NovelToon NovelToon

SEMUA DEMI ANAKKU

Pengantin Baru.

Novel ini menceritakan tentang perjuangan seorang ibu yang berusaha keras untuk menyekolahkan anak-anaknya, walau keadaan keuangan keluarga terbilang pas-pasan dan bahkan terkadang kurang, tapi sang ibu tak berputus asa.

Sebut saja Ningsih 24 tahun seorang perempuan yang terlahir dari keluarga sederhana, yang di besarkan oleh ayahnya, karena ibu kandung Ningsih telah meninggal saat Ningsih masih kecil.

Kehidupan Kecil Ningsih sangat sederhana bermain dengan teman sebayanya, walau Ningsih kekurangan dalam segi materi tapi Ningsih bahagia dalam kehidupannya karena di kelilingin oleh orang-orang yang menyayanginya dengan tulus iklas tanpa memandang status sosial.

Ningsih memiliki dua orang Kakak laki-laki, satu di antaranya sudah menikah dan memiliki seorang putra, sedang yang satunya hanya selisi dua tahun dengannya, tidak berniat untuk menikah.

Saat usia Ningsih 19 tahun Ningsih di pinang oleh seorang pemuda bernama Herman. Herman anak keempat dari empat saudara semua kakaknya Herman telah menikah dan mempunyai Anak.

Pertemuan Herman dan Ningsih bermula saat mereka berdua sedang sama-sama bekerja di ibu kota jarak tempat kerja mereka begitu dekat. Dan pertemuan mereka di pelantarai oleh salah seorang temannya Herman.

Hubungan Herman dan Ningsih berlanjut sampai ke tahap yang paling serius, setelah keduanya saling mengenal keluarga dan orang tua masing-masing. Dan memang Dewi cinta sedang berpihak pada mereka kedua belah pihak setuju dan melangsungkan pernikahan di tempat Ningsih.

*****

Ijab kobul berjalan lancar dan Ningsih resmi menjadi istri sahnya Herman, menjadi menantu dari keluarga Herman. Sesuai adat seorang perempuan yang sudah menikah harus meninggalkan keluarganya dan ikut dengan keluarga suaminya, dan saat inilah yang paling menyiksa batin Ningsih.

Bagaimana tidak! Ningsih harus rela berpisah dengan ayahnya yang sudah 19 tahun merawatnya selalu bersama dalam suka dan duka, tak pernah sehari pun terbayang bagi Ningsih jauh dari ayahnya, karena Ningsih begitu sayang kepada ayahnya, di tambah sang ayah sedang dalam kondisi yang tidak sehat.

"Mas, bisakah kita tinggal disini saja? bersama ayahku, aku ga tega kalo harus pergi meninggalkan ayah dalam kondisi yang seperti ini ...," ujar Ningsih sedih.

"Nanti, Mas akan coba bicara sama ibu ya, semoga saja ibu mengijinkan kita buat tinggal di sini." Kata Herman.

Ningsih sangat berharap impiannya bisa tercapai untuk tinggal bersama ayahnya, tapi nihil orang tua Herman kekeh ingin Ningsih ikut bersamanya ke kampung, dengan alasan bahwa pernikahan mereka akan di rayakan di sana.

Apalah daya Ningsih, kini statusnya bukan lagi seorang putri dari ayahnya, melainkan istri dari Herman, surga seorang istri ada di bawah telapak kaki suaminya jadi istri harus nurut apa yang di kata oleh suami.

Dengan senyum yang di paksakan agar terlihat bahagia Ningsih pamit kepada ayahnya, untuk ikut bersama keluarga barunya.

Setelah pamit dengan ayahnya Ningsih bersama keluarga barunya pergi bersama. Mereka menuju ke terminal bus untuk pulang menuju rumah baru Ningsih.

Terbayang sepanjang perjalanan kehidupan rumah tangga Ningsih bersama Herman akan sangat bahagia dan cerah, Ningsih dan Herman yang menyandang status pengantin baru sungguh sangat mesra mereka selalu bergandengan tangan.

Membuat siapa saja yang melihatnya sangat iri karena kondisi terminal saat itu sangat ramai, dengan wajah yang masih malu-malu Ningsih berusaha mengimbangi Sikap Herman yang begitu agresif.

"Akh ... Mas, malu di lihat orang jangan gandengan begini." Kata Ningsih malu melepaskan tangan Herman.

"Loh ngapain mesti malu, kita kan udah resmi menjadi suami-istri, biarin aja orang lain ngeliatin." ujar Herman dengan nada meledek.

Sekitar tiga puluh menit menunggu, akhrinya bus yang menuju kampung halaman Herman datang, tanpa tunggu lama lagi, mereka segera naik ke bus.Dan bus langsung jalan setelah memastikan tidak ada penumpang lagi.

