PROLOG
Aksara membalikkan badan sesaat setelah memasuki pintu utama rumahnya bersama Kintan. Ia menatap nanar pada wajah cantik milik istri keduanya itu. Tidak ada senyuman sama sekali di wajah Aksara, bahkan ekspresi yang tertera di parasnya itu terlihat sangat membenci objek pengamatannya. Hingga sekian detik kemudian, Aksara menghela napas—menahan gejolak perasaan marahnya.
“Kintan," ucap Aksara sampai membuat Kintan tersentak dari kegemingan yang berisikan kebingungan. Kemudian, pria itu menunjuk sebuah ruang tertutup yang tampaknya merupakan kamar tamu. “Tidur saja di sana.”
Napas Kintan seolah dibuat terhenti detik itu juga. Sesak, sungguh hatinya merasa tidak dihargai. Hari ini merupakan hari kedua pernikahannya dengan Aksara, tetapi ia justru dianggap tak lebih dari sekadar tamu belaka. Ya, meski pada akhirnya Kintan hanya bisa mengangguk tanpa bisa menyanggah sama sekali.
“Baik, Mas.” Wanita itu menjawab setelah menyadari Aksara tengah menunggu jawaban mantap darinya.
Benar saja, setelah Kintan memberikan sahutan, Aksara lantas mengubah sikap yang sejak tadi berdiri tegak menatap sang istri kedua, kini berangsur membalikkan badan lagi sembari berkacak pinggang.
“Jangan pernah membuka kamar pribadiku bersama istriku, Kintan.” Pernyataan mengejutkan Aksara lontarkan sesaat setelah menghentikan kakinya yang baru mengambil langkah. Ia berbalik lagi dan menatap Kintan dengan tatapan matanya yang begitu dingin. “Jangan langgar apa yang aku katakan barusan,” lanjutnya ketus.
Kintan menghela napas. “Iya, Mas, aku tahu. Jangan khawatir.”
“Bagus! Dan satu lagi, ... rumah ini sangat sederhana jika dibandingkan istana megah milik ayahmu. Enggak ada fasilitas mewah, semua barang pun sangat murah. Jangan manja, karena kami enggak memiliki pembantu.”
“Ya, aku tahu.”
Aksara mengangkat satu alisnya. “Nggak! Kamu enggak akan tahu dan paham bagaimana cara hidup orang susah, terlebih bersuamikan karyawan biasa. Kamu kaya raya, tapi meski begitu, aku sama sekali nggak bakal ngasih kesempatan bagimu untuk berleha-leha. Selama kamu tinggal di rumah ini sebagai istri pengganti, maka bertindaklah seperti kebiasaan Nila!”
Seketika itu juga, hati Kintan semakin merasa nyeri luar biasa. Istri pengganti kata suaminya? Memang benar, bahkan tidak perlu disangkal lagi. Kintan tahu betul tentang siapa dan situasi dirinya.
Namun, ... wanita itu menyesalkan bagaimana Aksara menatap sekaligus bersikap padanya. Tatapan mata Aksara yang ia tahu tengah memancarkan sebuah kebencian begitu besar. Mengapa? Karena Kintan pulang lebih awal dan menyebabkan Nila celaka, kala reuni itu berlangsung?
“Istirahat sana, sore nanti kamu harus memasakkan makanan untukku seperti kebiasaan Nila,” titah Aksara.
Kintan terkejut. “Me-memasak?” tanyanya memastikan.
“Tentu! Apa kamu tuli? Kenapa harus bertanya lagi kalau sudah dengar?”
“Maaf, tapi aku enggak yakin soal itu, Mas. Ak—"
“Barusan aku bilang jangan manja, Kintan! Di sini enggak ada pembantu, kalau bukan kamu lalu siapa lagi yang mau memasak? Aku? Jangan gila! Aku harus menunggu istriku setelah mandi, aku sudah beri waktu agar kamu istirahat dan itu aku pikir sudah cukup!” tegas Aksara panjang yang juga dengan ekspresi menyeramkan.
Sementara Kintan hanya mampu mengepalkan kedua tangan. Sejujurnya, sejak Aksara menumpahkan kesalahan padanya, ia sudah tidak menyukai pria itu. Bahkan, jika bisa ia tidak mau bertemu lagi. Namun, takdir mengatakan hal sebaliknya, Kintan malah menikahi dengan Aksara demi keinginan Nila, termasuk demi si kecil Gibran yang selama beberapa hari ini tak bertemu sang ibu.
