Di sebuah makam yang masih basah, seorang gadis remaja sedang bersimpuh menangisi seseorang yang telah berada di peristirahatan terakhirnya.
Isakan demi isakan terus menggema di tempat itu. Hingga hari menjelang sore. Langit yang mendung pun seolah mewakili perasaan gadis belia itu. Sheila, seorang gadis malang yang baru beberapa Minggu ditinggal keluarga yang dimilikinya satu-satunya.
"Kak, Kenapa kakak meninggalkanku secepat ini? Kasihanilah aku, Kak! Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang." Gadis itu menangis hingga sesegukan, menyalahkan takdir yang terasa begitu kejam padanya.
Di belakang sana, seorang pria tampan, berpostur tubuh tinggi menatap punggung gadis belia itu.
Marchel Aditya Mahesa, adalah seorang dokter ahli jantung. Lelaki itu tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa dirinya akan menikahi salah seorang pasiennya, Sheila Bianca Azzahra, seorang gadis remaja berusia 17 tahun dan masih tercatat sebagai siswa SMA kelas tiga di salah satu sekolah swasta di kotanya.
Bukan tanpa alasan, Marchel yang notabene seorang dokter tampan, keren dan digilai banyak wanita mau menikahi seorang gadis yang sama sekali bukan seleranya. Sheila hanya seorang gadis remaja culun dengan kacamata tebal.
Demi memenuhi janji pada mendiang tunangannya Shanum, Marchel terpaksa menikahi Sheila yang merupakan adik Shanum.
Shanum, adalah seorang arsitek cantik berusia 27 tahun. Nasib naas menimpanya ketika dirinya mengalami sebuah kecelakaan di tempat kerja yang membuatnya terluka parah sehingga nyawanya tak tertolong.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Shanum telah menitipkan adik kesayangannya pada Marchel dan memintanya menikahi Sheila secara diam-diam dan rahasia. Marchel pun masih dipenuhi pertanyaan, mengapa Shanum meminta menikahi adiknya, namun berpesan agar pernikahan itu ditutupi untuk sementara waktu hingga Sheila berusia 21 tahun.
Hari beranjak sore, Marchel mendekati Sheila yang masih bersimpuh di sisi makam itu.
"Sheila, ayo kita pulang. Hari sudah sore," ucap Marchel yang masih berdiri di belakang Sheila.
Gadis kecil itu menyeka air matanya yang seakan enggan berhenti mengalir. Sesaat kemudian dia berdiri, menatap laki-laki yang sudah berstatus suaminya itu.
"Aku mau pulang ke rumahku saja. Boleh kan?" tanya Sheila dengan tatapan sendunya.
Marchel menghela napas berat, mencoba melepaskan semua beban di hatinya, "Tidak! Shanum menitipkanmu padaku, dan aku sudah berjanji akan menjagamu. Ayo!"
Marchel melangkahkan kakinya menjauh, dengan terpaksa Sheila mengekor di belakangnya. Hingga tiba di depan gerbang pemakaman itu. Marchel berjalan ke arah sebuah mobil yang terparkir di sisi jalan lalu membukakan pintu mobil itu untuk Sheila. Gadis itu pun melangkahkan kakinya yang terasa berat, lalu naik ke mobil.
Sepanjang perjalanan air matanya terus mengalir, tak ada suara, tak ada isakan. Hanya deraian air mata yang mampu menjelaskan betapa perih luka di hatinya. Sheila kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya, satu-satunya orang yang paling mencintainya di dunia. Sosok kakak kesayangannya.
Dua puluh menit berlalu. Mobil itu memasuki halaman sebuah rumah besar dengan taman yang luas. Untuk pertama kalinya, Sheila menginjakkan kaki di rumah itu sebagai istri Dokter Marchel.
Sheila baru saja diizinkan pulang setelah sebulan lamanya dirawat di rumah sakit setelah menjalani operasi transplantasi jantung. Bahkan gadis kecil itu tidak dapat menghadiri pemakaman kakaknya karena terbaring di rumah sakit.
"Ini rumahku, mulai hari ini kau akan tinggal di sini bersamaku," ucap Marchel saat mobil itu berhenti.
Marchel turun dari mobil diikuti Sheila. Gadis culun itu mengedarkan pandangannya pada rumah mewah itu. Sangat berbeda dengan huniannya sebelumnya bersama sang kakak. Mereka hanya tinggal di sebuah rumah minimalis peninggalan orang tua mereka.
