~6 tahun yg lalu~
"Lo, apaan sih," sentak seorang lelaki.
"A- aku mau ngomong sesuatu ih," gerutunya.
"Ngomong apeh, waktu gue berharga tau!" tegasnya.
"Aku, aku suka sama kamu, Dam!" ucap seorang wanita seraya memejamkan matanya. Jantungnya berdetak tak karuan.
"Woy! Sadar dong jangan halu?" sentaknya. Tanpa basa-basi dia meninggalkan wanita yg masih mematung menatapnya.
"Dam, tapi kamu punya perasaan juga kan, sama aku."
"Di mimpi, Loe," sahutnya dengan cepat.
Sejak kejadian 6 tahun lalu membuat keduanya bermusuhan satu sama lain, tak ada kata saling sapa sejak kejadian hari itu. Sang lelaki yg merasa pria tertampan sedunia itu merasa terlukai harga dirinya karna perasaan yg ia torehkan pada sang wanita dianggapnya cinta padahal yg sebenarnya hanyalah perasaan sebatas tetangga yg baik hati saja.
"Apa loe liat-liat!" ucap sang wanita seraya tengah memasang ikatan tali sepatunya yg rumit. Dia kini sudah siap untuk memasuki kampus yg sangat ia dambakan.
"Gue ngeliatin sangkar burung bukan Loe!" ketusnya.
"What! Sangkar burung lebih indah gitu dari wajah gue, dasar, ganteng-ganteng bego." Batinnya bersua.
Lelaki bertubuh jangkung, mata sipit dan kulitnya yg putih membuatnya sering dijuluki sebagai oppa made in indonesia, tak banyak kata atau perbuatan saat ia ingin menaklukan seorang wanita. Lirikannya yg di anggap maut membuat satu kedipan saja bisa mengobarak-ngabrik hati seseorang.
Cara jalan, serta senyumnya yg begitu manis semanis gulali jawa, bisa menggilakan setiap ia berhadapan dengan lawan jenisnya. Mereka hampir tak berkedip saat berbicara dengannya.
Dan pria itu bernama Aldama Jefran, pemuda penebar senyum mematikan itu tak henti-hentinya membuat hati para wanita menjerit untuk memilikinya. Namun dibalik setiap inci ketampanan nya sudah pasti ada sedikit keburukan yg dia miliki, ada suatu hal yg membuatnya sedikit dibenci oleh sebagian wanita, yaitu ucapannya!
Ya, ucapannya yg bagaikan cabe terpedas di dunia itu membuat sedikit hati wanita terluka karna berbagai kata yg ia lontarkan terkadang mengiris-ngiris hati wanita.
Tapi ucapan yg pedas itu hanya Aldama ucapkan pada wanita yg mengungkapkan isi hatinya secara terang-terangan pada dirinya. Entah kenapa dia begitu membenci saat seorang wanita yg kodratnya di kejar namun, malah mengejar dan tak terkesan anggun nan elegan. Dirasanya ia begitu kesal melihat wanita seperti itu.
"Dam!" panggil seseorang, Aldama memang akrab disapa Dama oleh sebagian temannya. Dia berjalan untuk menghampiri teman-temannya ditempat tongkrongan.
"Sehat lu, Dam." Sapa anton yg diangguki oleh Dama. Anton merupakan Salah satu temannya yg dianggap paling baik saat bertutur kata terhadap sang wanita.
Kelompok atau bisa disebut geng itu berisikan 3 orang yg terkenal karna ketampanan wajah yg tiada tara, mereka bahkan dikagumi oleh orang-orang di universitas lain bukan karna alasan mereka tampan saja, namun mereka juga mahasiswa-mahasiswa yg berpretasi dan sering memenangkan berbagai lomba bergengsi.
Epick hight university atau bisa disebut EHU, sebuah universitas yg menjadi para dambaan murid-murid SMA yg ingin melajutkan kan pendidikannya kejenjang lebih tinggi, bukan tanpa alasan selain prestasi yg dimiliki EHU disisi lain para mahasiswa dan mahasiswi disana terkenal dengan visual ketampanan dan kecantikannya yg hakiki.
"Yok, bentar lagi masuk kelas!" ajak Dama kepada para temannya. Aura yg mereka ciptakan saat berjalan bersamaan adalah aura kharismatik dan berkelas. Sejauh mata memandang hanya mereka lah yg dapat terpandang begitu indahnya.
