Wonogiri, Agustus 1995 | 23:00
Dari balik kelambu kusam tampak seorang wanita yang sedang diambang batas antara hidup dan mati. Ribuan bulir keringat yang keluar dari pori-pori bagaikan aliran jeram yang deras dari hulu sungai Progo.
Tidak ada derai tawa, tidak ada obrolan membosankan yang kerap terjadi saat seluruh anggota keluarga inti berkumpul. Tatapan saling pandang antara mereka terkadang saling menguatkan bahwa ini adalah situasi yang genting.
Kamar bercat hijau ini memancarkan aura lengang. Udaranya pun terasa tercekat dengan kecemasan empat orang penghuninya. Bokor besar berisi air, kain perban dan alat-alat medis lainnya dimainkan dengan terampil oleh salah satu wanita yang kerap dipanggil dengan seruan bu bidan.
“Liru Sukmo bukan dongeng”, kata laki-laki yang paling tua dari ke-empatnya. Mereka semua tampak segan dan hormat kepadanya.
“Ini bukan kelahiran jabang bayi seperti biasanya, tidak pernah dalam sejarah seorang wanita mengalami proses kelahiran selama tiga hari tiga malam” Lanjutnya dengan mimik sangat serius.
“Lalu apakah malam ini jabang bayi itu bisa keluar Yai?” tanya lelaki berkumis tipis yang sejak dari tadi duduk di pinggir kasur. Tangan kanannya tak pernah lepas mengenggam tangan wanita yang terbaring lemah dengan kedua kaki sedikit mengangkang.
“Pasti, aku yakin itu nak. Sebagai suami kamu harus terus menjaganya, jangan sampai roh jahat itu kembali datang dan merusak pagar gaib yang aku pasang” kata orang yang dipanggil yai itu tegas.
Suasana makin mencekam. Nyala tujuh batang lilin yang diletakkan mengelilingi kasur besi itu seolah enggan menari-nari menerangi ruangan. Angin bergulung-gulung yang mengusung hawa dingin beraroma bangkai, pekat membungkus rumah Seno dari segala penjuru.
Pratiwi, wanita yang sedang berjuang menunda titik kematian, terbaring mengerang dengan lenguhan panjang. Perutnya yang besar terlihat berkedut-kedutan. Bu Bidan yang tak kalah cemasnya dengan Seno, suami Pratiwi, berulang kali mengucapkan kalimat-kalimat yang terasa membosankan karena diulang-ulang.
“Tarik nafas, keluarkan"
"Wuushhhhhhhh”
Haji Mansyur, lelaki menjelang separuh baya yang dipanggil yai oleh Seno itu kembali berbicara. Kali ini dengan tekanan suara yang lebih berat.
"Jabang bayi ini sudah menanggung takdir pamomong tanah Jawa. Sudah dituliskan ratusan tahun yang lalu, sebelum kakek buyutku dilahirkan. Kelahirannya malam ini ada hubungannya dengan perjanjian Liru Sukmo antara Eyang Prabu Gentala dengan Ni Mas Ratu Anginangin berabad-abad silam."
Seno dan dua orang dalam ruangan itu hanya terdiam tanpa merespon ucapan Yai. Bagi mereka, saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas kisah-kisah kuno Tanah Jawa.
Sayup masih terdengar Pratiwi merintih kesakitan dengan nafas pendek-pendek dan tersengal. Sisa-sisa cadangan tenaga terakhirnya masih disimpan untuk mengejan.
23.51
Tetiba erangan calon ibu itu memekik panjang, mengiris gelapnya malam di pinggiran kota Wonogiri. Hawa magis dan dingin yang tak pernah gagal beradu taut, sekarang datang disela jeritan panjang.
“Wis wayahe...jupukke banyuku” (sudah saatnya..ambilkan airku) kata Yai sambil telunjuknya menuding ke arah meja kecil di sudut kamar. Wanita separuh baya yang sedari tadi berdiri di dekat pintu berusaha menguasai keadaan. Beberapa detik kemudian, dengan cepat ia berjalan tergopoh meraih gelas berisi air yang diatasnya mengapung beberapa kelopak bunga melati.
“Kowe ngadek kunu, jogoen adimu” (kamu berdiri disana, jaga adikmu) perintah Yai pada wanita separuh baya itu.
Suasana makin mencekam.