Herman dan Ningsih duduk bersebelahan, sedang ayah dan ibu Herman duduk di bangku belakang Herman. dan kakak kedua Herman yang ikut dengan mereka duduk di bangku belakang bersama penumpang lainnya.

Perjalanan dari kota tempat Ningsih tinggal menuju ke kampung tempat Herman tinggal membutuh kan waktu sekitar dua belas jam itu kalo lancar tanpa macet. kalo sedang libur lebaran mungkin bisa sampai tiga belas jam atau lebih karena kondisi jalan macet.

***

Sampainya mereka di terminal bus deket kota tempat tinggal Herman mereka masih harus naik mobil lagi untuk bener-bener sampai ke rumah Herman di desa yang sudah memasuki wilayah pegunungan.

Saat Ningsih melihat jam tangannya waktu menunjukan pukul 04.00. wib, sedang perjalanan masih jauh dan sampai sekarang belum ada yang lewat Ningsih sudah sangat lelah belum sempat istirahat saat melangsungkan ijab kobul, riasan di wajahnya pun belum di bersihkan.

Setelah menunggu sekitar dua puluh menit mobil yang lewat hanya ada mobil bak terbuka, mobil yang biasa membawa sayuran dari kampung ke kota.

Kakak pertama Herman pun menghentikan mobilnya sedang bertanya kemana arah mobil itu pulang, saat mengetahui bahwa mobilnya searah tanpa menunggu lama mereka semua naik ikut dengan mobil tersebut, karena kalo harus menunggu helep(mobil berbentuk bis tapi agak kecil), akan lama.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang karena jalan yang berkelok, dan manjat membuat sopir harus lebih hati-hati saat mengendarai salah sedikit saja mereka akan celaka.

Sepanjang perjalanan pulang Ningsih yang penakut, terus membaca doa agar selamat sampai tujuan, melihat jalanan yang memanjat di kanan kirinya jurang membuat Ningsih tak berani membuka matanya.

Udara di pegunungan yang begitu dingin membuat tubuh Ningsih mengigil kedinginan, bagaimana tidak sedari lahir Ningsih tinggal kota udara yang panas menjadi teman sehari-harinya, dan mulai detik ini Ningsih harus beradaptasi untuk tinggal di desa yang udaranya sangat dingin.

*****

Satu jam perjalanan dari terminal bus sampai ke desa tempat Herman tinggal, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Keadaan desa masih sangat sepi karena memang baru jam lima pagi lewat dua puluh menit, Herman dan keluarganya segera masuk kerumah setelah membayar ongkos mobil.

Ningsih pandangi rumah besar di hadapannya, rumah bercat warna kuning rumah ini yang akan menjadi saksi kehidupan baru Ningsih yang sudah menyandang status istri, harus bisa menjaga sifat dan prilakunya agar bisa menjaga nama baik suami dan keluarganya.

Herman masuk kedalam mengajak Ningsih istirahat di kamar karena lelah setelah seharian duduk dalam bus.

Untuk pertama kalinya Ningsih akan tidur sekamar bahkan harus tidur seranjang dengan pria lain, tak ada yang melarang karena mereka telah berstatus resmi dan sah dalam agama jadi wajar kalo mereka tidur bersama.

Hari sudah mulai pagi, tapi pengantin baru ini belum melakukan kewajiban mereka sebagai sepasang suami-istri. karena begitu nikah mereka langsung melakukan perjalan, tidak mungkin kan melakukan hubungan di dalam bus, buang pikiran kotor itu.

Herman dan Ningsih sedang di kamar berdua memadu kasih bersama meresmikan hubungan mereka dengan menyatukan cinta berdua, kewajiban seorang istri telah Ningsih lakukan setibanya di rumah mertuanya.

*****

Ini sepengal kisah awal Ningsih dan Herman semula begitu bahagia dan baik-baik saja, keluarga menyambut kedatangan Ningsih dengan senyuman senang, dan Ningsih pun bahagia dengan awal kehidupan barunya.

Tapi Ningsih tak menyadari bahwa kehidupan barunya adalah akhir dari kehidupan bahagianya, Ningsih tak menyadari senyuman yang menyambut kedatangannya adalah senyuman palsu yang akan menghancurkannya.

Satu bulan sudah usia pernikahan Ningsih, Herman sang suami yang belum memiliki pekerjaan tetep menjadi sumber masalahnya, setiap hari Herman selalu bangun siang tak mau mencari kerja.

Ningsih sering kali mengingatkan suaminya untuk segera mencari kerja, karena tidak mungkin kan mereka akan berdua terus suatu saat pasti mereka memiliki keturanan, kalo Herman terus menggangur mau di kasih makan apa coba anaknya nanti.