Asik mengobrol dan mengacuhkan suasana disekita salah satu teman Dama menabrak seseorang saat mereka berbelokan di sebuah lorong kecil.
Bughh ....
"Eh ... maaf, Kak!" tegasnya.
"Saya yg harusnya minta maaf, Dek," sahut Anton. "Saya yg nabrak," sambungnya.
Dia mendongak ke atas menatap sang penabrak, "iya Kak, gak pap- " ucapnya terhenti tiba-tiba. "Elo!" tunjuknya. Matanya tiba-tiba membulat sempurna saat menatapnya.
"Ngapain loe disini!" kesalnya.
"Heh, jaga bicara loe, gue senior disini!" balasnya dengan ketus. Dia menatap sang wanita dari atas sampai bawah. Sungguh menyedihkan wanita yg dulu begitu mencintainya kini berbanding terbalik terhadapnya.
"Loe, kenal Dam!" ucap Jafar. Si datar tanpa ekspresi itu mulai berbicara.
"Dia dulu ngejar-ngejar gue!" balas Dama dengan enteng.
Wanita itu segera pergi tanpa kata, dia teramat malu mengingat kejadian 6 tahun lalu itu. Ia bahkan merutuki dirinya untuk beberapa saat setelahnya, bisa-bisanya ia bertindak sebodoh itu untuk mengungkapkan cinta pada si tubuh jangkung berwajah putih layaknya vampir, alias tetangga yg menyebalkan itu.
Wanita itu bernama, Meira Aqilah. Wanita bertubuh pendek serta memiliki alis yg tebal layaknya ulat bulu itu begitu tak menyangka akan bertemu dengan pria yg membuatnya merutuki tindakannya sendiri. Setelah kejadian 6 tahun lalu ia benar-benar tak ingin melihat wajah pria itu kembali, rasa malunya masih menyelimutinya sampai sekarang, info-info yg sering ia dapatkan mengenai pria itu pun sekarang tak lagi ia perdulikan.
Satu kampus dengan si jangkung pucet itu lagi, membuat Meira merasa tak sanggup melanjutkan kuliahnya disana, tapi uang dan tenaganya selama ini akan sia-sia jika ia harus pindah atau mengundurkan diri dari universitas yg ia dambakan selama ini.
"Kenapa gue harus sekampus sama dia sih!" runtuknya. Ia duduk seraya menyeruput jus mangga untuk menenangkan hatinya yg memanas.
"Panggilan kepada seluruh mahasiswa/mahasiswi yg mengikuti ekskul pencinta alam harap berkumpul di aula tengah sekarang!" suara itu menggema di gedung aula
"Waduh kenapa mendadak gini sih!" keluh meira, ia baru saja mendaftar diri pada ekskul yg akan membuatnya berpetualang bagai sibolang.
Dia segera berlari kecil menghapiri kerumunan di aula tersebut. "Wah, rame banget!" gumamnya. Meira masuk kedalam aula tersebut.
"Okeh! Adek-adek sekalian, kita mengumpulkan kalian disini karna ada hal penting yg akan kita sampaikan disini!" tegas sang senior. "Jadi, kita akan membentuk sebuah bagan keanggotaan baru dan akan melibatkan anak baru disini!" sambungnya kembali.
"Wah, seru banget," gurauan para peserta lain.
"Kenapa bisa serame ini yg ikut ekskul ini." Batin Meira.
"Okeh, disini kita akan mencari seorang wakil ketua, untuk ekskul ini dan kita juga mencari seorang sekertaris, untuk mempermudah pendataan setiap orang yg masuk dalam ekskul ini!" sang senior kembali bersua.
"Kok gak nyari ketuanya yah?" gumaman para peserta.
"Iya, juga yah kenapa cuma wakil sama sekertaris?" pikir meira.
Sang senior kembali mengacungkan toa berukuran sedang itu. "Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa gak nyari ketuanya, dan kalo udah ada mana ketuanya? Bener gak?" serunya.
"Bener Kak!" jawab para peserta.
"Oke! Berhubung ketua pencinta alam kita belum dateng jadi nanti pengenalan ketua-nya barengan sama pengenalan wakil dan sekertaris yg beru okey!" serunya kembali.