Tiba-tiba, pintu, jendela, dan sebagian dinding kayu dalam ruangan itu bergetar cepat seperti kena setrum listrik ribuan volt. Sesaat kemudian, giliran suara-suara rintihan wanita menggema dan memantul tak beraturan, terdengar dari luar rumah.
Dilain pihak, Pratiwi, yang dalam beberapa saat lagi menjadi ibu makin tersengal-sengal menahan kesakitan. Wajahnya yang pucat sedikit membiru makin menegang. Kedua matanya mendelik sambil tangannya makin keras mencengkeram pergelangan tangan Seno, suaminya.
Wuzzh.
Air dalam gelas tadi disemburkan dari mulut Yai ke arah empat penjuru kamar. Mulutnya komat-kamit sambil menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Tatapan matanya nanar, sangat waspada.
Sementara dari luar rumah, ada pemandangan yang tidak biasa beberapa detik setelahnya.
Unggas, serangga malam, dan binatang melata seolah sepakat untuk mengheningkan cipta. Daun dan ranting pohon mendadak terdiam tanpa gerakan. Putaran bumi seolah berhenti.
Semuanya hening.
00:07
Tangis bayi merah terdengar kencang membelah malam.
Proses kelahiran jabang bayi Pratiwi ternyata tidak berlangsung lama. Bu Bidan yang telah berpengalaman puluhan tahun itu sangat sigap dan cekatan membantu proses kelahiran.
Pratiwi mendorong kepala, bahu, dan bagian tubuh lainnya tanpa kesulitan. Mungkin karena ini adalah anak kedua.
“Alhamdulillah..putri, alhamdulillah” ujar bu bidan dengan senyum lebar.
Setelah membersihkan ari-ari dan sisa-sisa darah, bu bidan menyelimuti bayi perempuan yang sedang menangis kencang itu dengan hati-hati. Dalam beberapa detik, bayi itu sudah dalam gendongan Seno.
Ujung mata Seno melirik Pratiwi yang masih terbaring lemah. Tangis kebahagiaan keduanya pecah.
“Lisa...” sebut Pratiwi lirih hampir tak terdengar.
“Apa?” tanya Seno sambil menyorongkan badan mendekat ke kepala istrinya.
“Lisa mas, namanya Lisa.”
***
Hari ke 1, awal Juli 2018
Jogjakarta | 12:30
Ghea : "Lis jangan lupa ntar malam kita waktunya ke Cubic"
Pesan whatsapp itu baru sempat ia baca saat break makan siang."Sial, lupa aku ntar malam janjian sama Ghea", gumamnya dalam hati.
Ghea adalah teman barista Lisa. Cafe tempatnya bekerja, tidak jauh dari kos Lisa. Hobi Ghea menenggak minuman beralkohol. Cubic, bar di daerah Demangan tak jauh dari pusat kota, adalah tempat favoritnya. Mereka berdua punya jadwal mingguan bertemu disana.
Karena selalu ditraktir, Lisa menurut saja. Ghea anak orang kaya, Lisa bukan. Ghea inilah sang ratu penyelamat Lisa secara ekonomi ketika akhir bulan dompetnya kering.
Lisa: "Ok siap, jemput kelar shift. Jangan lupa nitip cilok gajah", ketik Lisa menjawab chat temannya itu.
Tanpa menunggu balasan, Lisa meletakkan ponselnya di atas meja dan membuka karet nasi bungkus katering langganan anak-anak crew cafe. Kali ini lauknya setengah telur ayam rebus dan sambel goreng kentang. Porsi nasi pesanannya terbilang banyak untuk gadis bertubuh kecil seperti dia.
"Hmmm, lumayanlah daripada kemarin cuma lauk pepes pindang." gumamnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari sebungkus nasi bungkus seharga delapan ribu rupiah.
Lisa harus berhemat. Citanya-citanya dalam waktu lima tahun ia harus bisa punya uang yang cukup untuk membuka kedai kopi kecil bersama Ghea. Gajinya yang tidak seberapa besar itu harus dicukup-cukupkan untuk biaya hidup dan menabung. Belum lagi ia harus mengirim uang bulanan untuk membantu biaya hidup ayah ibunya di Wonogiri. Kadang Lisa harus kerja double shift untuk menambah pemasukan.
Lisa berusaha duduk lebih santai. Punggungnya disandarkan pada dinding samping cafe tempat crew istirahat. Setelah menghabiskan makan siangnya, seperti biasa, sebatang rokok dan playlist lagu 90-an adalah dessert yang sangat spesial.
