NovelToon NovelToon

BABY MY LOVE

Episode 1. Hamil

“Kamu kan baru pulang kerja, Mas? Apa kamu gak capek?”

“Bawel kamu pake nanya. Udah, buruan…!”

Lelaki itu menarik si perempuan ke kasur. Ia melucuti pakaian si perempuan buru-buru. Kemudian melucuti  pakaiannya sendiri. Lantas si lelaki menuntaskan gejolaknya dengan bersemangat. Begitu menggebu. Si perempuan kesakitan tapi lelaki itu tak perduli.

Setengah jam kemudian lelaki itu membuka pintu rumah petak kontrakannya. Ia merokok di ruang depan yang menghadap ke teras.

“Jangan merokok di dalam, Mas.”

Tarisa keluar dari kamar mandi usai membersihkan diri. Dilihatnya suaminya, Abram, santai merokok di ruang depan petak kontrakan yang sempit dan kecil ini. Asap rokok menyeruak membuat udara sedikit pengap. Bau rokok itu membuat Tarisa mual.

“Ngatur melulu kerjaan kamu!” Abram tak perduli dan terus merokok santai.

“Kamu kan tau, aku lagi hamil 3 bulan, Mas. Sensitif sama bau rokok. Lagian asap rokok gak bagus ke janin di kandunganku.”

“Halaaah, begituan dipikirin!” Abram cuek merokok lagi.

Tarisa menghela nafas. Kadang ia malas bicara kalau suaminya selalu menanggapi dengan kalimat-kalimat semaunya.

Lalu Tarisa masuk ke kamar, berganti pakaian. Setelah rapi ia mendekati Abram yang masih asik merokok di ruang depan.

“Bisa anterin aku ke dokter kan Mas? Sore ini jadwal periksa kandunganku.”

“Sekarang?” Jengit Abram. Alisnya menaik menatap istrinya.

“Iya.  Bulan lalu  dokternya bilang aku disuruh datang lagi tanggal sekarang. Kan kemarin sudah aku kasih tau ke Mas.”

Abram mendengus jengkel. Ditatapnya Tarisa dengan kesal. “Kamu gak lihat aku lagi capek?!”

Serba salah Tarisa jadinya. Waktu ditanya tadi pulang kerja, apa gak capek,  lelaki ini tak perduli. Sekarang setelah diminta mengantar ke dokter, suaminya malah bilang capek.

“Tolong,  Mas.” Tarisa memohon. “ Masa kamu gak mau nganterin aku periksa  dokter?”

“Heh!  Kamu kan punya kaki?” Abram menunjuk kaki Tarisa. “Itu kaki kan? Pergi aja kamu ke dokter  sendiri!”

Tarisa berusaha sabar. Ia  memperhatikan wajah Abram yang  cemberut. Tarisa tahu, kalau sudah demikian, meski dirayu seperti apapun Abram bakalan susah dibujuk untuk mengantarkannya periksa kandungan.

“Ya sudah….  Aku ke dokter sendiri, Mas….”

Lantas Tarisa menyiapkan tas dan dompetnya. Ia kemudian bersiap pergi ke dokter.

“Aku pamit ke dokter dulu, Mas.”

Tarisa mencium tangan suaminya. Abram cuek saja.

“Sudah buruan sana pergi! Aku ngantuk! Mau istirahat!” Lelaki itu jutek.

“Aku jalan  ya Mas….” Tarisa keluar pintu rumah petak kontrakan itu.

BRUUK!

Pintu malah ditutup dengan kasar dari dalam oleh Abram.

Tarisa terperanjat. Termangu di depan pintu. Kaget dijutekin suaminya sendiri.

KLAK!

Pintu terbuka lagi. Abram menongolkan kepala.

“Kamu masih pegang duit kan?” Lelaki itu bertanya ke Tarisa yang sudah hendak pergi.

“Masih.”

“Pulang dari dokter beliin aku nasi padang.”

“Iya, Mas.”

BRRUKK! Pintu ditutup lagi.

