Seorang gadis berusia 17 tahun yang sudah mengenal dunia hiburan malam, selalu ia datangi setiap Minggu ke tempat tersebut di salah satu kawasan kota Jakarta. Tidak ada larangan, maupun nasihat dari keluarganya, semua yang ia lakukan serba bebas. Satu yang jadi tolak ukur keluarganya JANGAN HAMIL DI LUAR NIKAH!!! Sebab keluarga Sabil tidak mau nama keluarganya tercoreng hanya akibat perbuatan seperti itu.
Ia sekolah di SMAN Nusantara Jakarta. Selain elite, sekolahan tersebut termasuk salah satu sekolah yang menyatukan berbagai agama di dalamnya. Ada Islam, Kristen, Hindu, serta Budha. Dan ada jadwal setiap minggunya untuk memperdalam ilmu agama masing-masing pemeluknya.
Sabil termasuk salah satu siswi populer di sekolahnya dan paling cantik di antara perempuan yang lainnya. Memiliki body proporsional dengan rambut panjang yang ikal dan warna kulit putih yang bersih, kedua matanya yang besar, serta di tambah hidungnya yang mancung mempercantik wajahnya.
Sikap ramah yang selalu tersenyum kepada teman-temannya menambah nilai plus pada dirinya sendiri. Ia juga pemberani kepada orang-orang yang dengan sengaja mencela Agama teman-temannya. Jika sudah ada yang bermain mencela Agama maka Sabil akan pasang badan lebih dahulu.
Berasal dari kedua orangtua yang berbeda keyakinan. Mamahnya bernama Kristiani seorang penganut agama Kristen, sedangkan papahnya bernama Husein adalah seorang muslim. Papahnya telah meninggal dunia saat Sabil masih berumur 8 tahun. Ia juga memiliki kakak laki-laki bernama Yunus yang biasa ia panggil dengan sebutan 'abang Yunus'. Dia seorang muslim mengikuti papahnya yang sudah berada di alam lain.
"Sabil!" Panggil Marian, sahabat Sabil sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama.
"Ada apa?" Tanya Sabil menoleh ke belakang.
"Besok ke gereja yuk!" Ajak Marian.
Sabil diam, ia pura-pura berpikir untuk menjawab ajakan sahabatnya itu.
"Mau ya? Udah lama juga lo gak sembahyang. Percuma tuh salib ada di leher setiap hari tapi gak pernah datang ke rumah Tuhan!" Ujar Marian lagi.
"Emm... Nggak ah! gue males, tar malam mau senang-senang! Eh, kalau lo mau, ajak aja si Jeje tuh biar ada yang nemenin. Hehehe." Sahut Sabil.
"Dasar aneh lo!!!"
"Yeh, gitu aja ngambek!" Teriak Sabil, melihat temannya cemberut gara-gara ia menolak ajakannya.
Sabil segera berlari menghampiri teman sebangkunya itu yang berpura-pura membaca buku bahasa Inggris. Dengan senyuman dan keramahan yang Sabil miliki, ia langsung duduk sambil memandang Marian dengan senyumannya yang tulus.
"Jangan goda gue sama muka lo yang dibuat sok manis!" Ucap Marian tanpa menoleh dari pandangannya yang masih serius membaca buku.
Sabil tersenyum melihat sahabatnya yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.
"Bukannya gue emang manis dari lahir." Sahut Sabil.
"Ish! Apaan sih lo bil!" Sahut Marian dengan nada malas dengan setiap perkataan yang terlontar dari sahabatnya.
"lo putus ya sama Rendra?" Tanya Sabil.
Marian langsung memandang Sabil dan memicingkan kedua matanya berharap ia mendengar penjelasan Sabil mengenai pertanyaannya tersebut.
"gue cuma tanya doang kok, kalau nggak yah baguslah." Lanjut Sabil lagi.
"Kenapa lo pikir gue sama Rendra putus?" Marian tanya balik, sebab dia tahu kalau sahabatnya itu tidak akan bertanya mengenai hubungannya dengan pacarnya kecuali ada sesuatu yang terjadi.
"Gak apa-apa, gue cuma tanya aja an." Jawab Sabil tersenyum.
"Bohong! Pasti lo lihat Rendra jalan sama cewek lain kan? Ayo dong bil, jujur aja! gue gak akan nangis kok. Sumpah!" Marian membujuk Sabil dengan kedua jari telunjuk dan tengahnya ia buat berbentuk V.
"Kemarin lusa, waktu gue pergi nonton sama abang gue, gue lihat Rendra sama Nichole. Mereka duduk tepat di samping tempat duduk gue." Sabil pun menceritakan apa yang dia lihat.
"Apa? Nichole? gak mungkin bil!" Marian terkejut dan tidak percaya dengan cerita Sabil.
"gue juga berpikir gak mungkin dan salah lihat, karena waktu itu gue masuk udah dalam keadaan gelap. Tapi selesai nonton gue pastiin lagi, dan ternyata benar kalau itu adalah Nichole dan Rendra." Lanjut Sabil menjelaskan.
Marian diam sejenak sebelum akhirnya ia mengatakan hal yang tidak di duga oleh Sabil.
"Ternyata kelakuannya masih sama! dia masih merebut milik orang lain, meskipun dia udah masuk Islam!" Dengan emosi yang tertahan Marian mengungkapkan hal yang tidak diketahui oleh Sabil.
Nichole adalah teman sekelas mereka, salah satu perempuan cantik di sekolah mereka. Bahkan kecantikan Nichole bertambah saat ia masuk Islam dan mengenakan jilbab.
"Bil, berarti dia sembunyi dibalik kerudungnya!" Kata Marian menambahkan ucapannya.
"Maksud lo?" Tanya Sabil tidak mengerti.
"Masa lo gak tau sih, selama ini kan satu sekolah terpana karena keputusannya masuk Islam dan ditambah lagi dia pakai kerudung. Coba deh lo pikirin, kelakuan dia dulu sama sekarang tuh masih sama, cuma bedanya semua orang beranggapan dia baik karena kerudung yang dia pakai. Paham maksud gue?"
Sabil mengangguk pelan sambil mencerna kembali kata-kata yang keluar dari mulut sahabatnya.
"Tapi an, bisa aja mereka saudara kan." Bantah Sabil.
"gak mungkin bil, gue pacaran sama Rendra itu udah dari SMP dan gue tau siapa aja saudaranya."
"Tapi an, lo jangan salahin agama atau kerudung yang ada di kepala Nichole. Maksud gue gini loh, kalau emang dia salah, maka salahin orangnya, jangan nilai Agama atau penampilannya." Ujar Sabil.
"Kok lo belain dia sih?!"
Sabil menarik nafas melihat Marian yang cemburu karena perkataannya.
"gue gak belain siapa-siapa, gue cuma ambil jalan tengah aja. Lagi pula belum tentu juga kan mereka nonton bioskop berdua." Jawabnya.
"Emangnya lo lihat ada siapa aja selain mereka berdua?!" Tanya Marian kesal.
"Yah emang cuma berdua doang sih, tapi alangkah baiknya kita dengerin dulu baik-baik dari Nichole. Oke!" Jawab Sabil.
"Terserah lo bil, yang pasti gue benci sama dia!"
"Nah itu dia datang." Marian berdiri dan menghampiri Nichole yang baru masuk ke dalam kelas.
Tanpa basa-basi Marian langsung mencaci-maki Nichole yang terlihat kelagapan saat mendengar semua ucapan Marian. Bahkan dia sendiri tidak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan oleh temannya itu.
"Kalau ini cuma buat nutupin kelakuan buruk lo, mending lo lepas!!!" Teriak Marian menunjuk kerudung putih Nichole.
"lo ngomong apa sih an?" Pertanyaan yang ke sekian kalinya setiap perkataan kasar keluar dari mulut Marian.