"...And I don't want the world to see me
'Cause I don't think that they'd understand
When everything's meant to be broken
I just want you to know who I am........"
Lisa melihat dari kejauhan kendaraan lalu-lalang tanpa henti. Kadang dia heran begitu banyaknya orang yang hilir mudik dengan tujuannya masing-masing. Satu dengan yang lain tidak ada yang tahu mau kemana dan dari mana. Mereka mencari jalan menuju takdirnya sendiri.
Saat pikirannya menerawang jauh, seseorang menepuk pundaknya dengan keras. Lisa terkesiap sampai batang rokok diantara jarinya terjatuh.
"Woi Lis, itu HP mu bunyi dari tadi!" kata Yosi crew dapur sedikit keras. Ucapannya membuyarkan lamunan Lisa.
"Aduh, sampe jantungan aku ndes" protes Lisa.
"Makanya jangan keseringan nge-blank dong" ucapnya sambil terkekeh, lalu memunggungi Lisa berjalan dengan cepat menuju toilet.
Bersungut-sungut jengkel, Lisa melihat ke layar ponsel. Ada dua miskol dari nomer telpon rumah Wonogiri. Saking nge-blanknya Lisa sampai tidak mendengar bunyi dering panggilan di ponselnya.
Buru-buru dia menelpon kembali nomer itu, beberapa kali panggilan tidak ada yang menjawab. Sampai pada percobaan panggilan kali ketiga baru tersambung. Dari ujung telpon terdengar suara serak khas Bu Pur, pembantu rumah tangga orang tua Lisa.
Baru terdengar sebaris kalimat yang keluar dari mulut bu Pur di ujung telepon, Lisa merasa tubuhnya melayang ringan. Langit hari itu seolah runtuh menimpa tubuh mungilnya. Mulutnya tercekat, kepalanya seperti diketok palu raksasa.
Lisa beruntung karena lututnya masih kuat menopang tubuhnya. Tapi berita itu bukanlah berita keberuntungan baginya. Bisa dikatakan bencana terbesar selama dua puluh tiga tahun hidupnya.
Tubuhnya bergetar terhuyung-huyung. Tangannya sibuk menggapai dinding tembok terdekat dari titik dimana dia berdiri.
"Bu Pur! Kenapa kok baru sekarang aku dikabari?" protes Lisa dengan tegang.
"Bu.ibu..."sebutnya lirih.
Hening sejenak. Lalu gelap.
Beberapa crew cafe yang melihat Lisa tergolek di atas lantai segera menghampiri Lisa, memanggil nama dan menggoyang-goyang pundaknya dengan kencang.
Tidak ada jawaban.
***
_______________________________________
Pembaca, ini adalah novel pertama saya di sini. Masih nubie banget.
Novel ini adalah seri pertama dari semesta Babad Segoro Kidul, jadi akan banyak clue untuk buku ke dua. Bukan bermaksud memperpanjang plot. Beberapa part dialog sudah dipersingkat. Be a smart reader. Just enjoy. Nulis novel itu riset dan mikirnya susah lho, :-P
Oh ya, penulis sarankan pada pembaca untuk membekali referensi bacaan tentang sekte Bhairawa Tantra, Gerhana Bulan Total Juli 2018, Syekh Subakir, dan kisah-kisah legenda tanah jawa lainnya. Karena novel ini berlatar belakang kisah-kisah tersebut.
Akhir kata sebelum tenggelam dalam petuangan Lisa yang seru dan menegangkan, penulis mengucapkan :
Happy Reading.!!
..."Terkadang buku menemukan kita di waktu yang tepat"...
...A.J Fikry...
Jogjakarta\, Awal Juli 2018 | 14:13
Pikiran Lisa masih belum genap. Air mata masih berlinang, menetes di lekukan pipinya yang jarang tersapu make up. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, pandangan matanya kosong. Belasan baris chat ucapan bela sungkawa dari teman-temannya belum ada satupun yang dibaca. Lisa masih berharap ini hanyalah sebuah mimpi.
Betapa berat menerima kehilangan, karena ada sebuah rasa yang mengiringnya. Rasa kehilangan itu lebih besar daripada kehilangan itu sendiri.
Dari dalam bus perjalanan pulang ke Wonogiri, saat pikirannya sedang menerawang, telinga kirinya dikejutkan sebuah suara.
