Seorang pemuda dengan postur tinggi dan tubuh proporsional tengah berdiri di depan sebuah cermin besar sebuah walk in closed di kamarnya. Tangannya bergerak perlahan memasang kancing jas berwarna navy yang sedang ia kenakan. Senyum yang terkembang di bibir, kian membuat wajah tampan itu semakin terlihat menawan.
Sambil bersiul, pria bernama Dimas itu menata surai hitamnya sebagai bagian terakhir merias diri. Ia terlihat begitu senang hari ini. Wajahnya tampak berseri-seri sejak bangun tadi.
Dimas meraih sebuah kotak cincin berwarna merah yang terletak di atas nakas. "Tunggu aku Naura sayang. Aku akan melamarmu hari ini," ucapnya pelan usai mengecup kotak cincin itu disertai senyuman.
Dimas pun lantas bergegas keluar dari kamar setelah memastikan penampilannya hari ini sudah sempurna. Ia berlari menuruni tangga dengan ekspresi penuh bahagia. Tak lupa pula sebuah senyuman yang sangat manis ia persembahkan pada Bi Eli yang berdiri di bawah tangga.
Wanita paruh baya dengan celemek polos menempel di badan itu tersenyum kecut dengan kening yang berkerut melihat tingkah polah majikannya yang tak terlihat seperti biasa. Pandangannya mengikuti Dimas yang menuruni tangga hingga berhenti di depannya.
"Sepagi ini Mas Dimas sudah rapi aja, mau kemana sih Mas?" wanita yang mencepol rambutnya asal itu akhirnya bertanya dengan wajah penasaran. Tak biasanya anak majikannya itu sudah terlihat rapi di pagi buta seperti ini.
Tersenyum, Dimas lantas merogoh sesuatu di balik jasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Aku mau lamar Naura hari ini, Bi," jawabnya sambil menunjukkan kotak cincin di tangannya. "Cantik nggak?" tanyanya kemudian meminta pendapat usai membuka penutupnya.
Eli mendekatkan wajahnya ke arah kotak cincin itu. Sesaat kemudian wanita berbadan ramping itu tersenyum sangat manis sambil mengangkat pandangannya menatap Dimas. "Cantik Mas. Cantik banget," balasnya begitu riang.
"So pasti dong Bi, ini pilihan aku sendiri ...." Dimas tersenyum bangga sambil mengedipkan sebelah matanya. Tangannya lantas bergerak menutup kotak cincin itu sebelum kemudian menyimpannya kembali.
"Tapi Mas, kok sepagi ini? Apa Mbak Naura sudah bangun?" Eli pada akhirnya memberanikan diri untuk bertanya setelah berpikir beberapa saat. Dan guratan yang tercetak di wajah nyaris keriput itu menunjukkan sejejak keraguan.
Mengerutkan kening, sesaat kemudian tawa Dimas meledak. "Bibi ,,, Bibi. Masa iya jam segini Naura belum bangun sih. Dia itu wanita yang disiplin. Dia selalu rutin bangun pagi. Lagi pula aku mampir ke toko bunga dulu sebelum ke rumah dia. Aku pikir milih bunga itu cukup menyita waktu. Jadi kuputuskan untuk berangkat lebih awal."
"Pakai bawa bunga segala Mas? Ih romantis banget."
"Iya dong. Malah aku berencana menemaninya sepanjang hari ini," balas Dimas sambil bersedekap dada dengan gaya keren sambil memainkan alisnya naik turun. "Udah ah, Bi. Aku mau cepet berangkat karena takut telat." Dimas mencondongkan tubuhnya ke arah Eli kemudian berucap setengah berbisik. "Doakan aku, ya."
Eli menyunggingkan senyum sambil mengacungkan jempolnya. "Beres, Mas. Bibi selalu mendoakan yang terbaik untuk Mas Dimas."
"Makasih Bi. Bi Eli memang daebak, deh," ucap Dimas sambil mengacungkan dua jempol tangannya, lalu berlalu pergi meninggalkan sang asisten rumah tangga dengan penuh semangat.
