Pagi itu seorang anak remaja berumur delapan belas tahun terlihat masih bergelung di bawah selimut bermotif animasi Tayo, yang sering disiarkan di televisi swasta Indonesia. Remaja itu bernama Memet, ia masih bersekolah di sekolah menengah atas. Karena semalaman bergadang menonton tayangan khusus model-model wanita cantik 'fashion tv' ia jadi lupa waktu.
Ya, Memet mempunyai hobi yang unik, tapi menarik alias genit, ya. Dia senang melihat perawakan wanita-wanita cantik, tinggi semampai, dan berlenggak-lenggok di atas catwalk. Semua itu bagaikan kesenangan tersendiri baginya, tidak ada yang mengetahui kesenangannya itu termasuk ibunya.
Hari sudah menujukkan jam 07.30, Memet masih betah bergelung memeluk guling kesayangannya. Sementara di luar rumah orang-orang sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing; sekolah, bekerja, membawa koran, dan membersihkan rumah.
“Memeeeeet!” terdengar suara wanita berumur empat puluh tahunan melengking, memanggilnya.
“Ini anak, kalau dibiarin pasti gak bagun- bangun. Awas saja!” wanita tadi membuka pintu kamar anaknya.
Dilihatnya Memet masih bergelung dalam selimut Tayonya. Wanita itu berjalan mengelilingi tempat tidur sang anak, lalu ditariknya selimut itu dengan kasar.
“Woi! Bocah edan. Jam segini masih molor!”
Sedangkan Memet hanya beringsut berguling kesebelahnya. Dia tidak menghiraukan ocehan ibunya yang cerewet itu, sudah biasa baginya kalau setiap pagi mendenggar toa dari mulut sang ibu.
“Memet. Banguun!” wanita itu berteriak tepat di telingga Memet, membuat dia terperanjat kaget.
“Astaga, mah! Aku bisa budek kalau setiap hari diteriaki terus. Apaan sih, ma?” kata Memet yang masih separuh sadar dari mati surinya.
“Kamu lihat jam. Noh!” kata mama Memet, memutar kepala anaknya ke arah jam dinding.
Mata Memet melotot saking kagetnya. Dia langsung melompat turun dari Kasur, menyambar handuk yang tergantung di dinding. Betapa cerobohnya Memet bangun tidur tidak memakai celana.
“Ya ampuuuun, Memet! Kamu kira usiamu masih tujuh tahun? tidur tidak pakai celana. Malu, Memet…. Malu sama umur kamu.”
Wanita itu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan anak bujangnya, maklum hanya ada ia dan Memet di rumah itu, semenjak ayah Memet meninggal dunia dua tahun yang lalu kerena kecelakaan motor.
Di dalam kamar mandi Memet merutuki kecerobohannya yang berlari ke kamar mandi tanpa celana karena semalaman ia keasikan menonton tayangan televisi yang membangkitkan hasrat prianya sehingga ia lupa memakai celananya kembali.
“Aduh! Bodoh. Bodoh banget sih gue pakai lupa segala lagi!” Memet menepuk jidatnya kesal.
Untung hanya mamanya, coba kalau orang lain apalagi yang melihat itu adalah cewek cantik bisa-bisa hancur imaje tampannya selama ini.
Di sekolah Memet termasuk anak yang berprestasi dan juga menjadi cowok tertampan di sekolahnya karena wajahnya mirip orang Arab yang diwariskan oleh sang ayah, campuran Indo-Arab. Kalau ibunya orang betawi asli yang omongannya suka nyablak ceplas-ceplos, kadang membuat Memet malu tapi mau bagaimana lagi itu tetap ibunya. Hanya wanita itu yang selalu ada untuknya selama ini, setelah ayahnya meninggal.
Lima belas kemudian, Memet sudah rapi dengan seragam sekolahnya ia turun ke bawah berlari dengan kecepatan super karena waktunya sudah telat untuk pergi sekolah. Tamat lah riwayat Memet, karena jadwal pelajaran pagi ini adalah kimia dengan Wati. Guru kiler yang selalu jadi langganan siswa dan siswi kalau terlambat. Beliau tidak akan segan-segan untuk memberi hukuman yang berat seperti; membersihkan toilet yang naudzubillah kotor dengan bau menyengat seperti comberan, menyapu lapangan basket yang tiap hari ditimbun dedaunan kering, yang paling parah adalah disuruh mengambil pupuk kompos yang super bau tai ayam untuk tanaman.