Eh, baru saja  ditutup, pintu sudah dibuka lagi. Abram menongolkan wajah. “Nasi padangnya pake ikan goreng pedas. Yang banyak cabenya. Jangan lupa!”

“Iya, Mas….”

Lalu pintu ditutup kembali.

Ah, Tarisa kadang bingung dengan sikap suaminya. Saat pacaran, Abram  dikenalnya sebagai lelaki romantis dan perhatian. Ternyata sikap Abram jauh berbeda setelah menikah. Sikap Abram suka seenaknya sendiri, gak perduli dengan istrinya.

Tarisa pun  naik mikrolet ke rumah sakit. Untuk mengirit biaya ia sengaja  periksa  ke dokter kandungan di rumah sakit umum. Karena  biaya periksa dokternya lebih murah dari pada rumah sakit khusus ibu dan anak atau rumah sakit khusus bersalin. Tarisa sadar. Ia harus pandai-pandai mengirit biaya karena gaji suaminya sebagai karyawan rendahan di sebuah kantor memang tak banyak.

“Ini nomernya, Bu.” Seorang petugas cewek yang menerima pendaftaran pasien di rumah sakit memberikan secarik kertas bernomer ke Tarisa.  “Ibu nomer 11 ya. Silakan tunggu ya, Bu.”

“Terima kasih, Mbak.” Tarisa menerima nomer antrian itu.

Lantas Tarisa duduk di bangku tunggu. Sudah banyak perempuan hamil lainnya duduk di beberapa bangku. Kebanyakan datang diantar suaminya. Sikap suami mereka yang perhatian ke istrinya membuat Tarisa iri.

Ada suami yang mengelus-elus perut istrinya dengan sayang. Lalu si istri tersenyum senang dan memegang tangan sang suami. Keduanya bertatapan mesra.

Tarisa mudah iri jika melihat pasangan yang mesra seperti itu. Karena suaminya nyaris tak pernah demikian.

Tarisa mengalihkan perhatian. Menatap kertas kecil bertuliskan angka 11 yang dipegangnya. Tadi dia telat datang dan mendapat antrian periksa nomer 11. Kalau begini bisa-bisa sejam lagi baru  dapat giliran diperiksa.

Jam dinding di ruang tunggu baru bergerak melewati lima menit. Tarisa  sudah merasa bosan menunggu di bangku yang dipenuhi oleh para ibu hamil. Ia sampai iseng membanding-bandingkan perutnya dengan perempuan lain di ruangan itu. Kebanyakan perempuan yang datang sudah hamil besar. Bahkan ada yang sudah sangat buncit, mungkin tinggal menunggu minggu depan sudah melahirkan.

Perut Tarisa sendiri boleh dibilang masih rata, belum seperti perempuan hamil. Pakaian yang dikenakan Tarisa pun masih baju yang biasa dipakainya sehari-hari. Mungkin karena kandungannya baru 3 bulan.  Sepertinya perutnya baru membesar di bulan-bulan berikutnya. Jika demikian barulah  ia  harus mengenakan baju longgar atau daster.

Bosan juga Tarisa melihat orang-orang di ruang tunggu. Ia juga merasa sedikit pengap. Butuh udara segar.  Melewati pintu samping ada lorong menuju taman rumah sakit. Tarisa melewati lorong itu hendak ke taman.

Masih di lorong tiba-tiba Tarisa tercekat. Dilihatnya sepasang suami istri bertangisan. Umur si ibu sekitar empat puluhan dan suaminya terlihat lebih tua lagi.

“Hu hu hu hu, gimana ini pak? Masa bayi kita sudah mati masih harus bayar 250 ribu buat biaya ambulans.” Si ibu menangis pilu.

“Gak tau lah, Bu.” Suaminya pasrah. Mata si lelaki juga berurai air mata. “Mana uang kita sudah habis buat antar ibu ke rumah sakit dan biaya melahirkan bayi yang mati ini.”

“Terus gimana bayinya kita bawa pulang, Pak? Apa kita bawa pulang aja pake motor?”

