NovelToon NovelToon

Terpaksa Menjadi Istri Dosen Kejam

Syarat

Tiiit ... tiiit ... tiiit

Suara elektrokardiograf mengisi kesunyian dalam ruang rawat ICU. Dua orang perempuan berada di luar ruangan tersebut, dan mengintip ke dalam melalui sebuah kaca.

"Hiiiiks ... hiiiiks ...!" Sang perempuan paruh baya, salah satu di antara mereka berdua, sedang menangis sambil menyandarkan kepalanya di dinding kaca yang menjadi pembatas ruangan.

"Bapak, pasti sembuh, Buk!" ucap sang gadis sambil mengusap lembut punggung ibunya.

"Nduk, terus berdo'a untuk bapakmu, ya. Semoga dia bisa sembuh." Sang ibu masih belum menghentikan air matanya.

"Iya, Buk! Luna pasti berdo'a untuk bapak." Kemudian Luna mengajak sang ibu duduk di sebuah bangku yang ada di koridor.

Mereka berdua duduk bersebelahan, sang ibu masih memegang ujung kerudungnya untuk dijadikan lap membersihkan air matanya. Sementara anak gadisnya, masih memeluk sang ibu dan terus mencoba menenangkan wanita paling berharga yang telah melahirkannya tersebut.

Di saat mereka masih saling berpelukan dan menguatkan satu sama lain, seorang perawat dengan seragam serba putihnya menghampiri.

"Permisi, Bu! Dengam keluarga pasien ICU kamar 002?"

"Iya, kami keluarganya, Sus." Luna menjawab pertanyaan dari sang perawat. "Saya anaknya, bagaimana keadaan bapak saya Suster?" lanjut Luna.

"Emh, mengenai kondisi bapak anda, biar nanti dokter yang menjelaskan. Saya di sini hanya menyampaikan, bahwa rincian tagihan rumah sakit untuk perawatan pasien sudah ada di bagian administrasi, dan harap segera dilunasi." Suster tersebut menjelaskan pada Luna.

"Emmh, begitu ya? Ba-baik, Suster. Terima kasih." Wajah Luna tampak tidak baik-baik saja setelah mendengar penjelasan sang suster. Gadis itu berbalik menatap pada ibunya yang tak kalah lemas begitu mendengar perkataan suster.

Keduanya saling bertatapan, namun tetap berdiam diri berkutat pada pikiran masing-masing.

Tuk Tuk Tuk

Sepatu dengan heels ramping nan tinggi berwarna merah mengetuk lantai di koridor rumah sakit. Suasana sepi itu menjadi berubah. Bukan, bukan karena tiba-tiba ramai. Tapi, karena aura yang dipancarkan oleh sang pemilik sepatu seakan mampu menarik oksigen di seluruh ruangan, hingga suasana berubah menjadi lebih sesak, dingin dan mencekam.

"Dengan Saudari Luna?" Wanita itu berdiri tepat di depan Luna dan ibunya yang sedang duduk di bangku koridor. Kaki putihnya yang jenjang berada di depan mata Luna, yang membuat gadis itu terkesiap dari lamunannya.

"I-iya." Luna mengangguk, dia mendongak sekilas pada wanita tersebut, namun dengan segera ia tarik kembali wajahnya untuk menunduk.

"Aku dengar ayahmu sakit?" Wanita itu bertanya, entah sekedar menyapa, atau memang itu tujuannya.

"I-iya." Luna menjawab lagi tanpa mendongak.

"Perkenalkan, aku Dita." Wanita tersebut mengulurkan tangannya. Luna pun menyambut uluran tangan itu walau dengan rasa sungkan.

"Salam kenal, Nyonya Dita." Luna berdiri membungkuk di hadapan wanita itu. Luna sama sekali tidak kenal dengan orang di hadapannya, namun aura yang dipancarkan membuat Luna merasa bahwa ia harus menghormati orang yang ada di hadapannya.

"Aku dengar keluargamu mengalami kesulitan ekonomi untuk membayar kuliahmu?"

Luna terdiam, dari mana wanita ini tau? Begitu batinnya berkata.

"Dan sekarang bapakmu juga butuh banyak biaya untuk kesembuhannya?"

Kali ini Luna mendongak, mengapa dia seakan lebih tahu bagaimana kondisi keuangan keluarganya?