Sang senior itu menjelaskan tata tertib pemilihan sang wakil dan sekertaris tersebut. Mereka menjelaskan mengenai pemilihan yg akan dilakukan secara acak bagaikan arisan, sebuah botol minuman kecil menjadi mendia atau tempat para nama peserta yg akan di kocok oleh sang senior.
"Okeh kalian siap!" ucapnya saat akan membuka sebuah sedotan yg di dalamnya terdapat nama salah satu peserta.
"Dan, yg terpilih sebagai wakil ketua adalah! Jeng, jeng, jeng!" teriaknya. "Meira Aqilah!"
"Hah, gue! Yg bener gue." Meira memperhatikan sekitar yg tengah menatapnya intens dia bahkan sedikit canggung mendapat tatapan itu.
"Silahkan naik kepada saudari Meira!" ajak sang senior. Meira kikuk, dia berjalan dengan kaki yg sedikit gemetar, ini pertama kalinya dia merasa sepeti selebertis dunia yg banyak di lihat oleh orang.
"Bagaimana perasaannya?" goda sang senior. Meira tersenyum kemudian mengambil toa yg di berikan oleh sang senior. "Eu- tentunya kaget yah, saya merasa mimpi bisa berdiri jadi wakil ketua ekskul ternama di kampus ini," ucapnya kikuk. Dia mengembalikan toa tersebut kepada sang senior.
"Dan, yg jadi skertaris untuk ekskul ini adalah, Jeng jeng jeng! Jovita ananta, kepada sodari Jovita silahkan naik," ucap sang senior. Sama halnya dengan meira Jovita pun ditanya hal serupa oleh sang senior, bahkan dia lebih ekspresif saat menjawab pertanyaan itu.
"Harusnya dia aja yg jadi wakil!" keluh Meira.
Dan pada acara inti yaitu pengenalan sang ketua ekskul, sang senior sedikit menunggu kehadirannya, karna sang ketua belum memunculkan hidung batangnya sedari tadi, akhirnya sang senior bergegas turun dan mencari sang ketua.
"Lo, dari mana ajasih!" ketusnya.
"Sabar kali, Ren. Gue sibuk!" sang ketua menyela.
Mereka berdampingan berjalan masuk kedalam aula, Meira yg sedari tadi menunduk karna malu tak menyadari kehadiran sang ketua walau berbagai sorakan anak-anak peserta riuh di dalam aula itu.
"Okeh, perkenalkan sang ketua kita!" sambutan sang senior itupun mendapat tepuk tangan dan sorakan dari para peserta.
Meira melirik ke arahnya. "Astaga!" Dia terperanjat saat pandangan mereka beradu sesaat. Rasanya ia ingin melarikan diri saat ini juga.
.
.
.
Okeh gimana awalannya nih gengsss,
Tbc. LUV
.
.
.
Like, Komen, Vote
"Okeh, perkenalkan sang ketua kita!" sambutan sang senior itupun mendapat tepuk tangan, dan sorakan dari para peserta.
Meira melirik ke arahnya. "Astaga!" dia terperanjat saat pandangan mereka beradu sesaat. Rasanya ia ingin melarikan diri saat ini juga.
"Kenapa Mei?" tanya Jovita. Namun, Meira bergeming dalam diam.
"Bodoh, pantes aja pesertanya sekampung. Orang ketuanya dia." Batin Meira. Dia kembali merutuki dirinya sendiri.
"Saudari Meira, dan Jovita mari sini!" seru sang senior.
Meira masih menunduk, ia tak tahu bakal jadi seperti apa antara ia dengan Aldama nanti.
"Jadi, ini wakil ketua yg bakal nemenin loe terus Dam," goda sang senior. Karna penasaran Dama terus memperhatikan wajah yg sedari tadi menunduk itu. "Meira!" tegasnya.
"Apa maksud loe hah!" sambungnya kembali. "Segitu cintanya loe sama gue, sampe ngikutin setiap yg gue ikutin!" teriaknya.
"Apasih Malu!" sahutnya seraya menarik lengan Dama keluar dari aula.
"Loe ngapain hah!" ucap Dama langsung.
"Gue gak tau ekskul ini ketuanya loe, Jangkung!" ketus Meira.