Kintan menghela napas. “Aku akan melakukannya, tenang saja!” ucapnya ketus.
Aksara tersenyum sinis. “Itu bagus dan itu memang tugasmu. Kamu harus ingat jika kam—”
“Aku ingat, aku istri pengganti. Tapi, ....” Kintan melangkahkan satu kaki ke depan. “Aku enggak selemah yang kamu pikir, Mas. Dan kamu juga harus ingat, aku bersedia melakukan pernikahan ini demi sahabatku dan putra kalian. Aku enggak akan mengemis sepeser pun sama kamu.”
“Oh! Aku sama sekali nggak butuh penjelasanmu, Kintan. Apa pun maksud dan tujuanmu, kamu tetap orang lain bagiku, bahkan bagi putraku.”
“Benar! Tapi, aku bukan orang lain bagi istrimu. Setidaknya, jika kamu membenciku, tahan sedikit. Hargai aku seperti manusia bukan hewan, atau bahkan patung yang hanya bisa diam. Itu sudah cukup, Mas! Dan aku ... aku juga sangat membencimu!”
EPISODE 1-Sebelum Duka
Nila tersenyum-senyum sembari menghampiri suaminya di tempat kerja yang menjadi satu dengan kamar pribadi mereka. Sembari bergerak manja, ia mencoba memberikan sebuah rayuan. Ketika Aksara—suaminya—masih asyik dengan laptopnya, bibir Nila seketika mengerucut. Ia merasa kesal, pasalnya usahanya menjadi sia-sia.
Karena tidak mau lagi mendapat harapan palsu, Nila menegakkan badannya. Ia berjalan lebih tegas menghampiri Aksara yang masih tidak mengubah sikap sama sekali. Helaan napas panjang, Nila ambil kemudian ia embuskan dengan kasar.
“Mas!” pekik Nila beberapa detik setelah mendengkus kesal. “Lihat aku, dong!”
“Bentar dong, Sayang, Mas masih kerja,” balas Aksara tanpa mengindahkan ucapan istrinya.
Lagi-lagi, hati Nila dibuat kesal. Ia tidak mau dianggap bak patung batu yang tidak penting bagi pria itu. Kemudian, ia menarik salah satu tangan Aksara sampai sukses membuat pria itu berangsur menatapnya.
Nila tersenyum puas. Ia berhasil. Kendati, sempat berwajah masam, Aksara segera mengulas senyuman. Kemudian, ia merangkul pinggang sang istri dengan gemulai manja.
“Kenapa sih, Sayang?” tanya Aksara memastikan keinginan istrinya.
Nila menyisipkan badan di antara Aksara dan meja kerja, kemudian ia duduk di atas pangkuan suaminya itu. “Aku kangen kamu, Mas,” ucapnya.
“Hmm ... pasti ada maunya.”
Nila memutar mata, masih dengan bibir yang mengerucut dan berekspresi seimut mungkin. “Enggak ada kok!” tandasnya.
Aksara tidak lantas percaya. Ia menggelengkan kepala, kemudian mengecup punggung telapak tangan istrinya itu. “Ayo, apa? Jujur saja sama Mas, Sayang.”
“Beneran enggak ada, Mas.”
“Hmm ... oke! Kalau begitu Mas mau kerja lagi.”
“Sebentar! Cuma, mm ... Nila dapat undangan, Mas.”
Dahi Aksara berkerut. “Undangan?”
Sembari mengangguk, Nila menjawab, “Iya, Mas. Undangan reuni teman-teman kampus aku. Boleh enggak, kalau Nila datang?”
Sejenak Aksara berpikir. Ada kebimbangan di hatinya. Sekalipun selalu memanjakan Nila, karena rasa sayangnya yang memang luar biasa pada wanita itu, Aksara akan berpikir panjang jika harus memberikan izin pada Nila untuk agenda bepergian. Rasanya akan aneh, jika Nila tidak pergi bersama seorang suami. Selain itu, Aksara tidak mau jika Nila sampai terkena masalah di luar sana.