“Met, kamu makan dulu?”
“Gak usah, ma. Aku telat banget ini!” teriaknya, berlari keluar rumah.
Tidak sampai sepuluh menit naik motor dia sampai di sekolah. Pintu gerbang sudah ditutup dari dalam, dan satu-satunya yang akan dilakukannya adalah menyogok pak satpam dengan satu bungkus rokok. Itu adalah kebiasaan anak-anak yang terlambat, dan untungnya pak satpam itu baik jadi dia bisa bebas masuk.
Memet berlari menuju kelasnya di lantai dua. Keadaan koridor sepi karena semua murid sudah masuk ke dalam kelas. Tiba di depan kelas Memet melihat ke dalam kelas. Terlihat wanita paruh baya sudah duduk di kursinya, dengan memakai seragam guru, berkaca mata tebal, dan auranya yang menakutkan seperti ibu tiri galak. Ia tangah bersiap mengisi absen.
Wanita itu adalah bu Wati, guru kimia yang ditakutinya. Guru galak yang ludahnya sering menciprat keluar kalau sudah berang.
Kebayangkan, kalau sudah marah dia akan mengeluarkan semburan air hujan yang menciprat dari mulutnya. Alamat akan basah kuyup itu muka kena ludahnya.
“Sari.”
“Hadir bu.”
“Memet.”
“Saya bu,” sahut Memet di depan pintu.
“Ngapain kamu di situ?” tanya bu Wati.
“Anu, buk .. saya telat,” kata Memet menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Oh.”
Memet deg-degan mendengar jawaban bu Wati. Karena kalau sudah begitu, bu Wati pasti punya senjata andalan untuk memberi hukuman kepadanya yang telah terlambat masuk kelas. Benar saja setelah mengabsen semua murid, beliau berjalan mendekati Memet.
“Kamu ikut, saya.”
Memet menelan ludahnya kasar, ia mengangguk mengikuti langkah bu Wati.
“Kamu ini siswa teladan tapi malah terlambat. Ibu sebenarnya gak mau menghukum kamu tapi tidak adil bagi yang lain.”
Memet hanya diam tanpa menjawab sedikit pun. Lebih baik diam dari pada kena semprot air ludah yang menciprat-ciprat dari mulutnya. Tiba di ruangan BK, bu Wati menyerahkan kepada bu Nova untuk memberi hukuman kepada Memet.
“Kamu turuti kata bu Nova, ibu mau masuk ke kelas dulu.”
“Baik, bu.”
Bu Nova menanyakan alasan kenapa Memet terlambat.
“Kenapa kamu terlambat ke sekolah, Met?” bu Nova membuka buku khusus bagi murid yang terlambat untuk menuliskan Memet.
“Saya ketiduran, bu.”
“Kenapa bisa ketiduran? Kamu gak pasang alaram?” tanya bu Nova.
“Ya, saya lupa bu,” jawab Memet menunduk.
Karena nonton fashion week, katanya dalam hati. Tapi itu tidak mungkin dikatakannya bisa jatuh reputasinya yang selama ini dibangga-banggakan oleh seluruh guru. Selama ini semua guru sangat menyukai Memet, selain ketampanannya, ia juga siswa berprestasi yang sering mendapatkan penghargaan setiap olimpiade.
“Kamu ibu kasih hukuman membersihkan lapangan sekolah,” putus bu Nova.
“Baik, bu.”
“Kamu ambil sapu di gudang.”
"Ya, bu."
Memet segera beranjak dan berjalan ke luar ruangan BK menuju gudang untuk mengambil sapu lidi. Tiba di gudang dia tidak sengaja mendengar suara aneh yang merindingkan bulu romanya. Dan tiba-tiba ada angin kencang meniup pintu gudang hingga terdampar keras bunyinya.
Brak!
“Astaga!” Memet terlonjak kaget ketika dia sudah berada di luar gudang.
Memet segera berlari ke lapangan karena perasaannya tidak enak berada di gudang itu. Ada yang mengatakan kalau di gudang itu sering ada penampakkan dan sering terdengar suara wanita menanggis. Memet ketakutan setengah mati, jantungnya berdegup kencang, tangannya berkeringat dingin.
Dilihatnya sekeling masih ada beberapa siswa main basket di lapangan jadi dia memberanikan diri untuk mulai menyapu lapangan itu.
“Wah, ada abang Memet nih!” kata seorang siswi cantik.