"Tenang dulu an, tenang." Ucap Sabil menengahi keributan teman-temannya itu.
"Gimana mau tenang bil! Kalau sikap dia masih sama kayak dulu!!!" Sahut Marian dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Iya-iya gue ngerti, sekarang lo duduk dulu ya, kita selesaikan masalah ini baik-baik." Kata Sabil.
Akhirnya Marian pun mengikuti arahan yang diberikan Sabil, dan duduk di kursi agak jauh dari Nichole.
"Marian kenapa bil?" Tanya Nichole pelan.
"Kemarin lusa gue lihat lo sama Rendra di bioskop berdua. Apa benar itu elo? Dan ada hubungan apa lo sama Rendra?" Tanya Sabil lebih santai ketimbang Marian yang menunjukkan wajah masam kepada Nichole.
"Rendra ngajak gue bil." Jawab Nichole.
"Kenapa lo mau?! Dasar pecun!!" Teriak Marian.
Nichole hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar kata-kata Marian yang tanpa sengaja membuat sakit di hatinya.
"lo kan tau kalau Rendra itu pacarnya Marian." Ujar Sabil melirik Marian dengan emosi yang masih menggebu-gebu.
"Bil, gue gak serendah apa yang ada di pikiran lo dan sahabat lo itu, Rendra ngechat gue duluan, dan gue menolaknya kalau jalan berdua doang sama dia. Tapi dia bilang banyak teman-temannya yang lain, bahkan dia bilang ada Marian juga. Akhirnya gue ikut, tapi saat gue sampai di bioskop nyatanya cuma dia doang sendirian. gue dijebak bil." Kata Nichole menjelaskan.
"Harusnya lo pulang kalau emang lo beneran berubah!" Cibir Marian.
"Ya, itu salah gue, kenapa gue gak pulang waktu itu, sehingga lo menilai gue serendah itu. An, meskipun satu sekolah bilang lo udah tidur sama Rendra, gak pernah satu kali pun terbersit dipikiran gue kalau lo cewek gampangan atau cewek yang biasa di bilang oleh teman-teman di sekolah." Ucap Nichole menyadari bahwa dirinya salah, dan ia juga tidak bisa mengatakan di hatinya bahwa ucapan Marian benar.
"gue minta maaf nic, karena gue udah ngadu ke Marian akibatnya jadi seperti ini deh dan gue juga minta maaf atas ucapan Marian ya." Ucap Sabil pelan.
"Gue ngerti kok bil, lo ngelakuin itu karena lo sahabat marian." Ujar Nichole tersenyum meskipun hanya sekilas.
Sabil pun pergi dari tempat duduk Nichole dan menghampiri Marian yang masih menyimpan kebencian terhadap teman sekelasnya itu.
Sabil tidak mengerti mengapa mereka selalu mempersalahkan Agama dan penampilan seseorang apabila yang mereka lakukan itu buruk. Padahal itu semua salah diri seseorang itu sendiri, bukan Agama yang memang sudah suci sejak dahulu kala.
"Nanti kita ngobrol sama Rendra ya an." Ucap Sabil berusaha membuat tenang sahabatnya.
Marian melirik Sabil, "buat apa? Udah jelas-jelas dia yang salah." Tunjuk Marian pada Nichole.
Sabil menghela nafas panjang karena keras kepala Marian.
"Jangan nilai satu sisi aja, tapi dengerin juga penjelasan dari cowok lo an. gak adil kalau lo cuma nilai penjelasan dari Nichole doang, padahal gue lihat dia sama Rendra." Sabil memberikan saran kepada Marian agar bersikap santai dan berlaku adil kepada siapa pun.
"Oke. Nanti istirahat gue tanya ke Rendra." Ujar Marian.
Sebenarnya di dalam lubuk hati yang paling dalam ada keinginan bagi diri Sabil mengikuti jejak Nichole yang udah lebih dahulu memeluk agama Islam. Tapi lagi-lagi ia ragu karena takut akan terkena marah oleh mamahnya, namun bagaimanapun keputusan Sabil nanti itu yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Sabil tidak pernah memandang rendah setiap Agama, dia menjunjung tinggi kehormatan Agama tersebut. Walaupun banyak kontroversi di antara teman-temannya, namun hanya Sabil yang bersikap tenang dalam menjalaninya dan memecahkan masalahnya.
Tidak pernah sekalipun Sabil merendahkan temannya cara mereka beragama, cara mereka berkomunikasi dengan Tuhan mereka masing-masing, semuanya Sabil anggap sebagai peraturan dan perjanjian antara dirinya, teman-temannya dengan Tuhan.
Sejak kecil Sabil memang diajarkan untuk selalu saling menghormati dalam beragama satu sama lain. Ia selalu diajarkan oleh papahnya untuk tidak memulai perselisihan yang berakibat fatal, salah satunya adalah dalam berucap mengenai keyakinan seseorang karena hal seperti itulah yang sangat sensitif membuat orang-orang berseteru satu sama lain.
Bahkan sudah dari usia Sabil lima tahun, ia mendapat dua keyakinan berbeda di dalam keluarganya. Ia juga mendapat pesan dari kedua orangtuanya. Papahnya selalu mengatakan hak anak-anaknya untuk mengikuti agama siapa, sehingga Yunus sejak kecil selalu mengatakan bahwa dirinya akan memeluk kepercayaan seperti papahnya yaitu Islam. Sedangkan Sabil, akhir-akhir ini dirinya kusut, ia bimbang dengan Agamanya, karena jika bersama mamahnya maka ia akan menjadi seorang Kristen, jika bersama dengan kakaknya maka ia hanya bisa memperhatikan cara kakaknya shalat.
Sebelum papahnya meninggal, ia mendengar mamahnya untuk membebaskan dirinya memeluk Agama siapa di antara kedua orangtuanya. Namun setelah kepergian papahnya, semuanya berubah, sang mamah sangatlah menginginkan bahwa Sabil mengikuti kepercayaannya, setiap kali Sabil tidak pergi ke gereja maka mamahnya akan memarahinya bahkan tidak segan-segan untuk memukulnya.
Berjalannya waktu Sabil sudah tidak peduli lagi dengan pukulan mamahnya yang biasa dia layangkan untuk dirinya sendiri. Sebab baginya kepercayaan dan keyakinan tidak ada paksaan untuk memeluknya. Perkataannya pun di benarkan oleh kakaknya sendiri, untuk menjadi seorang muslim pun tidak ada paksaan sama sekali dan tidak boleh dipaksa.
Diam-diam Sabil membeli buku tentang Islam disalah satu toko buku dekat sekolahnya. Setiap pulang sekolah ia membacanya di dalam kamar dengan mengunci pintu kamarnya, supaya tidak ketahuan oleh mamahnya.
Sabil akan melakukan dan bersikap secara sembunyi-sembunyi selagi mamahnya masih keras kepala dan tidak mengerti dengan apa yang Sabil alami. Tetapi ia juga tahu bahwa sepandai-pandainya menyimpan rahasia maka akan ketahuan juga. Untuk sekarang ini memang Sabil selalu berhasil dalam bersikap seperti itu. Bahkan ia juga sudah siap menerima resiko yang akan ia hadapi apabila suatu saat nanti sang mamah tahu kelakuannya selama ini.
...***...
...••Selamat membaca, semoga suka ya:)••...
Bel pulang pun telah di bunyikan, seluruh siswa-siswi SMAN Nusantara berhamburan keluar kelas. Sabil berjalan pelan menelusuri koridor sekolahnya untuk sampai di perpustakaan, hampir setiap hari ia meminjam buku di perpustakaan sekolahnya. Bahkan terkadang ia selalu membuat sang penjaga kesal karena selalu datang di saat dia hendak menutup perpustakaan itu dan kembali ke rumah.