Sementara Eli masih berdiri di tempatnya. Mengekori langkah sang majikan melalui pandangan sambil tersenyum senang. Karena baginya, kebahagiaan Dimas adalah kebahagiaannya juga. Sebab, setelah sekian lama merawat Dimas dari ia kecil hingga dewasa kini, membuatnya merasa Dimas itu seakan putranya sendiri.
***
Sebuah mobil sport berwarna biru tampak melaju membelah keramaian jalan ibu kota dengan kecepatan sedang. Setelah beberapa lama menempuh perjalanan akhirnya berbelok dan berhenti di pelataran sebuah rumah mewah yang terletak di pinggiran kota.
Pintu di bagian depan yang terbuka menampakkan Dimas yang tengah keluar dari sana. Tangannya memegangi sebuah buket cantik dari bunga mawar merah yang masih segar dan dihias begitu cantik.
"Tunggu aku, Sayang. Kau pasti terkejut melihat kedatanganku. Aku sengaja berbohong kepadamu pergi ke Singapura demi untuk memberikan kejutan ini," gumam Dimas selagi melangkah mendekati rumah.
"Eh tunggu." Dimas menghentikan tangannya yang sudah akan menekan tombol bel. Sambil mengepalkan tangannya ia pun berpikir. "Bukankah ini kejutan? Seharusnya di hari spesial ini, caraku datang harus spesial juga dong." Dimas tersenyum sambil menjentikkan jarinya. "Baik. Aku akan masuk dengan cara yang berbeda," gumamnya sambil tertawa geli saat membayangkan hal yang akan dia lakukan.
Tanpa pikir panjang Dimas langsung melangkah ke samping rumah. Dengan mengendap-ngendap ia melewati samping rumah menuju area belakang. Sebagai kekasih dari pemilik rumah, ia tentu hapal setiap setiap jengkal bangunannya sebab tak terhitung lagi berapa kali ia datang ke sana.
Area belakang rumah adalah tempat inti sang pemilik rumah melakukan aktivitas di pagi hari. Jadi ia bisa pastikan jika pintu belakang tidak dalam keadaan terkunci.
Dimas tersenyum saat mendapati sang pujaan hati tengah berdiri di sisi pantry dengan pakaian tidur yang mini hingga memperlihatkan dengan jelas sepasang kaki jenjangnya yang indah. Rambut pirang sebahunya yang disisir rapi dibiarkan tergerai bebas, jatuh dan membingkai wajah cantiknya saat sedang menunduk. Sementara jemari lentiknya tampak menari indah kala sedang mengaduk kopi panas dalam cangkir.
Ruangan yang didominasi kaca tebal transparan membuat Dimas bisa melihat dengan jelas seluruh aktifitas kekasihnya yang berada di dalam.
Eh tunggu. Kok cangkirnya dua? Bukankah Papa Mamanya sedang pergi ke luar kota? Lalu untuk siapa satu cangkir kopi yang lainnya? Dimas yang sudah hampir memutar pegangan pintu mendadak mengurungkan niatnya.
Alisnya tampak menukik tajam tatkala mengawasi gadisnya dari tempat ia berdiri. Terlebih saat sesosok pria yang bertelanjang dada tampak muncul dengan rambut setengah basah. Lantas dengan begitu agresifnya memeluk sang gadis dari belakang. Bahkan Naura tampak tersenyum senang, lantas mendongak dan menghadiahi satu kecupan lembut di pipi sang pria.
Terang saja hal itu membuat Dimas murka bukan kepalang. Melihat bahasa tubuh keduanya yang tampak begitu mesra sudah bisa dipastikan jika itu bukanlah hubungan yang biasa. Lantas selama ini hubungan mereka dia anggap apa!
Seketika wajah Dimas tampak merah padam dengan rahang mengetat penuh kemarahan. Tangannya meremas buket bunga yang ia genggam. Ia menghentakkan pintu kaca itu dengan keras hingga menimbulkan suara, sebelum kemudian berbalik badan dan meninggalkan tempat itu dengan tergesa.