Memang seorang pria kalo belum menikah selalu bersikap manis pada seorang gadis, jangankan untuk membentaknya ingkar janji pun tak akan berani.

Tapi kini setelah menikah terlihat semua sifat Herman dia sering sekali membentak Ningsih di kala Ningsih mengingatkan untuk mencari kerja, dan tak jarang Ningsih di buat menanggis karena merasa kecewa dengan sifatnya, Ningsih takut kalo ia salah pilih.

****

Hari demi hati berlalu sifat Herman sedikit berubah dia sudah mulai mau berkerja dan hari ini adalah hari dimana Herman mau berangkat kerja bangunan merantau ke ibu kota.

Karena perlakuan keluarganya begitu baik saat itu membuat Ningsih tak ragu saat melepas Herman pergi untuk mencari kerja, tapi di sinilah awal topeng dari keluarganya barunya terbongkar, kepergian Herman ke ibu kota membuat Ningsih ke sepian.

Keesokan harinya Herman menelpon ke rumah mengabarkan kalo dia sudah sampai tempat kerjaan dengan selamat, dan itu membuat Ningsih senang dan lega. Dan berharap Herman betah dengan kerjaannya.

Sepanjang malam Herman dan Ningsih mengobrol lewat telpon untuk melepas rindu bahkan mereka mengobrol sampai larut malam membuat Ningsih suka bangun kesiangan.

Pagi hari awal topeng terbongkar, saat Ningsih bangun kesiangan, saat itu ia ingin ke kamar kecil Ningsih mendengar suara orang sedang menyapu di halaman belakang.

Sraaakkk ... srakkk ... srakk.

Ningsih terus menuju kamar mandi melanjutkan niatnya untuk cuci muka, saat hendak mau kembali ke dalam langkah Ningsih berhenti saat mendengar namanya di sebut-sebut, sejenak Ningsih berhenti mendengarkan percakapan itu.

"Loh Bu, ngapain masih nyapu aja! khan udah ada Ningsih yang masih muda suruh lah dia nyapu, jangan Ibu terus cape," kata kakak iparnya yang nomer dua karena rumahnya bersebelahan.

"Ga apa-apa mungkin masih cape, Ningsihnya belum bangun masih tidur." Jawab ibu mertuanya Ningsih.

"Dih males banget sih, kirain istrinya Herman, orang kota rajin, ee ... ga taunya pemales jam segini aja belum bangun!" ejek Kakak iparnya lagi.

Deg~

Tanpa sadar air mata mengalir dari mata Ningsih begitu sakit hatinya mendengar uncapan sang Kakak ipar yang begitu menyayat hatinya.

*****

BERSAMBUNG ...

Topeng yang terbongkar.

Karena tidak mau terlalu sakit Ningsih segera pergi ke kamarnya, ia menanggis di sana tidak menyangka ternyata mereka menjelek-jeleknya di belakang, pada siapa Ningsih harus mengadu? sedang Herman tak ada di rumah.

Hari demi hari telah berlalu Ningsih melupakan kejadian yang pernah ia dengar sebelumnya, Ningsih berangapan kalo ia salah denger.

Tapi dugaan Ningsih salah memang keluarga suaminya tidak suka pada Ningsih karena status kehidupannya dulu, yang terlahir dari keluarga miskin, membuat dia terus di banding-bandingkan dengan gadis lainnya.

Pada suatu hari saat Ningsih sedang duduk berbincang dengan ibu mertuanya, dengan masih sedikit perasaan canggung tapi Ningsih harus tetep beradaptasi, karena ga mungkin tinggal satu rumah tapi tidak saling berbicara.

Eh ... iya maaf lupa menjelaskan sebelumnya, kalian pasti bertanya kenapa Ningsih bisa tinggal satu rumah dengan mertuanya? jadi gini penjelasannya karena Herman anak terakhir( bontot) sedangkan Kakaknya sudah di belikan rumah sendiri oleh orang tuanya, jadi rumah terakhir ini menjadi milik Herman dan karena orang tua Herman masih hidup jadi sudah jadi kewajiban anak terakhir untuk merawatnya( tinggal bersama).

Siang hari setelah selesai masak air dan memasak lauk pauk untuk makan siang nanti, bersama dengan bapak mertuanya Ningsih yang sedang pergi mencari pakan untuk kambing. Ibu mertua Ningsih mengajak Ningsih untuk menonton tivi bersama.

"Ningsih, sini duduk nonton tivi bareng udah mateng kan lauknya?" tanya ibu mertua.

"Iya Bu, sudah mateng semua tinggal cuci piring." Jawab Ningsih sopan.