Awal mula mungkin Mbak Eni terus-menerus menahan emosinya atas sikap salah satu siswi di sekolah tersebut, tetapi lama kelamaan ia sudah terbiasa dengan gaya peminjaman buku yang dilakukan oleh Sabil, dan mbak Eni juga akan menunggu selama 15 menit setelah bel pulang di bunyikan untuk menyambut kedatangan Sabil.
Senyuman ramah terpancar di wajah Sabil, menunjukkan bagaimana ia dengan mudah bersosialisasi dengan anak sebayanya, bahkan ia juga menjadi idola para adik kelasnya terutama kaum Adam. Menurut mereka selain cantik, Sabil tidak sombong, dan tidak pernah merasa dirinya lebih cantik dengan yang lain, padahal sudah terbukti jelas bahwa Sabil adalah siswi tercantik di sekolahnya.
"Mau ke mana kak?" Pertanyaan seperti itulah setiap kali Sabil berpapasan dengan para adik kelasnya.
"Perpustakaan. Mau ikut?" Jawab Sabil dengan senyuman yang tidak pernah hilang dari paras cantiknya.
"Nggak ah kak, makasih. Gak suka baca, hehehe." Sahut salah seorang dari mereka.
"Yaudah kalau gitu saya ke sana dulu ya."
Mereka pun mengiyakan ucapan Sabil dan mempersilahkan kakak kelasnya itu lewat di hadapan mereka.
Sesampainya di perpustakaan, Sabil langsung mencari mbak Eni yang sedang membereskan buku-buku sejarah Islam. Sabil pun berjalan dengan sangat pelan dan mengagetkan mbak Eni.
"Kau lagi! Selalu buat aku terkejut setiap kali ketemu dengan kau!" Kata Mbak Eni menunjuk wajah Sabil seolah-olah dia sedang kena marah oleh gurunya.
"Hehehe, maaf." Sabil memamerkan cengiran kudanya dan mengembalikan beberapa buku yang ia pinjam 3 hari lalu.
"Ada buku baru mbak?" Tanya Sabil melihat-lihat judul buku sejarah Islam.
"Buku tentang astronomi?" Mbak Eni bertanya balik.
"Sejarah peradaban Islam." Gumam Sabil memegang buku tersebut.
"Itu buku buat anak-anak kelas X, tapi sampai berdebu kayak gitu cuma bisa di hitung jari yang mencari bukunya." Ujar Mbak Eni.
Sabil hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan mbak Eni. Ia duduk di bangku yang tidak jauh dari pandangan mbak Eni sambil membawa buku tersebut.
"Mbak Eni." Panggil Sabil.
"Iya?" Mbak Eni berjalan menghampirinya dan duduk di depan Sabil, menunjukkan betapa antusiasnya dia ingin tahu pertanyaan seperti apa yang akan di ajukan oleh gadis berusia 17 tahun itu.
"Bulan pernah terbelah ya?" Tanya Sabil.
Mbak Eni langsung mengernyitkan dahinya.
"Kau tau darimana?" Mbak Eni bertanya balik.
"Aku pernah baca di salah satu buku yang mengatakan bahwa ada goresan di antara bulan itu. Makanya aku tanya ke mbak Eni, apa ada hubungannya dengan peradaban Islam?" Jawab Sabil begitu ingin tahu jawaban dari mbak Eni yang sudah ia anggap sebagai teman curhatnya.
"Buku yang kau bawa ini adalah zaman peradaban Islam sebelum Nabi Muhammad Saw di utus sebagai rasul. Zaman bagaimana gambaran Arab terdahulu, tapi kalau yang ini adalah setelah di utusnya Nabi Muhammad sebagai rasul." Ujar Mbak Eni.
"Coba aku lihat."
Mbak Eni memberikan buku yang baru saja ia bersihkan dari debu.
"Terusannya ya?" Tanya Sabil.
"Iya. Tapi ada yang satu buku sudah menjelaskan semuanya. Tapi bukan tentang bulan terbelah." Jawab Mbak Eni.
"Masih tentang Islam kan?"
"Iya."
"Boleh aku pinjam?"
"Sayangnya sudah dipinjam sama Aisyah."
"Aisyah?"
"Kau tidak tau Aisyah?"
Sabil hanya menggeleng pelan.
"Kalau sudah ketemu dia, belajar Islamlah dengannya." Suruh Mbak Eni.
"Boleh." Ucap Sabil.
Drrrttt... Drrrttt...
"Sebentar ya mbak." Sabil agak menjauh untuk mengangkat telepon dari abangnya.
"Ada apa bang?" Tanya Sabil.
"Assalamu'alaikum." Suara laki-laki dari seberang sana.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa sih?"
"Pasti lupa ya? Mobilku lagi di bengkel dan hari ini aku minta jemput kamu di kampus."
"Astaga! Iya-iya, nanti aku segera ke sana." Sabil langsung menutup teleponnya.
"Ada apa bil?" Tanya Mbak Eni.
"Aku harus pergi mbak, jemput Abang. Oh iya, aku pinjam buku ini ya. Assalamu'alaikum." Jawab Sabil tergesa-gesa.
"Eh, tapi itu kan... Wa'alaikumsalam"
"3 hari lagi aku kembalikaaaan." Teriak Sabil.
Mbak Eni hanya menggelengkan kepalanya melihat siswi seperti Sabil. Gadis itu selain ramah dan juga menjunjung tinggi sopan santun terhadap sesamanya juga orang yang lebih tua dibandingkan dirinya.
Sabil langsung mengendarai mobilnya dan menaruh tas serta buku yang ia pinjam dari perpustakaan di samping tempat duduknya. Dengan kecepatan tinggi ia segera melaju mobilnya menuju kampus Yunus.
Di parkiran kampus abangnya, Sabil sengaja tidak turun dari mobil karena ia malas menjawab basa-basi teman-teman kakaknya yang mencoba untuk mendekatinya dan berharap bisa menjadi kekasih hatinya. Sabil menelepon Yunus namun tidak diangkat, bahkan SMS darinya pun tidak dibalas sejak 5 menit yang lalu.
"Tunggu di depan ruang kelasku aja, aku ada presentasi mendadak. Oke!"
Sabil menggerutu kesal dengan SMS yang ia terima dari kakaknya. Dengan terpaksa ia pun turun dari mobil dan berjalan ke depan ruang kelas Yunus.
Semua mata mahasiswa tidak henti-hentinya memandang Sabil. Bagaimana tidak? Seorang anak SMA dengan seragam yang lengkap masuk ke pekarangan kampus dan mereka tidak tahu sedang apa.
"Cepat keluar! Aku tidak suka tatapan dari mereka!!!"
Send to bang Yunus.
Setelah mengirim pesan pada kakaknya, Sabil duduk dan memainkan ponselnya berharap semua mata mahasiswa tidak tertuju pada dirinya.
Drrrttt... Drrrttt...
Bang Yunus : "5 menit lagi aku keluar. Sabar ya adikku sayang, hahaha."
Sabil menghembuskan nafasnya kasar dan bergumam dengan kesal pada SMS balasan kakaknya.
Tidak ada yang lucu!!! Cepatlah keluar. Please!
Send to bang Yunus.
Tak lama setelah Sabil mengirim pesan lalu terbukalah pintu ruang kelas kakaknya. Namun bukannya Yunus yang keluar malah Ervan, salah satu sahabat kakaknya yang pecicilan dan asal bicara tanpa pandang situasi.
"Abang kamu lagi presentasi." Ucap Ervan.
"Aku udah tau. Tapi aku suruh dia mempercepatnya dan segera pulang." Sahut Sabil.
"Udah sesi tanya jawab doang kok. Kamu nih makin cantik ya bil."