"Kamu butuh uang?" tanya wanita itu sekali lagi dengan wajah angkuh.

Luna hanya terdiam menatap wajah cantik yang sedang mengajaknya bicara itu. Dia terlalu kaget didatangi seseorang seperti nyonya Dita.

"Aku sudah lunasi biaya semestermu sampai kau lulus. Dan biaya pengobatanmu bapakmu juga aku yang tanggung, tidak hanya bapakmu bahkan ibumu juga, bebas untuk kontrol kesehatannya di rumah sakit ini. Aku tau ibumu juga menderita batuk yang parah, kan?"

Kata-kata wanita itu memang terdengar baik, tapi bagi Luna ini sangat tidak masuk akal. Dia sama sekali tidak mengenal orang di hadapannya, kenapa wanita tersebut bisa sebaik ini?

Luna masih berdiri mematung, mencerna kalimat yang baru ia dengar barusan sebelum ia berkata kembali. "Te-terima kasih, Nyonya Dita." Luna membungkukkan badannya memberi penghormatan.

"Tapi sebenarnya aku belum melakukan itu." Wanita itu menarik kata-kata sebelumnya.

"Ma-maksud, Nyonya?" Luna mengernyit merasa dipermainkan.

"Aku baru akan memenuhi semua kebutuhanmu setelah kau mengikuti keinginanku."

"Keinginan, Nyonya? Apa itu? Akan saya lakukan demi kesembuhan bapak saya." Luna memohon.

"Kau janji?"

Luna mengangguk.

"Baiklah ... kalau begitu, menikahlah dengan suamiku!"

***

Hai-hai ini novel ketiga Ofa di NovelToon. Semoga kalian suka. Jangan lupa like, dan jadikan favorit ya. Terima kasih ...

Bersambung ...

Luna dan Dosen Killer

Hati yang gelisah itu ia bawa saat belajar di kampus. Pembelajaran saat kuliah pun menjadi tidak fokus karena tawaran aneh dari seorang wanita yang baru di kenal oleh Luna.

"Aku diminta menikah dengan suaminya?" gumam Luna.

"Menikah dengan suami siapa, Lun?" tanya Rina, teman kuliah Luna.

"Ah, nggak! Nggak nikah sama suami siapa-siapa kok." Luna berusaha menyangkal kata-katanya yang tak sengaja ia katakan saat melamun barusan.

Rina memberingsut. "Ya sudah, kukira kamu yang mau menikah. Hahaha!" Rina menertawakan kawannya.

"Selamat pagi! Fessenden bab senyawa aromatis. Pagi ini, semua sudah buat resumenya?" Tanpa basa-basi, seorang dosen dengan perawakan jangkung dan tubuh agak berisi, masuk ke kelas tersebut lalu menagih tugas yanh diberikan pada mahasiswanya minggu lalu.

"What? Gue lupa,"

"Untung, udah ngerjain, ngasal sih,"

"Iiiish, inget aja sih tu dosen,"

Para mahasiswa saling berbisik satu sama lain, mereka mengeluh akan sikap ke-killer-an dosen yang satu ini.

"Rin ...? Kamu udah?" Luna melirik pada temannya.

"Udah, kenapa? Jangan bilang kamu belum?" selidik Rina.

Bersamaan dengan pertanyaan Rina yang diungkapkan sambil bisik-bisik itu, sang dosen juga bertanya pada mahasiswanya. "Yang belum, ngacung!" Suaranya sedingin es, seakan mengeluarkan uap dari mulutnya setiap kali ia berucap.

Tanpa menjawab pertanyaan Rina, Luna mengacungkan tangannya bersama dengan satu orang mahasiswa yang lain.

Rina menyebikkan bibirnya.

"Hmmmm, si Luna! Aku mah udah kapok dapet D tahun lalu, makanya sekarang nyoba lebih giat lagi, eeeh si Oneng Loneng malah sengaja." Rina berbisik sambil memutar bola matanya.

Luna tidak memedulikan perkataan Rina yang sedang mengoceh. Dia pun mengikuti instruksi dari dosen killer itu untuk keluar dari ruang kelas dan membuat resume dengan segera. Sungguh sial!

"Dekil!" umpat Luna begitu ia keluar kelas. Ia langsung duduk di sisi koridor sebelah pintu kelasnya.

