"Dulu, aku belum mengerti mengenai mimpi dalam imaji, namun asa itu tergenggam hampir dekat dengan denyut realita."
🪐🪐🪐🪐
Adinda tersenyum, sangat lebar. Tidak tahu apa yang membuat dia seperti ini, bahagia.
Yang sempat menjadi kabut pekat dalam dada, berhari-hari mengantongkan sebuah nestapa seorang diri, sembari menonton kebahagiaan fans sebatas layar HP.
Dengan iseng masuk ke sebuah chat room, setelah mendapati respon, belum menghentikan rongga-rongga bahagia dalam perut, bertebaran sangat hangat.
Seorang yang sedang chat dengan gadis itu lewat chatroom di salah satu aplikasi, sering terpakai fans maupun rambut mie london dalam berbagi story. Telah memberikan satu asa, benar-benar menghalau kabut dalam wajah Adinda.
Masih asyik dengan sebuah hal ingin diperjuangkan, saat yang lain tertidur dalam bola mimpi delusi, berbeda dengan Adinda, ingin menjemput penuh prestasi lewat genggaman bule london.
Benar. Prestasi yang diidamkan seorang gadis aksara, saat tak dianggap oleh orang sekitar. Dengan cara menyodorkan ke orang asing, tak pernah tersapa mata apalagi datang konser ke sentani, jayapura.
Tertambah sebuah rupiah sedang kendala, semakin buat dia ingin memperjuangkan dengan segera.
Bismillah. Semoga bisa mendapati apa yang selama ini di idamkan lewat aksara.
Mimpi-mimpi sempat tertinggal, kali pertama berupaya menerjemahkan ke dalam bentuk inggris, sampai memungut banyak bulir bening dalam sajak.
Oh, benar juga Adinda baru menyadari saat tertinggal itu, harus banyak revisi diksi tak layak dicetak.
Sampai mengantarkan pada seorang dalam chatroom tersebut.
Lagi, tersenyum sangat bahagia.
Mengingat kembali, saat naskah pertama A Dreams beralih pada Fighting Dreamer! Banyak diksi yang harus dirombak sangat teliti.
Alhamdulillah, saat sebelum Harris J tiba dengan lancar di indonesia, dia mendapati sebuah pintu asa dari seorang yang sangat humble, akan mendahagakan sebuah rongga desak-mendesak, hampir terisak dalam kesunyian. Dan, berpikir kalau mimpi serta tujuan itu tenggelam tak memiliki kesempatan Harris J bersemuka dengan novel dibuatnya, tanpa bermain dengan waktu apalagi mengumpulkan sebuah foto pun vidio bule tersebut.
Tidak begitu mempermasalahkan mengenai fotbar atau dinner saat ada give away dari panitia.
Hanya satu, prestasi dan apresiasi.
"Oh, satu hal lagi, jadi sahabatmu." Ucap Adinda sendiri.
Memang sih sepulang dari kota Big Ben, mendatangi sebuah acara pernikahan diatas panggung, rambut mie london telah menganggap dirinya sebagai sahabat.
Sayang, waktu itu tidak sempat memberikan novel itu ke Harris J di London. Karena lupa bawa ke dalam ransel, terburu-buru tidak ingin tertinggal pesawat.
Ah, benar sekali. Dua hari lalu, mengambil paket itu di JNE samping bandara sentani.
Bersama dengan sahabat tersayang, Gessa.
Bergetir. Kembali teringat akan dua hari lalu dan menatap hambar ke arah judul pertama A Dreams. Memang..masih banyak revisi. Kalau hari itu tidak terburu-buru mengirimkan ke penerbit, mungkin saat ini Fighting Dreamer! Sudah berada dalam genggaman Harris J.
Melainkan alamat mendarat sangat manis, buat dia yakin setelah revisi kedua kali, A Dreams itu bisa sampai ke Harris J. Insyaallah.
Fighting Dreamer! Biarkan nanti menyusul setelah mendapati grammer baru, karena tidak enakan sama Kak Renata.
“Kenapa harus revisi dan kirim ulang lagi?”
Diksi terucap dengan perulangan diatas motor, terselip rasa kagum.
Lalu, Adinda hanya mengatakan kalau karya yang belum direvisi itu akan menertawai dirinya, saat belum benar-benar yakin dengan isi karya sendiri.
Oh, menepuk jidat, meningat-ngingat kembali tahun 2017 lalu, sempat mendapati nomor seorang yang telah memberikan asa itu ke Adinda.
Tapi..Feeling dia kuat, mengetahui seorang itu mengganti nomor. Sempat ingin mengirimi paket itu, tapi takut alamat diberikan main-main.
Ah, tidak ada yang salah dengan alamat tersebut, hanya saja mengetahui fans Harris terlalu obsesi dengan nomor tersebut.
Tak henti mengucap hamdalah, saat nomor itu diberikan lagi.
Besok saya bungkus kadonya!
Dengan semangat mengetikkan itu di chatroom. Tak sabar besok akan disibukkan dengan paket ingin dikemas lalu terbang ke kantor Jakarta.
Kembali lagi pada dua hari lalu, sebelum ambil paket itu.
Adinda kembali baca sebuah SMS yang..
Heh?! Novelnya sudah sampai kah, Din?
Gessa terkejut, ini SMS sudah ada sekitar lima hari lalu, dan di jawab sudah. Besok tinggal ambil tas noken saja nih. Sekalian besok kampus bareng!
Tapi, Gessa tidak ada kabar setelah semalam sudah memberikan kesepakatan. Sudah terbiasa.
Adinda pun sepulang kampus, mampir ke tempat noken sambil membayar sisa tas tersebut.