Sabil menatap Ervan tajam dan tidak mau menjawab apapun yang dikatakan oleh dia. Sebenarnya Ervan tidak seperti laki-laki lain yang suka menggoda para wanita cantik. Ervan memang pecicilan namun dia tidak pernah lupa untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Sabil merasa iri dengan kakaknya karena di kelilingi oleh teman-teman yang mengerti agama seperti dirinya, sehingga jika Yunus salah maka ada yang menegurnya. Sedangkan Sabil, ia hanya bersahabat dengan Marian yang setiap kali ia berbuat salah tidak mendapat teguran apapun dari sahabatnya itu, dan ia selalu berharap memiliki sahabat yang mengajarkan Islam kepadanya.
"Mau masuk?" Tanya Ervan pada Sabil yang sejak tadi tidak menjawab setiap kali ia ajak bicara.
Sabil hanya menggelengkan kepalanya lalu melirik Ervan yang berjalan masuk ke dalam ruang kelasnya lagi.
15 menit kemudian pintu ruang kelas Yunus terbuka lebar, seluruh mahasiswa-mahasiswi keluar tanpa terkecuali. Sabil yang sejak tadi termenung dan melamun tidak sadar bahwa kakaknya sudah berada di hadapannya.
"Apa aku harus membelikan segudang cokelat biar adikku ini gak marah lagi." Ucap Yunus membuyarkan lamunan Sabil.
"Kau nih lama sangat, penat aku menunggu kau!" Sahut Sabil menirukan gaya mbak Eni.
"Hahaha, gaya bicara siapa itu?"
"Mbak Eni, penjaga perpustakaan di sekolah." Jawab Sabil.
"Boleh abangmu ini bertemu dengannya?"
"Dia sudah punya suami dan anak satu berumur 4 tahun."
"Astaghfirullah. Kalau begitu cari perempuan lain aja."
"Dan kita pulang sekarang! Atau aku jadi bahan tontonan mereka!" Ujar Sabil melirik mahasiswa yang lalu lalang.
Yunus hanya tersenyum melihat tingkah adiknya yang begitu gerah setiap kali ada laki-laki yang menatapnya lalu tersenyum padanya dengan senyuman genit dan hendak merayunya.
"Assalamu'alaikum, Yunus!"
Kedua kakak beradik itu pun menoleh ke belakang dan melihat siapa yang memberikan salam kepadanya.
"Wa'alaikumsalam, Aslam? Kau Aslam?!" Yunus tampak terkejut memandang laki-laki yang tengah tersenyum kepadanya.
"Iya, ini aku Aslam sahabat SD kau dulu." Jawab laki-laki tersebut mendekati Yunus.
"Masya Allah! Sedang apa kau di sini?" Tanya Yunus lalu memeluk sahabat karibnya itu.
"Aku kuliah di sini juga, kau terlalu sibuk sampai-sampai tidak pernah bertemu walaupun satu kampus." Jawab Aslam.
"Oh ya?! Aku tidak pernah lihat kau lam." Ujar Yunus.
"Hehehe, sebenarnya aku baru pindah nus." Kata Aslam cengengesan.
"Oh, kupikir kau akan pergi ke Mesir sama seperti sepupu kau."
"Ehem." Sabil berdehem karena merasa diacuhkan oleh abangnya.
"Oh iya Aslam, kenalkan dia Sabil. Adikku." Ujar Yunus memperkenalkan Sabil kepada sahabatnya.
"Sabil." Namun uluran tangan Sabil tidak dibalas oleh Aslam karena bukan mahramnya. Dan Sabil mengerti dengan hal itu, memang seharusnya seorang muslim laki-laki harus seperti Aslam.
"Aslam." Ucapnya dengan kedua telapak tangannya di rapatkan dan di taruh di depan dada. Sehingga Sabil pun langsung menarik uluran tangannya dan mengikuti Aslam.
"Mampirlah lam ke rumah. Rindu aku ini." Ujar Yunus sambil merangkul sahabatnya.
"Insyaallah aku akan berkunjung ke rumahmu. Oh iya, ini alamat rumahku, kau datanglah kalau ada waktu." Balasnya, memberikan kartu nama kepada Yunus.
"Insyaallah aku akan datang ke rumah kau, kalau begitu kami pulang dulu lam, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatu."
Di perjalanan menuju pulang Sabil tidak banyak bicara dengan abangnya karena terlalu fokus menyetir, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa abangnya sedang asik baca buku yang ia pinjam di perpustakaan.
Yunus melirik adiknya sebentar lalu kembali baca lagi. Hingga akhirnya ia bertanya dengan adiknya itu darimana dia dapat buku yang sedang ia pegang.
"Kamu tau ini buku apa?" Tanya Yunus.
"Aku pinjam dari perpustakaan sekolah. Aku belum baca jadinya tidak tau." Jawab Sabil.
"Kamu tuh kalau pinjam buku jangan asal ambil dong, pahami isi dan maknanya. Yang kamu ambil ini kisah Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad." Ujar yunus.
"Oh ya? bagus dong kalau begitu. Aku bisa ambil kisah dari seorang Khadijah." Ucap Sabil.
Yunus menarik nafas dalam-dalam sambil memandangi adik semata wayangnya. "Mamah tau kamu sering baca buku tentang Islam, Nabi, serta sahabatnya?"
Sabil menggeleng pelan.
"Aku tau keinginan kamu buat belajar Islam itu besar sekali, tapi kamu juga tau apa resikonya kan, apabila mamah tau semuanya."
Sabil menghentikan mobilnya di pinggir jalan sebentar lalu memandang abangnya dengan serius.
"Aku berhak kan belajar Islam? Dan kadang aku iri sama kamu bang, sejak kecil udah diajarin Islam sama papah. Sedangkan aku, aku harus mencari buku-buku tentang Islam sendiri dengan cara sembunyi-sembunyi. Aku udah tau resikonya, makanya aku semangat untuk mempelajarinya." Ucap Sabil.
Perkataan Sabil membuat tenggorokan Yunus tercekat, ia tidak menyangka bahwa adiknya mempunyai keinginan yang luar biasa.
"Biar abang yang nyetir."
"Tidak usah aku bisa sendiri."
Mendengar suara adzan Zuhur Sabil langsung mencari masjid atau musholla untuk abangnya menunaikan shalat.
"Udah masuk Zuhur bang, shalat dulu, aku tunggu di mobil." Ucap Sabil pelan.
"Kau tidak shalat?"
"Aku lupa bacaannya." Jawab Sabil pelan dengan menundukkan wajahnya.
"Nanti abang ajarkan." Ucap Yunus keluar dari mobil.
Dari dalam mobil Sabil memandang abangnya yang hendak melaksanakan shalat, bahkan ia juga melihat banyak warga yang datang untuk menjalani kewajibannya terhadap Tuhan.
Sambil menunggu Yunus, akhirnya Sabil membaca buku Khadijah. Lembar demi lembar ia baca dengan serius, Sabil merasa begitu tertarik dengan sosok wanita yang sedang ia baca, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya tahu siapa Khadijah seperti para muslimah lainnya yang pasti jauh lebih tahu sosok Khadijah dibandingkan dengan dirinya.
Baru sebentar Sabil membaca, tiba-tiba saja ia berkeinginan untuk menjadi seorang Khadijah. Sabil merasa senang dan bahagia setiap membaca buku tersebut. Ia memang selalu masuk ke dalam dunia buku yang sedang ia baca, namun kali ini lain halnya, sebab ia merasa sangat-sangat ingin sekali kenal lebih dalam sosok Khadijah.
Suara bantingan pintu mobilnya mengagetkan Sabil. Ia menoleh ke samping yang ternyata Yunus telah selesai shalat.
"Abang yang nyetir ya, aku mau baca dulu." Sabil menunjukkan buku Khadijah pada Yunus.
"Oke."
"Makasih abang."