Tak ia hiraukan lagi suara Naura yang berteriak memanggil namanya dan memberikan penjelasan. Sudah cukup ia tahu kebusukan wanita cantik yang selama ini dicintainya.
Dimas membawa mobilnya pergi dengan kecepatan tinggi. Tanpa arah tujuan dan pikiran yang tenang, ia mengendarainya tanpa mengenakan sabuk pengaman.
Tak ada lagi kebahagiaan. Semua telah berubah menjadi luka dan ribuan rasa kecewa. Niat untuk melamar kini telah sirna, berganti dengan keinginan kuat untuk lenyap dari dunia selamanya.
Bersamaan dengan itu, Dimas yang sedang tidak fokus berkendara tak menyangka jika mendadak ada seorang penyeberang jalan tiba-tiba melintas begitu saja di depannya.
Kepanikan pun tak terelakkan. Tak ingin sesuatu yang buruk terjadi, ia segera membanting setir tanpa pikir panjang lagi. Meski dalam keadaan marah, tapi naluri kewarasannya masih bekerja dengan baik hingga membuatnya tetap sadar. Ia memang ingin mati, tapi tak sedikitpun berniat untuk mencelakai seseorang untuk mengantarkan nyawanya.
Karena tingginya kecepatan mobil yang dikendarainya membuat Dimas tak mampu mengendalikan. Mobil itu tampak oleng sebelum kemudian menabrak pembatas jalan.
Tak berhenti sampai di situ, sport car berwarna biru itu tetap meluncur bebas dan bahkan melayang ke udara. Posisi yang tak sempurna membuat pendaratannya pun terjadi dengan tidak baik. Mobil itu terjun bebas dengan posisi yang menukik, hingga bagian depan yang terlebih dulu membentur jalan.
Suara raungan mesin terdengar semakin nyaring saat mobil itu berputar-putar di jalan. Gesekan antara body mobil dengan jalan aspal pun menjadi pelengkap kejadian mengerikan yang dialami pria nahas itu, hingga pada akhirnya mobil yang sudah tak berbentuk itu berhenti dengan posisi yang terbalik.
Besambung
Pukul tiga dini hari Amara terbangun dari tidurnya. Sembari mengerjapkan mata, ia bangkit dari baring, lantas menurunkan kaki dan duduk di bibir ranjang untuk sejenak.
Rasa kantuk masih menguasainya dini hari ini, terlebih dengan suhu kamar yang sangat dingin. Jemari lentiknya bergerak membungkam mulut yang terbuka lebar saat menguap. Berusaha melawan kantuk dan malas, ia kemudian bangkit dan berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidurnya untuk mengambil air wudhu guna melakukan sholat tahajjud seperti biasanya.
Di sepertiga malam, Amara bersimpuh dan sujud kepada-Nya dengan khusyuk untuk melaksanakan sholat tahajjud. Tak lupa pula sebuah doa ia panjatkan untuk kedua orang tuanya yang telah tiada.
Kerinduan yang amat dalam membuatnya berdoa dengan berurai air mata. Itulah yang selama ini membuatnya betah berlama-lama terpekur di atas sajadah dengan balutan mukena putih nan hangat.
Menyeka air mata di pipinya, Amara lantas meraih foto almarhum kedua orang tuanya yang terletak di nakas untuk kemudian dipeluknya dengan erat.
Ayah, Ibu. Semoga kalian berdua bahagia di surga ya, Amara janji akan selalu kirim doa untuk kalian, batinnya sembari tersenyum.
Melepas dekapannya, Amara memandangi sambil tangannya bergerak meraba gambar dua wajah manusia yang tengah tersenyum sangat manis. Lagi riak-riak air tampak melapisi netra beningnya, hingga ia kembali terisak lantas mengecup gambar yang terhalang kaca bening itu agak lama sebelum kemudian kembali memeluknya dengan erat.
Kelopak dengan bulu mata panjang dan lentik itu kembali terpejam, membayangkan kehangatan pelukan kedua orang tuanya ketika ia kecil dulu.