Asma Nadia dan Harris J. Begitulah nama yang dilihat selepas disodorkan oleh penjual noken ke Adinda.
Tersenyum sangat merekah. Tak sabar untuk sampai ke rumah.
Setelah lima hari yang lalu itu lewat, juga Adinda tidak ingin ke mana-mana selain tidur. Karena badan pegal-pegal.
Tapi, tidak tahu kenapa Gessa sudah mulai ada kabar sekian lama menunggu kepastian untuk kampus bareng juga temani ambil noken dan mengindahkan dalam bersitatap pun temani main ke rumah grandma.
Gadis itu lalu membisik ke daun telinga sahabat, kalau ingin meminta untuk temani ambil novel itu di JNE.
"Temani saya ambil paket kah di JNE?" Kata Adinda, tak sabaran.
Oh yah, kalau saja Adinda tidak datang dengan wajah rengek ke sahabat, mana mungkin bisa bersitatap sekarang.
Setelah melihat Gessa mengindahkan, mereka berdua pun pamit pulang ke Shita dan segera ke JNE.
Saat mereka sudah sampai di kamar, "Din..buat saya sudah satu nih, kalau bukan buku ini biar saya ambil yang kamu print sudah, pengen baca soalnya. Penasaran.”
"Nanti sudah eh? Soalnya saya mau kirim ke Harris sekalian ke pihak DNA Production." Timpal gadis itu santai.
Benar. Hanya Gessa saja belum baca sampai selesai.
Kalau printkan, dia tidak enakan sama sahabat sendiri kok masih dalam mentahan sih? Harus dalam keadaan cantik seperti memberikan ke Harris J dong.
Esok hari..
Sudah merasa cukup kado untuk diberikan Harris J, mengetikkan sesuatu dalam..
Kalau besok tidak mau kampus bareng, biar saya bungkus saja nih kadonya!
Sebelum bertemu pulau kapuk, Adinda menggoda sahabat buat ikut kampus sama-sama. Bukan hanya sebuah iming-iming melainkan rindu naik motor sama-sama apalagi ke kampus.
Sepulang kampus.. Adinda tertawa geli, saat mendapati SMS,
Din, awas eh! Please jangan dibungkus dulu novelnya! Saya Mau lihat! Yang diwakili emoticon permohonan, semakin buat Adinda tak menggubris.
Siapa suruh tidak mau kampus bareng. Gumam Adinda acuh tak acuh, tak lepas dengan senyum nyengir.
Tak ingin mengiyakan permintaan Gessa. Ingin mempersingkat waktu, setelah menyimpan ransel dia pun langsung menuju ke Kascha Mart, membeli kertas kado. Setelah itu, singgah ke kios Om Faris, untuk mengambil kardus mengisi semua kado buat mereka di Jakarta.
Saat masih dalam Kascha, tampak raut wajah itu terhiasi bengong, "Mbak..kalau mau bungkus kardus dengan ukuran.." Adinda berpikir sejenak, "Dancow, muat nggak kalau segini?" Kata gadis itu sambil menunjuk jumlah kertas kado tersebut.
"Tidak, Dek. Kalau mau bungkus pakai kardus Dancow harus enam."
Setelah berada di kios Om Faris, mendapati apa yang diincar, "mau apa kardus itu, Din?" Kata Om Faris.
"Mo bungkus kado." Jawab Adinda cuek.
Setelah sampai dalam kamar, mengunci pintu lalu mengeluarkan semua kado untuk bule berambut mie london. Tambahan gantungan khas papua.
Oh, wajah jail itu pun terbit, setelah melihat sang adik baru pulang sekolah dan ingin masuk dalam kamar.
"La..sebentar malam tidur di kamarku eh?" Ucap Adinda melihat sang adik ingin masuk dalam kamar.
Sempat mengernyit menghiasi wajah Laila, tapi sedetik kemudian menganggukkan kepala.
Detik waktu berputar, tak terasa sudah malam.
Dalam kamar, sudah melihat detak waktu menunjukkan sepuluh malam. Usai ngobrol dengan orangtua di bawah, Adinda tak sabaran mengajak sang adik masuk kamar. Ada project yang harus dikerjakan mereka berdua.
“Nih..kamu bantu gunting kertasnya eh.” Adinda menyodorkan kertas hvs ke adiknya.
“Mana gunting?” Lalu Adinda menunjuk laci menggunakan dagu, Laila beranjak dan mengambil benda tersebut.
Sibuk dengan pekerjaan masing-masing, "ini juga kamu kasih ke Harris J?" Kata Laila, penasaran, menunjuk salah satu benda.
Mengangguk.
“Betul-betul eh..tidak mau tahu, pokoknya Harris J harus baca dan sampai di tangannya! Bikin saya repot begini..sampai jam..” Laila melirik jam dinding diatas kamar mandi kakaknya, “setengah dua malam begini.” Keluh Laila yang dibalas cengiran miris dari sang kakak.
Yah, semoga sampai yah dek. Gumam Adinda harap-harap cemas.
🪐🪐🪐🪐
Tidak terlalu penting sekali juga sih dalam mengumumkan status gadis itu, mahasiswi di salah satu kampus Jayapura.
Setelah nganggur karena pesawat dalam perbaikan, buat dia didesak oleh dua sahabat melanjutkan kuliah.
Asal novel itu bisa saya baca, tidak diragukan lagi panggung apresiasi sudah menunggu untuk kamu isi dengan cerita-cerita menarik seputar mimpi dan perjuangan hebat dalam merebut kemustahilan. Bangga..kenal penulis yang tak sekedar hebat melainkan bawelnya seperti kereta.