"Yaudah tar habis cuci piring sini nonton tivi bareng, istirahat biar ga cape!" ajak ibu mertuanya.

"Baik Bu," kata Ningsih lembut.

Ningsih pun segera menyelesaikan pekerjaannya cuci piring setelah selesai masak, setelah selesai mencuci piring Ningsih segera duduk bersama mertuanya sambil menonton tivi.

Mereka berbincang sangat asyik, bermula dari sang mertua yang bertanya tentang masa lalu Ningsih, tentang apa pekerjaan orang tuanya, kenapa ibunya meninggal dan sebagaiannya.

Awalnya Ningsih begitu bersemangat menceritakan semua kehidupannya dengan jujur tidak ada yang di tutup-tutupi karena Ningsih ingin memulai kehidupanya dengan kejujuran tidak dengan kepalsuan.

Senyum Ningsih terhenti saat sang mertua mulai menceritakan tentang kehidupan Herman yang katanya banyak cewe-cewe yang mengejar-ngejar Herman untuk jadi istrinya dari seorang anak ustad, anak orang kaya, sampai seorang yang katanya memiliki tanah belimpah.

"Eh ... dasar jodohnya Herman sama orang yang ga punya mau di apain lagi, Herman nya seneng, jadi langsung nikah aja ngapain nunggu lama-lama," kata ibu mertua dengan nada sedikit mengejek.

Ningsih hanya tersenyum tak bisa berkata apa-apa lagi walau hatinya menjerit menanggis, tak sampai di situ saja sang mertua terus menyombongkan harta miliknya pada Ningsih, dan membandingkan dengan orang tua Ningsih.

Perih hati Ningsih tak terima mendengar ungkapan jelek tentang keluarganya yang keluar dari mulut mertuanya, namun tak ada daya Ningsih ingin melawan ia hanya seorang diri dan juga orang baru di lingkungan keluarga suaminya.

Dan juga Ningsih harus tetep menjaga sopan santun menghormati wanita paruh baya yang sedang di hadapannya sebagai mertuanya, walaupun uncapannya begitu pedes, teringat Ningsih dengan perkataan Abangnya dulu sebelum menikah.

"Dih emang lue pikir menikah itu enak? ga tau tar lue ngerasainnya sendiri." uncap Abangnya Ningsih.

*****

Menanggis Ningsih di dalam kamar seorang diri tanpa kehadiran sang suami, Herman terpaksa pergi menerima pekerjaan ini, karena katanya dalam waktu tiga bulan lagi pernikahan Herman dan Ningsih akan di repsesiin di kampung mengundang banyak orang jadi butuh modal banyak buat biayanya.

Padahal sering kali Ningsih berbicara bahwa pernikahannya ga perlu di rayain yang penting sudah sah di mata hukum sudah cukup, tapi mertuanya selalu menjawab kalo itu sudah jadi adat jawa untuk merayakan pernikahan dengan hajatan selama tiga hari tiga malam.

Jadi Ningsih hanya menurut saja apa kata mertuanya, mau nolak juga ga bisa dan ga mungkin di denger.

Keseharian Ningsih menjelang hari perayaan pernikahannya, Ningsih hanya menjemur gabah hasil panen dari sawah mertuanya, menjemur di bawah teriknya matahari menunggu sampai kering dan setelah kering akan di selip menjadi beras.

Sedang kedua mertuanya sibuk sehari-hari di sawah mengarap lahan untuk menanam padi lagi, untuk kebutuhan sehari-hari mereka makan.

Hari demi hari omongan yang tak enak dari keluarga suaminya sering banget di dengar Ningsih membuat Ningsih semakin sakit hati, dan tidak betah lama-lama tinggal di situ.

Hingga suatu hari saat batas kesabaran Ningsih sudah mencapai puncaknya dan Ningsih tak sanggup lagi menahan rasa sakit hatinya setiap hari Ningsih hanya menanggis karena omongan yang tak sedep dari orang-orang di rumah suaminya.

****

Sudah lama Ningsih menuggu dan mencari kesempatan untuk kembali ke rumah orang tuanya di ibu kota, tapi belum menemui waktu yang tepat, sudah lama juga niat untuk pergi ini terbesit di pikiran Ningsih.

Hari ini hari dimana Ningsih memilikki kesempatan bagus, di rumah sedang tidak ada orang hanya ada Kakak iparnya di rumah sebelah, dan ayah mertuanya sedang duduk di ruang depan.

Mula-mula Ningsih merapikan bajunya seperlunya saja memasukkannya dalam tas, lalu Ningsih menaruh tasnya deket pintu dapur, setelah itu Ningsih pergi pamit ingin ke puskesmas kepada Kakak iparnya.