Marchel kemudian mengeluarkan koper milik Sheila dari bagasi mobilnya, lalu memanggil seorang pria yang sedang berjaga di pos untuk membawa koper itu masuk ke rumah.
***
Jika seorang istri akan disambut hangat oleh anggota keluarga saat kedatangannya untuk pertama kali ke rumah suaminya, maka tidak dengan Sheila. Tidak ada penyambutan istimewa untuknya.
Di ambang pintu, seorang wanita paruh baya menatapnya dengan tatapan permusuhan. Ya, itu adalah ibu mertuanya. Ibu kandung Marchel.
Jika sang ibu sangat menyukai Shanum, maka berbeda dengan Sheila. Wanita itu menatap Sheila bagaikan serangga berbahaya yang harus segera disingkirkan. Bisa jadi rumah itu akan menjadi neraka bagi si malang Sheila yang kini hidup sebatang kara.
"Bu... Mulai hari ini Sheila akan tinggal bersama kita," ucap Marchel saat sudah berada di hadapan dengan sang ibu.
Sheila mengulurkan tangannya hendak mencium punggung tangan mertuanya itu, namun wanita itu seolah jijik bersalaman dengan gadis itu. Malu-malu, Sheila menundukkan kepalanya. Marchel yang melihat raut tidak suka dari ibunya hanya berdiam diri.
"Bibi Yum, tolong antarkan Sheila ke kamarnya," pinta Marchel pada seorang asisten rumah tangga.
Wanita itu segera mengajak Sheila menuju kamarnya yang berada di lantai dua, tidak jauh dari kamar Marchel.
Ibu menghela napas panjang, mengingat keputusan mendadak Marchel yang menikahi seorang gadis remaja tanpa seizinnya membuatnya naik pitam.
"Marchel, kenapa kau harus menikahi anak itu? Coba lihat dia! Dia benar-benar tidak pantas untukmu," ucap ibu dengan nada kesal.
"Bu... Sudahlah, jangan membahas itu!" Marchel mencoba menghindari pembicaraan itu namun ibu terus mengekor di belakangnya.
"Dia sangat berbeda dengan Shanum. Jika teman-teman ibu tahu kau menikahi gadis seperti itu, ibu akan jadi bahan tertawaan mereka."
Marchel mulai kesal dengan ucapan ibunya yang terus saja mendebatnya. Sejak kepergian Shanum, Marchel kadang tak bisa mengontrol emosinya. Kadang dia diam, kadang marah. dan kadang terlihat sedih.
"HENTIKAN, BU!" bentak Marcel mengagetkan wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu. "Ibu pikir aku benar-benar ingin menikahinya? Apa ibu pikir aku senang? Aku bahagia, begitu? Tidak, Bu! Aku juga tidak mau menikahi Sheila. Aku tidak mencintainya dan tidak akan pernah! " Marchel mulai menunjukkan sisi lemahnya sebagai seorang laki-laki. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku sudah berjanji pada Shanum akan menjaga dan menikahi adiknya. Hanya itu hal terakhir yang bisa ku lakukan untuknya. Aku juga tidak mau terjebak dalam pernikahan seperti ini, Bu. Tapi aku bisa apa selain menjalaninya."
"Kau kan bisa menjaga dan merawatnya tanpa harus menikahinya, kan?"
"Shanum membuatku berjanji untuk menikahi adiknya, Bu. Aku tidak punya pilihan." Marchel memejamkan matanya kasar. Mengingat janji terakhir yang diucapkannya pada mendiang kekasihnya sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Tanpa mereka sadari, Sheila telah mendengar pembicaraan itu. Dia bersandar dan bersembunyi di balik sebuah pilar besar. Napasnya berat, air mata seolah mendobrak keluar. Jika boleh memilih, Sheila pun tak ingin berada dalam situasi ini.
Di usianya yang masih 17 Tahun, dia harus kehilangan segalanya dan terjebak ke dalam sebuah pernikahan yang tak diinginkan. Bahkan Sheila masih berstatus sebagai pelajar.
Sheila menyandarkan punggungnya Di balik pilar itu, menghapus air mata yang jatuh tanpa izin.
Di sinilah Sheila sekarang, di dalam sebuah istana yang seolah akan runtuh menimpanya. Entah takdir apa yang sedang menantinya. Akankah Sheila menemukan kebahagiaan di rumah itu, ataukah rumah itu hanya akan menjadi penjara untuknya.