Sementara di sisi lain, Aksara mungkin tidak bisa ikut karena kesibukannya. Ia yang sudah dipercaya menjadi salah seorang karyawan penting dari sebuah perusahaan yang merambah di bidang tekstil, membuatnya kekurangan waktu senggang.
“Memangnya reuni kapan diadakan, Sayang?” tanya Aksara ketika menyadari jika malam hari mungkin ia memiliki kesempatan untuk mengantar.
“Hari sabtu, Mas. Cuma siang hari, nah kan siang tuh, jadi boleh, ya?” balas Nila.
Aksara menghela napas. “Mas belum pulang kerja, Sayang. Lagian kenapa harus sabtu siang, enggak malam saja? Memangnya teman-teman kamu enggak kerja?”
“Ini cuma teman-teman seangkatan yang bisa kok, Mas. Sebagian besar mereka kan kerja setengah hari, makanya pada bisa. Ya, walaupun bakal telat. Nanti aku bakal berangkat dijemput Kintan, Mas.”
“Kintan? Si nona muda itu?”
Nila mengangguk pelan. “Iya, Mas. Dia kan sahabat aku, kalau soal nyetir dia jago banget. Jadi nanti aku baliknya kamu jemput.”
Aksara bimbang. Entah mengapa ia tidak setuju dengan permintaan istrinya itu. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, tetapi entah apa, Aksara tidak tahu.
Ingin melarang, Aksara masih merasa tidak tega. Pasalnya, Nila selalu menghabiskan waktu untuk membereskan rumah dan mengurus putra kecilnya yang masih berusia empat tahun. Sudah pasti Nila jenuh dengan keadaan yang selalu sama setiap harinya. Untuk bertemu teman-temannya juga akan kesulitan, jika tidak memanfaatkan reuni itu untuk melepas penat.
“Sayang?” ucap Aksara.
Nila menatapnya penuh harap. “Iya, Mas-ku sayang. Jadi, gimana?” balasnya.
“Terus Gibran sama siapa? Diajak?”
“Diajak boleh, Mas?”
“Enggak, pasti teman-teman kamu ada yang bikin asap dan ada pula yang minum. Mas enggak bakal kasih izin kalau kamu bawa Gibran.”
“Kalau begitu ... titip ke mamaku dulu ya, Mas. Cuma sehari kok, enggak penuh hari juga.”
“Ya sudah, asal Mama juga enggak keberatan, boleh saja. Tapi, kamu jauhi barang terlarang, ya? Ingat, kamu punya suami dan anak yang harus kamu jaga nama baiknya.”
“Jadi, boleh?”
“Mm ... enggak!”
“Ih, Mas Aksa!”
Nila memukul-mukul pelan badan suaminya itu, sesekali ia beri cubitan. Sementara, Aksara sibuk mengaduh kesakitan. Namun ketika pria itu memiliki tenaga lebih besar, ia segera mengangkat tubuh istrinya. Ia berjalan menuju ranjang yang tidak jauh dari tempat kerjanya.
Sekian detik kemudian, Aksara menaruh tubuh istrinya di atas ranjang itu. Sejenak, ia menatap Nila dalam-dalam. Selama lima tahun hidup bersama, Nila betul-betul tidak banyak berubah. Selain memang cantik, tingkah laku manja wanita itu padanya tidak pernah pudar. Pun meski sudah menjadi seorang ibu dari anak laki-laki bernama Gibran, Nila tetap sama seperti saat pertama kali menjadi istri dari Aksara.
“Pekerjaannya belum selesai lho, Mas,” ucap Nila sembari menyentil hidung Aksara.
“Biarin, aku maunya kamu, Sayang,” jawab Aksara.
Wajah Nila berangsur memerah. Tatapannya menjadi sendu. Sedangkan hatinya tengah menunggu aksi lanjutan dari suaminya itu.
Namun ... belum sempat menjatuhkan sebuah kecupan, seruan seorang anak kecil mendadak terdengar. Oleh sebab itu, Aksara menelan saliva. Sementara Nila sibuk tertawa. Ternyata pintu kamar itu belum ditutup rapat, sehingga Gibran dapat memasukinya tanpa halangan apa pun.
Sepasang suami-istri itu segera memperbaiki posisi. Mereka duduk bersebelahan, tanpa melanjutkan keromantisan. Aksara masih diam, agak kesal karena sudah kepalang tanggung, tetapi apa yang ia inginkan justru tidak terlaksanakan. Sementara istrinya tampak biasa saja.