“Mau diapain lagi? Kita memang harus bawa jenazahnya pake motor.” Suara si Bapak menyayat hati. “Uang  sudah benar-benar habis. Gak ada biaya  buat bawa jenazah anak kita pake ambulans.”

“Hu hu hu hu,” SI ibu kembali tersedu. Ia memeluk suaminya sambil bersimbah air mata.

Tarisa terenyuh. Ia paling gak kuat melihat orang menangis seperti itu.

Yang benar saja. Masa suami istri ini mau membawa mayat bayi pakai motor? Tarisa pernah melihat berita seperti itu di TV. Seorang bapak membawa mayat bayinya yang sudah dibungkus kain putih pakai motor.

Dulu Tarisa menangis saat menonton berita itu. Kini di depannya ada orang punya masalah serupa. Sebisa mungkin Tarisa tak ingin cerita sedih itu kembali menimpa suami istri di depannya.

“Maaf, Ibu, Bapak….” Tarisa mendekati pasangan suami istri. “Kalau boleh tau, berapa biaya antar mobil ambulannya?”

Si ibu dan suaminya menoleh. Heran melihat Tarisa bertanya demikian.

Tarisa tersenyum ramah. “Enggak apa, Bu. Mungkin saya bisa bantu biayanya. Berapa biaya mobil ambulans buat bawa jenazah?”

“Enggak usah, Bu.” Si Bapak tak enak hati. Dilihatnya Tarisa yang berkata demikian adalah seorang perempuan berpenampilan sederhana. Tak jauh beda dengan si bapak dan istrinya. Tarisa mengenakan baju dan rok murahan. Pake tas KW. Sendal yang dikenakan Tarisa pun buruk. Masa orang seperti ini mau membantu membayar biaya ambulan?

“Enggak apa, Pak. Sebisa mungkin mayat bayinya dibawa pake mobil ambulans. Jangan dibawa pake motor. Saya akan bantu biaya ambulannya.”

“Biaya ambulannya 250 ribu…” Si ibu yang bicara. Dia menangis lagi. “Hu hu hu, kami sudah kehabisan duit sama sekali.”

Tarisha tau. Di dompetnya ada uang Rp 350 ribu.

Apakah uang itu akan diberikannya  kepada suami istri ini?

BERSAMBUNG….

PENGUMUMAN:

HELLO READERS. Semoga suka dengan cerita sederhana ini. BABY MY LOVE. Mungkin ada salah typo atau kekurangan disana-sini mohon dimaklumi ya. Silakan kasih Like, Vote dan Komen di buku ini. Teman author yang mau promo dan ingin saling  feedback juga bebas promo di kolom komen. Kita saling support. Karena buku ini tak akan ada artinya tanpa dukungan kalian semua. Oh ya kalian juga bisa baca buku Fresh nazar lainnya, ISTRI YANG TERSIKSA dan TERPAKSA MENIKAHI BIG BOSS. Sukses buat semuanya.

Episode 2. Abram Belum Sanggup Punya Anak

Tarisa berpikir keras.

Uang Rp 350 ribu di dompetnya bukanlah uang yang bebas dipakai begitu saja. Uang itu hendak dipakai buat membayar periksa dokter kandungan. Sisanya  harus dicukupkan untuk biaya makan sampai  akhir bulan hingga Abram suaminya gajian lagi.

Tapi, Tarisa menoleh kepada si Ibu dan Bapak yang bayinya meninggal saat dilahirkan. Kedua orang ini jelas lebih membutuhkan uang dari pada dirinya. Dan tentu berpahala besar menolong orang yang tengah membutuhkan.

Air mata di pipi si ibu masih mengalir. Suaminya kelihatan pusing dan termenung. Tentu mereka sedih memikirkan bayinya yang sudah jadi mayat tapi belum bisa dibawa pulang.

Tarisa tak berpikir lama. Ia harus menolong mereka. Segera Tarisa mengambil uang Rp 250 ribu di dompetnya. Diberikannya uang itu kepada si Bapak.