"Nak, kursinya kosong?" Lisa yang belum sepenuhnya sadar itu menoleh dan membetulkan duduknya agar lebih tegak.
Sudut matanya menjatuhkan pandangan menyelidik.
"Iya nek, monggo" jawabnya memasang gelagat ramah.
Lisa sekarang duduk di sebelah seorang wanita renta berbaju kebaya. Aroma tubuhnya sangat khas. Seperti bebauan keringat yang melekat pada baju berbahan sintetis dan bercampur minyak angin murahan.
Kulit keriputnya yang kering dan berwarna legam itu kontras sekali dengan warna bajunya yang kuning lusuh. Jarik coklatnya pun tak ingin beda. Sama-sama lusuh. Kompak.
Penglihatannya yang mulai kabur membuatnya harus meraba-raba titik paling tempat sekaligus nyaman untuk pantatnya.
Heran juga nenek tua ini pergi sendiri tanpa ada yang menemani, batin Lisa sambil menengok sekeliling.
"Piyambakan mbah? (sendirian nek?)
"Inggih nak, badhe wangsul" (iya nak, mau pulang) jawabnya singkat sambil tersenyum.
Tidak ada yang tampak aneh dari wanita renta ini selain kepergiannya yang seorang diri dan kakinya yang dikerubungi beberapa lalat hijau.
Lalat tetaplah lalat, adalah aneh jika melazimkan kehadirannya, dan menganggap binatang itu bukan gangguan.
Lisa tidak begitu peduli dengan partner duduk barunya yang membuatnya sedikit tidak nyaman itu. Pikirannya sudah tersita berita kematian ibunya. Sambil memandang keluar jendela bus dia menerawang dan beberapa saat kemudian matanya memejam sempurna.
***
Wonogiri, menjelang sore.
Lisa terbangun saat merasakan bus berhenti bergerak, dan orang-orang hiruk pikuk sibuk menurunkan barang bawaan dari ruang bagasi di atas tempat duduk.
Sekali mulutnya menguap panjang seraya menekuk punggung sedikit ke belakang. Tangannya mengusap-usap kelopak mata.
Wanita renta itu tidak ada.
Turun dimana dia? Gumamnya. Profil wajahnya yang mirip wanita berdarah India itu masih membekas di ingatan Lisa. Tanpa berpikir lagi ia segera turun dari bus.
Tak butuh waktu lama, setelah turun dari terminal dan mencharter mobil, ia sudah sampai di depan rumah keluarganya.
Desa tempat Lisa tumbuh berada di pinggiran kota Wonogiri. Dua puluh menit lamanya jika berkendara dari kota kabupaten.
Terakhir Lisa pulang ke Wonogiri dua tahun yang lalu. Itupun saat libur lebaran. Meski jarang pulang, tapi hampir tiap dua hari sekali Lisa saling berkirim pesan singkat dengan Bu Pur, pembantu orang tuanya.
Rumah yang bercat hijau tua dan tanpa pagar itu masih tampak asri. Dua pohon mangga di sebelah kiri kanan masih kokoh menambah keteduhan pelataran rumah. Rumah sederhana itu tidak kecil juga tidak besar, bentuknya khas bangunan rumah desa.
Pasangan Seno dan Pratiwi adalah pemilik rumah yang terdiri dari tiga kamar tidur, satu ruang makan, satu ruang tamu, dan dapur. Mereka mulai menempati rumah itu setahun setelah kelahiran anak pertama, kakak Lisa. Seingat Lisa, rumah itu adalah rumah warisan orang tua Pratiwi, ibu Lisa.
Rumah itu minim perubahan.
Tapi pemandangan hari ini sungguh berbeda dengan keseharian Lisa dahulu. Halaman depan rumahnya hari ini banyak terjejer kursi-kursi besi inventaris desa, terisi dengan wajah-wajah yang tak asing.
Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berpeci. Begitu melihat Lisa, semua berdiri tanpa komando menyambut kedatangannya.
Meskipun tidak ada tenda dan karangan bunga, dari keranda mayat yang terparkir rapi di halaman rumah, sudah pasti penghuni rumah ini sedang dirundung duka.
"Ibu.....", gumamnya sambil menangis.