"Sama-sama."
Yunus pun memacu mobilnya untuk pergi dari masjid yang ia singgahi untuk shalat.
"Bang Yunus mau punya istri seperti Khadijah?" Tanya Sabil melirik abangnya.
"Memangnya ada?" Yunus bertanya balik sambil tersenyum pada Sabil.
"Sepertinya tidak ada. Tapi setidaknya akhlaknya hampir mendekati."
"Maulah. Tapi, kalau abang punya calon istri seperti itu, berarti abang harus membenarkan akhlak abang ini."
"Iyalah. Bukankah jodoh kita itu cerminan diri kita sendiri?" Ucap Sabil.
"Belajar di mana bisa tau kata-kata itu?"
"Mbak Eni yang bilang."
"Udah sampai, taruh buku Khadijah di dalam tas abang."
"Iya." Sabil segera menaruh bukunya di dalam tas Yunus lalu keluar dari dalam mobil dan menghampiri mamahnya yang sedang duduk di teras rumahnya.
"Masuk yuk mah, panas." Ajak Sabil pada mamahnya yang sengaja menunggu kepulangan dirinya.
"Mamah udah siapin makan siang kesukaan kamu bil." Ucap Kristiani, mamahnya Sabil.
"Oh ya? Waw! Pasti enak." Sahut Sabil berjalan ke ruang makan.
"Kamu tidak makan Yunus?" Tanya Kristiani pada anak sulungnya yang hendak masuk ke dalam kamarnya.
"Aku puasa mah." Jawabnya, menghentikan langkahnya sejenak.
"Oh ya sudah. Nanti buka mau mamah masakin apa?" Tanya Kristiani lagi.
"Tidak perlu repot-repot mah, nanti aku buat sendiri." Jawab Yunus tersenyum lembut.
"Baiklah kalau memang itu mau kamu." Ujar Kristiani.
"Aku masuk ke kamar dulu mah."
"Iya."
"Sekolah kamu bagaimana bil? Lancar?" Kini perhatian Kristiani pindah pada Sabil yang sedang menyantap makan siangnya.
"Lancar mah." Jawab Sabil.
"Besok mamah ada kerjaan di luar kota selama satu Minggu, jadi keperluan kamu semuanya akan di urus bi Sumi, atau mamah akan suruh Tante Risti untuk menjaga kamu." Ucap Kristiani.
"Aku diurus bi Sumi ajalah mah, lagian aku kan udah besar tidak perlu suruh Tante Risti yang datang ke sini." Sahut Sabil mencoba santai saat tahu mamahnya pergi tugas. Padahal di dalam hatinya ia merasa senang karena selama satu Minggu nanti ia bebas untuk membaca buku apa saja, dan di mana saja tanpa takut ketahuan oleh mamahnya.
Kristiani berpikir sejenak sebelum akhirnya menyetujui keinginan putrinya.
"Bagaimana kelas agamamu?"
"Kelas agama?" Sabil bertanya balik, sebab sudah 4 kali pertemuan Sabil tidak masuk ke kelas agama. Justru ia memilih untuk duduk di antara para murid yang beragama muslim dan mendengarkan sedikit ceramah yang diberikan oleh para ustadz atau ustadzah yang datang ke sekolah.
"Iya kelas agama kamu?" Tanya Kristiani lagi.
"Oh iya, lancar mah, lancar, hehehe." Jawab Sabil.
"Tidak ada rahasia yang kamu sembunyikan?" Tanya Kristiani curiga kepada sikap anaknya yang tampak gugup saat ditanya mengenai sekolahnya.
"Tidak ada. Semua rahasiaku ada pada mamah." Jawab Sabil tersenyum manis.
Dengan pakaian yang sudah rapih Yunus keluar kamarnya dan mengajak Sabil untuk keluar rumah. Sebenarnya itu adalah salah satu cara agar Sabil terlepas dari pertanyaan kelas agama yang mamahnya inginkan.
Di dalam mobil Sabil mendengus kesal karena diajak main ke rumah teman Yunus yang baru saja ia kenal beberapa jam lalu. Bukan kesal karena Sabil takut tidak bisa berteman baik dengannya, melainkan ia kesal karena seragam putih abu-abu masih melekat pada dirinya dan membuat tubuhnya lengket akibat keringat.
Selagi masih ada mamah di rumahnya, saat itu pula Sabil dan Yunus akan selalu bersama ke mana pun mereka pergi selalu berdua. Apalagi jika sudah menyangkut obrolan mengenai agama, maka mereka memilih untuk diam tidak berkomentar apapun dengan semua yang dikatakan oleh mamahnya.
"Malu aku diajak main tapi belum mandi, dan setidaknya izinkan aku buat ganti baju sekolah dulu bang." Keluh Sabil pada abangnya yang sejak tadi tidak menanggapi ucapannya.
Yunus menghela nafasnya, "aku tidak ajak main kamu. Aku cuma minta antar, setelah itu kamu pulang sendiri." Ucapnya.
"Apa?!"
"Jangan ngambek gitu dong, nanti kamu mandi di pemandian umum ya."
"Tidak usah. makasih!" Sahut Sabil dengan wajah cemberut dan hanya dibalas dengan suara tawa abangnya.
Yunus turun lebih dulu dari mobil setelah sampai di rumah Aslam. Sedangkan Sabil, ia menunggu kawan lama kakaknya membukakan pintu rumahnya. 3 kali Yunus mengucapkan salam, keluarlah Aslam sambil memberikan senyuman hangat kepada Yunus.
Sabil keluar dari mobil dan membuat hening perbincangan di antara Yunus dan Aslam.
"Aku tidak akan ganggu kalian." Ucap Sabil saat berada di antara mereka.
"Ada alasan yang ingin ku ceritakan pada kau lam, makanya aku ajak adikku ini." Ujar Yunus.
"Masalahnya umi lagi tidak ada di rumah. Takut fitnah nus." Kata Yunus.
"Buku aku sini." Pinta Sabil, sambil menadang tangan kanannya di depan Yunus.
"Nih." Yunus memberikan buku Khadijah pada adiknya.
"Kalian masuklah, biar aku tunggu di teras rumah." Sabil berjalan ke bangku dan mulai membuka halaman terakhir bacaannya.
Lagi-lagi Yunus dibuat kagum pada adiknya, ia tidak menyangka kalau Sabil akan mengerti norma-norma dalam Islam. Bahkan yang membuatnya berdecak kagum adalah Sabil sudah tidak mengeluh banyak aturan, ribet, dan lain sebagainya setiap kali ikut main dengan abangnya.
"Akan ku suruh Aslam membuatkan minuman jus apel untuk kamu." Ucap Yunus mendekati adiknya.
"Air putih sudah cukup bagiku." Sahut Sabil tanpa menoleh dari bukunya.
"Oke." Yunus langsung pergi meninggalkan adiknya dan segera membawa segelas air putih lalu ia letakkan di meja.
"Kau yakin berada di sini?" Tanya Yunus.
Sabil mengenal nafas dan memandang wajah kakaknya. "Aku tidak mau keluarga kawan mu menjadi gosip di luar sana cuma gara-gara aku masuk ke dalam mengikuti abangku."
"Nanti kalau orangtuanya Aslam udah pulang, kamu masuk."
Sabil mengangguk mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Yunus.
...***...
"Kamar yang bersih dan nyaman buat aku nginep di sini, hehehe." Kata Yunus melihat-lihat kamar Aslam.
"Kau mau seminggu atau 2 Minggu berada di rumahku, itu tidak jadi masalah nus. Pintu rumahku terbuka lebar untuk kawanku." Sahut Aslam.
"Bagaimana kabar Anisa? Setelah lulus sekolah SMA, aku tidak tau lagi kabar kalian?" Tanya Yunus.