“Ini, Pak. Silakan dipakai buat  membawa jenazah anak Bapak pakai ambulans. Semoga anak Bapak bisa diantarkan dengan baik dan dia pulang ke surga dengan bahagia.”

“Gak usah, Bu.” Si Bapak masih berusaha menolak.

“Tolong diterima, Pak. Saya akan lebih sedih kalau Bapak gak mau menerima uang ini lalu membawa jenazah anak Bapak pakai motor, karena gak sanggup bayar ambulans….”

Si bapak tercekat. Tubuhnya berguncang mendengar ucapan Tarisa. Air mata si Bapak mengalir deras kala menerima uang yang diulurkan Tarisa padanya. Sementara istrinya menangis tersedu dan memeluk Tarisa.

“Terima kasih banyak, Bu.” Si ibu berusaha tersenyum di tengah isaknya. “Ibu adalah orang baik yang dikirimkan Allah di saat kami berduka dan kehilangan.”

“Saya hanya bisa menolong sekedarnya, Bu.” Tak terasa air mata Tarisa ikut mengalir  kala ia balas memeluk si ibu.

“Ibu kuat ya. Insya Allah anak ibu akan kembali ke surga dan nanti akan menyambut Ibu dan Bapak disana sambil tersenyum bahagia.”

Suami istri itu tampak lega kala  mengurus administrasi pembayaran.

Tarisa  tersenyum sambil melambaikan tangan   melihat mobil ambulans keluar dari rumah sakit. Bapak dan ibu tadi melambaikan tangan sambil tersenyum kepadanya.

Sungguh momen yang indah. Tarisa merasa hidupnya berguna pada sore  itu. Ia sungguh tak bisa memaafkan dirinya jika membiarkan suami istri tadi membawa jenazah bayinya pakai motor. Bisa menolong mereka membawa jenazah bayi pakai ambulans membuat Tarisa lega. Ia sudah melakukan hal  yang bermanfaat nyata untuk orang lain.

Tarisa kembali ke ruang periksa dokter. Si petugas perempuan tepat menyebut nomer pasien yang hendak diperiksa.

“Nomer 11.”

Tarisa menunjukkan kertas nomernya. Ia kembali ke dokter di saat yang tepat kala nomernya dipanggil.

Lalu seorang dokter wanita yang  berusia setengah baya memeriksa kandungan Tarisa.

“Ini sudah 3 bulan, Dok. Tapi kenapa perut saya masih langsing?” Tarisa menyebutkan kekhawatirannya.

Dokter ramah itu tersenyum lebar. “Perut ibu memang tidak langsung tumbuh lebar dan membuncit seperti perempuan lain. Tapi jangan kuatir, Bu. Kan yang penting pertumbuhan janinnya.”

“Iya, Dok.”

“Saya sudah lihat Janin ibu tumbuh sehat dan kuat. Kelak ia akan jadi anak  yang kuat dan bisa menjaga ibunya.”

“Alhamdulillah…” Tarisa bahagia mendengar ucapan si dokter. “Yang penting anak di kandungan saya ini sehat ya Dok?”

Dokter mengangguk. “Sehat. Tapi  ibu harus ingat. Ibu gak boleh  bekerja terlalu keras atau melakukan aktivitas fisik yang berbahaya. Lalu ibu harus menjaga asupan gizi yang baik.  Insya Allah bayi ibu akan terus tumbuh sehat dan kuat.”

“Amin…” Tarisa mengaminkan ucapan dokter.

*

Tarisa tiba kembali di rumah kontrakannya selepas Isya.

Abram tersenyum masam membukakannya pintu. “Lama bener kamu ke rumah sakit?!”

“Tadi harus antri periksa dokternya mas. Aku dapat nomer antrian 11. Alhamdulillah, kata dokter anak kita tumbuh sehat.”

“Aku gak nanya  kandunganmu!” Jutek Abram.  “Mana nasi padang yang kupesan?! Aku sudah laper!”

DEEGG!

Tarisa terhenyak. Ia belum membelikan nasi padang pesanan Abram!

“Mana nasinya?” Abram melotot.

Tarisa diam. Merasa bersalah.