Ah, setahun lalu juga Harris pernah mengirimkan sebuah diksi manis.
Dan, tahun lalu juga hanya tahu akun reall Novita, setelah tahu ada admin JJS Ina, tak lain adalah Pak Hafiz yang telah memberikan sebuah pintu asa untuk gadis itu.
Adinda sempat meragu, tapi telah mengirimkan satu cover english.
Pak itu kado novel untuk Harris J.
Judul yang sama, tapi sudah direvisi dua kali kok.
Satu jam direspon, cukup buat Adinda bernapas sangat lega.
Tunggu..tunggu, ada mengganggu isi kepala gadis itu sendiri.
Tanggal 02 November ke Jakarta.
"Ih..kenapa sih balas sejam hanya suruh ke sana." Gerutu Adinda, sangat protes.
Hehe, gak bisa nitip aja gak Pak?
Ping
Gak bisa.
Pengen dapat tampol? Adinda menahan kesabaran untuk mencari alasan agar kado itu bisa diberikan ke Harris J.
Saya juga ada kasih buku versi indonesia untuk DNA Production.
Aih, belum ada satu pun balasan dari sang admin.
Yah, padahal sudah capek-capek buatkan Harris J buku hingga ditransletkan ke english. Namun gak bisa dititip:(
Dia pun mengirim cover versi Indonesia, berwarna biru serta cover belakangnya.
Itu buku versi Indonesianya Pak. Saya kirim nanti ke alamat kantor DNA Production.
Ping
Ada versi English-nya?
Kalau ada boleh kirim ke kantor. Nanti Harris ke Indonesia aku kasih.
“Ih! Dari kemarin sudah dikirim cover englishnya juga. Masih nanya-nanya.” Ketusnya.
Mengelus dada, sabar..sabar, pikir gadis itu.
Itu Pak versi englishnya,
Ping
Isinya juga english kan?
Bukunya udah dicetak belum?
Ping,
Iya Pak, wait saya kirim gambar sinopsisnya.
Ping,
Berapa halaman?
Ping,
370 halaman, Pak.
Rencana mau minta jual juga di akun Bapak. Soalnya JJS pada banyak minat bukunya.
Ping,
Wah, kalau jual harus ada izin ke management.
Karena novelnya kan tentang Harris J.
Ping
Gitu yah, bagaimana caranya?
Ping
Nanti saya tanya dulu yah.
Kalau gitu kamu kirim novelnya ke kantor aja yah, versi english dan Indonesia.
Nanti pas Harris ke Indonesia akan saya kasih dan vidiokan buat kamu.
Masih belum yakin dengan alamat yang diberikan tahun lalu, syukur bisa mengumpulkan banyak niat dalam DM admin tersebut.
Jujur, selama chat dengan Pak Hafiz ingin mencak sangat dalam untuk melemparkan kekesalan karena sejak pertama DM telah menjelasakan tujuan untuk mengirim chat.
Dapat akun reall admin JJS Ina tanpa terduga lewat mereka yang ngebet ingin memamerkan isi chat dengan admin itu.
Bercampur haru, saat tahu alamat masih yang lalu. Namun, nomor itu memang sudah diganti baru.
Senang bukan main, ketika..
Jangan kasih ke siapa-siapa.
Amanah diberikan oleh orang terpenting Harris J.
Ditambah tak menyangka selama chat dengan admin itu adalah orang sama, sempat tak menerka kalau admin JJS Ina adalah Pak Hafiz.
Tak bisa mengelak, kalau hari itu sangat sumringah.
To : Adinda Novelis...
Assalamualaikum, Adinda Novelis... :)
Saya tidak mengerti ini sebuah keajaiban atau apa, yang jelas saya penasaran ingin lihat sebuah novel yang dibicarakan Kak Lefan di London. Dia selalu menceritakan kisahmu begitu indah dan menarik perhatianku untuk bisa mendekap novel itu, Din. Yang dimana kisahku telah kau rangkum dengan indah.
Kak Lefan masih belum mengklarifikasikan tentang kenapa kamu buat novel itu untuk saya. Pokoknya buku itu harus ada di tanganku!
Surat masih rapi tersimpan.
"Ris..hari ini aku kirim novel yang kamu minta kan?" Ucap Adinda sendiri, sambil tersenyum getir.
Oh, benar juga mengingat kota London hampir terkelupas mengenai Lefan bin menyebalkan.
Apa masih di Jepang atau kembali ke london buka cireng? Loh, kok dia tertawa geli sih memikirkan hal ini? []
"Tidak tahu kenapa selalu saja bingkai itu retak-meretak tanpa sebab."
🪐🪐🪐🪐
Din, ambil paketmu di rumah.
Ping,
Oke
Adinda merasa kali ini kedatangan dalam mampir mengambil paket, ada sesuatu yang menjanggal.
Memang sahabatnya masih berada di Padang, belum ada waktu luang untuk liburan ke Jayapura.
Tapi, semakin ke sini sejak nitip paket itu di rumah sahabat, kok ada rasa aneh menjalar ke seluruh tubuh?
Sudah deh, lebih baik ambil secepat mungkin paket itu.
Adinda baru saja keluar dari kelas lalu menuju motor, sudah menyalakan mesin motor tapi sebelum menjalankan memasang headset terlebih dulu.
Saat sebelum menjadi mahasiswi, sibuk sendiri mencari seorang translation di Abe.
"Kak Renata bikin apa eh?" Gumam Adinda, saat kembali teringat kakak translationnya itu.