“Bundaaa, Giblan takut,” rengek Gibran sesaat setelah sampai di hadapan ibunya.
Sembari mengangkat tubuh Gibran, Nila berkata, “Uluh-uluh anak Bunda. Takut sama siapa, sih?”
“Bunda enggak ada di samping Giblan. Telnyata di cini sama Ayah, Bunda jahat.”
“Ih, kok gitu sama Bunda? Bunda pikir Gibran sudah tidur nyenyak. Ya sudah maafin Bunda ya, Sayang. Tapi, Gibran janji sama Bunda ya? Semisal Bunda nggak ada ya harus berani, oke!”
Gibran tidak menjawab. Ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan sang ibu dan wajahnya masih terhiasi oleh raut yang sendu. Anak itu seperti baru saja bermimpi akan sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan hal yang paling ia takutkan.
Tak lama berselang, Aksara memberikan belaian di kepala istri dan juga putranya. Ia merasa bersyukur sebab diberikan kesempatan untuk memiliki mereka berdua. Aksara tidak pernah membayangkan hidupnya tanpa Nila ataupun Gibran.
Namun entah mengapa, sejak tadi ada yang janggal di salah satu ruang sanubarinya. Karena merupakan pria yang selalu realistis, Aksara terus menepis perasaan itu. Ia mengira hanya sedang lelah dan akhirnya menjadi agak sensitif.
“Gibran bobok sini sama Ayah, mau?” tawar Aksara sesaat setelah putranya itu memberikan tatapan.
Gibran mengangguk pelan. “Iya, Ayah,” jawabnya.
“Sama Bunda juga, ya?” sambung Nila.
“Giblan di tengah-tengah ya, Nda, Ayah?"
“Siap, Bos!” sahut Aksara sembari mengangkat tangan kemudian menyentuh keningnya untuk menunjukkan isyarat hormat.
“Ciap, ciap, ciaaap!” Gibran sudah mulai riang. Ia melepaskan diri dari pelukan Nila, kemudian meloncat-loncat di atas ranjang kamar itu.
Diam-diam, Aksara menatap istrinya dengan sendu. Namun sikapnya hanya dibalas senyuman manis oleh Nila yang tentu saja mengerti arti di balik raut wajah suaminya. Detik berikutnya, Nila memberikan kecupan manis di pipi Aksara sampai sukses membuat wajah pria itu memerah malu-malu.
***
Wanita bergaya elegan tetapi agak cuek itu, tengah berjalan menuju pintu utama dari gedung perusahaan ayahnya sendiri. Adalah Kintan Kinanti yang mana rela bekerja dari bawah, dalam artian sebagai karyawan ayahnya sendiri, hanya demi meniti karir dengan usahanya sendiri. Meski sebenarnya ia tidak berniat bekerja di sana, tetapi apa daya ketika sang ayah telah meminta belajar mengatasi perusahaan, di saat sakit kala itu. Permintaan sang ayah pada akhirnya membuat Kintan terpaksa manut.
Sabtu ini, Kintan telah mengambil izin untuk pulang lebih cepat. Bukan tanpa sebab, ia hendak menghadiri undangan reuni yang diberikan salah satu teman seangkatan tiga hari yang lalu. Dengan menggunakan mobil dengan merek standar, Kintan akan menuju kediaman sahabatnya terlebih dahulu. Nila—sahabatny—memintanya untuk menjemput ketika dirinya akan berangkat.
Senandung merdu Kintan gumamkan melalui bibir tipis yang terpulas liptint cherry. Sementara kedua tangannya tampak sibuk mengendalikan setir untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan lebihteratur. Wajah Kintan yang tampak ceria, meskipun ia kerap menunjukkan kejutekannya. Pasalnya, sebentar lagi ia akan bertemu para teman yang berjuang bersamanya di kala masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Hanya saja ... ia perlu mempersiapkan hati jika nanti muncul pertanyaan perihal pernikahan, sebab Kintan masih saja belum punya pasangan.
“Menikah? Kenapa orang-orang selalu begitu tega tanya kapan aku bakal nikah? Seharusnya mereka simpan pertanyaan itu dalam hati mereka saja, 'kan?”