*****
Bersambung
PERINGATAN!!!
NOVEL INI BANYAK PART SEDIH YANG MEMBUAT EMOSI NAIK TURUN.
HARAP BIJAK DALAM MEMBERI KOMENTAR
Malam semakin larut, Marcel berdiri di balkon rumah, menatap bintang yang bertaburan. Ingatannya kembali terarah pada Mendiang tunangannya, Shanum.
Kepergian Shanum meninggalkan luka yang mendalam bagi Marchel. Rasanya Marchel tidak sanggup lagi berpura-pura tegar di hadapan semua orang, menutupi kesedihannya dengan sikap dinginnya.
"Bagaimana aku bisa menjalani ini, Shan... Aku benar-benar tidak bisa," gumam Marchel.
Matanya telah berkaca-kaca, merasa takdir begitu tega mempermainkannya. Bukannya menikah dengan gadis cantik dan sempurna seperti Shanum, Marchel malah menikahi seorang gadis remaja culun yang usianya jauh di bawahnya. Dan atas permintaan Shanum, pernikahan Marchel dan Sheila pun dirahasiakan dari semua orang. Hanya segelintir orang yang mengetahui tentang pernikahan diam-diam itu.
Marchel kemudian masuk ke dalam kamarnya dan menjatuhkan tubuh di pembaringannya. Jika saja kejadian naas itu tidak menimpa Shanum, mungkin saat ini, lelaki itu tidak akan tenggelam dalam kesedihannya yang mendalam, menangisi seseorang yang tidak akan pernah kembali lagi.
**************
PRANG!
Terdengar suara pecahan kaca yang berasal dari arah dapur, mengagetkan ibu yang sedang sarapan di meja makan. Penasaran, wanita paruh baya itu segera beranjak menuju dapur.
Tampak si gadis culun Sheila yang sudah rapih dengan seragam sekolahnya, sedang memunguti sisa-sisa pecahan kaca yang baru saja dia pecahkan. Gadis itu sedang membuat susu untuk dirinya sarapan, namun tanpa sengaja gelas itu terjatuh dari tangannya.
"Ya ampun, apa yang kau lakukan?" tanya ibu dengan suara nyaris membentak.
"Ma-maaf, Bu... Aku tidak sengaja menjatuhkan gelasnya." Suara Sheila terdengar lirih, ada perasaan sakit di hatinya mendengar bentakan keras itu.
Ibu menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar. Semakin besar rasa tidak sukanya pada sosok gadis remaja yang telah berstatus menantunya itu. "Kau benar-benar tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan benar. Marchel telah melakukan kesalahan besar dengan menikahi anak tidak berguna sepertimu."
Sheila masih di bawah sana, memungut sisa pecahan itu, sekilas melirik wanita yang berdiri di hadapannya dengan tatapan takut. "Maafkan aku, Bu... aku tidak sengaja."
"Tidak sengaja? Cepat kau bersihkan itu!"
"Ba-baik!" Suara gadis polos itu mulai bergetar seiring tangannya yang gemetaran. Air mata seolah memaksa keluar dari kelopak matanya yang sudah sembab itu.
Rasanya gadis itu ingin tinggal di rumah lamanya saja. Dimana tidak seorang pun akan berteriak padanya. Dulu, Shanum sangat memanjakan adiknya itu, bahkan Shanum memperlakukannya bagai seorang putri raja.
Kak Shanum, kenapa kakak meninggalkanku sendirian? Lihat apa yang kualami sekarang. Dan kenapa kakak meminta kakak dokter menikahiku? batin Sheila.
Setelah puas memaki-maki Sheila, ibu kembali ke meja makan, meninggalkan Sheila yang masih duduk di lantai. Seorang pelayan yang bekerja di rumah itu kemudian menghampiri Sheila dan membantunya berdiri.
"Maafkan aku, Bibi... Aku benar-benar tidak sengaja memecahkan gelas itu," ucap Sheila pada pelayan itu.
"Tidak apa-apa, Sheila. Apa kau mau dibuatkan susu lagi? Kau kan belum sarapan," ucap Bibi Yum lembut.
Sheila menerbitkan senyumnya sekilas, lalu mengusap ekor matanya yang berair, kemudian membetulkan posisi kacamata tebalnya. "Tidak usah, Bibi! Aku mau berangkat ke sekolah."