"Uh... Ah...!" Terdengar suara erangan yang berasal dari kamar sebelah diiringi dengan decitan suara kasur yang terdengar ditekan-tekan. Suara berisik yang terdengar sensual itu telah mengusik lamunan Amara dan memaksa gadis itu melirik tembok pembatas kamarnya dengan kamar sebelah.
Amara menyeka air mata yang tersisa di pipi dengan buku-buku jemarinya. Ia mendengus kesal. Bayangan indah tentang orang tuanya harus terkoyak karena suara tak mengenakkan itu.
Kenapa suara ini muncul di saat begini si? Pas lagi seru-seru nya nangis lagi. Pengantin baru ya pengantin baru. Tapi lihat kondisi dong! Dunia bukan hanya milik kalian berdua saja, kan?! Begitu juga rumah dinas ini! Amara menggumam kesal dalam hati.
Amara yang seorang perawat disebuah rumah sakit besar di ibu kota itu tinggal dan menempati satu diantara begitu banyak rumah dinas yang sengaja di bangun tak jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja.
Di rumah yang terdiri dari dua kamar itu ia tempati bersama perawat seniornya yang bernama Diana. Diana sendiri adalah pengantin baru.
Karena jarak yang jauh dengan tempat kerja sang suami, membuat mereka berpisah rumah dan bertemu seminggu sekali atau pun saat hari libur.
Namun karena ini adalah hari ulang tahunnya, sang suami pun datang untuk memberi sebuah kejutan sekaligus untuk menginap semalam di tempat sang istri.
Amara melepas mukena yang masih melekat di tubuhnya sebelum kemudian melipatnya dengan rapi. Ia bangkit dan melangkah menuju lemari pakaian untuk menyimpan mukenanya.
Gadis berusia dua puluh dua tahun itu membaringkan tubuhnya di kasur dengan sedikit kesal. Dirinya yang masih perawan dan suci harus mendengarkan suara mengerikan seperti ini.
Seolah tak menghiraukan keadaan sekitar, suara itu justru semakin keras terdengar hingga membuat Amara harus menutup telinganya dengan bantal. Ia begitu tak sabar menanti datangnya pagi untuk membuang rasa malu ini.
Eh, mereka yang berbuat kenapa malah Amara yang harus malu ya?
Walau sudah berusaha, namun Amara tak dapat memejamkan kembali kedua matanya. Ia hanya bisa bergulang-guling di kasur dengan perasaan dan hati yang gelisah.
Amara menggerakkan tangannya untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di nakas. Jam masih menunjukkan pukul empat dini hari, tapi mengapa hawanya terasa sepanas ini. Bahkan malam ini waktu yang bergulir terasa sangat lama hanya untuk menyambut mata hari tiba.
Padahal sudah belasan tahun orang tuanya pergi meninggalkan, tapi seperti baru kemarin saja saat Ayah dan Ibunya berpamitan untuk pergi ke luar kota.
Mereka mengecup puncak kepala Amara agak lama dari biasanya. Hingga wajah keduanya tak terlihat lagi saat mobil yang membawa kedua orang tuanya melaju meninggalkan rumah.
Amara kecil masih setia melambaikan tangannya hingga mobil menghilang di ujung jalan. Senyum manis gadis mungil itu memudar seiring lenyapnya bayangan mobil itu dari pandangan. Perlahan Amara menurunkan tangan yang terangkat lalu meremas ujung bajunya kuat-kuat.
Entah mengapa hari itu ia merasa begitu berat melepas kepergian orang tuanya. Hanya rasa tidak rela, sebab untuk anak yang masih sekecil Amara tentu belum mengerti tentang sebuah firasat buruk.
Seperti halnya dengan hari itu, Amara tak pernah menyangka jika saat itu adalah lambaian tangan terakhirnya pada sang Ayah Bunda. Bahkan kecupan serta pelukan terakhir mereka masih Amara rasakan kehangatannya sampai detik ini.
Nenek membimbing Amara kecil untuk masuk kedalam rumah. Tangan renta itu menggenggam hangat jemari kecil Amara menuju ruang makan. Lalu membantu gadis berumur lima tahun itu untuk duduk di sebuah kursi kayu.