"Bohong, loe sengaja kan ngikutin gue!" Dama tak kalah sewot.
Meira berdecih. "Cih, amit-amit tujuh turunan gue berurusan lagi sama loe!"
"Ngundurin diri aja loe sekarang!" ketus Dama.
"Enak aja, gue udeh taken di surat matrai gak bisa kali maen ngundurin gitu aja, sebenarnya gue juga ogah berurusan lagi sama loe!" ketusnya kembali.
"Mangkanya keluar kata gue juga," ucap Dama sedikit melembut.
"Nanti gue kena hukuman! Aldama yg suka maling jambunya bi Titin!" tegas Meira seraya mengejek.
"Kurang ajar loe, Otan!" sahut Dama.
Meira menatap Dama tak suka. "Kurang ajar Loe! Gue bukan mony*t ya! Gue manusia!" sentak Meira.
"Tapi kenyataannya loe tuh emang suka manjat pohon, pager, dan yg paling penting loe suka ngambil mangganya mang Kardi!" ucap Dama, dia seakan membalik keadaan menjadi lebih unggul.
"Bodo! Gue gak penduli, gue ngambil juga izin dulu! Gak kaya loe, suka ngambil tanpa bilang." Cerocosnya. "Eum ... namanya apa yah kalo ngambil tanpa bilang, oh, iya maling!" senyum mengembang di wajah Meira. Sedangkan yg diledek memasang wajah yg nampak tak bisa ia tebak.
"Gimana yah, kalo seisi kampus tau kalo loe itu tukang maling jambu!" ucapnya mengejek.
"Jaga bicara loe ya Meira!" ketusnya.
"Reputasi ancur atau- " ucapnya terpotong.
"Atau?"
"Loe gak usah ganggu hidup gue lagi, dan gak usah ungkit masa lalu itu lagi! Gimana?" tantangnya, tangan Meira sudah terulur untuk melakukan jabat tangan.
Dama tengah menimang, "gue terima apa enggak yah! Kalo terima nanti ngelunjak lagi tapi, kalo reputasi gue sebagai handsome boy in here bakal pupus!" batin Dama.
Dama akhirnya menjabat tangan Meira, ia tersenyum kecut seakan meremehkan wanita di hadapannya. "Deal," ketusnya. "Gue bakal bikin loe nyesel masuk ekskul ini." Batinnya bersorak. Senyum devil mengembang di wajahnya.
Akhirnya mereka masuk kembali ke dalam aula, setelah perjanjian yg mereka setujui tadi kini keduanya nampak damai, tidak ada saling melotot satu sama lain, tidak ada ejek mengejek satu sama lain, dan yg terpenting adalah tidak ada rahasia memalukan yg akan terbongkar lagi.
Selesai acara para pengurus ekskul baru tengah berkumpul di ruang aula, mereka tengah membicarakan tentang kegiatan-kegiatan yg akan dilakukan kedepannya. "Oke, jadi setuju semua kalo kita adain kemah?" ucap Dama. Semua anggota mengangguk.
Ucapan yg terkesan menyihir para pasang mata disana, membuat Meira enek seketika, dia ingin segera pulang untuk merebahkan tubuhnya yg sudah lelah tertimpa berbagai tugas dari dosennya, tapi entah disengaja atau tidak rapat ekskul itu mejadi sangat lama oleh bualan gak jelas sang ketua.
"Kak, izin bicara." Meira mengangkat tangannya.
"Iya kenapa?" tanyanya.
"Kalo, gak ada hal yg penting saya izin pamit," ketusnya.
"Iya Kak, agak capek nih banyak tugas juga," ucap anggota lain.
"Okeh, kalo begitu rapat hari ini saya tutup, sampai jumpa besok. Okeh!" sahutnya cepat.
"Kurang waras emang si Jangkung, sengaja dilamain kayanya!" gerutu Meira.
"Siapa si Jangkung, Mei?" tanya Jovita, ternyata ia sedari tadi berjalan di belakang Meira.
"Bukan siapa-siapa!" ketusnya. Dia berlalu pergi tanpa pamit, rasa capenya membuat akal sehatnya sedikit menghilang.