Wanita yang telah bekerja selama puluhan tahun di rumah itu mengusap rambut panjang gadis malang itu dengan perasaan iba. "Apa kau sudah merasa lebih baik? Bukankah kau baru beberapa minggu lalu menjalani operasi?"
"Aku sudah merasa lebih baik, Bibi! Terima kasih."
Sementara itu, Marchel baru tiba di meja makan. Laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya di kursi dan mengambil sepotong roti tawar lalu mengoleskan selai cokelat di atas roti itu.
"Sheila dimana? Kenapa dia tidak ikut sarapan?" tanya Marchel pada ibu yang sedang menikmati sarapannya. Wanita paruh baya itu tidak menjawab pertanyaan anaknya.
Marchel pun dapat melihat raut wajah tidak suka ibunya saat menanyakan keberadaan istrinya.
Seorang pelayan kemudian datang membawa segelas jus untuk Marchel dan meletakkannya di meja.
"Dimana Sheila, Bibi? Apa dia tidak turun sarapan?" tanya Marcel pada pelayan itu.
"Sheila sudah sarapan di dapur," jawab Bibi Yum.
Marcel mengerutkan alisnya mendengar jawaban wanita itu. "Apa? Kenapa dia tidak ikut sarapan di sini?"
Bibi Yum melirik nyonya besarnya sekilas, lalu terdiam. Tidak menjawab pertanyaan Marchel. Dia hanya dapat menundukkan kepalanya ketika melihat raut wajah majikannya yang terlihat kesal itu. Marchel dengan cepat mengerti keadaan, namun laki-laki itu memahami jika ibunya belum bisa menerima keberadaan Sheila di rumah itu, terlebih dengan status sebagai istri dari anak lelaki satu-satunya.
Sebagai anak lelaki satu-satunya, tentu ibu menginginkan seorang menantu ideal yang bisa dipamerkan pada teman-temannya. Sebagaimana dulu ibu memamerkan Shanum sebagai calon istri Marchel.
Tidak lama kemudian, Sheila datang dari arah dapur melewati meja makan dengan kepala menunduk. Berjalan di belakang Marchel dan melewatinya begitu saja. Gadis itu mempercepat langkahnya menapaki tangga menuju lantai dua dimana kamarnya berada.
Begitu memasuki kamarnya, dia mengambil tas sekolahnya lalu segera keluar kembali dari kamar itu.
"Sheila!" panggil Marchel saat melihat Sheila hendak keluar rumah.
"Kau naik apa ke sekolah?" tanya Marchel.
"Naik angkot, Kak!" jawabnya dengan kepala menunduk.
"Jangan! Aku antar saja." Marchel berjalan keluar menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan. Sheila mengekor di belakangnya, mengikuti langkah kaki panjang itu, memperhatikan punggung pria yang telah menjadi suaminya itu.
Sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut ke dua orang itu. Mereka saling diam, entah memikirkan apa.
Marchel yang dulu sangat berbeda dengan Marchel yang sekarang. Dulu, laki-laki itu sangat ramah dan perhatian pada Sheila. Namun, kini semuanya telah berubah. Marchel menjadi sangat dingin dan kaku. Kepergian Shanum untuk selamanya meninggalkan luka mendalam dan telah merubah laki-laki itu.
Mobil berhenti di depan gerbang sebuah sekolah, Sheila mengulurkan tangannya hendak mencium punggung tangan suaminya itu.
"Kau pulang jam berapa? Aku akan minta sopir menjemputmu."
"Tidak usah, Kak. Aku bisa naik bus atau angkot saja."
"Hubungi aku saja. Nanti aku akan meminta sopir menjemputmu! Kau bawa obatmu, kan?" tanya Marcel diikuti anggukan kepala oleh gadis kecil itu.
Marchel meraih dompet dari saku celana bagian belakangnya, mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan, lalu memberikannya pada Sheila . "Ini uang sakumu! Jangan jajan sembarangan!" kata Marcel dengan nada datar.
Gadis polos itu hanya mengambil selembar uang, lalu memasukkan ke dalam saku kemejanya, "Terima kasih, Kak!" ucapnya lalu membuka pintu mobil itu.
"Ambil semuanya!" seru Marchel.
"Tidak usah, Kak! Aku juga tidak jajan di sekolah." Setelah itu, Sheila turun dari mobil, berjalan dengan langkah tidak bersemangat menuju gerbang sekolah.