"Amara mau makan pakai apa sayang?" tanya nenek sembari tersenyum saat akan mengambilkan makanan untuk cucu perempuannya.
"Pakai ayam goreng masakan ibu, nek," jawab Amara sembari menunjuk piring berisi beberapa potong ayam goreng kesukaannya. Ibu Amara memang selalu menyempatkan waktu untuk menyiapkan makanan untuk sang putri sebelum ia pergi.
"Pakai sayur?" Tanya sang nenek lagi.
"Tidak nek. Ayam saja cukup untuk Amara." Amara menerima piring dari tangan sang nenek dengan senang hati.
Duduk di kursi sebelah cucu, sang nenek tersenyum memandangi wajah tanpa dosa yang masih sangat polos itu begitu lahap menyantap makanannya. Mata bulat dan bening itu tampak berbinar bahagia menyantap hidangan yang telah di siapkan sang ibu untuknya. Namun tak ada yang tahu jika itu adalah hidangan terakhir kali yang Ibunya siapkan untuk Amara.
Entah baru beberapa suapan hidangan itu masuk ke dalam perut Amara, tapi mereka dikejutkan dengan suara ketukan keras yang bersumber dari pintu luar.
"Sebentar ya sayang, nenek buka pintunya dulu." Setelah pamit, wanita paruh baya itu kemudian bangkit dan tergesa berjalan menuju pintu.
Amara masih di tempat dan melanjutkan makan, sambil samar-samar mendengarkan percakapan neneknya yang sedang berbincang dengan seseorang di luar sana.
Amara kecil begitu terkejut saat melihat sang nenek yang tiba-tiba histeris dan menangis. Menjatuhkan sendok di tangannya, ia segera berlari menyongsong sang nenek yang telah terduduk di lantai dengan rasa panik.
Berjongkok di sisi sang nenek yang terduduk lemas, tangan mungil Amara memenangi lengan renta nenek, sementara mata beningnya menatap wanita paruh baya itu dengan wajah kebingungan. "Nenek kenapa menangis?" tanyanya seraya mengguncang lengan yang ia pegang.
Bukannya menjawab, nenek yang sudah berurai air mata justru memeluk tubuh Amara dengan erat. Tangisnya semakin meledak kala memikirkan nasip gadis mungil yang tak tahu apa-apa itu.
"Ya Allah, kenapa ujian mu begitu berat untuk kami ya Allah!" seruan di tengah tangis sang nenek terdengar begitu memilukan.
Walau Amara tak tahu apa-apa, tapi ia bisa merasakan kesedihan yang dialami neneknya begitu mendalam. Perasan sedih itu terasa begitu menyesakkan, hingga mau tak mau hal itu mendorong air matanya untuk keluar.
Hari - hari yang ia lalui dengan kebahagiaan seolah tak memberinya kesempatan untuk mengerti akan kesedihan dan airmata. Karena Amara lahir dan tumbuh dikelilingi dengan cinta dan kasih sayang dari orang-orang sekitar. Sehingga gadis itu melewati hari-harinya dengan suka cita.
Namun saat melihat kedua orang tuanya terbujur kaku, dan dimasukkan kedalam satu liang lahat sebagai pembaringan terakhir mereka, Amara merasa seperti seseorang mencabik-cabik sesuatu di dalam dadanya hingga mengakibatkan rasa sakit yang tak kasat mata.
Gadis itu berteriak histeris, tak rela saat orang-orang menimbun tubuh kedua orang tuanya dengan tanah. Ia menangis sejadi-jadinya. Meronta-ronta sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari pelukan para kerabat yang menahan tubuh mungilnya dengan deraian air mata. Berharap bisa menghentikan orang-orang jahat dan menolong orang tuanya dari lubang dalam itu.