Setelah itu pergi menemui ayah mertuanya dan juga pamit dengan alasan yang sama seperti ke kakak iparnya pergi ke puskesmas, tanpa curiga mereka memberikan ijin ke Ningsih, sungguh kesempatan bagus bagi Ningsih.

Ningsih punya tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus untuk pergi keluar dari rumah mertuanya.

***

Sebenarnya kalo cuma karena omongan kedua mertuanya, atau hanya karena orang di rumah mungkin bisa Ningsih tahan demi menunggu suaminya pulang, tapi malam sebelumnya Ningsih merasa kecewa dengan suaminya saat itu tidak mau mendengarkan curahan hati Ningsih.

Ini yang membuat tekat Ningsih makin kuat untuk pergi meningalkan rumah dengan segera.

"Huh ... buat apa aku terus bertahan di rumah ini, kalo suamiku pun sudah tidak lagi perduli denganku, lebih baik aku pergi toh ini juga bukan tempatku." Batin Ningsih.

Sepertinya Dewi keberuntungan sedang mendukungnya jalan untuk pergi meninggalkan rumah begitu mulus tanpa ada yang mencegahnya, sampai Ningsih berhasil naik bus menuju rumah kontrakan orang tuanya.

Sepanjang jalan Ningsih masih memikirkan kejadian semalam saat dirinya berkali-kali menghubungi suaminya tapi tidak juga di angkat, ketika di SMS juga ga di bales membuat Ningsih membanting hapenya sampai hancur.

"Apa mungkin aku dan Mas, Herman tidak berjodoh! makanya dengan mudahnya hari ini aku bisa keluar dari rumah itu! karena sebelumnya aku selalu maju mundur untuk pergi," batin Ningsih melamun dalam bus.

Bus terus melaju tanpa henti sebelum sampai tujuan, karena bus telah masuk jalan tol.

*****

Sekitar jam 4 sore Ningsih baru sampai di terminal ibu kota, dari situ Ningsih masih harus naik mobil angkot dua lagi baru bisa sampai rumahnya, sekitar empat puluh lima menit Ningsih sampai gang kelurahan tempat ia tinggal dari kecil.

Rasa rindu akan kampung halamannya begitu besar air mata tak terasa mengalir di kelopak matanya, bercampur dengan rasa sedih mengingat usia pernikahannya dengan Herman baru seumur jagung tapi sudah harus berpisah rumah.

Ningsih berjalan kaki menyusuri jalan untuk sampai kontrakannya gang demi gang di masukin Ningsih, hingga akhirnya Ningsih sampai juga.

Sampainya Ningsih di rumah orang yang pertama ia temui adalah ayahnya yang selama ini ia rindukan, ayah yang merawat dan membesarkannya air mata pun mengalir Ningsih langsung memeluk ayahnya.

"Eh ... Ning, pulang sama siapa? mana suami loe! ga ikut?" tanya ayah.

"Ning, pulang sendiri Yah, suami, Ning masih sibuk kerja belum sempet dateng." Jawab Ningsih berbohong.

"Oh yaudah sini masuk istirahat dulu pasti cape kan dari perjalanan jauh." Ajak ayah mengandeng Ningsih masuk.

Malam telah begitu larut, setelah Ningsih membersihkan badannya mandi Ningsih pun merebahkan tubuhnya di kasur tempat tidurnya waktu dia kecil dulu.

Tidak langsung tidur pikiran Ningsih melayang memikirkan suaminya apakah ia sudah tahu perihal kepergiannya atau belum? Ningsih tidak bisa berhubungan dengan suaminya lagi karena hapenya sudah hancur saat di banting olehnya.

Terus melamun memikirkan keadaan suaminya, lama kelamaan karena rasa kantuk yang lelah membuat Ningsih tertidur pulas, melupakan masalah yang terjadi hari ini.

*****

BERSAMBUNG ...

Bab ini sampai sini dulu kita lanjut ke bab berikutnya yach, tapi sebelumnya tolong like👍 dan komennya jangan lupa. dan tambahkan ke faforit❤ yach.

JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN

❤Terimakasih❤*

Di Jemput Pulang.

Satu minggu sudah Ningsih tinggal di rumah kontrakan ayahnya belum ada kabar yang ia dapat dari suaminya, atau suaminya yang belum mencarinya, Ningsih pasrah kalo emang hubungannya berakhir sampai di sini, kalo tidak jodoh mau di apain lagi!

Hari demi hari Ningsih tinggal di rumah orang tuanya dia mencari uang dengan mengasuh salah seorang bayi tetangga yang baru lahir, karena sudah memiliki pengalaman kerja menjadi baby sister sebelumnya, hal seperti ini sangat mudah buat Ningsih.