"Dekil?" ucap salah seorang teman yang juga sedang dihukum seperti Luna, dia Leo, pria itu pun duduk di samping Luna.

"Iya, desen killer!" ujar Luna sinis sambil menyobek-nyobekkan kertas di tangannya.

"Maksa banget akronimnya!" ledek Leo.

"Biarin, wong dia emang panteng disebut desen, nggak pantes jadi dosen sih!" protes Luna terhadap sang dosen yang hanya berani ia lakukan saat di belakangnya.

"Udah, kan ada hikmahnya juga dihukum sama pak Edric?" ujar Leo menenangkan.

"Nggak ada hikmahnya, yang ada, mungkin aku dapet D lagi!"

"Ada kok? Kamu aja yang kurang bersyukur, makanya gak bisa mengambil hikmahnya dari kejadian ini."

Luna menaikkan sebelah alisnya. "Emang, apa hikmahnya?"

"Hikmahnya itu, aku bisa berduaan sama kamu." Leo sengaja menyenggol lengan Luna dengan sikunya.

"Iish!" Luna pun langsung menggeser posisinya menjauhi Leo. "Tukang modus!"

Setengah jam berlalu, Luna sudah menyelesaikan resumenya, namun Leo sepertinya masih belum menyelesaikan tugasnya.

"Akhirnya!" Luna pun meremas jemarinya hingga berbunyi, dia juga menekuk-nekuk lehernya ke kanan dan kiri hingga mengeluarkan suara 'Kretek' berkali-kali.

Leo mengamati Luna yang sedang melakukan 'Relaksasi Ala Luna' itu. "Udah kayak abis jadi kuli bangunan aja, cuma nulis resume doang sampe segitunya."

"Terima kasih atas pujiannya!" Luna langsung bangkit dan mengetuk pintu kelas. Dia meninggalkan Leo yang masih sibuk dengan buku dan pulpennya.

Tok tok tok

"Masuk!"

Dengan tangan sedikit gemetaran, Luna membuka pintunya. Gadis itu berjalan masuk kelas dengan wajah tertunduk, dia merasa jika seluruh mahasiswa seakan sedang memperhatikannya.

"I-ini, Pak!" Luna menyerahkan resumenya dan langsung berbalik ke tempat duduknya.

"Mau ke mana?" tanya Edric, si dosen killer.

"Du-du ...,"

"Diam di sini!"

"Baik, Pak!" Luna mengurungkan niatnya untuk kembali ke tempat duduknya. Dia berdiri lagi tepat di depan meja dosen.

"Ini sih, bukan resume. Ini kayak catetan buku anak SMP!" Edric membanting buku itu ke lantai.

Dengan sabar Luna memungut bukunya, dan ia seketika berdiri sambil mengangkat buku itu.

"Dekil, sialan, lo!"

Plak

Buku yang tadi dilempar oleh Edric kini mengenai pipinya akibat pukulan dari Luna.

***

Bersambung ...

Suaminya Adalah Calon Suamiku

"Dekil, sialan, lo!"

Plak

Buku yang tadi dilempar oleh Edric kini mengenai pipinya akibat pukulan dari Luna.

Plak! Plak! Plak!

"Rasain tuh! Rasain! Semester kemarin udah seenaknya ngasi nilai D. Sekarang malah ngatain resumeku mirip anak TK. Anda dosen pernah jadi mahasiswa nggak sih? Mikir dong! Mikir!"

"Lun-Luna?"

Sebuah tangan melambai di depan wajahnya.

"Kamu sedang apa? Ayo perbaiki resumenya!"

Luna menggelengkan kepalanya, dia tersadar akan lamunannya. "Baik, Pak! Akan saya perbaiki." Luna menjawab sembari tersenyum meski dalam hatinya ia ingin mengumpat dan menghajar dosen killer itu seperti dalam lamunannya.

'Sabar Luna, sabar! Sabar, Luna! Sabar! Sabar! Sabar!' Hanya kata itu yang bisa Luna ucap berulang-ulang dalam hati.

***

"Gimana, enak dihukum di luar kelas? Hehe." Rina meledek Luna yang sedang terus manyun sambil duduk di bangku taman kampus.

"Jahat, kamu Rin! Kasi tau kek kalau mau ada jadwal si dosen killer."

"Lah, biasanya juga kamu yang lebih gercep bikin resume, ya ... kupikir kamu teh udah tau."