Selepas pulang dari london, mereka lost kontak. Apa mungkin perempuan itu sudah sibuk dengan skripsi atau lulus dan sekarang sudah kerja di kota big ben?
Tanpa sadar, mengangkat bahu, sedetik kemudian tersenyum.
Tak sadar, sudah sampai depan warung sang sahabat.
Diksi sahabat buat dia tertawa hambar. Mematikan mesin motor lalu turun dan masuk ke dalam warung, "assalamualaikum, Om..Mamanya Varinta ada?" Menyapa, sangat ramah tak lupa berikan senyum semanis mungkin.
"Waalaikumsalam, ada di dalam." Menjawab tanpa melihat ke arah gadis itu.
Dih, menyebalkan sekali kah. Gerutu gadis itu dalam batin.
Oh benar sekali, sebelum pergi meninggalkan halaman kampus, sempat..
To : Rambut Mie London
Harris..yuhu, aku sdh krim novel yg kmu minta, tunggu sja di sna (:
Beliau keluar sambil menyapa ramah, "eh, Dinda. Itu paketmu ada di atas rak.” Menunjuk ke atas rak.
"Iya, tante." Adinda sudah tak sabaran untuk ambil dan balik dari sana.
Tidak tahu kenapa sejak beliau menyapa hangat, ada ruas nyaman dirasa gadis itu setelah termakan emosi dengan sikap keki Mursid.
Apalagi melihat tatapan menyebalkan dari jauh.
"Bisa ambil? Atau pake kursi." Kata beliau, menawarkan.
Eh, tunggu, gadis itu jadi bingung sendiri saat melihat beliau yang manjat padahal sudah di larang keras loh, biar dia sendiri saja yang ngambil. Uh, baik sekali.
Usai mengambil paket, mengucapkan terima kasih dan pamit ke beliau namun acuh tak acuh ketika melihat sorot keki itu sedang duduk di kasir.
Memang sih sejak acara di London, rambut mie itu sudah melantangkan dengan tegas kalau telah menjadi sahabat sah, seenggaknya kan, masih perlu perjuangan lagi dalam menyodorkan novel yang ditagih bule itu.
Tersenyum miring, meninggalkan warung sahabat. Tempat di mana kali pertama menjadi perdebatan hebat dengannya, sudah begitu mengantarkan sangat santai ke bandara.
Setelah sampai dalam kamar, sudah tidak sabar mengirim paket itu ke kantor DNA Production.
Bismillah. Melangkah dengan sumringah menggendong kotak lumayan besar untuk dibawa ke kantor pos.
Tak henti wajah itu dibungkusi tawa dan bahagia. Adinda tebak, kalau bule itu lompat jingkrak saat tahu apa saja isi kado yang sudah dua hari lalu dibuat dengan sang adik, hampir tidak tidur.
Sampai di kantor pos, mendadak terjingkat, mengetahui ongkir mahal ke Jakarta.
It's okay..demi meneruskan mimpi itu sampai ke tangan Harris. Batin Adinda bersuara semangat, walau sisi lain masih retak, karena uang jajan tertelan habis oleh biaya ongkir.
Setelah membawa pulang no resi itu, berpikir lagi kenapa Harris J tidak balas chat whatsapp-nya? Apa acara di london tentang mrngakui sahabat hanya main-main?
Ih, kok bibir-bibir itu bergetir sambil tersenyum pahit kembali ke rumah?
Kebiasaan sekali. Pikiran-pikiran bermain dengan hal jelek, mengakibatkan suasana hati runyam.
Ah, sudahlah. Daripada memelihara pikiran jelek itu, lebih baik kembali ke rumah setelah itu istirahat dari penat kegiatan di kampus.
Diatas kasur, dia memerhatikan atap-atap rumah dengan sorot datar.
Kenapa bisa sahabat sendiri harus cemburu, akan dasar hal tak disukai gadis itu?
Apa karena Julioh?
Tersenyum sangat hambar.
Kalau ingin cemburu karena fisik dia, Varinta sangat salah. Benar! Cinta seharusnya berikan kebahagiaan tanpa menilai dari fisik melainkan agama.
Hal menjanggal hati ini sudah, sahabat cemburu karena fisik.
Sudah jelas gadis itu tidak permasalahkan mengenai kecantikan, malas tahu dengan make up atau skincare menempel di wajah. Masih saja insecure dengan hal itu.
Menggeleng tak habis pikir.
Mengumpulkan hal seperti itu, semakin buat dia terlelap juga, karena terlalu capek dengan rutinitas hari ini.
Esok hari, kedatangan Gessa di rumah.
Sore hari. Tumben sekali, sahabat satu ini datang tanpa di undang, kalau terundang sangat sibuk melebihi presiden. Entah apa yang dilakukan saat kedua sahabat benar-benar butuh Gessa.
"Gessa..saya tidak suka sekali dengan tatapan Ayahnya Varinta." Dia pun mulai bercerita, mengeluarkan kesah ke sahabat.
Oh, benar juga saat ambil paket di sana, menjadi satu jalan alternatif karena kalau Hana tahu dia beli buku, sudah dipastikan uang jajan terpotong.
"Kenapa kah?" Justru ditimpali santai dong, semakin buat Adinda memutar mata kesal dan menahan emosi.
Memang sangat tidak peka.
"Masa, kemarin saya ambil paket di rumahnya, eh..dapat tatapan tajam, sudah begitu dia seperti tidak suka lihat kedatanganku ke sana." Urai Adinda dengan nada dipenuhi kekesalan.
Saat sudah menceritakan hal itu, baru Gessa peka. Dasar.
"Yup, saya juga rasa itu, Din." Jawab Gessa.