Aslam duduk dengan tenang sambil mengingat sosok perempuan bernama Anisa. Ada raut kesedihan terpancar dari kedua bola mata Aslam, namun dengan cepat ia sadar kalau itu semua hanyalah masa lalunya.
"3 tahun yang lalu, semua persiapan untuk pernikahanku dengan Anisa sudah siap semua nus. Namun Allah berkehendak lain, saat aku hendak mengucapkan ijab Qabul. Anisa meninggal, dia meninggal dengan tenang. Dan aku berharap dia menjadi bidadari surga." Jawab Aslam.
"Inalillahi wainailaihi rojiun. Maaf lam."
"Tidak apa-apa. Oh iya, kita ngobrol di luar aja, supaya adik kau tidak sendirian."
"Kalau kita keluar, dia akan merasa kalau dirinya jadi pengganggu aku dan kawannya. Jadi, biarin aja dia di luar."
"Sabil seorang muslimah?" Tanya Aslam.
"Iya. Tapi untuk dirinya sendiri." Jawab Yunus.
"Maksud kau?" Aslam tidak mengerti dengan pembicaraan Yunus padanya.
"Adikku merasa iri karena melihatku tumbuh sejak kecil hingga dewasa sudah mengenal Islam yang diajarkan oleh papah. Sedangkan dia, dia harus mencari buku-buku tentang Islam lalu membacanya diam-diam."
"Kenapa seperti itu?" Tanya Aslam.
"Mamahku ingin Sabil menganut agama yang sama dengannya, mau tidak mau Sabil menuruti kemauan mamah, meskipun dia selalu bilang, kalau dia hanya pura-pura di depan mamah. Padahal aku kagum dengan dia karena keingintahuannya tentang agama Islam." Jawab Yunus.
"Kenapa tidak kau yang mengajarkannya?"
"Aku satu atap dengannya. Dan sudah pasti akan ketahuan oleh mamahku. Kau ada cara lain?"
"Apa Sabil punya kawan di sekolah?"
"Marian. Dia non-muslim."
"Kawannya yang muslim?"
Yunus menggeleng pelan.
"Sabil harus punya kawan muslimah di sekolah, karena dengan begitu dia bisa belajar sambil mempraktekkannya. Kita do'akan semoga Sabil segera mendapatkannya dan mamah kau mendapat hidayah Allah."
"Aamiin."
Saat Sabil sedang asyik membaca tiba-tiba saja ada mobil yang masuk ke dalam pekarangan rumah Aslam.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Balas Sabil menaruh bukunya di atas meja.
"Ada tamu rupanya. Nama kamu siapa nak?" Tanya umi Sarah, Ibunda Aslam.
"Sabil Tante."
"Kawan Aslam?"
"Emm... Aku tunggu abangku sedang ngobrol di dalam sama bang Aslam." Jawab Sabil gugup.
"Perkenalkan saya Abi nya Aslam, Dan ini umi nya"
"Panggil kami umi dan Abi ya nak." Ucap umi Sarah dengan lembut.
Sabil mengangguk pelan. Tiba-tiba saja ada desiran di hati Sabil saat ia disuruh memanggil orangtua Aslam dengan panggilan umi dan Abi. Sabil merasa nyaman mengatakan itu, dari sekian banyak panggilan, kedua panggilan itulah yang menjadi favoritnya untuk hari ini dan seterusnya.
"Abi ke dalam dulu ya menemui Aslam dan juga abangmu."
"Iya Abi." Ucap Sabil.
Umi Sarah duduk di samping Sabil sambil memandang wajah cantiknya, namun kini pandangannya berpaling pada buku Khadijah yang sedang dibaca oleh anak remaja itu.
"Kamu suka Khadijah?"
"Suka umi. Beliau, emm.. beliau, perempuan pertama yang memantapkan iman Islamnya di dalam dirinya hingga sampai kepada kita. Beliau juga yang menjadi perempuan dibalik layar suksesnya Nabi Muhammad menyebarkan agama Islam." Jawab Sabil dengan penuh kehati-hatian. Ia takut salah jawab karena baru pertama kali ia membaca buku Khadijah.
Mereka berbincang-bincang mengenai kehidupan Khadijah, sejak sebelum menjadi istri Nabi Muhammad SAW sampai berumahtangga dengan beliau. Uminya Aslam pun bercerita tanpa lelah, bahkan senyuman ramah yang selalu terlihat di wajahnya. Tak berapa lama mereka berbincang-bincang, Yunus pun keluar rumah untuk mengajak pulang adiknya.
Hari itu Sabil merasa bahagia bisa bertemu dengan kedua orangtua Aslam. Ada rasa tenang pada dirinya saat berada di dalam keluarga itu. Baru pertama kali Sabil bertemu dan ia sudah menyukai kedua orangtua Aslam.
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Aslam, Sabil hanya diam dan terkadang senyum sendiri jika mengingat obrolan dengan uminya Aslam. Yunus pun membiarkan senyuman adiknya itu menempel di wajahnya, ia diam tidak bertanya apa alasannya karena ia tidak mau mengacaukan suasana hati Sabil hari itu.
Kebersamaan mereka hanya dihabiskan dengan cara seperti itu, main ke rumah teman Yunus atau jalan-jalan ke mall hanya untuk membeli perlengkapan sekolah dan kampus. Kakak beradik itu sangat bahagia menghabiskan waktu mereka dengan cara mereka sendiri.
"Mamah berapa lama di Surabaya?" Tanya Yunus.
"Seminggu paling cepat. Besok antar mamah ke bandara ya."
"Iya." Ucap Yunus.
"Kamu mau ikut antar mamah ke bandara?" Tanya Kristiani pada Sabil.
"Hah? Emm... Iya."
"Kamu kenapa bil? Sakit?" Tanya mamahnya dengan lembut.
"Nggak mah, aku lupa kalau besok sekolah, hehehe." Sabil cengengesan pada mamahnya dan hanya mendapat pandangan serius dari Yunus karena sikapnya yang terlihat gugup.
Kristiani menghela nafas melihat sikap anak bungsunya. "Sekolah? Besok kan tanggal merah."
"Masa? Kok, aku gak tau ya."
"Kalau Sabil tidak ikut yaudah tidak apa-apa, biar aku saja yang antar mamah." Kata Yunus.
"Ya sudah." Sahut Kristiani.
Sabil hanya memberikan senyuman tipis kepada mamahnya dan juga Yunus. Semenjak kepulangannya dari rumah Aslam, Sabil merasa ingin balik lagi ke sana, bahkan sampai terpikirkan bahwa ia tidak mau pulang karena kondisi keluarga Aslam yang sangat berbeda dari kondisi keluarganya sendiri.
Di dalam kamar tidur, Sabil memandang langit-langit kamar yang ia dekorasi dengan gambaran bulan, bintang, serta komet 3D yang menghiasi kamarnya. Sejak kecil Sabil memang menyukai dunia astronomi, bahkan dahulu jika ia ditanya tentang cita-cita maka dengan lantang ia ingin menjadi seorang astronot.
Sabil membuka ponselnya yang sejak tadi bergetar di atas meja belajar. Nama Marian terpampang di layar, ia pun segera mengangkatnya dengan rasa malas.
"Halo."
"Bil, bisa antar gue ke rumah bokap besok pagi."
"Loh, emangnya ada apa? Emm... Maksud gue Rendra ke mana?"
"lo pasti gak nyangka bil, Rendra mukulin gue waktu gue putusin dia. gue mau ke rumah bokap, pingin cerita ke bokap biar Rendra di penjara!!"
"Apa! lo dipukulin? Kok bisa? Marian, gue kan udah pernah bilang ke elo jangan berhubungan lagi sama Rendra."
"gue cuma tanya masalah dia sama Nichole. Tapi dia malah menyangkal, terus gue dipukulin sampai memar bil."