"Kenapa kalian menimbun Ayah dan Ibuku! Bagaimana jika mereka tidak bisa bernapas! Bagaimana cara mereka bangun nanti jika tertimbun seperti ini! Bangunkan Ayah Ibuku lagi, aku mohon!" teriakan serta tangisan pilu Amara melengking memekakkan telinga, mewarnai pemakaman kedua orang tuanya.
Amara semakin kecewa dan murka saat tak ada yang menghiraukan perkataannya. Bahkan sang nenek yang selama ini selalu menyayangi dan memberi apa yang ia minta, kini seolah mengabaikan keinginannya. Malahan membiarkan orang-orang itu mengubur orang tuanta tanpa perasaan.
"Ibu, Mara ikut Ibu! Ayah, jangan tinggalkan Mara. Mara ikut siapa! Nenek bahkan tidak peduli pada Amara, Bu ...!" tangis pilu Amara kecil pecah saat tubuh kedua orang tuanya kini benar - benar telah tertutup dengan tanah makam.
Membuat orang yang melihatnya tak kuasa menahan air mata kepedihan menyaksikan gadis kecil harus menjadi yatim piatu dalam waktu yang sekejap saat nyawa kedua orang tuanya terenggut dalam waktu yang bersamaan.
Ini tentu akan menorehkan luka menganga seumur hidupnya. Kasih sayang orang tua yang terenggut paksa dalam usianya yang masih kanak-kanak.
Umur memang rahasia tuhan. Manusia tak ada yang tahu walau mereka telah melakukan perjanjian terlebih dulu.
Suara adzan subuh yang berkumandang membuyarkan lamunan Amara seketika. Ia menyeka sisa air mata di pipinya sembari bangkit dari tempat berbaringnya.
Ia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu yang kemudian ia lanjutkan dengan sholat subuh. Karena pada saat bersujudlah ia merasa dekat dengan sang pencipta dan dengan kedua orang tuanya yang telah lebih dulu berada di surga.
Bersambung
Amara berdiri sembari menatap dirinya sendiri melalui pantulan cermin pada pintu lemari pakaian di kamarnya.
Ia sudah siap dengan pakaian dinas lengkap dengan jilbab. Diraihnya ponsel serta tas yang berada di nakas. Tersenyum mantap, Amarapun mengayunkan langkah keluar dari kamar.
Saat menutup pintu kamar, dilihatnya Diana tengah duduk di ruang makan bersama sang suami.
Melihat Amara muncul, Diana yang semula sedang mengobrol dengan suaminya--yang seorang polisi--itu langsung memanggil. "Mara."
Karena terkejut, Amara yang tengah mengendap-endap hendak keluar itu seketika menghentikan langkah. Aduh, ketahuan, keluhnya dalam hati sambil meringis dan menggigit bibir bawah. Sontak ia berbalik badan dan menyunggingkan senyum canggung pada pasangan suami istri itu.
"Sarapan bareng yuk?" ajak Diana kemudian.
"Iya Mbak, makasih. Tapi ini, aku lagi buru-buru banget. Soalnya--"
"Halah alasan," potong Diana.
Langsung diam, Amarapun segera menurunkan tangannya yang sudah terangkat dan menunjuk ke arah luar.
"Sepagi ini buru-buru mau kemana, heumm?" tanya Diana dengan mata menyipit seolah sedang menyelidik.
"Aku mau ke mini market dulu mbak, ada yang mau dibeli," jelas Amara kemudian.
"Hemmm?" Diana menautkan alisnya, sementara Amara langsung mengangguk cepat untuk meyakinkan.
"Padahal aku sudah memasak nasi goreng buat kamu, loh. Tuh," tutur Diana sambil melirik pada sepiring nasi goreng dengan asap yang masih mengepul. Nasi goreng itu tersaji di meja yang biasa Amara tempati, seolah memang sengaja dibuat khusus untuk dia.
Amara memasang wajah lemas. "Tapi Mbak--"
"Kalau kamu buru-buru pergi, lalu siapa yang makan nasi gorengnya? Kan, sayang ...," tutur Diana sambil menyebik dan memasang mimik sedih.