Setelah menyambut uluran tangan beberapa tamu, Lisa menghambur cepat kedalam ruangan depan di dalam rumahnya. Pandangan matanya tertuju pada seorang yang terbujur diselimuti kain hijau bertuliskan huruf arab. Di sekeling tubuh itu beberapa wanita berkerudung separuh baya termasuk Bu Pur sedang melafalkan doa tahlil sambil duduk bersimpuh.
Lisa segera memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan erat, tangannya tak berhenti menggoyang-goyang jasad ibunya.
"Buuuk..buukkk....tangi (bangun) buuuuk!" tangisnya meledak kencang.
Beberapa wanita membuka tutup kain hijau dan memperlihatkan wajah ibunya untuk terakhir kali. Sambil mengusap lekukan pipi yang terasa dingin, Lisa mengecupnya dengan lembut.
"Bu Pur..ibukku buuu... bisiknya sambil terisak. Bu Pur menarik tubuh Lisa dengan perlahan.
"Ibu sudah tenang mbak..Insya Allah husnul khotimah, beliau orang baik" ucap Bu Pur menenangkan.
Masih tidak percaya, gadis barista itu duduk bersimpuh, melarutkan duka nestapa sedalam-dalamnya.
Ayah Lisa, Seno, memandang adegan satu babak itu dengan mata bengkak dan sembap. Air matanya telah habis terkuras sejak napas terakhir Pratiwi meninggalkan raga tepat sebelum adzan dzuhur berkumandang. Kehilangan sosok istri tentu sangatlah berat. Menambah derita sakit stroke yang telah lama menemani masa pensiunnya.
Lisa beranjak memeluk tubuh ayahnya. Bibir ayahnya yang tidak simetris itu bergetar. Sisa endapan air mata Seno tumpah pada pipi Lisa. Tangisan mereka pecah bersamaan, nyaris tanpa air mata. Semua yang ada di ruangan itu ikut larut dalam keharuan.
Tak berapa lama kemudian Dani, kakak kandungnya datang dari Jakarta. Lisa yang mendengar suaranya dari dalam segera keluar menyambutnya.
Matahari telah menuju peraduan.
Suasana telah sedikit tenang. Lisa, Dani, Seno dan bu Pur sedang berdiskusi mengenai waktu pemakaman. Dari saran pak ustadz lah diputuskan bahwa pemakaman akan dilakukan malam ini, di pemakaman umum yang tak jauh dari rumah.
Saat sedang berkonsentrasi memandikan jasad ibunya, tanpa sengaja Lisa melihat sedikit keanehan pada tubuh yang dingin itu. Ada luka seperti terbakar yang memanjang di punggung telapak tangan kanan.
Luka itu cukup besar untuk sebuah luka akibat sentuhan panci panas atau penggorengan saat memasak. Lisa mengurungkan niat untuk menunjukkan luka itu pada kakaknya. Proses memandikan jenazah yang sedikit terburu-buru mengejar waktu itu membuat Lisa merasa segan mengganggunya.
Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 ketika iring-iringan pria dewasa keluar dari rumah. Lisa hanya bisa melepas kepergian barisan warga yang mengusung keranda itu dari pagar rumah.
***
Sekitar pukul sembilan malam.
Tamu tahlilan sudah banyak yang meninggalkan rumah. Dengan langkah gontai Lisa beranjak menuju kamar tidurnya. Kamar yang sudah lama ditinggalkannya.
Kamar yang dulu ditempati Lisa itu sekarang masih kosong. Hanya difungsikan jika ada tamu yang menginap. Kamar Lisa berada paling belakang dari deretan kamar-kamar yang lain, dan langsung berbatasan dengan area terbuka di bagian belakang tempat kamar mandi, sumur dan dapur untuk memasak.
Tidak banyak perubahan yang berarti sejak ditinggalkan bertahun-tahun yang lalu.
Sejenak dia merebahkan tubuh diatas kasur sambil memandang plafon kamar. Rambutnya yang masih basah itu ditopang bantal berlapis handuk.
Dengan menjelajahkan pandangan ke setiap sudut Lisa mencoba mengingat kenangan masa kecilnya dulu. Kepingan-kepingan peristiwa yang lama tersembunyi itu muncul satu persatu. Ada yang membuatnya tersenyum ada pula yang membuatnya sedih. Silih berganti.
Sejenak pandangannya tertuju pada lemari baju yang berada disudut kamar menghadap kasur tempat Lisa merebahkan tubuhnya. Lemari baju itu pintunya sedikit terbuka.