**************
Sedang enak-enaknya tertidur, Meira mendengar ketukan pintu yg membuatnya jengah, ia membuka paksa pintu yg sedikit macet karna terganjal sebuah lap, entah lap apa itu. "Abi!" teriak Meira.
"Ada apa sih?" sahut lembut sang Abi.
"Lap bekas sangkar burungnya Bi, kenapa gak di beresin?" Meira mengambil lap itu dan memberikan pada sang ayah.
"Maaf Mei. Abi lupa."
Meira berjalan gontai menuju pintu, saat dia membuka pintu terpampang lah wajah tampan yg tengah tersenyum ke arahnya, jika saja wanita lain mungkin sudah pingsan akan senyum yg memabukan itu.
"Ada apa loe kesini!" ketus Meira. Dia melihat Dama yg masih rapi dengan jas alamamater kampusnya seraya memegang laptop di tangannya.
"Loe kerjain proposal buat nanti kemah, loe kan wakil gue!" ucap Dama.
"Besok kan bisa! Kalo besok bisa kenapa harus sekarang! Dan kalo lo bisa kenapa harus gue sih!" ucap Meira, ia bahkan mengucapkan beberapa prinsip hidupnya.
"Dasar males!" Dama menarik lengan Meira dan menggiringnya masuk ke dalam rumahnya.
"Mentang-mentang tetangga loe ngajak ngerjain di rumah loe!" ketus Meira.
"Biar loe fokus kali, jan baper."
"Cuih, najis!"
Mereka masuk bersamaan, Meira tertegun melihat semua benda dan panjangan yg sudah lama ia tak lihat, mungkin terakhir kali ia masuk ke rumah Dama sekitar delapan tahun yg lalu. Ia dipersilahkan duduk oleh Dama.
"Kalo, mau minum ambil aja di dapur, gue gak mau layanin loe kaya pembantu!"
"Dasar tuan rumah gaada akhlak!" Meira berteriak.
Suasana rumah yg hening membuat mereka sedikit canggung, walau keduanya terfokus membuat sebuah proposal namun, curi-curi pandang masih mereka lakukan.
"Ibu, sama bapak kemana?" tanya Meira penasaran.
"Lagi pergi!"
"Oh."
"Gue mau mandi dulu, kalo butuh sesuatu ambil aja sendiri!" tegas Dama kemudian ia pergi begitu saja.
"Yg gue butuhin tuh Loe kampret! Masa bikin proposal sendiri, emang gampang!" gerutu pelan Meira.
Sudah lima menit berlalu Meira masih terfokus pada layar laptop. Dia terus mengetik semua yg telah di perintahkan oleh Dama. "Yailah, tuh anak belum keluar dari kamar mandi juga!" keluhnya.
.
.
.
Tbc.
"Yg gue butuhin tuh, Loe kampret! Masa bikin proposal sendiri emang gampang!" gerutu Meira.
Sudah lima menit berlalu Meira masih terfokus pada layar laptopnya, dia terus mengetik semua yg telah di perintahkan oleh Dama. "Astaga, tuh anak belum keluar dari kamar mandi juga!" keluhnya.
"Yah, yah! Kok batrai laptopnya. Dasar si oneng kenapa pake gak di charger dulu sih nih laptop!"
Meira beranjak dari duduknya, ia mencari di berbagai laci tentang keberadaan charger laptop tersebut, ia mengubek-ngubek hampir di seluruh laci ruang tamu, namun hasilnya nihil. "Apa ruangan itu yah, tadi Dama masuk situ kan, tapi apa sopan masuk ruangan sembarangan. Tapi bodolah dia juga yg salah!" gerutunya.
Dia mulai berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut, dan yah ternyata itu adalah kamar pribadi Dama. Interior dengan marvel super hero menjadi dominasi dari kamar sedang nan estetik tersebut. Meira tak ambil pusing dengan berbagai kartun super hero yg banyak terpajang pada dinding kamar Dama, dia langsung mencari charger laptop itu di berbagai laci disana.
"Ah, ada kan nih disini!" Dia mengambil charger itu bersamaan dengan itu matanya membulat, melihat sebuah benda yg bergambarkan hal-hal yang tidak pantas.
"Astaga, majalah dewasa!" Meira mengangkatnya dan melihat berbagai gambar itu. "Aduh mata gue, berasa ternodai!" keluhnya.