Mendengar cerita Marian, ada rasa sesal pada diri Sabil karena sudah memberitahukan tingkah laku Rendra padanya. Tapi sebenarnya mau ia cerita atau tidak, Rendra memang memiliki sikap yang kasar kepada Marian. Itu terbukti sejak SMP, namun kala itu Marian tidak mau ditinggalkan oleh Rendra hanya karena satu alasan, bahwa keperawanannya telah hilang.
Ada isakan tangis yang Sabil dengar dari suara Marian, dan Sabil langsung mencoba untuk menenangkannya agar Marian tidak terlarut dalam kesedihannya dan tidak mencoba melakukan hal-hal di luar nalarnya.
"Mau kan bil, temani gue. Sekali aja, please!"
"Iya, iya an, besok gue jemput lo ya."
"Jam 9 pagi ya bil."
"Iya. Yaudah sekarang lo istirahat, tenangin diri lo ya."
"Iya bil."
Sabil melihat jam dinding pada kamarnya sudah pukul 10 malam, ia keluar kamar dengan mengendap-endap supaya bisa masuk ke dalam kamar Yunus tanpa ketahuan oleh mamahnya, Sabil membuka pintu kamar abangnya dan mendapati Yunus tengah berada di depan laptop.
Melihat adiknya datang Yunus menghentikan tugasnya yang belum selesai ia kerjakan.
"Ada apa?" Tanya Yunus.
"Mobil masih di bengkel ya?" Sabil bertanya balik.
"Iya. Memangnya ada apa?"
"Aku mau pergi."
"Kamu tuh gimana sih, di suruh antar mamah ke bandara tidak mau, tapi malah mau pergi."
"Bang, yang ini lebih penting, menyangkut nyawa orang lain!"
"Maksud kamu tuh apa sih bil?! abang gak ngerti."
Sabil menghela nafasnya. "Marian minta anterin ke rumah papahnya."
"Terus?"
"Dia mau buat perhitungan sama pacarnya karena sudah mukulin dia."
"Astaghfirullah hal adzim, serius kamu?!"
Sabil mengangguk pelan.
"Rendra gak terima bang diputusin." Ujar Sabil duduk di atas kasur abangnya.
"Jangan masuk ke dalam lingkaran mereka, bahaya! Kamu cukup antar aja dan jangan pernah kasih solusi apapun."
"Kau nih gimana sih bang, Marian itu kawanku, masa dia cerita aku cuma angguk-angguk kepala doang."
"Dia cerita karena kesalahan dia sendiri. Lagipula apa yang mau kamu kasih solusi, solusi apa? Tidak ada kan? Diam itu lebih baik bil."
"Justru karena aku Marian kena pukul!"
Yunus memandang adiknya, ia menunggu apa yang akan dikatakan lagi oleh adiknya itu.
"Aku cerita ke Marian kalau Rendra nonton bioskop berdua sama Nichole. Makanya Marian marah pada Nichole dan pacarnya." Lanjut Sabil.
"Jangan merasa bersalah. Karena tanpa kamu cerita, sikap Rendra akan ketahuan juga. Dan rahasia itu pun akan terbongkar semua."
"Tapi bang..."
"Terserah kamulah, aku ini cuma abangmu, kamu mau ikuti apa kataku atau tidak, itu tidak masalah."
"Abang nih kenapa jadi sentimen banget sih! Bang, aku kan cuma jadi pendengar doang, emang salah ya?!"
"Nggak. Yaudah abang lanjut lagi ya."
Sabil mengangguk, lalu keluar dari kamar Yunus yang mulai sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya.
...***...
Sekitar pukul 8 pagi Sabil sudah rapih dan langsung keluar dari kamarnya untuk menjemput Marian yang berada di rumah. Namun ia terpaku saat melihat mamahnya dan Yunus belum berangkat ke bandara. Kristiani memandang anak bungsunya dan meminta penjelasan kenapa Sabil sudah rapih sepagi itu.
"Sabil mau ikut nganterin mah." Ucap Yunus menjawab ekspresi mamahnya.
"Oh." Kristiani langsung masuk ke dalam mobil.
"Pulang dari bandara, aku ikut anterin Marian ke rumah papahnya." Bisik Yunus.
Sabil melotot mendengar perkataan abangnya. Lalu menggeleng cepat untuk memastikan bahwa abangnya tidak perlu ikut dengannya.
"Cepat masuk mobil!" Pinta Kristiani pada kedua anaknya.
Sabil langsung duduk di samping Yunus. Ia hanya diam dan tidak mau memulai obrolan dengan mamahnya dan abangnya. Sesampainya di bandara Sabil mendapat pelukan serta ciuman kening dari mamahnya, dan tidak lupa Kristiani meminta Yunus untuk menjaga adiknya selama dirinya pergi.
Melihat mamahnya sudah menjauh dari pandangannya, Sabil pun segera berjalan ke dalam mobilnya untuk melaju ke rumah Marian. Cukup waktu 10 menit Sabil dan Yunus sampai di rumah Marian yang nampak sepi. Beberapa kali Sabil menekan bel rumah namun tak juga ada yang membukakan pintu gerbang. Sabil pun masuk ke dalam mobilnya lagi dan menunggu Marian keluar, bahkan ia mengirimkan pesan pada Marian bahwa ia sudah berada di depan rumahnya.
"Sabil!" Panggil Marian pelan sambil mengetuk kaca mobil Sabil.
Yunus langsung menyuruh Marian untuk segera masuk ke dalam. Kedua mata Marian dan Sabil saling pandang saat dia tahu bahwa sahabatnya itu membawa abangnya.
"Jadi sopirku hari ini bang." Bisik Sabil pada Yunus lalu pindah ke kursi belakang bersama Marian.
"Tunjukkan jalannya." Ucap Yunus.
"Iya." Sahut Sabil.
...***...
Sabil terkejut saat Marian membuka masker dan tudung jaket yang dia kenakan untuk keluar dari rumah. Saat itu pula kedua mata Sabil tidak berhenti menatap wajah Marian yang memiliki memar di pipinya. Emosi Sabil tersulut melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu, Rendra bukanlah suami Marian, tapi kenapa dia begitu tega menyakitinya? Pertanyaan itu muncul setiap kali Sabil melihat air mata Marian yang sudah mengembang di pelupuk matanya.
Dengan rasa simpatik Sabil memeluk Marian dan membiarkan sahabatnya itu nangis di bahunya. Ia tidak mau bertanya apa-apa pada Marian karena luka memar itu adalah jawaban atas semua pertanyaan yang kemarin hendak mampir di dalam pikirannya.
"gue gak apa-apa bil." Ucap Marian melepaskan pelukannya sambil menghapus air matanya.
"lo emang selalu bilang gak apa-apa. Kapan terakhir kali lo bilang kalau lo ada masalah?" Balas Sabil.
Marian tersenyum tipis, "semalam." Jawabnya.
"Bang Yunus apa kabar?" Tanya Marian, ia berusaha untuk tidak larut dalam tangisnya di depan Yunus.
"Alhamdulillah baik an." Jawab Yunus tanpa melirik Marian dari kaca spion mobil sedikitpun.
"Selama mamah gue pergi, dia jadi sopir pribadi gue an." Sindir Sabil.
"Yah gak apa-apalah, abang lo ini." Kata Marian.
Melihat Yunus tersenyum, Sabil hanya menghela nafasnya dan berwajah masam.
"Belok ke mana nih an?" Tanya Yunus.
"Emm... Kanan bang, nanti berhenti di rumah yang bercat biru muda." Jawab Marian.
Setelah satu jam perjalanan akhirnya mereka sampai di rumah papahnya Marian. Rumah megah namun sunyi itu memang biasa terjadi di rumah-rumah orang kaya seperti papahnya Marian. Dengan penuh hati-hati Marian menekan bel rumah papahnya. Dan seorang satpam membukakan pintu gerbang untuk mereka, lalu terkejut melihat Marian.