Angin sepoi-sepoi dari jendela kamar berhembus segaris dengan larik cahaya lampu kuning dari luar jendela. Membuat pintu lemari itu bergoyang-goyang menimbulkan bunyi yang tak nyaman di telinga Lisa.
Lisa bangkit untuk menutup pintu lemari. Sejurus saat bermaksud menutup pintu lemari, pandangannya tertuju pada tumpukan mukena yang kurang rapi. Seperti diletakkan dengan tergesa.
Tanpa berpikir panjang Lisa segera mengeluarkan tumpukan mukena itu untuk ditata ulang satu persatu agar lebih rapi. Dari sela-sela tumpukannya, banyak tergeletak kuntum bunga melati yang telah mengering.
Brrukk!
Suara benda jatuh dekat kakinya.
Suara itu tidak keras tapi cukup membuat Lisa kaget. Kepalanya dilongokkan ke arah bawah sambil membopong tumpukan mukena. Kedua kelopak mata Lisa menyipit. Pandangannya tertuju pada benda persegi yang mirip sebuah buku.
Punggungnya membungkuk menggapai benda itu. Benda yang memang sebuah buku itu ditimang dengan rasa penasaran yang membukit.
Buku itu berwarna merah. Tidak terlalu tebal juga tidak terlalu tipis. Sepanjang pandangan pertama yang diterangi lampu kamar yang temaram, buku itu tampak kusam dan tua. Pinggiran dan semua sudutnya meranggas, saking seringnya dibuka tutup.
Lisa makin penasaran apa isinya. Sambil menyalakan lampu baca di atas meja belajarnya dia bergegas duduk untuk melakukan pengamatan lebih jauh.
Buku-buku jarinya sedikit gemetar menyelaraskan laju degup jantung yang berakselerasi.
Buku apa ini? Gumamnya seraya mengerutkan dahi.
***
Hari ke 2
Wonogiri, 18:30
Dari dalam kamar, Lisa bisa mendengar orang-orang mulai datang untuk tahlil-an. Suara Dani yang ramah menyambut kedatangan warga desa, samar terdengar dari bilik kamarnya.
Ia masih tenggelam memandang buku bersampul merah. Setelah seharian sibuk menerima tamu dan menyiapkan hidangan, baru malam ini Lisa sempat meneliti temuannya.
Dibukanya buku itu dengan hati-hati lembar demi lembar halamannya. Buku yang beraroma wangi bunga melati itu terlihat seperti buku catatan, dengan tulisan tangan yang tidak terlalu rapi. "ini tulisan tangan ibu", batinnya
Lisa mengenal tulisan ibunya dengan baik. Barisan tulisan latin sedikit miring itu sangat khas. Goresan pena-nya berat dan tegas. Meski tidak ada nama Pratiwi di sampul buku, demi apapun Lisa yakin ini tulisan ibunya, Pratiwi Dewi Setianingrum.
Tak terasa ujung mata Lisa basah.
Sepertiga pertama bagian dalam buku itu bertuliskan sederet nama-nama orang dan ratusan barisan huruf jawa kuno. Dua pertiga bagian lainnya tampak seperti coretan-coretan gambar dan simbol-simbol aneh. Ada banyak simbol yang dihapus dengan coretan, kemudian digambar lagi di sebelahnya. Ada juga banyak tanda baca berupa tanda tanya, ukurannya lebih besar dari huruf lainnya.
Jari-jarinya bergetar saat merasakan buku itu seolah menyemburkan aura penolakan.Simbol-simbol dalam buku itu seolah bernyawa, dan menginginkan Lisa menyudahi penelitiannya.
Entah bagaimana Lisa dapat merasakan hal itu.
Memorinya pernah melihat buku seperti ini di sebuah film horor. Imajinasinya mendadak liar membayangkan jika ternyata buku ini memiliki kekuatan mistis dari kutukan iblis masa lampau. Masa kegelapan sebelum jumlah manusia sebanyak seperti sekarang. Tapi mengapa buku ini ada dalam lemarinya?
"Shit.."
Lisa mengumpat dalam hati. Sering ia membayangkan hidupnya adalah fragmen-fragmen adegan dalam sebuah film drama petualangan misteri. Bahkan Lisa dulu sempat bercita-cita menjadi tokoh utama atau sutradara film karena kegemarannya berimajinasi.