"Besok, katanya Varinta datang ke Jayapura?" Kata Adinda, sambil ngernyit bengong.
Memang ada rasa lain dalam hati, berbeda saat tahun lalu sebelum rasa cemburu merasuki jiwa-jiwa sahabat sendiri.
Cih, kenapa harus ada rasa iri akan kecantikan, apalagi sama sahabat sendiri.
Adinda ingin persahabatan tanpa terbumbui cemburu atau iri satu sama lain, karena yang dibayangkannya adalah ketentraman, humble friends.
Tapi yang dirasakan gadis itu hanya petir dan amarah selalu meledak.
"Oh yah, besok mau kampus sama-sama ndak?" Eh, Adinda mendadak senang sih?
“Mau..mau, sekalian ajak Varinta eh!” Seru Gessa.
“Emang diizinkan kah sama Ayahnya? Ntar dikasih tatapan mengerikan baru!” Menyuarakan protes.
“Sudah, tidak usah pikir!” Jawabnya santai.
Sudah pukul delapan malam. Takut khilaf ngobrol lalu lupa waktu, segera angkat pantat dan pulang. Memang ada rasa senang juga sih kalau nginap di rumah sahabat sendiri. Tapi, Gessa sangat tidak enakan.
Karena hari ini memutuskan untuk besok kampus bareng, Gessa segera balik dengan cepat.
Adinda paham betul, kenapa pulang lebih awal. Sebab ada pekerjaan yang harus di selesaikan kalau ingin pergi kampus dengan hati damai.
Esok hari..
Sudah berada dalam perjalanan, syukur setiba depan rumah sahabat tidak ada pekik lantang menusuk hati dari rumah.
“Yakin... Varinta ikut kita ke kampus?” Tanya Adinda dalam perjalanan.
“Lihat saja nanti!” Jawabnya enteng.
Hm..mana mungkin bisa ikut, pikir Adinda sangat gelisah.
Melirik jam di pergelengan tangan, pukul delapan kurang dua puluh menit.
Duh, kalau ajak Varinta, tidak bisa ikut kuis nih. Adinda semakin gelisah saat motor melaju ke arah rumah sahabat yang satu.
Dosen yang satu ini terkenal killer, tapi gadis itu merasa kalau dosen baru tersebut menggunakan jabatan dengan seenak jidat.
Tidak ingin peduli bagaimana mahasiswa berjuang demi mendapati nilai yang bagus.
Cih, dosen tenar. Kesal Adinda dalam batin, tak habis pikir dengan isi kepala dosen itu.
Belum bisa mendesah tenang, kala tiba depan rumah sahabat.
Harus menonton drama mulai dari tatapan sangar, sampai mengendap kamar mandi setelah itu pakai baju cepat-cepat, sarapan lalu bisa keluar dengan tenang. Ini bagi Varinta, ketenangan setelah melewati drama pagi di rumah, berbeda dengan Adinda, menyimpan segudang kekegelisahan dalam dada.
Mereka belum masuk, masih berada di depan.
"Yakin nih, ajak Rinta?" Kata Adinda, kurang menyakinkan.
Diluar dugaan, "sudah, kita masuk dulu!" Dibalas sangat santai lalu melihat langkah Gessa lebih dulu masuk ke sana.
Arg. Memutar bola mata jengah, menarik kunci motor dan ikut masuk ke dalam.
“Om, tante. Selamat pagi!” Salam Gessa.
“Pagi.”
“Varintanya ada om?” Tanya Gessa dengan santai.
“Ada.”
Adinda hanya memutar bola mata dengan malas, benar-benar malas tahu akan sikap datar Mursid.
Dengan lenggang masuk ke dalam kamar, setelah mendapati izin dari orangtua Varinta.
Adinda jalan lurus masuk ke dalam kamar, tanpa menyapa.
🪐🪐🪐🪐
“Varinta! Ayo bangun!” Seru mereka berdua sambil menggoncangkan tubuh Varinta.
Selepas bertemu sahabat, rasa dongkol perlahan terkelupas.
AVN memang prioritas, sembari bertahan dengan rasa ketaknyamanan, setiap kali mau jalan mendapati tatapan keki atau datar.
Gessa kalau sudah datang, membangunkan dengan paksa. Dan, sekarang lihatlah? Mengambil lengan itu dan menyentuh leher belakang lalu menduduki sahabatnya di atas ranjang. Setelah duduk kali ini Gessa menarik buat berdiri lalu mendorong keluar kamar, untuk ke kamar mandi.
Adinda hanya menggeleng sambil tertawa geli.
“Kalian nih datang ganggu ketenanganku tidur saja.” Gerutu Varinta, ujung-ujungnya ngambil handuk juga kan. Dasar.
Sementara Varinta dalam kamar mandi, kali ini dia mengeluarkan kegelisahannya.
“Ges..nanti saya ada kuis TRO. Dosennya galak lagi.” Keluh Adinda.
“Apa tuh TRO, Din?” Gessa menimpali dengan bengong.
“Teknik Riset Operasional.” Timpal Adinda sambil menekan setiap kata yang tercetus.
“Sudah, nanti kita balap saja.” Jawabnya enteng.
Adinda menahan geram, kala teringat..
"Itu tidak menjamin untuk nilai kalian. Dan saya ini dosen juga berhak kasih kalian nilai. Kalau kalian tidak bisa dalam mata kuliah saya, otomatis tidak ada sebuah keringan atau nilai kasihan!” Sombongnya.
Ugh, pengen tampol tapi takut DO.
Padahal kalau mau dibilang dosen itu masih proses pendidikan, sudah belagu melebihi dekan.