Kintan menghela napas. Apa yang ia inginkan selalu tidak sama dengan pemikiran orang. Tentu saja sebagai seorang wanita yang juga manusia berhati, Kintan masih kerap tersinggung dengan setiap kalimat tanya itu. Bahkan, ada yang bilang; apa gunanya jadi anak orang kaya kalau tidak laku? Kintan mendesis, kemudian menggelengkan kepala. Ia harus kembali elegan dan tidak peduli. Toh, senjata paling mujarab untuk menghindari cibiran orang hanyalah diam dan pura-pura tidak mendengar.
Kintan memilih kembali bersenandung, sembari membelokkan arah mobilnya untuk menuju rumah Nila. Mungkin terhitung sepuluh menit saja, Kintan akan sampai di rumah sahabatnya itu. Ia memarkir mobilnya di tepi jalan yang memiliki tempat agak luas, lantaran malas untuk memasukkan kendaraannya itu ke dalam rumah Nila. Detik berikutnya, Kintan beranjak turun kemudian berjalan masuk.
“Kintan!” Nila berseru dari teras rumahnya. Tampaknya, wanita itu sudah menunggu Kintan sejak tadi.
“Wauw, cantik!” balas Kintan sembari masih melanjutkan langkah kaki.
Nila berangsur mengambil langkah untuk menghampiri sahabatnya itu. Mereka bertemu di pertengahan antara jarak rumah dan gerbang. Gaya kasual yang melekat pada Kintan selalu sukses membuat Nila berdecak kagum. Pasalnya, dengan gaya biasa bahkan jauh dari kata glamor, Kintan justru tetap terlihat elegan dan tentu saja cantik.
“Kamu jauh lebih cantik tahu, Tan. Apa pun yang kamu pakai, kamu selalu tampak sempurna, mungkin karena badan kamu bagus juga kali ya? Enggak kayak aku yang perutnya ada belut besar!” Nila berkelakar dengan menggunakan fisiknya sendiri.
Kintan mendengkus. “Tapi masih kelihatan kurus kok, Nil. Kamu pintar jaga penampilan buat ngumpetin tuh belut.” Ia tertawa kecil. “Lagian, sudah punya anak ya wajar. Kamu kan sudah laku, enggak kayak aku.”
“Eh! Aku enggak ke situ maksudnya, Tan! Sudahlah, entar malah makin ngaco. Kita berangkat saja!”
“Iya, iya.”
Sepasang sahabat yang memiliki tipikal kecantikan berbeda itu bergegas menuju mobil milik Kintan—si anak orang kaya. Selama terjalinnya oertemanan, terhitung jarang ada perselisihan di antara keduanya. Mungkin hanya kesalahpahaman kecil yang sempat datang menerpa, tetapi bisa hilang secara singkat. Entah Kintan maupun Nila sama-sama cocok satu sama lain, sehingga persahabatan mereka berlanjut sampai bertahun-tahun.
Kintan memasuki kabin bagian pengemudi, kemudian Nila berada di sampingnya. Setelah dirasa sudah sama-sama siap, Kintan segera melajukan mobilnya tanpa izin dari Nila.
“Tan?” ucap Nila tanpa menatap pada Kintan.
“Iya. Kenapa, Nil?” tanya Kintan tanpa mengubah arah pandangan.
Nila menghela napas. “Enggak apa-apa sih. Cuma ingin manggil saja.” Ia tertawa kecil sembari menatap Kintan.
“Ais! Ada-ada saja.”
“Ya, terima kasih ya kamu sudah bersedia jadi sahabat aku yang selalu lemah ini. Bahkan, ketika kita memiliki perbedaan hidup antara si kaya dan aku si miskin.” Nila tersenyum tipis. “Kamu sudah kayak saudara perempuanku sendiri, Tan. Kamu salah satu rezeki besar yang diberikan oleh Tuhan buat aku, selain suami dan anakku.”
Kintan berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak banyak respon yang ia berikan selain bersikap mencibir. Pasalnya, Nila sungguh konyol dengan tiba-tiba saja mengatakan hal itu. Lagi pula, persahabatan mereka sudah sangat lama, mengapa baru berterima kasih sekarang? Kintan tidak menyangka saja dan pada akhirnya menganggap ucapan Nila sebagai gurauan belaka.