Dari kejauhan, tampak seorang siswa laki-laki menghampiri Sheila. Mereka kemudian berjalan beriringan memasuki gerbang itu. Entah mengapa, Marchel menatap dengan perasaan tidak suka. Walau bagaimana pun Sheila sudah menjadi istrinya, melihatnya dekat dengan teman laki-lakinya bukan sesuatu yang menyenangkan walaupun dirinya sama sekali tidak mencintai dan menginginkan gadis itu.
Sheila sudah tidak terlihat lagi, namun Marcel masih mematung di dalam mobilnya. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu tersadar dari lamunannya. Marchel pun segera memutar balik arah, lalu bergegas menuju rumah sakit tempatnya praktek.
****
BERSAMBUNG
Di ruang kelas Sheila terus melamun, memikirkan nasibnya kedepannya. Terjebak pernikahan di usia remaja bukan sesuatu yang menyenangkan baginya. Terlebih, suaminya adalah tunangan kakaknya sendiri. Gadis itu terus terdiam, hingga tepukan lembut mendarat di bahunya.
"Kau baik-baik saja, kan? Sejak tadi aku lihat kau terus melamun."
Rayhan, salah seorang siswa laki-laki yang merupakan teman Sheila satu-satunya di sekolah. Rayhan adalah satu dari sekian banyak siswa populer di sekolah. Wajahnya yang baby face membuat banyak siswi mengagumi sosok Rayhan yang sangat tampan namun misterius.
"Aku tidak apa-apa, Ray... Aku hanya merindukan Kak Shanum saja."
Rayhan kemudian duduk di samping sahabatnya itu, menatap wajah gadis berkacamata itu lekat-lekat. Sheila adalah seorang anak yang tertutup dan sulit bergaul. Penampilannya yang culun membuatnya sering menjadi bahan ledekan dan tak jarang mengalami perlakuan tak mengenakkan dari siswa-siswa lain.
Dia pun dikucilkan dan dijauhi oleh anak-anak lain. Kehadiran Rayhan dalam hidupnya bagaikan oase di gurun pasir. Hanya Rayhan seorang yang mau berteman dengannya.
Sheila menghela napas panjang dengan matanya yang kembali berkaca-kaca, mengenang Shanum, sang kakak yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Shanum dan Sheila adalah anak yatim piatu. Sheila tidak pernah mengenal siapa orang tua kandungnya, karena sejak kecil, Shanum lah yang merawatnya, bersama ibu angkat mereka yang sudah lebih dulu menghadap yang kuasa. Bahkan, Sheila tidak punya foto kedua orang tua kandungnya.
"Bersabarlah, semua akan baik-baik saja," ucap Rayhan mencoba menghibur Sheila. Sheila pun merespon dengan anggukan.
Seorang guru kemudian masuk kedalam kelas, ruangan yang tadinya riuh itu tiba-tiba menjadi hening.
"Selamat pagi anak-anak," sapa sang guru.
"Selamat pagi Bu Guru..." jawab para siswa itu.
"Anak-anak, hari ini akan ada pemeriksaan kesehatan untuk siswa kelas tiga dari rumah sakit Cipta Harapan," ucap guru itu pada murid-muridnya. "Jadi jam istirahat semua harus ke aula."
"Baik, Bu...!" jawab siswa siswa itu bersamaan.
Rumah Sakit Cipta Harapan? Itukan rumah sakit tempat Kak Marchel praktek. Apa dia juga akan ada di sana? batin Sheila.
Jam belajar pun di mulai. Hari-hari berat sudah menanti gadis kecil itu. Tertinggal banyak pelajaran selama dirawat di rumah sakit, membuatnya harus belajar lebih giat. Namun, akan ada sosok Rayhan yang selalu siap membantunya.
****
Jam istirahat tiba...
Para siswa kelas tiga berbondong-bondong menuju aula yang terletak di tengah-tengah bangunan sekolah bergengsi itu. Sheila melangkahkan kakinya dengan malas menuju aula.
Bukan tanpa sebab, gadis itu tidak ingin ketahuan oleh siswa lain jika dirinya sudah menikah. Dan suaminya adalah salah seorang dokter dari rumah sakit yang dijadwalkan akan melakukan pemeriksaan kesehatan untuk para siswa kelas tiga siang itu.
Sheila dan Rayhan memasuki gedung aula itu dan duduk di kursi tengah. Di depan sana sudah ada beberapa dokter yang sedang mempersiapkan peralatannya. Salah satu dari beberapa dokter itu adalah Marchel. Sheila menundukkan kepalanya ketika melihat Marchel ada di sana.