Melihat Varinta selesai mengenakan pakaian, kini berulang kali copot jilbab, "duh..tidak cocok nih dengan bajuku." Alasan hijabers, kalau tidak nemu warna yang pas.
Adinda juga pernah seperti ini.
Setelah bongkar lemari pakaian, nemu jilbab yang cocok dengan warna baju. Adinda mendesah pelan.
"Cari apa lagi sih? Lama sampe.." Gerutu Adinda saat lihat sahabatnya grasak-grusuk keranjang di bawah meja belajarnya.
“Bentar! Nih lagi nyari kaos kaki!”
Dapat. Dan, mereka pun keluar kamar.
Menunggu Varinta sarapan dan izin pergi keluar pagi-pagi begini.
"Dasar..kek anak kecil daja minum susu." Adinda mencibir, bermaksud canda.
Itu dialog kali pertama jemput sahabat ke sekolah, saat tahu motor Varinta mogok tidak bisa di nyalakan.
Saat kenangan itu terputar, Adinda hanya melihat sahabatnya sedang khidmat dengan susu, tersenyum.
Setengah sebelas siang, baru jalan ke kampus.
"We, ke kampusku dulu, mau cek dosen masuk kah belum." Adinda berteriak, saat mereka sudah masuk di area Waena.
Saat sudah mau masuk ke dermaga kampus, Adinda tidak melihat batang hidung mereka.
Menunggu agak lama, menjadi pusat perhatian sekitar karena hari sudah masuk siang. Terik panas menusuk kulit, tak dihiraukannya.
Di belakang, "Din!" Pekik Gessa.
"Kalian dari mana? Saya tunggu disini lama sekali, kek ikan asin!" Adinda menjawab dengan ketus.
“Malah saya pikir kamu belum sampe, trus Rinta bilang coba keluar dulu, sapa tahu Dinda tunggu kita di sana. Dan..benar kamu tunggu kita disini. Ayo sudah ke dalam. Katanya mo cek dosen killermu baru.” Cerocos Gessa. Mereka pun masuk ke dalam kampus.
Ada rasa senang lihat dua sahabat ikut main ke kampus.
Dan mengenalkan Ika, teman kampus ke dua sahabatnya.
“Dosen tadi tidak masuk, katanya ada keperluan mendadak begitu makanya kita hanya absen saja.” Ika menginfokan.
Ah, bernapas sangat lega. Setelah absen mereka selfie berempat depan kantor dosen FIKOM.
Beberapa jam kemudian, mereka sudah balik dari makan siang, sekarang duduk dalam kamar Varinta.
“Rinta, kita mau pulang.” Ucap Adinda, dibalas acuh tak acuh dari sahabat.
Oh, daun telinga juga capek mendengar kicauan merah milik Mursid, mengetahui ananda balik sore ke rumah.
Perjalanan pulang ke rumah masing-masing, "Gessa..apa kamu rasa kalau Ayahnya tadi tidak suka kita main ke rumahhya?" Adinda berucap, sangat sedih.
“Rasa, tapi saya cuekin saja. Kita datang untuk main sama anaknya bukan Ayahnya.” Jawabnya enteng.
Dua hari kemudian, kebetulan lagi malming.
Din, malming yuk!
Ping,
Ajak Gessa saja!
Ping,
Tapi kamu juga ikut,
Ping,
Tidak perlu malming, dan kamu tenang-tenang dirumah agar Ayahmu tidak kasih tatapan tajam itu lagi! Supaya saya tidak merasa bersalah bawa anak perempuan orang jalan keluar malam-malam!
Ping,
Terserah
“Sudah begitu saja?!” Kesalnya sendiri.
Mendadak dia rindu saat di rajuk, apa sahabat tidak menyadari hal ini? Kalau orangtua tidak menyukai keberadaannya setiap kali datang ke rumah?
04 Oktober 2017,
Masih bertengkar belum ada niat baikan dengan sahabat.
Adinda melongo bercampur haru.
Mendadak menghujam sangat sesak, sudah diberikan ucapan manis dihari birthdays, karena memang bukan ini yang diinginkan Adinda melainkan kado AVN kembali harmonis seperti dulu.
Jika bukan karena orangtuaku memintanya. Saya juga tidak bakal buat nih kado!
Ada dentum-dentum nyeri dirasakan gadis itu sendiri.
Terserah!
Ingin sekali mengatakan ke Varinta, kalau keberadaannya di sana, semakin membuncah benci orangtuanya.
Hari juga sudah larut, ingin segera tidur dengan perasaan campur aduk.
Tidak tahu kenapa selalu saja bingkai itu retak-meretak tanpa sebab.
Kenapa tidak utuh tanpa prahara kah? Dan, muncul itu karena Varinta tahu sendiri kalau sahabat sangat terpicu oleh emosi.
Apa hanya nafsi merasakan dan sahabat tidak? Ketika mendapati tatapan datar dan tajam milik orangtuanya, Adinda berpikir dengan kemarahan semalam akan buat sahabat berpikir ulang. Justru diluar dugaan.
Sambil lempar-melempar amarah.
Rin, bukan ini yang kita inginkan, AVN retak karna kesalahpahaman saja. Getir Adinda dalam batin.
Sudah jelas konsekuensi bagaimana kalau ingin jalan keluar, walau sekedar makan saja. Masih tetap keuhkeuh keluar.
Mungkin ini jalan terbaik untuk buat sahabat mengerti bentakan malam itu, bukan sebab menghancurkan bingkai terjalin manis melainkan hubungan itu awet justru sebaliknya, Varinta salah paham.
Uh, gadis itu juga tidak bisa dalam hal menjelaskan dengan perasaan, selalu saja mengedepankan emosi.