Berbarengan dengan Meira yg tengah melihat isi majalah itu, Dama keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk saja, matanya langsung terfokus pada wanita yg tengah duduk di ranjangnya seraya membaca majalah milik Anton temannya.
Majalah itu milik anton, dia kemarin menginap dan membawanya. Bahkan tanpa disadari Anton, majalahnya malah tertinggal di laci milik Dama. "Hah!" Dama berlari untuk mengambil majalah yg akan merusak citranya itu.
"AAAAAA!" teriak Meira saat Dama terpeleset karna ia berlari untuk mengambil majalah itu.
Tubuh Dama yg berada di atas Meira membuat mereka terlihat intim, ditambah Dama yg hanya mengenakan handuk bagian bawah saja membuat keduanya benar-benar intim. Sesaat Dama memperhatikan wajah yg tengah terpejam karna takut, ia sedikit tertegun bagaimana bisa enam tahun bisa merubah wajah yg sedikit buluk menjadi secantik dan alami seperti sekarang.
"Astagfirulloh DAMA!" teriak ibu dari balik pintu.
"Kalian ngapain!" wajahnya sudah memerah.
Mereka bangun, "ini gak seperti yg ibu bayangin," mohon Dama.
Ibu menatap mereka satu persatu, Dama yg hanya mengenakan handuk dan Meira yg masih memegang majalah dewasa itu membuat dada ibu terasa sesak. "Ka- kalian!"
"Ibu!" teriak keduanya. Ibu terjatuh ke lantai dan tak sadarkan diri.
*************
"Untung segera dibawa kesini, kalo terlambat saya gak jamin!" ujar Dokter.
"Tapi, ibu saya baik-baik aja kan, Dok?" Dama terlihat frustasi. Sedangkan ayah masih memasang wajah bertanya-tanya.
"Iya, ibu kamu kurang lebih jam lagi juga siuman kok," balas Dokter lalu tersenyum.
"Yaudah, Dok. Kami mau melihat kondisi Istri saya dulu," sahut ayah. Keduanya pergi menuju ruangan ibu.
"Apasih yg kamu lakuin. HAH!" Sentak ayah, amarahnya sedikit tertahan.
"Yah, aku gak lakuin apa-apa sama Meira. Itu semua salah paham, Yah!" jelas Dama. Dia mencoba memberi pengertian terhadap ayahnya.
"Kalo salah paham kenapa ibu kamu bisa kumat jantungnya!" tegasnya. Mata ayah menatap nyalang anaknya.
"Ya karna insiden itu- " ucapnya tertahan saat melihat Meira menangis terisak memperhatikan ibu yg masih terpejam di liar kaca penghalang.
"Insiden apa!" tegas ayah.
Mereka menghampiri Meira, disana Meira merasa sangat bersalah. Seharusnya iya tak masuk ke dalam kamar Dama dan melihat benda itu di kamarnya. "Gue ... mau ngomong sama loe!" ketus Dama. Dia menarik Meira ke tempat yg sepi.
"Maaf, Dam ...," lirihnya.
"Udah kaya gini. Loe minta maaf hah!"
"Iya, awalnya gue cuman mau ngambil charger laptop loe doang, Dam. Terus gue cari-cari di laci ruang tamu enggak ada, yah liat loe masuk ruangan itu gue masuk dan nyari deh," ucap Meira merasa bersalah.
Sangat disadari benar bahwa ini bukan sepenuh- nya kesalahan Meira, jikalau Dama tidak berlari dan mencoba mengambil majalah itu, mungkin hal memalukan tersebut tidak akan pernah terjadi. Keduanya duduk termenung sibuk dengan lamunannya masing-masing.
Sampai Satu jam sudah berlalu, keduanya masih diam tak bergeming di bangku taman yg nampak sepi, mereka mencoba terus menenangkan batin satu sama lain.
"Halo, Yah?" ucap Dama, di balik layar ponselnya.
"Ayo, ibu udah siuman," sahutnya di sebrang sana.
"Iya, Yah. Dama segera kesana." Tut ....
"Ayo, ibu gue dah siuman," ajak Dama.
Sesampainya di ruangan, ibu masih belum berbicara sepatah katapun, walau mulut Dama sudah hampir berbusa menjelaskan tentang kejadian itu namun, ibu masih diam bergeming.