Saat mendekati bagian akhir buku, Lisa merasakan ada sesuatu yang ganjil. Seperti ada sebuah benda yang terselip didalamnya. Membuat bagian ini lebih tebal dari bagian buku yang lain.
Degg..jantungnya seolah berhenti.
"Liiis" suara Dani yang sedikit berbisik itu terdengar dari pintu kamar. Kepalanya melongok ke dalam kamar. Sial, ngapain sih gak ngetok kamar dulu! batin Lisa mengumpat.
"Duh, kaget aku mas" bisik Lisa dengan memanyunkan bibir.
"Oh maaf-maaf..aku cuma pengen tahu keadaanmu aja. Kok ora krungu suaramu...tak pikir tidur.." katanya menyungging senyum sambil sedikit mendorong pintu agar lebih terbuka.
"Kamu masih seperti dulu ya, kagetan hehe" ucapnya sambil menengok kiri kanan seperti melakukan pengamatan.
"Hush.. satu menit mas Lisa kedepan, sik lagi mau sisiran trus pake kerudung" kata Lisa seraya menutup buku merah itu dengan cepat. Badannya secara reflek memposisikan diri menutupi buku itu agar tidak terlihat oleh kakaknya.
"Ya wis tak tunggu di depan sama bapak" ujar Dani singkat sambil kembali menutup pintu kamar.
Helaan napas lega terhembus dari hidung Lisa. Terlambat sedetik saja mungkin sudah lain ceritanya. Berderet-deret pertanyaan bak detektif swasta dari mulut kakaknya, dengan sukses dihindari Lisa.
***
Tahlilan sudah hampir selesai.
Pak ustadz yang memimpin tahlil memejamkan mata sambil berdoa khusyuk dengan kepala bergoyang-goyang kiri kanan. Lisa segera duduk bersimpuh di deretan belakang bersama Bu Pur dan beberapa ibu-ibu tetangga. Mereka semua khidmat dan khusyu.
Dengan usaha keras otaknya berusaha berkonsentrasi. Perasaan sedih dan rasa penasaran tumpuk-menumpuk menjadi satu. Misteri gulungan rambut putih keperakan yang berbau busuk dalam lipatan buku tadi, menyita separuh lebih ruang di dalam otaknya.
Laju rapalan doa dari pak ustadz yang lumayan cepat itu, lewat begitu saja seperti tak berarti.
***
01:00
Lisa merasakan suasana malam ini berlalu sangat lambat dan lebih kelam. Air mata kembali menetes di ujung kedua matanya. Ada penyesalan yang dalam jika mengingat hubungan dengan ibunya tidak terlalu dekat. Bahkan sepanjang ingatan, dirinya sering bersitegang adu argumen dengan ibunya dalam banyak hal.
Seandainya ada mesin waktu, sangat ingin ia memutarnya dan kembali pada tahun ke lima hidupnya. Saat dia masih bocah.
Lisa ingin jadi anak yang penurut dan berbakti. Memang terdengar naif dan klise. Tak kalah klise dengan nasihat bahwa penyesalan pasti datang belakangan. Saat telah kehilangan.
Cap yang dulu sering disematkan oleh orang-orang, seperti anak pembangkang, ceroboh, dan selalu bikin onar membuat Lisa dulu sempat berpikir bahwa orang tuanya tidak terlalu menginginkan kehadirannya di dunia.
Sepi. Lengang.
Kedua matanya mematuk pandangan pada jam dinding. Jarum pendeknya menuding angka satu. Di luar masih ada lima orang yang begadang menemani Dani sambil mengobrol ringan dan riuh membanting kartu remi. Tradisi melek-an (begadang) ketika ada warga yang kesusahan masih dijaga warga desa ini. Biasanya mereka melek-an sampai hari ketiga mulai dari tanggal kematian.
Entah, meski raga Lisa terasa sangat lelah, rasa kantuk yang sesekali datang belum dapat menggiring kedua matanya untuk terlelap.
Ingatannya melayang pada kota Jogja. Mungkin setelah ini Lisa akan jarang menengok kota seribu angkringan itu. Kota yang telah memberinya berjuta kenangan sejak pertama Lisa memutuskan untuk kuliah pada jurusan akuntansi di salah satu universitas swasta, di daerah Kaliurang.