Keras kepala sih, ih..isi kepala sahabatnya ada batu makanya pala batu kali kalau sudah dibilangin sama Adinda jangan keluar kalau waktu tidak akan diizinkan pergi.
Coba kalau sudah lempar amarah, mengerti sudut pandang gadis itu, kalau tidak ingin mengajak terus-terusan disaat sudah mendapati omelan panjang dari orangtuanya.
Ah, lagi kesalahpahaman membelenggu AVN, hingga retak-meretak tak tersisa tawa mereka. []
"Apa benar kata sahabat kalau diri sangat bermanfaat bagi bangsa? Dengan sebuah karya."
🪐🪐🪐🪐
Di kamar Adinda,
"Din, bagaimana jika kita berdua ajukan proposal di gunung merah?" Saran Gessa, terdengar antusias.
"Buat?" Mengernyit dong.
“Ih! Itu toh buat perkenalkan karya anak bangsa seperti kamu buat itu. Novelmu dan tas noken. Supaya pihak Gunung Merah kasih biaya kita untuk terbang ke Jakarta.” Ucapnya antusias.
“Biaya yah? Emang buat apa ke sana?” Adinda menyahut sangat santai.
“Jih! Buat kamu ketemu sama Harris J toh, Din!” Gessa berujar sangat kesal.
Sejak terbit dan terkirim hanya didapati rasa perih dalam dada dari Harris J.
Sudah sekitar seminggu bule london itu tidak memberikan kabar mengenai antusiasme seperti sedang di lihat dari wajah sahabatnya.
Tersenyum getir.
Gessa memang tak ingin melewatkan kesempatan emas bagi sahabat sendiri. Dengan usulan diluar kepala Adinda, ada satu ruas ingin ke sana menggunakan karya.
"Bahkan, saya pun tidak memikirkan sampai ke situ. Hanya lihat novel itu sampai ke tangan Harris J. Sudak cukup buat saya senang.”
No! Apa yang sudah kamu bilang, itu juga menjadi keinginanku terbang langsung menyodorkan novel ke Harris J. Gumam Adinda sangat lirih ditutupi dengan senyum paksa.
“Bahkan pemikiran untuk buat proposal pun tidak ada sedikit pun. Karena saya hanya fokus sama novel itu.” Terdengar lirih.
Lalu, dia tampak memikirkan sesuatu, dan melihat ke arah Gessa dengan wajah pengharapan.
“Ketemu yah?” Notasi hambar.
“Iya Din! Ini adalah kesempatan emasmu untuk ketemu dengan Harris J. Saya akan temani kamu ke Jakarta hanya demi sahabatku bertemu dengan Harris J!” Jawabnya antusias.
“Hm, bagaimana mungkin. Sedangkan Harris J saja ke Jakarta tanggal 2 November mendatang.”
Gessa tampak berpikir, “oh iya, tinggal sembilan hari lagi. Ah, tapi kita bisa cari dana proposalmu kok, Din!” Sempat lesu mengetahui beberapa hari saja menunggu kedatangan bule itu ke Jakarta.
“Memang sih... Gunung Merah kadang susah mengeluarkan dana. Tapi, kita berusaha mencoba dululah.” Imbuh Gessa penuh semangat.
Sejak penolakan tegas beberapa tahun lalu, tanpa sadar Gessa orang pertama yang ingin menjadikan mimpi gadis aksara jadi nyata.
Cukup buat dia senang.
"Ini karya anak bangsa, Din! Langkah!" Pernah Gessa mencetuskan hal ini ke dia.
Lamunan itu terputar tanpa aba-aba, buat Adinda senyam-senyum sendiri. Semakin buat sahabatnya mengernyit heran.
"Mamaku izinkan kah tidak eh?" Pikir Adinda.
“Pikirkan lagi, karyamu tuh patut dibanggakan! Novel dan noken itu baru kamu sudah angkat nama Papua dan USTJ!” Ah, Gessa ingin sekali dia bertindak setelah mendengar usulan indahmu itu.
“Entahlah, Ges. Saya pikir noken dan novelku itu sekedar hadiah biasa. Dan tidak sempurna.” Lirih Adinda.
“Sudah! Tidak perlu cemas, nanti saya bantu biar kita bisa terbang ke Jakarta untuk kamu bisa ketemu dengan Harris J!” Sambil menepuk pundak sahabatnya.
Adinda hanya tersenyum miring.
“Kenapa coba kita tidak pikirkan jauh-jauh hari, eh. Baru sekarang saya kepikiran buat proposal, Din.” Lagi, berkicau.
“Haha, benar juga sih. Pengen terbang ke Jakarta.” Jawabnya setengah merengek.
“Itu lagi, Din, yang saya bingungkan. Bagaimana eh, kita dapatkan dana secepatnya. Sebelum Harris J tiba di Jakarta tanggal dua November mendatang.” Pikirnya sambil melihat langit.
“Mana mungkin bisa kita dapatkan dananya secepat itu.” Jawab Adinda malas.
“Yah, benar juga sih.” Nada yang dibungkusi patah akan semangat sebelumnya.
Melihat sahabat pulang, ada ruas sesak dirasakan gadis itu.
To : Rambut Mie London.
Assalamualaikum, klau sdh smpai di Jakarta info eh? Bilang jga klau sdh buka kadonya.
Centang satu. Buat Adinda frustasi.
Hanya rambut mie london yang buat dia percaya dengan mimpi itu tersampaikan dengan ikhlas dan tulus.