Ningsih mendapat upah seratus ribu sehari dari jerih payah kerjanya menjadi pengasuh bayi, uang ini Ningsih pakai buat biaya makan bersama ayahnya dan juga untuk bayar kontrakan, sisanya di tabung untuk masa depan Ningsih nanti.

*****

Sebulan telah berlalu saat Ningsih pergi dari rumah sedangkan waktu menuju perayaan tinggal satu bulan lagi tapi belum ada kabar dari suaminya Ningsih, apa mungkin suaminya sudah tidak ingin lagi hidup bersama Ningsih.

Pikiran buruk tentang suaminya Ningsih buang jauh-jauh, Ningsih berpikir mungkin emang masih banyak kerjaan sehingga suaminya tidak bisa datang menjemputnya.

"Ning, kamu baik-baik saja kan, dengan suamimu? ga sedang bertengkar, kan?" tanya ayah.

"Engga kok, Yah, Ning sama Mas, baik- baik saja, cuma mungkin bossnya, Mas emang belum mengijinkan untuk pulang," jawab Ningsih menutupi kebenarannya.

"Oh ya bagus deh, kalo emang kamu baik-baik saja, Ayah cuma khawatir sama rumah tanggamu, Ning." Kata ayah cemas.

"Udah Ayah, ga perlu cemas dan berpikir yang engga-engga, nanti juga, Mas jemput, Ning pulang kok!" ujar Ning menyakinkan ayahnya.

Setelah merasa puas dengan jawaban yamg di lontarkan Ning ayah tersenyum puas dan berhenti bertanya, merasa lega karena mengetahui bahwa mereka baik-baik saja.

Ningsih tersenyum puas karena ayahnya percaya dengan apa yang dia bicarakan, sehingga tidak lagi banyak bertanya.

*****

Dua bulan sudah Ningsih pergi meninggalkan rumah mertuanya, hari ini Ningsih sedang tidak berangkat kerja, dia hanya memasak di rumah untuk makan siang, setelah masakan matang Ningsih duduk sambil menonton tivi di rumah.

Ningsih yang sedang asyik menikmati film faforitnya yaitu True Beauty, tiba- tiba terdengar suara ketukan pintu membuat Ningsih kaget sontak saja melompat dari tempat duduknya.

Tokk! tok! tok!

"Iya sebentar." Kata Ningsih segera membuka pintu.

Saat sampai depan pintu, dan membukannya Ningsih terkejut melihat yang datang adalah suaminya. Mau menangis tapi ia tahan hanya bisa tersenyum saja.

"Ehh ... Mas," sapa Ningsih.

"Assalamualaikum, Dek." Salam Herman.

"Waalaikumsalam, mari masuk, Mas." Ajak Ningsih sambil mencium tangan suaminya.

Herman segera masuk ke dalam, dan Ningsih pun langsung membuatkan teh manis untuk Herman, biar bagaimana pun Herman tetep suaminya yang sah.

Ningsih pun duduk di samping suaminya, ada perasaan senang bercampur kecewa kenapa baru datang mencarinya setelah dua bulan kepergiaan Ningsih.

"Kabar mu sehat, Dek?" tanya Herman membuyarkan lamunan Ningsih.

"Eh ... alhamdulilah sehat kok, Mas." Jawab Ningsih kaget.

"Oh syukur deh kalo sehat mah, oh iya ayah kemana kok ga ada?" tanya Herman.

"Anu, ayah lagi keluar jalan- jalan biasa lemesin kakinya biar sembuh," jawab Ningsih lagi.

Herman mencium kening Ningsih karena sudah tiga bulan lebih tidak saling bertemu.

"Mas, sudah makan belum? kalo belum biar saya ambilin?" tanya Ningsih menawarkan.

"Mas, belum makan tapi tar aja masih cape!" seru Herman merebahkan kepalanya di kaki Ningsih.

Sambil memandangi Ningsih dengan penuh kerinduan, Ningsih hanya tersenyum malu melihatnya. Ada perasaan bahagia karena bisa melihat suaminya datang menemuinya itu berarti hubungan mereka masih berstatus suami-istri.

Sore hari ayahnya Ningsih baru kembali dari luar habis olahraga, ayah Ningsih menderita sakit struk sudah lama sekali jadi untuk melemaskan otot-otot sering melakukan gerakan, walau jalannya pake tongkat.

"Eh ... ada Herman, kapan dateng?" tanya ayah.

"Ayah, sudah pulang? saya baru sampai belum lama kok," jawab Herman mencium tangan ayah mertuanya.

"Oh, baru sampai gimana kabarnya? kerjaannya sudah selesai emang?" tanya ayah lagi.

"Sudah kok, Yah, makanya ini saya baru bisa pulang mau jemput Ningsih, mau di ajak pulang ke kampung soalnya mau di rayain pernikahannya." Kata Herman menjelaskan.