Beberapa siswi saling berbisik memuji ketampanan seorang dokter pria yang duduk di depan sana. Sheila yang mendengar bisik-bisik itu hanya terdiam.
"Coba lihat! Dua dokter yang duduk di ujung itu benar-benar keren, ya..." kata seorang siswi.
"Iya... Mereka sangat tampan. Aku pasti akan jadi orang paling bahagia di bumi ini kalau bisa berjodoh dengan orang seperti itu," sahut salah seorang siswi lainnya.
"Aku ingin salah satu dari mereka yang memeriksaku."
"Aku juga..."
Kalau mereka tahu laki-laki yang sedang mereka bicarakan itu adalah suamiku, mereka pasti akan semakin menghinaku. Ya, aku seorang gadis jelek dan culun ini bisa menikah dengan seorang dokter yang nyaris sempurna seperti Kak Marchel. Mereka akan menganggap itu sebuah kutukan untuk Kak Marchel. batin Sheila.
Kegiatan pun di mulai, siswa-siswa bergantian mendapat giliran untuk diperiksa. Hingga tibalah giliran Sheila yang maju ke depan sana. Saat melewati sebuah kursi, seorang teman sekelasnya yang sering mengerjai habis dirinya mencegat kakinya. Sheila pun jatuh tersungkur di lantai, memegangi kakinya yang terasa sakit.
Seketika ruangan itu riuh oleh tawa para siswa yang menggema di setiap sudut ruangan itu. Mereka sedang menertawakan gadis culun yang terjatuh itu. Seperti biasa, Sheila yang sudah biasa mendapat perlakuan itu hanya diam seraya membetulkan posisi kacamatanya yang bergeser.
Marchel yang melihat kejadian itu segera berdiri dari duduknya bermaksud ingin menolong Sheila. Namun, dirinya kalah cepat dari Rayhan yang langsung berjalan dengan cepat ke arah Sheila.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Rayhan yang sudah berjongkok di depan gadis itu. Rayhan kemudian menatap tajam pada Maya, siswi paling populer di sekolah yang selalu mengerjai Sheila.
"Aku tidak apa-apa, Ray!"
Sekilas Sheila melirik Marchel yang mematung di sana, lalu kembali menundukkan kepalanya.
Sekarang Kak Marchel tahu seperti apa aku diperlakukan di sekolah ini. Kalau orang-orang tahu aku adalah istrinya, dia pasti akan sangat malu. Lihat kan, dia bahkan tidak bereaksi melihatku terjatuh.
Rayhan membantu Sheila berdiri, lalu membantunya berjalan menuju dokter yang duduk di ujung. Marchel mengepalkan tangannya melihat kedekatan Sheila dengan teman laki-lakinya itu.
Entah untuk alasan apa dia merasa tidak senang melihat kedekatan mereka. Namun, Marchel menutupinya dengan kediamannya.
Sheila kemudian duduk di depan Marchel, tidak berani menatap wajah suaminya itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Marchel dengan suara pelan nyaris berbisik. Sheila pun hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Apa kau sering mendapatkan perlakuan seperti ini di sekolah?" tanyanya lagi.
Tidak ingin semakin membuat Marchel malu, gadis itu kembali menjawab dengan gelengan kepala. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Sheila. Sepanjang Marchel memeriksanya, ia hanya mampu berdiam diri seraya menundukkan kepalanya.
Dan, akhirnya gadis pendiam itu selesai diperiksa. Rayhan kembali menghampirinya dan membantunya kembali ke kursi tempatnya duduk tadi. Marchel pun kembali dihinggapi perasaan yang aneh. Namun, laki-laki itu kembali menutupi perasaan anehnya dengan diam.
Seorang dokter pria yang merupakan rekan Marchel kemudian mendekat padanya dan berbisik pelan, "Marchel, itu kan Sheila?"
Sambil mengangguk pelan, Marchel menjawab, "Iya. Itu Sheila."
Marchel kemudian mengarahkan pandangannya pada sosok gadis yang menjadi istrinya itu. Kemudian menatap tajam pada siswa laki-laki yang selalu menempel pada Sheila.
Ada apa denganku? Kenapa aku merasa tidak suka melihat Sheila dekat dengan anak laki-laki itu. Padahal aku sendiri belum bisa menerimanya sebagai istriku.
******
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!