Karena Adinda menyadari, lewat prantara tidak membawakan sebuah kebahagiaan kecuali luka tak serta-merta mengikuti dibalik pintu asa diberi.
Somsek! Blgnya tdk mau sy nangis krn brjuang sndri kjar mimpi itu, tpi apa?! Km sndri yg buat sy terluka dgn mimpi jdiin km shbt, Ris!
Setelah mengirim chat ini, Adinda rasa tidak perlu sebuah alasan bertahan untuk mengabari bule itu lagi.
Hanya ingin novel itu sampai ke tangan Harris, sudah itu saja yang diinginkan Adinda. Bukan ngebet fotbar atau kado yang sudah terbiasa tersapa bola mata bule london tersebut.
Kalau hari ini menanyakan kabar paket yang masih belum jelas terdengar di notifikasi HP, bakal mendapati bungkusan nyeri.
Adinda menilai kalau admin sekaligus manager rambut mie itu sedikit sombong dan datar kalau di tanya seramah mungkin.
Pengen sekali menanyakan lewat orang sedang berada di Jepang. Tapi, takut menjadi orang merepotkan, walau tahu itu tidak dipermasalahkan bagi Lefan sendiri sih.
Ah, mendesah sangat gusar. Menahan perih dalam dada.
🪐🪐🪐🪐
Ketika melihat postingan itu, teringat akan hal ini tidak perlu repot bermimpi lihat novel diberi langsung oleh pembuka pintu asa, semakin buat sarapan pagi ini hanya nestapa bagi Adinda.
Benar sekali. Uang..uang dan uang menjadi prioritas mereka. Bukan karya yang sudah diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Caption dibaca Adinda saja cukup dalam menebak kalau biaya itu tidak terbilang sedikit.
Tersenyum sangat hambar. Nyeri di dada semakin menghantam mimpi dan pintu asa.
Kalau AVN tidak retak, mungkin sebelum mengirim paket itu, menghubungi sahabat di Padang untuk mengantarkan novel ke Harris J.
Hua..pengen nangis.
"Harris.." Adinda merengek sendiri.
Aisha sepupu rambut mie london.
Kontak ini apakah menjadi alternatif?
Menggeleng sangat kuat. Jangan merepotkan Aisha, apalagi berniat untuk kirim novel itu ke london. Huhu..biaya fanatik pasti.
"Harris kalau sudah jadikan orang itu tujuan, dipastikan perjuangannya tidak disia-siakan begitu saja." Sayup-sayup ucapan Aisha terdengar.
Semakin menghantam lebur penuh membiru pada mimpi Adinda, yang sudah terbang lewat kantor pos.
Apa prestasi harus diperjuangkan lagi lewat rupiah?
Mengikuti keinginan Pak Hafiz untuk datang ke Jakarta? Lalu bersorak ria dibawah panggung konser?
Arg. Mana mungkin ada sebuah prestasi lewat instan!
“Din, pokoknya kakak harus lihat A Dreams versi inggris itu sudah selfie dengan Harris J, trus kirim ke kakak yah?” Kata Renata dengan menggebu luar biasa.
Pernah, kakak translationnya mengatakan hal ini ketika mereka sedang VC lalu Adinda mengatakan kalau bule itu bakal ada konser di indonesia pun ingin kirim A Dreams versi english ke sana.
“Selfie yah?” Pikir Adinda dengan miris.
Tok..tok..tok..,
Ketukan membuyar lamunan Adinda.
"Siapa?" Bentar, dia bingung siapa yang datang sore begini?
"Din..buka pintu!" Gedoran terdengar lagi.
Awal bernestapa kurang bersemangat akan mimpi serta Harris hilang kabar saat tinggal beberapa hari kedatangannya ke indonesia, mendadak pergi begitu saja ketika mendengar sahabatnya yang datang.
"Kenapa?" Kata Gessa penasaran.
"Itu.." Sambil nunjuk brouser online Meet and Greet Harris J.
"Din, buat apa cemburukan hal begini? Unfaedah sekali. Karyamu lebih bagus daripada ini." Tegas Gessa, sambil menekan-nekan gemas campur kesal di layar HP sahabatnya.
Tertohok. Sangat sakit di hati.
Dua hari kemudian..
Pengumumam meet and greet Harris J. Tepat 07 November 2017,
Cie..yang mau dinner bareng JJS, novelku?
Adinda mengirim chat itu, lagi lihat centang satu.
"Harris kenapa tidak aktif?" Eh, kok Gessa datang?
Dia pikir sahabatnya sibuk di rumah.
"Saya payah yah," keluh gadis itu.
"Coba kamu kembali lihat saat Bu Tri panggil buat ngisi acara di sekolah? Sudah begitu dapat amplop coklat yang tebal lagi. Mereka sudah setarakan kamu dengan anak pintar." Ceroros Gessa.
Tapi kan, Adinda hanya ingin novel itu sampai ke tangan rambut mie london. Bukan karena sudah diratakan dengan anak pintar.
"Bahkan anak pintar saja tidak bisa bikin novel seperti apa yang kamu buat."
Eh? Adinda terkejut mendengar penuturan sahabatnya itu.
SELAMAT UNTUK JJS YULIA IRIANI DAN RIZKA AIRIN. UNTUK MEET & GREETNYA SILAHKAN HUBUNGI KONTAK DI BAWAH INI.
Oh, sorot itu lebih tertarik dengan pengumuman telah di upload oleh Pak Hafiz. Foto kedua pemenang, semakin mendesir dalam hati. []
Notes :
Gunmer \= Gunung Merah (Tempat pekerjaan kedinasaan, bisa dijadikan tempat olahraga, salah satunya bultang, lari sore dan senam.)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!