Plis, jangan pasang wajah sedih gitu, dong. Jangan karena aku nggak tegaan, malah bikin Mbak jadi tegaan gitu sama aku! Tapi kalau di tinggal pergi sayang juga sih. Nasi goreng buatan Mbak Diana, kan enak banget. Bagus juga buat kesehatan dompet aku yang sedang sekarat. Lumayan kan, bisa ngirit karena nggak perlu beli sarapan, pagi ini, he-he, batin Amara.
"Mar, lama amat mikirnya?"
Panggilan Diana mengejutkan Amara. Gadis berjilbab itu tersenyum kikuk. Sesaat kemudian ia menggeser pandangan dan menatap suami Diana yang rupanya tengah tersenyum ramah ke arahnya. "Hehe, Mas," sapanya sambil mengangguk sopan.
"Ayo dong. Rezeki nggak boleh ditolak, lho," goda Diana sambil mengedipkan sebelah mata.
"Kamu malu sama aku? Apa aku perlu pergi dulu?" sahut suami Diana dengan nada tak enak hati.
"Ah enggak kok, enggak!" Amara menyangkal cepat sambil mengibaskan tangannya. Kini justru dirinya yang merasa tidak enak hati.
"Terus?"
"He-he, aku cuma nggak mau ganggu kalian," jelas Amara sambil menggigit bibirnya.
"Ganggu apaan! Dah sini buruan!" tutur Diana kesal seolah tak ingin mendengar penolakan.
Memaksakan senyum, mau tak mau Amara menyanggupi. Gadis dengan pakaian dinas serba putih itu kemudian melangkah perlahan mendekati meja makan dan duduk mengambil posisi di seberang Diana.
"Nah, gitu dong. Kan aku jadi senang," ucap Diana dengan bibir tersenyum lebar. "Nih minumannya," imbuhnya sambil mengangsur gelas berisi jus jeruk yang baru saja ia tuang ke depan Amara. Tak lupa pula mengambilkan sendok serta garpu pada gadis yang baru seminggu dikenalnya.
"Terimakasih Mbak, Mas." Amara mengangguk sopan. Sedetik kemudian ia menatap Diana dengan bibir menyebik. "Maaf Mbak, aku jadi merepotkan."
Diana justru tertawa renyah menanggapi sikap tak enak hati Amara. "Merepotkan apa sih, enggak kok. Kita malah senang, lagi. Lebih rame aja sarapan bertiga. Iya kan, Sayang ,,,?" ucap Diana sambil menatap sang suami dengan mata berbinar senang. Tangannya pun bergerak menyentuh lengan suaminya penuh kelembutan. Amara melirik sekilas lalu segera membuang muka. Malu.
"Lagi pula Mbak sengaja masak banyak biar cukup untuk kita bertiga," lanjut Diana lagi. Ia tersenyum lalu menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut dan mengunyahnya penuh perasaan. Menatap Amara yang masih bengong dan memalingkan wajah, ia kemudian berucap, dengan mimik wajah kesal. "Ayo dong di makan. Kok malah di anggurin aja kaya pacar yang diselingkuhin," candanya kemudian sambil tersenyum lebar.
Keceriaan Diana itu menular pada Amara dan suaminya. Dua orang itu spontan tertawa, entah karena lucu atau untuk menghargai wanita periang itu.
"Iya mbak, aku makan kok. Makasih ya."
"Iya, iya."
Amara lantas memegang sendok dan garpunya, lantas dengan canggung menyuapkan sesendok ke mulutnya.
Diana terdiam sejenak sambil mengamati gerak-gerik Anara. "Nggak perlu sungkan," sindirnya pada Amara yang masih terlihat kikuk.
Mendengar itu Amara hanya meringis sambil mengunyah nasi gorengnya dengan gaya cantik.
"Bagaimana, enak tidak?" Tanya Diana meminta pendapat.
Amara langsung mengangguk dan mengacaukan jempolnya. Sebab ia tak bisa menjawab dengan mulut terisi makanan. Cepat-cepat menelan makanannya, ia kemudian berucap, "Enak kok mbak. Enak banget, malah."
Mata Diana melebar dengan binar senang. "Yang benar?"