Siswi itu adalah Bety teman sekelasnya. Bety adalah siswi berprestasi sama seperti dirinya, penampilannya sangat feminin, kulitnya putih, tubuhnya kurus tinggi, tapi hanya satu yang Memet tidak suka dari Bety, orangnya cerewet seperti ibunya.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Memet cetus.
“Aku cuma memberimu minum, nih!” Bety memberikan sebotol air minum.
“Tumbenan baik.”
“Ih, dibaikin salah! Dasar,” Bety mengelembungkan pipi sambil menendang-nendang sapu yang dipegang Memet.
“Ya, makasih. Tapi ini air minum aman kan?” kata Memet penuh curiga.
Bety orangnya sering iseng menjahilinya. Pernah satu hari dia kelelahan setelah jam pelajaran olahraga, tiba-tiba Bety datang memberikan satu botol minuman dan Memet langsung menerima minuman itu lalu meminumnya. Setelah air minum itu habis Bety mengatakan bahwa air minum itu dari air kran toilet wanita. Memet langsung memuntahkan air itu keluar, tetapi sudah terlanjur masuk ke dalam perut, air itu tidak bisa keluar lagi. Sejak saat itu, Memet kurang percaya dengan kebaikan Bety.
“Itu aman kok. Aku beli di kantin barusan, udah kamu minum saja jangan banyak berpikir buruk terus dong.”
“Gimana gak berpikir buruk, karena kamu sering iseng sama aku,” kata Memet, membuka tutup botol dan meminumnya sampai setengah.
“Kok bisa terlambat? Biasanya kamu yang paling rajin datang pagi.”
“Aku semalam tidur larut,” kata Memet seadanya.
Kalau dia mengatakan yang sebenarnya kepada Bety bisa-bisa Bety mempermalukan dirinya sampai tua. Biasalah mulut wanita, sering cerocos sana cerocos sini kayak ibu-ibu komplek kalau lagi ngerumpi.
“Oh. Ya sudah, aku mau masuk kelas lagi. Selamat bersenang-senang jadi harry potter ya, Met.”
Bety segera pergi melambaikan tangan dengan padangan mengejek ke arah Memet.
“Awas saja nanti kamu terlambat, aku akan ketawain juga loh!” teriak Memet kesal.
Memet segera melanjutkan pekerjaannya, menyapu lapangan yang lumayan luasnya. Dia bernapas panjang melihat ke belakang, dedaunan yang telah disapunya tadi kembali berserakan karena tiupan angin. Bisa mati kepanasan nih, katanya menyeka keringat yang telah membanjiri wajahnya. Bajunya sudah basah oleh keringat, matahari sangat terik membakar kulitnya, tapi pekerjaannya masih belum selesai juga.
Seminggu ini Memet disibukkan dengan ujian nasional. Ia telah belajar dengan rajin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk menjawab soal-soal ujian yang memusingkan kepala, tetapi berkat usahanya yang rajin selama ini ia tidak merasa kesulitan dalam menjawab semua soal-soal itu.
“Memet, gimana setelah ujian ini? Kamu mau kuliah di mana?” tanya Dodo sahabatnya.
“Aku belum ada rencana, Do. Kamu gimana?”
“Belum tahu sih. Aku lagi pengen rehat dulu sementara. Bosan harus lanjut kuliah dulu.”
Memet juga bingung memikirkan kedepannya. Mamanya hanya menyerahkan kembali pada keputusannya, tapi saat ini ia tidak ada minat untuk langsung kuliah setelah jenuh belajar selama tiga tahun ini. Ia ingin menikmati waktu dengan bersantai sambil membantu usaha kontraktor mendiang ayahnya.
Ayah Memet dulu mempunyai usaha kontraktor dan bisnis kontakan rumah petak setelah beliau meninggal, mamanya yang melanjutkan. Melihat mamanya yang kerepotan mengurus semuanya sendirian, ia jadi berpikir untuk mengambil alih usaha itu membiarkan mamanya istirahat di rumah. Hanya mamanya lah satu-satunya keluarganya saat ini, karena ia adalah anak tunggal dan tidak mempunyai saudara lagi.
“Eh, Met. Itu cewe loh tuh,” kata Dodo, menujuk ke arah Bety yang lagi duduk dan berbincang di koridor bersama temannya.
“Cewe apaan! Asal aja loh.”