Abram mengamati istrinya.  Tangan Tarisa hanya memegang tas kecil dan tas plastik keresek berisi vitamin dan obat dari dokter. Tak ada bungkusan nasi di tangan  istrinya.

“Kamu gak beliin aku nasi padang?” Abram menatap Tarisa dengan jengkel.

Tarisa tau. Ia harus berkata jujur. “Maafin aku mas. Aku memang gak beli nasi padangnya.”

“Kok gak dibeliin? Gimana sih kamu?” Abram sengit. “Kamu  kan masih pegang uang?! Mestinya masih ada berapa ratus ribu di kamu buat kita makan  sampe aku gajian minggu depan?”

“Iya, Mas. Memang tadinya masih ada 350 ribu.” Jujur Tarisa. “Buat bayar dokter, dikasih vitamin dan obat, juga buat ongkos ke rumah sakit habis 90 ribu….” Tarisa tak enak melanjutkan kalimatnya.

“Nah, masih sisa 260 ribu kan?  Terus kemana duitnya?”

“Nggg….” Tarisa menguatkan diri bicara. “Duitnya  cuma sisa 10 ribu. Karena 250 ribu  aku kasih  buat seorang  ibu di rumah sakit yang bayinya meninggal waktu dilahirkan. Aku gak tega karena dia sama suaminya gak sanggup bayar ambulans buat bawa jenazah anaknya pulang.”

JREEENGG!

Abram mendekatkan wajahnya ke Tarisa. Matanya melotot ganas.

“Uang itu kamu kasih ke orang lain?!”

“Iya, Mas…”

“Huhhh!” Abram mendengus jengkel. “Benar-benar gak punya otak kamu!”

Tanpa diduga Abram mendorong Tarisa dengan kasar.

BRRUUKK!

Tarisa jatuh ke lantai. Ia meringis kesakitan.

“Mas, aku ini lagi hamil…” Tarisa mengingatkan suaminya. “Jangan kasar! Entar anak kita kenapa-napa.” Ia mengelus perutnya. Khawatir kalau kandungannya terganggu.

“Heh! Dengar…! ” Abram menarik Tarisa yang masih terjajar di lantai agar berdiri secara paksa. “Aku gak perduli sama kamu dan kandunganmu! Aku lagi lapar malah gak kamu beliin makanan. Karena kamu sok baik ke orang lain! Mestinya kamu mikir! Kita sendiri susah. Kamu malah ngurusin orang lain?!”

Ditatapnya Tarisa dengan galak.

”Kita ini baru nikah, Risa. Gaji aku kecil. Uang gaji gak seberapa harus buat bayar kontrakan bulanan, biaya listrik, makan dan keperluan sehari-hari di rumah ini. Belum lagi  ongkos aku ngantor. Uang sisa yang cuma sedikit malah kamu buang  ke orang lain!”

“Bukan dibuang, Mas. Itu sedekah.” Tarisa berusaha meluruskan. “Kalau kita ikhlas bersedekah, insya Allah kita akan dikasih Tuhan rejeki yang jauh lebih banyak!”

“Kamu ikhlas ngasihnya?” Abram menatap Tarisa galak.

Tarisa mengangguk. “Aku memang niat menolong orang dengan ikhlas.”

“Tapi aku yang gak ikhlas! Apalagi uang itu dari gaji aku!” Kata Abram galak. “Bersedekah itu kalau kita sudah banyak duitnya. Kita aja hidup pas-pasan.  Mau bersedekah apanya kalau malam ini aku gak makan?! Kamu senang kita mati kelaperan?!”

Tarisa terdiam. Merasa bersalah. Ia kemudian menatap Abram. “Maafin aku, Mas. Biar aku masakin kamu mie instan kalau kamu laper….”

Abram tersenyum sinis. “Tuh kan. Gitu cara berpikir kamu. Kamu bisa ngasih uang gaji aku ke orang lain 250 ribu. Tapi buat suami kamu sendiri, kamu cuma masakin mie instan?!”