"Ya sudah yang penting kalian, baik- baik saja Ayah, pikir kalian bertengkar," Ayah khawatir dengan hubungan rumah tangga putri semata wayangnya.

"Oh enggak kok, Yah, kami baik-baik saja cuma kemarin Ningsih kangen banget katanya sama Ayah jadi Ningsih pulang duluan, sedangkan saya kerja." Kata Herman menjelaskan.

Ayah Ningsih hanya menganguk tanda mengerti dan tidak banyak bertanya lagi, lega hatinya mengetahui bahwa hubungan rumah tangga putrinya baik-baik saja.

Hari sudah mulai malam Herman dan Ningsih segera istirahat tidur di kamar Ningsih, mereka saling melepas rindu setelah tiga bulan tidak bertemu karena Herman sibuk bekerja.

Malam itu begitu indah sepasang suami-istri sedang saling memadu kasih, melepas kerinduan yang lama terpendam akhirnya tercurahkan semua di malam pertemuan.

*****

Keesokan harinya Ningsih bangun pagi ia segera mandi dan langsung melakukan solat subuh masih ada waktu belum terlambat.

Habis solat Ningsih segera membuat sarapan untuk keluarganya, di tambah sekarang ada suaminya jadi harus cepet masak sebelum semua bangun.

Sekitar pukul tujuh semua penghuni rumah sudah pada bangun, setelah mandi semua langsung sarapan bersama di depan tivi, Ningsih menyiapkan nasi buat suaminya dulu baru untuk ayahnya, dan kemudian untuknya. Mereka makan dengan lahapnya sarapan hari ini yaitu telor dadar dan goreng tempe, juga sambel terasi kesukaan Herman.

Setelah sarapan Ningsih merapikan semua piring kotor, dan mencucinya lalu meletakannya kembali di rak piring, setelah itu Ningsih beberes rumah belum nyapu dan ngepel setelah semua rapi, Ningsih pergi ke rumah bu Helen tempat ia mengasuh bayi. Ningsih ingin berpamitan dan minta maaf karena tidak bisa mengasuh bayinya lagi, Ningsih harus pulang kampung ikut suaminya.

Bu Helen mengerti keadaan Ningsih dan mengijininya, dan memberikan sedikit uang untuk di perjalanan pulang sebagai tanda terima kasihnya. Ningsih lalu kembali kerumahnya untuk berkemas karena nanti sore ia dan suaminya berangkat.

Waktu berlalu cepat sekali sudah jam dua belas siang Ningsih menyiapkan makan siang, semua keluarga makan bersama.

Saat sore hari jam 15.30. Wib, Ningsih dan Herman berpamitan untuk segera berangkat, Ningsih sempat membujuk ayahnya untuk ikut bersamanya tapi ayahnya selalu menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan mereka, Ningsih tidak ingin memaksa lagi akhirnya mereka hanya pulang kampung berdua.

Ningsih dan Herman pergi ke terminal bus dan langsung memesan tiket tujuan jawa, dan sekitar pukul 19.00 Wib, bis berangkat.

Sampai jawa sekitar pukul 05.00 Wib, masih pagi Ningsih segera masuk kamar bersama Herman, sekali lagi Ningsih ingin mencoba keberuntungannya di rumah ini.

*****

Hari-hari Ningsih sibuk di rumah membantu mertuanya untuk menyiapkan pesta perkawinannya yang sudah lewat lima bulan yang lalu. Tapi baru ingin di rayakan karena modalnya baru terkumpul, semua sibuk tak ada orang yang nganggur.

Saat hari H, Ningsih dan Herman di rias seperti pengantin lagi suruh jajar di bangku pengantin, banyak tamu undangan yang datang memberikan selamat pada mereka berdua, pesta berlangsung selama tiga hari tiga malam sungguh hari yang sangat melelahkan, dan pesta berjalan dengan lancar.

Herman tidak lagi pergi merantau dia hanya dirumah saja ingin usaha sendiri, takut istrinya pergi lagi katanya, setelah kejadian itu Herman tidak ingin meninggalkan Ningsih di rumah sendirian tidak percaya pada orang rumah, untung Ningsih punya simpenan setelah uang yang di dapat Herman saat merantau buat perayaan habis, Ningsih memberikan uang simpanannya buat modal usaha.

Herman memutuskan ingin berjualan bakso ayam, sedikit ilmu yang dia dapat dari bekerja di ibu kota dulu.

Hari demi hari berlalu usaha Herman lancar walau terkadang masih pasang surut, karena masih baru tapi Herman tidak putus asa, terus berusaha demi hidup yang lebih baik lagi bersama istrinya.