Suasana kembali senyap, hanya embusan napas mereka beserta deru mobil yang terdengar. Nila sudah enggan untuk berbincang, entah, rasanya hatinya merasa sedih tanpa tahu alasannya. Kegembiraan yang sempat terpancar juga mendadak redup. Jantung Nila masih berdetak, tetapi justru lebih kencang daripada sebelumnya. Perasaan yang aneh itu seolah memberinya firasat buruk. Nila hanya bisa berharap agar semua orang tersayang dilindungi oleh Tuhan.
Karena merasa tidak nyaman dengan kegemingan, Kintan membuka perbincangan lagi dengan bertanya, “Dapat izin dari suami, Nil? Gibran ke mana dong?”
Nila tersentak. Lamunannya buyar detik itu juga, sampai kemudian ia menjawab, “Da-dapat. Gibran aku titip ke mamaku.”
“Mm ... gitu. Terus kamu kenapa tiba-tiba pucat gitu?”
“Eh?” Nila mengamati wajahnya sendiri melalui kaca yang terpasang di depannya. “Ah, enggak kok! Mungkin lipstiknya pudar aja.”
“Aku pikir kamu sakit gara-gara aku.”
Nila tertawa. “Lah, enggak, Tan! Mana ada.”
Benar kok, aku baik-baik saja, Nila terus meyakinkan dirinya. Tidak ada bagian tubuh manapun yang terasa sakit. Jadi, firasat hanyalah firasat yang mungkin saja sedang lewat. Ketika sampai di pesta reuni, ia akan lantas bergembira.
Meski Kintan sendiri juga merasa aneh pada Nila yang tiba-tiba pucat pasi. Apalagi sempat mengatakan terima kasih padanya. Namun tetap tidak ada yang terjadi, mungkin saja hanya pandangan dan pemahamannya yang salah. Kintan hanya perlu sampai di tempat tujuan tanpa hambatan. Ia akan membuat Nila ceria lagi di sana.
***
Terdengar suara benda jatuh yang merupakan gelas kaca karena tidak sengaja terkena tangan Aksara. Pria itu mengernyitkan dahi sembari menatap pecahan gelas itu. Ia menghela napas, kemudian berjongkok untuk membersihkan pecahan itu dengan tangannya sendiri.
“Ck, sayang banget jatuh. Masih bagus juga,” gumam Aksara. Ia mendengkus kesal. “Semoga aja bukan pertanda buruk.”
Mendadak wajah Nila—istrinya—muncul di benak Aksara seiring gerak tangannya yang juga turut terhenti. Ia menjadi kepikiran soal keadaan istrinya itu, ketika sang istri pergi ke tempat reuni tanpa ia temani. Rasa khawatir sebagai seorang suami muncul menyelimuti hatinya saat ini. Lebih tidak beruntungnya lagi, Aksara mendapat jam lembur yang kemungkinan besar akan selesai ketika pukul tujuh atau bahkan sembilan malam.
“Ck, semoga Nila masih bareng sahabatnya itu.”
Kini yang bisa Aksara percayai hanyalah Kintan, sebagai sahabat yang paling dekat dengan Nila. Namun, kendati begitu hatinya tak lantas tenang jika tidak menjemput Nila dengan dirinya sendiri. Untuk pulang cepat juga tidak mungkin terjadi, karena perusahaan itu milik atasannya dan Aksara hanya sekedar bawahan saja.
***
Sorak-sorai terdengar menggema di dalam restoran yang memiliki ruangan khusus untuk reservasi pribadi. Sekitar dua belas orang ada di dalam ruangan itu, termasuk Kintan dan Nila. Mereka tengah menikmati hidangan lezat yang tersaji. Beberapa orang menenggak minuman dengan aroma menguar, yang membuat rasa tidak nyaman bagi hidung Kintan maupun Nila.
Dua orang wanita yang telah bersuami bernama Yesy dan Berly menatap Kintan dengan serius. Bagi Kintan sikap mereka sangat memuakkan dan pasti hendak melesatkan pertanyaan seputar pasangan.
“Apaan sih kalian lihatin aku sampai begitu, hah?!” tanya Kintan dengan tegas ketika sudah tidak tahan menjadi bahan tontonan.
Berly tersenyum. “Enggak kok, cuma ... kami masih sendiri lagi? Aduh, Kintan! Ini sudah masuk tahun baru lagi dan kamu masih belum menikah aja? Ya ampun,” jawabnya.