“Ya ampun, Mas. Bukan gitu. Aku pikir kalau kita masih bisa bersedekah ke orang lain kenapa enggak?”

“Halaaahh, capek ngomong sama kamu! Sudah, masakin aku mie instan! Aku lapar!”

Tarisa pun ke dapur. Ia memasak mie instan sambil menangis.

*

Malam beranjak larut. Sudah nyaris tengah malam, tapi Abram belum tidur.

Tarisa yang sudah tidur lebih dulu terbangun. Dilihatnya suaminya duduk di sudut kasur memegang hand phone. Ia dan Abram memang hanya menghamparkan kasur di dalam kamar sebagai alas tidur.

“Kamu belum tidur, Mas?” Tarisa bertanya pelan. Heran melihat Abram sibuk melakukan chat whats app di hand phonenya nyaris tengah malam begini. "Kamu whats app an dengan siapa?"

Wajah Abram keruh saat menjawab. "Dengan ibuku.... Ibu besok mau kemari." Ia menutup hand phonenya lalu menatap Tarisa.

“Terus terang dengan kondisi hidup yang sengsara begini, aku  belum sanggup punya anak, Risa! Aku pikir, lebih baik anak di kandunganmu digugurkan. Mumpung usia kandunganmu baru 3 bulan….”

BERSAMBUNG......

 

JANGAN LUPA KASIH LIKE DAN TINGGALKAN KOMEN jika kamu suka cerita ini. Reader juga bisa membaca karya saya lainnya di aplikasi Noveltoon Mangatoon. ISTRI YANG TERSIKSA dan TERPAKSA MENIKAHI BIG BOSS. Semoga terhibur.

 

 

Episode 3. Ibu Mertua Super Jutek

Kaget Tarisa mendengar ucapan Abram. “Kamu ngomong apa, Mas?” Tarisa seolah tak percaya omongan suaminya.

“Gugurkan kandunganmu. Aku belum siap punya anak!”

DEEGG!

Hilang rasa kantuk Tarisa. Matanya membulat. Ia menentang Abram.

“Enggak, Mas. Ini anak kita. Buah cinta kita. Aku gak mau menggugurkan kandunganku!”

Abram kesal ditatap demikian oleh Tarisa.

“Oh gitu. Terus kalau kamu terusin kehamilan kamu, anak ini bakal lahir. Kamu gak mikir?!  Dia butuh susu, butuh popok dan segala keperluan bayi lainnya. Terus aku lagi yang harus keluar duit buat bayarin semua itu?! Iya?!”

“Ya iya lah, Mas. Kan kamu kepala keluarga. Mau gak mau kamu harus tanggung jawab menafkahi istri dan anak kamu.”

“Mungkin nanti, tapi gak sekarang!” Sahut Abram pendek.

Lalu dipegangnya tangan Tarisa. “Gugurin kandunganmu! Kata ibuku usia kandungan 3 bulan masih bisa digugurin. Mau pake cara tradisional bisa, pake nanas muda atau lainnya biasanya mujarab. Kalau itu gagal, janin kamu masih bisa digugurin di klinik!”

Tarisa menepis tangan Abram. “Enggak, Mas. Akan kupertahankan janin di kandunganku.”

Abram marah. “Kenapa kamu ngelawan suami sih?!”

“Aku bukan ngelawan kamu, Mas. Aku cuma mempertahankan anak di kandunganku. Karena dia sudah bernyawa. Sudah punya kehidupan. Kalau janin ini digugurin berarti kita adalah pembunuh!”

“Huuhh!” Abram mendengus sewot. “Pembunuh apaan? Janin kamu juga paling baru segede gumpalan sudah dibilang anak!!”

“Terserah Mas bilang apa.” Tarisa kukuh pendirian. “Tapi aku gak mau menggugurkan kandunganku. Akan kupertahankan kehamilanku walau bagaimana pun caranya!”

Abram tertawa mengejek. “Kalau gitu kamu harus cari duit sendiri buat membiayai kehamilan kamu dan biaya melahirkan anak itu. Aku gak mau ngurusin!”