Dua bulan telah berlalu usaha Herman masih pasang surut, sedang Ningsih harus menghadapi omongan saat suaminya ga ada di rumah, satu omongan yang membuat Ningsih menanggis sakit, perih bagai di sayat sembilu dan lukanya di siram air garam, bayangkan betapa perihnya sakit yang di rasakan.

"Ningsih kok sudah tujuh bulan kamu menikah, belum hamil juga ya! apa jangan- jangan kamu mandul lagi?" tanya mertuanya.

Ningsih tidak menjawab pertanyaan mertuanya tapi dia pergi ambil air wudhu dan malakukan solat sunah dia berdoa pada Allah. Memohon di berikan petujuk dan kesabaran atas uncapan mertuanya yang sangat menyayat hati itu.

Hari demi hari Ningsih terus berdoa memohon tanpa henti kepada Allah, hingga pada suatu hari mamasuki bulan Ramadhan .

Yang Maha Kuasa pun seperti berpihak pada Ningsih tak tega melihat gadis malang ini dalam penderitaan terus, tepat di bulan Ramadhan di hari pertama Ningsih bermimpi bahwa dia hamil, Ningsih terbangun kaget tak percaya dengan mimpinya kebetulan hari ini harus membuat hidangan buat sahur Ningsih langsung bangun dan mencoba untuk melakukan test kehamilan.

Ningsih pergi ke kamar mandi dan melakukan test dari air pi**s pertama di pagi hari, karena hasilnya akan sangat akurat, setelah itu selama lima menit Ningsih menunggu dengan penuh harapan dan kekhawatiran dengan hasilnya.

lima menit kemudian Ningsih membuka hasil testnya dan hasilnya membuat Ningsih loncat kegirangan hasilnya positif Ningsih hamil, tanpa henti dia menguncap sukur pada Allah karena telah mengabulkan doanya dan membuktikan bahwa ia sehat dan subur.

Setelah kabar kehamilan Ningsih terdengar di keluarganya, bukannya kebahagiaan yang Ningsih dapat tapi malah penderitaan dari omongan Kakak iparnya yang selalu menyakitkan di belakang, sampai Ningsih jatuh sakit kakinya tidak bisa buat jalan hampir dua bulan lamanya ia hanya di kamar saja, wajah lusuh rambut berantakan, sudah jadi pemandangan setiap hari.

Saat usia kandungan Ningsih masuk bulan ke empat dan Ningsih sudah sehat, punya tenaga untuk berjalan, lagi! Ningsih pergi dari rumah suaminya kali ini karena kecewa dengan omongan Kakak iparnya. seminggu Ningsih di ibu kota Herman datang lagi menjemput Ningsih, kembali kerumah itu lagi.

Saat persalinan, Ningsih melahirkan bayi pertamanya yang di beri nama Nadia Sabila, usaha yang di rintis Herman mengalamin kurang modal akhirnya terpaksa Herman merantau saat usia bayinya dua bulan, saat kepergian Herman kembali Ningsih sendirian dan harus mengalami penderitaan lagi, terus menerus tanpa henti kali ini omongan fitnah dari Kakak iparnya yang bilang kalo dirinya ingin merebut harta keluarga.

Tak terima dengan tuduhan itu, untuk yang ketiga kalinya Ningsih pergi dari rumah kembali ke ibu kota, saat usia putrinya 3 bulan, saat sampai di ibu kota Ningsih kaget, terkejut, dan kecewa dia mendengar kabar duka tentang meninggalnya ayah tercintanya, lemas tubuh Ningsih marah dia pada dirinya sendiri di saat terakhir ayahnya dia tidak di sampingnya.

Sifat Herman saat itu masih belum berubah, dia masih sering seperti anak kecil egois tidak bisa membantu istrinya di rumah, saat kepergian Ningsih yang ke tiga kalinya, Herman baru sebulan kerja, dengan bantuan Uwanya Ningsih, dia mengubah watak suaminya dari yang cuek jadi peduli.

Setelah di jemput suami untuk ketiga kalinya. Ningsih kembali ke rumah itu lagi, Herman dapet uang upah gaji selama satu bulan dia pakai buat modal dagang lagi

Singkat cerita jualan Herman menemui jalan terang usahanya lancar, dan sifat Herman juga berubah dia lebih perhatian dengan istri dan anaknya.

4 tahun kemudian Ningsih telah hamil anak keduanya, kini usia Ningsih sudah 24 tahun. dan sedang menunggu kelahiran bayi keduanya.

BERSAMBUNG ...

*****

Bab ini sampai ini dulu yach kita lanjut bab berikunya. tapi sebelumnya tolong berikan

like👍 dan komennya buat kelanjutan cerita

Terima kasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!