"Nona Marian?" Ucap satpam itu.
"Iya pak. Ada papah?" Tanya Marian.
"Ada non. Tuan Andre lagi santai di ruang keluarga." Jawab satpam itu dengan gembira melihat anak majikannya datang.
"Emm... Tante Yuni ada?" Tanya Marian lagi.
"Baru saja keluar, hayu masuk."
"Iya pak. Hayu bil, bang Yunus." Ajak Marian.
Sabil dan Yunus pun mengikuti langkah kaki Marian yang terasa berat untuk memasuki rumah papahnya sendiri. Di salah satu sofa sudah ada seorang laki-laki yang begitu serius membaca koran pagi hari ditemani dengan secangkir kopi.
"Pah." Panggil Marian pelan.
Laki-laki yang dipanggil 'pah' itu langsung melipat koran dan melihat siapa gerangan yang memanggil dirinya.
"Marian?!" Ucapnya terkejut.
"Iya ini aku pah, Marian."
Andre segera memeluk anak semata wayangnya karena merasa sudah lama sekali tidak bertemu dengannya.
"Ayo duduk." Ajak Andre kepada Marian, Sabil dan juga Yunus.
"Pah, aku... aku dipukuli."
"Apa! Dipukuli?! Siapa yang berani pukul kamu?!" Andre marah besar saat tahu maksud kedatangan Marian.
"Rendra pah."
"Rendra?"
Kini Andre hanya diam terpaku, sebab ia tidak menyangka kalau ternyata laki-laki yang sejak SMP sudah ia restui berhubungan dengan anaknya, justru malah membuat anaknya menderita.
"Aku belum lapor polisi pah." Ucap Marian lagi.
"Kenapa sampai seperti ini sih an?" Tanya Andre meminta penjelasan dari anaknya.
"Rendra selingkuh pah, dan aku minta putus, tapi dia gak terima terus mukulin aku sampai memar kayak gini." Marian membuka maskernya.
"Brengsek!!!" Pekik Andre melihat wajah putrinya.
"Kalau kalian sama-sama cinta yaudah nikmatin aja, gak perlu lapor polisi atau malah lapor papah!"
Semua orang yang berada di ruang keluarga memandang ke asal suara perempuan yang baru saja keluar dari kamarnya. Ternyata dia adalah Jessie, saudara tiri Marian.
"Dia tinggal di sini pah?!" Tanya Marian begitu kaget melihat Jessie dan melupakan sejenak masalahnya.
"Iya, kenapa? Merasa terasingkan ya? Bukannya itu yang lo mau, hidup bebas tanpa aturan!!!" Jawab Jessie ketus.
"An, udah ya mending kita pergi aja." Bisik Sabil mencegah emosi Marian yang sudah memuncak.
"gue hidup sendiri karena benci sama lo dan juga nyokap lo!!!" Bentak Marian.
"Kita pulang aja an." Ucap Yunus yang sudah tidak tahan mendengar cacian yang terlontar dari mulut saudara tiri Marian.
"Pulang sana lo! Kalau emang lo hamil, kenapa gak dia aja yang suruh tanggungjawab!!!" Tunjuk Jessie pada Yunus.
Mereka terkejut dengan semua yang dikatakan oleh Jessie. Bahkan tamparan keras dari Andre mendarat di pipi Jessie dengan mulus. Jessie semakin benci dengan semuanya terutama oleh Marian.
Kepergian Jessie ke dalam kamar sambil menangis membuat Sabil dan Yunus merasa tidak enak hati berada di tengah-tengah keluarga Marian.
"Pah, aku pulang ya. kalau memang papah mau interogasi Rendra itu semua terserah papah. Aku cuma mau ngobrol sama papah, aku kangen papah. Tapi maaf pah, aku tidak bisa lama-lama di sini, aku harus pergi." Kata Marian.
Andre langsung memeluk Marian dengan penuh kasih sayang yang ia punya.
"Papah pastikan kalau Rendra tidak akan bisa macam-macam lagi sama kamu." Kata Andre.
Akhirnya mereka semua pergi dari rumah Marian dengan perasaan campur aduk di setiap lubuk hati mereka. Sabil dan Yunus tidak menyangka kalau semua kejadian yang baru saja mereka saksikan begitu berat bagi Marian jika mereka yang mengalaminya. Sedangkan Marian, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia hidup sendiri tanpa adanya orangtua di sisinya, ia juga hanya tinggal bersama Mbok Ati yang sudah bekerja sejak Marian masih kecil.
Perjalanan pulang mereka begitu sunyi, seakan semua perkataan mereka hilang terbawa oleh angin. Tidak ada yang memulai untuk bicara, tidak juga ada nasihat yang biasa Yunus berikan untuk adiknya dan Marian.
Setelah mengantarkan pulang Marian, Yunus langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Bahkan Sabil pun tidak mengerti mengapa abangnya begitu tergesa-gesa. Sesampainya di rumah, Yunus langsung mengambil air putih lalu meminumnya sambil duduk di ruang keluarga dengan mulut yang masih terkunci.
"Kenapa bang?" Tanya Sabil ikut duduk di depan Yunus.
"Itu semua resiko yang harus ditanggung oleh Marian." Jawab Yunus.
"Lalu masalahnya apa yang membuat abang jadi pendiam seperti ini?" Tanya Sabil memandang wajah abangnya yang tampak cemas.
Yunus menatap adiknya serius. "Abang tidak mau kalau kamu yang mengalaminya."
"Bang, Tio itu laki-laki baik. Lagipula kalau memang dia main tangan sama aku, pasti sudah aku putusin dari dulu." Ujar Sabil menenangkan kekhawatiran Yunus terhadap dirinya.
"Bil, kamu dan Tio itu beda agama." Ucap Yunus.
"Tapi Tio taunya aku satu agama dengannya."
"Kamu itu..."
"Bang, aku itu sebenarnya terpenjara di dalam rumah ini, aku seperti boneka yang menjadi mainan untuk mamah. Semua yang aku lakukan itu seperti aktris dan mamah adalah sutradaranya." Sabil memotong ucapan abangnya.
"Dalam Islam, Allah adalah sutradara makhluknya. Kita semua, adalah aktor dan aktris di dalam dunia."
"Aku tau bang," Sabil menghela nafasnya. "Bang Yunus pasti menyuruh aku buat ambil hikmah dari masalah Marian kan?"
Yunus mengangguk.
"Kalau pacaran itu kurang lebih akan seperti Marian." Ucap Sabil lagi.
"Iya, walaupun tidak semua, tapi pasti ada yang merasakannya."
Sabil tersenyum pada Yunus, ia merasa sangat beruntung memiliki abang yang luar biasa seperti Yunus. Laki-laki yang begitu menyayanginya meskipun terkadang membuatnya kesal.
"Bil, sampai kapanpun kamu seorang muslimah." Ujar Yunus.
Sabil mengangguk pelan. Ia membenarkan yang dikatakan oleh Yunus, sejak dulu ia memang seorang muslimah namun mamahnya memaksa untuk selalu berada di keyakinan yang sama dengannya.
Bagi Sabil, ia hanya menunggu waktu untuk mengatakan semua yang ada di dalam dirinya dan juga hatinya kepada Kristiani. Apapun yang akan diucapkan dan menjadi keputusan mamahnya ia akan terima dengan lapang dada. Sabil tahu resiko menjadi anak dari orangtua yang berbeda agama, makanya ia hanya menyiapkan semuanya dan biar waktu yang akan menjawab kegundahan hatinya.
Setiap kejadian yang mereka alami semua pasti ada hikmahnya, tinggal bagaimana mereka memandang dan mengerti setiap kejadian tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!