*

Hanya berbekal uang sepuluh ribu di kantung, subuh itu Tarisa berjalan kaki ke pasar tradisional dekat rumah kontrakannya.

Di pasar ia membeli singkong dan oncom. Tarisa bersyukur bahan itu harganya murah. Dengan modal sepuluh ribu rupiah ia bisa mendapatkan singkong dan oncom cukup banyak.

Di dapur yang sangat sempit, Tarisa memarut semua singkong yang dibelinya. Ia menggunakan parutan tradisional yang harus dilakukan secara manual. Setiap singkong diparutkan satu persatu ke alat parut. Karena singkong cukup banyak yang harus diparut, Tarisa kewalahan.

SRRTT!

“Aarghhh…!” Tarisa terpekik kecil.

Ujung jari tengahnya terluka kena parutan. Ada darah muncul.

Buru-buru Tarisa membersihkan tangannya. Lalu ia menutupi lukanya pakai plester penutup luka.

Untunglah parutan singkong sudah hampir habis. Tarisa berhenti memarut singkong. Ia menyiapkan isian oncom. Lantas ia membentuk bulatan adonan singkong memanjang yang di bagian tengahnya diisi oncom. Untuk menggoreng combro ini Tarisa bersyukur   masih  punya stock minyak goreng di dapur.

Abram usai mandi. Ia sudah ganti pakaian. Mengenakan celana jins dan kaus kerah berwarna biru. Ia ke dapur melihat Tarisa berjibaku dengan wajan di penggorengan. Tarisa sedang menggoreng banyak combro.

Tarisa menoleh. Ia heran melihat Abram muncul tanpa memakai celana bahan dan kemeja rapi seperti biasanya jika hendak ngantor.

“Kok bajunya gitu, Mas? Kamu gak ngantor?”

“Ada tawaran kerja yang lebih bagus dengan gaji lebih baik. Aku lagi mempertimbangkan tawaran itu.”

“Oh, syukurlah.” Tarisa senang. Ia melanjutkan bicara sambil tetap menggoreng combro.  “Dapat tawaran kerja dimana, Mas?”

“Di Yogya…”

DEEGG!

Tarisa kaget. Ia sampai terpekik karena tangannya tak sengaja menyentuh ujung penggorengan.

“Yogya?” Tarisa menjauh sedikit dari penggorengan dan menatap Abram.

“Iya. Biasa aja kalee.” Abram menatap sebal ke Tarisa. “Gak usah pake kaget. Sok drama kamu!”

“Yogya kan jauh, Mas. Kita tinggal di Jakarta. Kalo Mas entar kerja di Yogya terus kita harus pindah ke Yogya?”

“Aku juga belum tau kerjanya kayak apa. Ibuku yang ngasih tau di Yogya ada lowongan bagus. Aku baru mau jajakin. Kalau kerjaannya bagus aku terusin. Kalau enggak ya aku balik lagi ke Jakarta.”

Bingung juga Tarisa mendengarnya.

“Sudah, bikinin aku kopi. Terus kasih combronya buat aku sarapan!”

“Iya, Mas… Iya…”

Sambil terus menggoreng combro, Tarisa menyiapkan kopi untuk suaminya.

*

Sebuah meja kecil ditaruh Tarisa di depan meja kontrakan. Ia menaruh wadah tampah besar berisi combro di meja itu. Kumpulan combro itu masih mengepulkan panas.

Ada tulisan kertas karton di samping tampah. COMBRO RP 1000.

“Jual combro nih Mbak Risa?” Seorang ibu tetangga melihat. Ia menghampiri dagangan Tarisa.

“Iya, Bu Fitri. Cari tambahan. Maklum saya lagi hamil.” Tarisa tersenyum ramah. “Cobain dong combro saya.”

Si ibu mencomot dan memakan sebuah combro.

“Huaahhh, panas nih. Tapi enak…” Si ibu terus makan dengan lahap.

Tarisa tersenyum. ia tahu Bu Fitri bakal mendapat kejutan saat terus mengunyah.