"Uuuft! Kok aku cemas ya, aku takut nilai aku semester ini jeblok lagi." Kali ini Luna menopang dagu.

"Berdo'a aja, Lun. Masa sih pak Edric tega ngasi nilai jelek lagi ke kita." Rina menepuk-nepuk punggung Luna.

Luna pun terdiam sambil terus menunduk.

Kriiing Kriiing

"Henpon kamu bunyi, Lun?" Rina mengingatkan Luna.

"Emmm." Luna pun mengambil ponsel yang masih berdering itu dari dalam tasnya lalu mengangkat panggilan.

"Halo, Bu?"

"Halo, Nduk. Nanti pulang kuliah langsung ke rumah sakit ya, nyonya Dita dan suaminya katanya akan datang."

"Apa? Nyonya Dita dan suaminya?"

"Iya, Nduk. Ibu minta maaf, ya. Kalau kamu tidak suka dengan tawaran nyonya Dita, kamu boleh nolak, Nduk."

"Iya, bu! Ibu tenang saja. Jam berapa katanya mereka bakal datang?"

"Mereka bilang sepulang kamu kuliah. Memang kamu kuliah hari ini pulang jam berapa? Sore banget, tah?"

"Nggak sore banget sih, cuma jam tiga juga udah selesai."

"Ya, sudah, nanti saya sampaikan ke beliau kalau kamu pulang kuliah jam tiga. Ibu tutup dulu, ya?"

"Iya, bu."

Luna menyimpan kembali ponsel ke dalam tas setelah ia memutus sambungan telponnya.

"Tinggal satu matkul lagi, kan hari ini? Nanti habis dhuhur?" tanya Luna pada Rina.

"Iya, Lun. Lun, bapakmu teh sakit apa memangnya? Parah ya?" Rina nampak iba pada temannya.

"Iya, Rin. Biasa, darah tinggi, trus nyerang ke jantung, dan sekarang malah timbul gejala stroke," jawab Luna dengan ekspresi datar.

"Yang sabar ya, Lun. Aku teh khawatir, semenjak dengar bapak kamu masuk rumah sakit, kamu jadi sering banyak molongo alias melamun." Rina mengusap pundak Luna.

Luna tersenyum melihat sahabatnya yang mengkhawatirkannya. "Nanti aku bakal langsung pulang, ya. Harus ke tempat bapak, sorry gak bisa nemenin main."

"Gak papa, Lun."

***

"Luna! Mau langsung ke rumah sakit?" Rina memanggil Luna yang terburu-buru keluar kelas.

"Iya, maaf ya, Rin. Gak bisa ngerujak bareng di kosan kamu, bilangin ke anak-anak, ya!"

"Gak papa atuh, anak-anak juga udah pada tau, kok. Justru kita yang minta maaf, belum bisa jenguk bapak kamu ke rumah sakit." Rina merasa tak enak hati.

"Makasih, ya! Maaf buru-buru!" Luna pun agak berlari. Ponselnya sudah berdering sejak jam kuliah berlangsung, namun siapa sangka jika dosen yang barusan malah melebihkan jam kuliah, sehingga Luna baru keluar pukul empat sore.

Setelah sampai di rumah sakit, Luna segera menuju ke ruang rawat bapaknya. Karena bapaknya sudah sadar, sehingga dipindah dan tidak berada di ICU lagi.

Luna melihat dua orang ber-jas hitam dan menggunakan kacamata berdiri di depan pintu ruangan seperti sedang melakukan penjagaan. Luna ingat jika mereka adalah pengawal nyonya Dita yang pasti kini sedang bersama suaminya di dalam ruang rawat.

"Huuuuft!" Luna mengembuskan napas. Dia begitu grogi untuk menemui nyonya Dita yang kedua kalinya. Pasalnya nyonya Dita juga membawa suaminya, yang mungkin juga akan menjadi 'suami' Luna.

Gadis itu pun melewati sang pengawal dan masuk ke dalam kamar rawat.

Dia melihat bapaknya terbaring lemah namun matanya sudah membuka, bahkan mampu tersenyum ke arahnya.

"Luna, sudah datang kamu, nduk?" Ibu Luna langsung menyapa anaknya. "Nyonya Dita dan Tuan Edric sudah datang."

"P-pak Edric?"

***

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!