meli yang tengahmenunduk. Ia paham maksud Farhan, suaminya.

“Bagaimana dengan calon ibu dari anak-anakmu? Tidakkah dia menjadi alasan utamamu?” Via menyambung sambil menyungging senyum.

Muka Meli tampak memerah. Sementara Azka masih tetap santai.

“Kalau yang itu sudah pasti. Siapa sih yang nggak ingin kumpul dengan istri yang dicintai? Mas Farhan dan Mbak Via saja yang aneh dulu. Bisa-bisanya tinggal sekota tapi nggak serumah. Gayanya seperti …”

Ucapan Azka terhenti karena kepalanya ditimpuk bantal yang dilempar Farhan.

“Jangan ungkit masa lalu! Kamu nggak tahu rasanya menahan perasaan. Istri di depan mata tapi nggak bisa dipeluk,” gerutu Farhan.

Semua orang tertawa termasuk Via. Ia tak lagi bersedih mengingat saat awal pernikahan. Ia dan Farhan tidak tinggal bersama untuk menjaga keselamatan Via dari incaran Danu Santoso dan teman-temannya. Mereka terpaksa menyembunyikan fakta bahwa mereka adalah suami-istri.

“Baju, dasi, dan semua perlengkapan untuk besok sudah disiapkan?” tanya Bu Aisyah.

“Sudah, Bun. Besok Bunda dan Meli yang masuk auditorium, kan?” ganti Azka yang bertanya.

Bu Aisyah tidak menjawab. Ia menatap Meli menantunya.

“Bagaimana, Mel?” tanya Bu Aisyah.

Meli sedikit gugup mendapat pertanyaan yang sebenarnya sangat biasa. Dia balik menatap bunda mertua. lalu, ia ganti menata kedua orang tuanya.

“Terserah kamu, Mel,” ucap Bu Fatimah.

“Apa aku saja sama bunda?” canda Via dengan senyum lebar.

“Ish, apaan sih? Kamu itu cukup dampingi aku seorang,” gerutu Farhan.

“Kumat posesifnya,” desis Azka.

Untung saja Farhan tidak mendengarnya. Ia tidak melibas Azka kembali.

Saat itu, Rio melintas di dekat ruang keluarga. Azka pun memanggil sahabatnya.

“Papahmu sudah makan?" tanya Azka.

“Sudah. Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Alhamdulillah kalau Om Danu mau makan,” ucap Via dan tantenya lega.

Rio mengangguk. Setelah ke dapur untuk meletakkan kiriman dan pesanan obat, ia ikut bergabung dengan yang lain.

“Besok kita berangkat pukul 6.45. Acara akan dimulai  pukul 7.30.” Azka memberi tahu.

“Maaf Ka, aku sepertinya tidak bisa ikut. Aku sangat menyesal.”

Azka menatap sahabatnya. Ada gurat kecewa di wajah tampan Azka.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!