"Ibu, rasa." Akhirnya ibu membuka suara.
Semuanya menoleh. "Ibu harus menikahkan kalian!" tegas ibu tak ingin di bantah.
Keduanya kompak berteriak. "Apa!"
***********
Kini abi dan umi Meira yg dibuat terkejut oleh pernyataan ayah Dama, mereka begitu kecewa dengan prilaku anaknya, mereka bahkan sering mewanti-wanti untuk tidak berpacaran karna takut terjadi hal-hal diluar pernikahan.
"Abi kecewa sama kamu Mei!" lirih abi.
"Bi, ini salah paham!" tegas Meira.
"Salah paham apanya!" sentak umi, dia bahkan sudah mengeluarkan air matanya.
Meira yg sedikit tertekan, beranjak pergi. Dia ingin menenangkan sejenak akal sehatnya yg sudah kalut oleh emosi. Meira merebahkan tubuhnya di ranjang kesayangannya, untuk sekarang ini, Meira sangat tak ingin berfikir mengenai apapun juga.
Tok, ketokan di jendela kamar membuat Meira terperanjat. "Apasih!" Dia membuka jendala itu.
Dia terkejut sekaligus keheranan. "Ngapain loe kesini!" ketus Meira.
"Gue mau obrolin tentang pernikahan kita!" ujar Dama. "Plis, Mei. Gue takut ibu gue kenapa-kenapa ...," lirihnya.
"Jadi mau loe kita nikah!" tegas Meira. Dama mengangguk menyetujuinya.
"Tapi, ada beberapa syarat yg loe harus penuhin!" ujar Dama seraya mengeluarkan surat bermatrai di atasnya.
"Loe, gila. Loe yg ajak gue nikah malah loe yg ngajuin syarat!" gerutunya.
"Loe, juga boleh Mei!"
Meira membaca ajuan surat yg di berikan Dama, disana tertuliskan bahwa;
Tidak boleh saling sentuh menyentuh.
Tidak boleh saling merayu.
Membaca persyaratan satu dan dua membuat Meira menyimpulkan sesuatu. "Lo, jijik sama gue?" tanya Meira.
"Buat jaga-jaga. Loe tau kan, gue gak suka skinship sama cewe," sahutnya cepat.
"Oh lu tuh g*y?" balas Meira dengan entengnya.
"Enak aja, gue masih normal suka sama cewe, cuman gue mau suci aja sampe gue bener-bener nemuin sosok yg gue pengenin!" jelas Dama. Meira kembali membaca persyaratan berikutnya.
Pernikahan kita tutupi bersama.
Gue bakal ceraikan loe setelah ibu gue sembuh dari penyakit jantungnya.
"Hah loe gila Dam. Loe mau bikin gue jadi janda apah!" ucap Meira.
"Ssssttt, denger dulu. Jadi, penikahan ini buat sebatas permintaan nyokap gue aja, nanti setelah gue lulus dan kerja. Gue usahain bakal langsung oprasi penyakit jantung ibu gue di Singapura. Nah, setelah itu gak ada drama-drama jantung nyokap gue kumat lagi, dan gue rasa itu udah aman buat kita bicarain bahwa kita udah gak srek dan pengen pisah aja. Gitu maksud gue," jelasnya.
"Penyakit jantung loe bilang drama!" ketus Meira.
"Ya, emang suka kumat kan!" sahutnya cepat. "Dan setelah itu kita bisa cerai, loe mau hidup selamanya sama gue?" tanya Dama.
"Ih najis!"
"Itung-itung balas dendam kali yah, toh dia juga gak bakal nyentuh gue, dan pernikahan kita ditutupi jadi, its okay lah." Batin Meira penuh kemenangan.
"Yaudah karna loe juga sama-sama gak mau kan, sama pernikahan ini!" ujarnya. "Kan, ini juga salah loe kan Mei, ngapai masuk ke kamar gue," gerutu Dama.
"Loe, ada syarat gak?" tanya Dama serius.
"Nanti gue bawa besok!" ucap Meira.
.
.
Apakah syarat yg di ajukan Meira??
Tbc.
.
Author usahakan UP tiap hari
.
Klik tada Hati❤ Biar updatenya gak ketinggalan okray! jan lupa vote, komen dan likenya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!