“Ck, Kintan, Kintan! Aku kenalin ke teman suami aku saja, ya?” tambah Yesy memberikan saran.
Nila yang baru datang dari kamar kecil duduk di samping Kintan sembari memandangi Yesy dan Berly dengan nanar. “Aku dengar semua ucapan kalian barusan, tapi, ... enggak bisakah kalian berhenti tanya-tanya yang bukan urusan kalian? Lagian, setiap orang punya prinsip hidup sendiri-sendiri lho!” tegasnya.
“Halah! Mana ada wanita usia dua puluh delapan tahun masih berprinsip enggak mau menikah? Emangnya mau hidup sendiri seumur hidup? Kalau sudah kepala tiga, semua makin sulit, Nil. Ingetin dong si Kintan jangan malah membela,” tukas Yesy pada ucapan Nila yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Detik berikutnya, ia berangsur melipat kedua tangan ke depan dengan sikap angkuh.
Berly mencibir menggunakan bibirnya. “Jangan-jangan kalian berbagi suami? Waaah! Kalau benar, kalian berdua beneran sahabat sejati!”
Ketika Nila hampir tersulut emosi, Kintan segera mencegah Nila agar tidak terpancing ucapan Berly. Sejak dulu, Berly dan Yesy memang gemar bercanda, tetapi keterlaluan. Sebab lain, yang membuat kedua wanita itu begitu ketus adalah rasa iri lantaran Kintan memiliki kecantikan paripurna, termasuk berasal dari keluarga orang kaya. Alih-alih ingin mendekati, Yesy dan Berly justru bertekad untuk menjatuhkan Kintan.
Dering ponsel memutus serangan mata yang saling mereka lemparkan. Dan ternyata, ponsel milik Kintan yang tengah berbunyi nyaring, sehingga wanita cantik itu lantas berdiri. Kintan berjalan menuju area lain dari ruangan itu yang cukup sepi, agar ia dapat mendengar ucapan sang penelepon.
“Papa?” gumam Kintan sembari mengernyitkan dahi. Detik berikutnya, ia segera menggeser tombol hijau di layar ponsel itu dan meletakkannya di samping telinga sebelah kanan. “Halo, Papa.”
“Kamu di mana, Tan?” Tanpa basa-basi ayahnya yang bernama Chandra itu menanyakan keberadaan Kintan saat ini.
“Kintan sedang ada acara, Pa, kenapa? Tadi sudah izin kok sama direktur.”
“Pulang dulu, bisa? Maaf, Nak, kayaknya kakak iparmu mau melahirkan. Papa masih ada meeting.”
“Mas Diki enggak ada?"
“Ada, tapi masa' enggak ada yang temani dia?"
“Hmm ... iya deh, Pa. Kintan berangkat sekarang ke sana, nanti Kintan minta alamat rumah sakitnya.”
“Terima kasih, Sayang.”
“Iya, Papa, sama-sama.”
Kintan menghela napas sesaat setelah mematikan panggilan itu. Sebenarnya, ia ingin tinggal lebih lama, mungkin sampai acara selesai. Sayangnya, ia juga tidak tega untuk mengabaikan permintaan Chandra. Belum lagi, Diki—kakaknya—pasti akan kewalahan sendiri. Pun meski banyak asisten rumah tangga, tetapi seharusnya membutuhkan satu keluarga, bukan?
Dengan lunglai, Kintan menghampiri keberadaan Nila yang tengah berbincang dengan seorang wanita berkacamata. Tampaknya, Yesy dan Berly sudah berlalu. Itu lebih baik ketimbang harus beradu mulut lagi dengan mereka, karena Kintan pun sudah cukup muak.
“Nila, aku mau pulang duluan, ya?” ucap Kintan sesampainya di hadapan Nila dan temannya.
Nila mengernyitkan dahi. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya.
Kintan menggelengkan kepala. “Enggak ada sih, cuma kakak iparku akan melahirkan. Barusan papaku kasih kabar dan beliau sedang ada meeting.”
“Waaah!” Nila seketika berdiri. “Ya sudah, enggak apa-apa, Tan. Kamu harus temani kakakmu. Soalnya kalau cuma ditemani suami, si suami kadang justru enggak sanggup dengerin perjuangan sang istri.”