"Hu'um." Amara mengangguk mantap.
"Aaa ,,, terima kasih," ucap Diana sambil tersenyum penuh haru, lantas mengalihkan pandangannya pada sang suami yang lebih banyak diam sejak Amara gabung. Bukannya tak mau bicara, ia hanya sedang memberi kesempatan pada dua wanita ini untuk saling bercanda. "Sayang habiskan makanannya ya, mau aku suapi?"
Pria bernama Bagaskara itu tersenyum manis. "Tentu saja aku mau Sayang," jawabnya sambil memandangi istrinya dengan penuh cinta. Ia membuka mulutnya menyambut suapan Diana. "Terima kasih, Cintaku," ucapnya sambil membelai pipi sang istri dengan lembut.
Lagi-lagi Amara hanya bisa mengalihkan pandangan demi menghindari adegan romantis pasangan kasmaran ini. Ia kemudian menunduk dalam, menatap nanar butir-butir nasi goreng yang masih bersemayam di piring makannya. Hai nasi, kapan kau akan habis, hah? Haruskah aku menyaksikan semua ini hingga kalian semua masuk ke dalam perutku?
Segera menyuap, Amara berusaha menghabiskan nasi goreng di hadapan nya ini dengan cepat. Tentu saja agar ia bisa secepatnya pergi meninggalkan pasangan yang sedang kasmaran ini.
"Amara, kapan kamu akan menikah?" tanya Diana tiba-tiba dan membuat Amara yang sesang tertunduk itu sontak mengangkat pandangannya dengan ekspresi terkejut.
Nikah? Pacar aja aku nggak punya, lalu mau nikah sama siapa? batin Amara dalam hati nya. Ia lantas menelan makanan yang masih tertahan di mulut sambil memikirkan jawaban yang tepat, dan tentunya tidak membuatnya kehilangan muka akibat menjomblo terlalu lama.
"Belum pengen nikah mbak dulu, Mbak," Jawabnya kemudian. "Masih mau mikirin karir dulu. Kerja disini aja baru seminggu." Benar-benar alasan yang selalu tepat di pakai untuk para jomblowati. Karir. Amara pun terkekeh usai mengatakannya.
"Jangan lama-lama mikirin karirnya. Nikah tuh enak loh, Mara."
"Uhuk-uhuk!" Entah apa yang salah dari ucapan Diana hingga membuat Amara tersedak makanan di mulutnya.
"Mara, pelan-pelan dong makanannya.Jadi tersedak, kan," Diana yang terkejut segera bangkit dan mengambilkan segelas air putih untuk Amara yang langsung ditenggak habis oleh gadis itu. Diana kembali duduk dan saling pandang dengan suaminya dengan ekspresi keheranan.
Amara menaruh gelas kosongnya kembali ke meja. Sementara tangannya bergerak mengusap bibirnya yang basah oleh air minum. Entah mengapa sekelebat suara rintihan semalam kembali terngiang di kepalanya. Dan itu mendadak membuatnya pening.
"Enaknya, ada suami yang nemenin saat suka dan duka kita," lanjut Diana seolah meralat ucapannya yang barangkali diartikan lain oleh Amara. Sebab terlihat sekali pipi gadis itu mendadak tampak merona karena malu.
"Iya mbak, mudahan aku bisa segera nyusul, ya, " Amara hanya tersenyum, lantas meneguk segelas jus jeruk miliknya demi untuk mengusir canggung.
"Amin ...," ucap Diana sambil meraup telapak tangan ke wajahnya. Doanya pun tampak sangat tulus dari hati, sementara Amara hanya tersenyum kecut menanggapi.
"Mbak, aku duluan ke rumah sakit ya," ucap Amara sambil bangkit dari kursi. "Makasih untuk nasi goreng nya loh," lanjutnya dengan senyum tersenyum manis.
"Eh, kok buru-buru?"
"Aku udah selesai, kok. Selamat bersenang-senang ya," ucapnya sambil meraih tas, lalu beranjak pergi meninggalkan keduanya dengan tergesa.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!