“Waddooww! Pedas!” Bu Fitri berteriak. Rupanya ia mengunyah sebuah cabe rawit yang sengaja diselipkan di dalam combro.

Tarisa tertawa. “Tapi pedasnya enak kan, Bu?”

“Iya sih. Enak ini.” Bu Fitri  melanjutkan mengunyah. “Malah mantap karena cabenya diselipin di dalam combro.”

Beberapa ibu tetangga lain  melihat Bu Fitri ngobrol dengan Tarisa. Mereka berdatangan.

“Ayo, ibu-ibu silakan. Combronya murah. Cuma seribuan.” Tarisa menawarkan.

Para ibu-ibu itu makan combro.

“Awas ada merconnya!” kata Bu Fitri.

Sebagian ibu terpekik kala menggigit cabe. Tapi ada pula yang  senang karena sangat suka pedas.

“Enak ini combronya. Tapi pedas banget cabenya.”

“Gampang Bu. Yang gak suka pedas cabenya gak usah dimakan. Dibuang aja cabenya.” Kata Bu Ida, tetangga yang tak suka pedas.

“Nah, betul kata Bu Ida.” Tarisa mengangguk setuju.

Ternyata jualan combro tak butuh waktu lama. Hanya dalam sejam lebih semua combro yang digoreng Tarisa tandas dibeli. Para pembeli tak hanya tetangga. Orang yang kebetulan lewat juga ikut membeli combro karena harganya terjangkau. Harga combro  seribu per buah tergolong murah di Jakarta.

“Dapat berapa hasil kamu jualan combro?” Seorang perempuan bertanya ketus.

Tarisa yang sedang membereskan meja dagangannya menoleh. Ia melihat Bu Komariah, mertuanya muncul.

“Eh, ibu.” Tarisa buru-buru salim, mencium tangan mertuanya. "Ibu jam berapa dari Cirebon?”

“Tadi subuh.” Si ibu menyahut pendek. Ia menepis tangan Tarisa yang  memegang tangannya saat salim.

Tarisa tau si ibu mertua jutek padanya. Sebabnya Bu Komariah tak suka Abram menikahi Tarisa. Dulu Bu Komariah sudah punya calon istri buat Abram. Tapi  Abram tak mau dengan gadis yang dicalonkan ibunya.

Tarisa tersenyum agar ibu mertuanya tak jutek lagi. “Risa sekedar jualan kecil-kecilan, Bu.  Lumayan ini dapat duitnya, 55 ribu.”

“Oh, bagus kalo gitu. Kamu sudah bisa cari makan sendiri!”

DEEGGG!

Tarisa kaget dijutekin. Ia melihat wajah mertuanya. Tapi si mertua belagak biasa saja. Pura-pura  tak melihat  kalau Tarisa kaget mendengar omongannya.

Abram keluar dari pintu depan. Ia melihat ibunya datang.

“Lho, ibu kok malah di luar? Masuk, Bu.”

“Iya, Bu. Ibu masuk dulu. Entar Risa nyusul habis beresin dagangan.” Tarisa senyum ke Bu Komariah.

Perempuan itu tak menyahut. Ia terus masuk rumah mengikuti Abram.

Tarisa berusaha maklum. Terus membereskan dagangannya. Tampah dan  plastik pembungkus dikumpulkan. Meja dibersihkan dari kotoran dan dilapnya hingga bersih.

Tapi bagaimana cara memindahkan meja dari pinggir jalan  ke dalam rumah?

Tarisa tadi minta tolong ke Abram untuk mengeluarkan meja dagangannya dan menaruhnya ke dekat jalan. Sepertinya ia harus minta tolong Abram lagi untuk memasukkan meja ke dalam rumah.

Tarisa kembali ke rumah. Ia sudah mau masuk. Tapi langkahnya terhenti. Terdengar suara ibu mertuanya mengobrol dengan Abram. Suara mereka rada pelan.

“Lebih baik kamu ceraikan Tarisa. Dari dulu ibu sudah gak suka sama dia! Perempuan ini   hanya bisa bikin hidup kamu tambah susah!”

BERSAMBUNG……

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!