Jurusan itu sebenarnya bukan pilihan Lisa. Tapi bagi jiwa pemberontaknya hal itu tidak masalah, karena yang penting ia bisa hidup lepas dari kekangan aturan-aturan orang tua.
Satu-satunya yang membuatnya berat meninggalkan rumah adalah kondisi ayahnya. Penyakit stroke yang diderita selama empat tahun belakangan ini membuat sebagian tubuhnya lumpuh.
Sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecah keheningan malam. Sesekali suara burung malam terdengar dari kejauhan. Udara malam ini terasa lebih dingin dari malam kemarin.
Di sela lamunan yang menjajah pikiran, Lisa membuka layar ponsel. Sambil memasang headset memutar lagu-lagu dari playlist shoegaze favoritnya.
....Sugar for the pill
You know it's just the way things are
Cannot buy the sun
This jealousy will break the whole
Cut across the sky
And move a little closer now
Lying in a bed of greed
You know I had the strangest dream....
Sambil memejamkan mata dan menghadap dinding kamar Lisa menikmati baris demi baris alunan lagu dari band favoritnya. Selera musik yang sedikit aneh untuk gadis seusianya.
Beberapa saat kemudian Lisa mencium sekelebat aroma bunga melati yang cukup membuatnya terkaget-kaget. Segera tangannya menekan tombol pause. Lamat-lamat kedua telinganya mendengar suara dengung rombongan lalat terbang berbaur dengan aroma bunga melati yang menyengat hidung.
Bau melati dan suara lalat yang datang dadakan, tentu bukanlah perpaduan menu yang cocok untuk menemani Lisa melewati malam yang penuh kegalauan, seperti sekarang ini.
Pikirannya berkecamuk, mata Lisa terpejam membayangkan adegan film horor yang pernah ia tonton. Bulu kuduk di belakang tengkuknya meremang berdiri. Baru kali ini Lisa menyesap ketakutan. Bau bunga melati yang sempat lewat d iujung hidungnya tadi meninggalkan endapan kengerian yang amat kuat.
Antara penasaran dan ketakutan Lisa membuka mata dengan perlahan. Bola matanya berputar menyapukan pandangan ke seluruh sudut kamar. Tidak ada siapa-siapa! Jendela kamar yang tadi sudah dikunci itu masih tetap tertutup rapat.
Suara dengung rombongan lalat terbang dan aroma bunga melati kini sudah menghilang. Dada Lisa naik turun mengatur pasokan oksigen yang tadi sempat terpompa cepat.
Pikirannya menolak adanya kemungkinan ia sedang berhalusinasi. Aroma bunga melati tadi terasa sangat nyata. Sangat kasat hidung. Begitu juga suara dengung lalat tadi. "*Tidak mungkin aku bermimpi!" *sanggahnya dalam hati.
Setelah merasa sedikit aman, Lisa bangkit duduk untuk membetulkan lipatan selimut. Ditariknya lebih keatas sampai menutupi kepala. Tapi sialnya malah kakinya yang menjadi dingin, karena terbuka. Lisa menahan senyum. Dirinya lekas sadar, selimut yang dipakai itu adalah selimut masa kecilnya. Tentu ukurannya kekecilan sekarang.
Sial! umpatnya dalam hati.
Demi menenangkan perasaan, Lisa mengucap doa-doa sebisanya. Ibu jari dan telunjukknya kembali memasang headset di telinga untuk mendengarkan lagu. Sengaja tidak dipasang terlalu rapat menutupi lubang telinga, karena dirinya ingin tetap mengeset alarm waspada.
Jempol kakinya mengetuk-ketuk kasur mengikuti suara tempo snare drum yang didengarnya.
Baru beberapa menit Lisa mulai tenang dan menikmati hembusan napas lega, terdengar lamat-lamat suara tangis merintih dan menyayat dari arah belakang rumah.
Seperti suara wanita yang menangis terisak bersedu-sedu.
Lisa sangat yakin itu bukan suara Bu Pur karena suara tangisan itu sedikit melengking.
Dengan kembali menahan ketakutan yang amat sangat menyeruak, Lisa menenggelamkan kepala ke balik bantal sambil membaca doa-doa pengusir setan sekenanya. Entah tangisan itu berasal dari mulut manusia ataukah setan, Lisa sudah tak peduli. Baginya, malam ini telah resmi tercatat sebagai malam yang paling menakutkan dalam sejarah hidupnya.
Andai saja ia tahu bahwa dirinya salah.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!