“Mm ... kamu enggak apa-apa? Apa mau ikut pulang juga?”
Nila menggeleng cepat. “Enggak! Enggak apa-apa. Ini momen yang jarang terjadi, jadi aku mau lewati sampai akhir. Bisa aja, aku enggak bisa datang lagi ke acara semacam ini. Lagian ada Dita di sini sama teman-teman yang lain, Tan. Tenang aja.”
“Pulangnya?”
“Mas Aksa bakal jemput aku kok, Tan.”
Kintan menghela napas lega. Dengan begitu ia tidak perlu khawatir lagi pada Nila. Setidaknya, wanita itu akan pulang dengan aman bersama sang suami. Kemudian, Kintan lantas memeluk tubuh Nila dengan erat yang berganti pada Dita—wanita berkacamata itu.
Setelah merasa cukup dalam memberikan salam pamit, Kintan berlalu. Ia menghampiri para teman yang asyik bercengkerama satu sama lain. Mereka tidak membawa pasangan, lantaran ada yang masih lajang atau suaminya sibuk layaknya suami Nila. Kintan berpamitan sebagai tanda menghargai satu sama lain. Dan setelah ritual itu selesai, Kintan baru benar-benar pergi.
Sepeninggalan Kintan, Nila semakin menikmati pesta kecil itu. Ibu rumah tangga yang sehari-harinya hanya mengurus anak, suami, serta rumah seolah mendapat obat atas kejenuhan yang mendera dirinya setelah sekian lama. Ia bercengkerama dengan yang lainnya dengan antusias.
“Enggak bawa suami tampanmu itu sih, Nil?” tanya Lusia menggoda.
Nila tersenyum tipis. “Sibuk, Lus. Mungkin nanti jam tiga baru balik,” jawabnya.
“Iya sih, suamiku juga begitu. Padahal kan ini hari sabtu. Kadang-kadang perusahaan suka kejam, ya,” gerutu Dita.
“Enak tuh Yesy, suaminya bos besar! Lihat aja penampilannya, glamor banget. Tapi, dia justru enggak mau ditemani sama suaminya karena takut ganggu katanya.” Lusia membuka gunjingan yang sekiranya hangat untuk dibicarakan.
“Hmm ... aku malah pengennya bawa suami, tapi ya bagaimanapun suamiku cuma bawahan orang.“ Dita memayunkan bibir.
Nila lantas menepuk bahu wanita berkacamata itu. “Jangan begitu, suami kamu kan lagi cari uang buat kamu, Dit.”
“Ya sih, cuma jujur kadang suka kangen masa-masa lajang. Bebas saja gitu, kayak Kintan. Datang ke acara ini saja, aku harus bertengkar dulu, Nil. Entah, tapi suami kadang-kadang suka posesif.”
Baik Nila maupun Lusia kompak menggeleng-gelengkan kepala. Pasalnya, Dita yang dilihat secara sekilas layaknya wanita kuat dan pintar justru mudah rapuh bahkan mengeluh. Bahkan, ia sampai membicarakan keburukan suaminya sendiri. Namun bagi Nila, mungkin saja Dita tidak memiliki teman bicara. Kendati agak tidak setuju dengan sikap Dita, Nila tetap mendengarkan dengan baik, pun Lusia.
Lalu, waktu tetap berjalan se-bagaimana mestinya. Ketika acara terakhir tiba, mereka saling bersulang gelas yang berisi minuman berbeda-beda. Penutupan acara dilaksanakan setelah kegiatan itu. Dan mereka saling berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Hanya saja, Nila justru dibuat bingung. Pasalnya, Aksara tidak dapat datang untuk menjemput dirinya. Suaminya itu telah mengirimkan pesan singkat melalui whatsApp, ada jam lembur tambahan dan meminta Nila menumpang di mobil Kintan lagi.
“Sebaiknya, aku enggak usah bilang kalau Kintan sudah pulang. Takutnya pekerjaan Mas Aksa jadi runyam cuma gara-gara khawatir. Jam segini masih banyak taksi yang lewat, atau mungkin taksi online.”
Keputusan itu dibuat oleh Nila, setelah akhirnya ia meraih ponsel dari dalam tas selempang. Nila yang tidak mau mengacaukan pekerjaan suaminya bermaksud pulang sendiri dengan menggunakan taksi online.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!