“Yah, selama ini kan dia deket terus sama loh. Udah kayak surat sama perangko .. hahaha,” Dodo tertawa mengingat Bety yang sering dekat dengan Memet ketika di kelas.
Selama ini Memet dan Bety sering bertengkar atau sekedar menjahili satu sama lain. Mereka selalu membuat suasana kelas heboh dengan perang mulut atau aksi kejar-kejaran. Kalau dilihat-lihat, Memet menyukai Bety tapi ia malu untuk mengatakan yang sebenarnya. Dodo sering memergoki Memet yang diam-diam memperhatikan Bety kalau sedang belajar tetapi, ia hanya menanggapi itu dengan senyuman.
“Kamu gak ada niat buat ungkapin ke dia. Jangan dipendam-pendam terus Met, nanti keburu ada yang ambil,” kata Dodo memprovokasi.
“Kamu kira barang diambil-ambil. Nanti saja kalau aku sudah mapan, baru deh lamar sekalian.”
“Wuih! Udah ada rencana buat serius nih! Mantap dah,” seru Dodo riang.
“Ya dong, ngapain pacar-pacaran gak jelas. Enakan langsung nikah bisa grepe-grepean, ya gak? Hahaha.”
“Terserah orang yang jatuh hati lah, kita penonton mah kasih jempol empat sama kaki,” kata Dodo mengangkat kedua kaki dan tangannya untuk meyakinkan.
“Gak usah angkat-angkat kaki juga kali! Bau tuh kaus kaki loh!” Memet menutup hidungnya.
Sebenarnya Memet sudah lama menyukai Bety gadis barbar itu. Walau pun Bety barbar, Memet tetap menyukai gadis itu, entah kenapa rasa suka hadir begitu saja saat mereka sering menghabiskan waktu bercanda dan tertawa bersama. Awalnya ia tidak menyukai sifat Bety yang seperti preman pasar itu tetapi makin kesini ia semakin merasakan hadirnya cinta untuk Bety.
“Betyyyy! Nih bambang Memet mau lamar katanya!” teriak Dodo mengatakan dari jarak lima meter tempat duduk mereka saat itu.
Memet terperanjat kaget mendengar teriakan sahabat kucrutnya itu.
“Bagsat!” Memet menempeleng kepala Dodo kesal.
“Kenapa lo bilangin sih, Dodo!”
“Becanda doang mah, suer.” Dodo mengedipkan mata, mengangkat tangannya.
Memet melihat ke arah Bety yang tampak berdiri, berjalan ke tempatnya. Ah, mampus, katanya menepuk dahinya. Malu sekali rasanya Memet saat ini gara-gara mulut ember Dodo, terbongkar sudah rahasianya selama ini. Ia kesal sekali kepada Dodo yang saat ini kabur begitu saja setelah melihat Bety berjalan ke arahnya. Tamat lah sudah! Memet harus siap mendengar ocehan dari nenek gerondong ini.
“Eh, Bety,” Memet menendang-nendang kaki kirinya pelan, ia salah tingkah di hadapan gadis itu.
“Apa maksud Dodo barusan?” tanya Bety berkacak pinggang.
“Ah, dia cuma becanda doang itu.” Elak Memet.
Bety memperhatikan tingkah Memet yang terlihat malu-malu menekuk kepalanya. Ada apa dengan lelaki ini, katanya dalam hati. Ia merasa heran dengan tingkah lelaki itu yang tidak biasanya seperti itu. Biasanya Memet akan seperti kucing kawin yang terus merongrong kalau berhadapan dengannya.
“Kenapa kamu malu-malu gitu?” kata Bety, melihat wajah Memet yang sudah memerah seperti kepiting rebus.
“Panas nih, kok mataharinya terik banget ya?” Memet melihat ke langit, berpura-pura mengibaskan tangannya mengalihkan pandangan Bety.
“Dasar aneh!” Bety segera meninggalkan Memet yang masih celingak-celinguk seperti orang bodoh.
"Ah, syukur lah itu nenek gerondong lekas pergi kata Memet lega."
Setelah itu ia akan menghajar mulut sahabatnya dengan ulekan cabe biar tidak sembarangan lagi berkata, membuat ia malu. Tetapi, untung Bety tidak bertanya yang aneh-aneh atas ucapan Dodo, biasanya cewek itu akan selalu kepo dengan urusan apa pun.
Memet membayangkan jika Bety menikah, pasti dia akan menjadi ratu gosip karena keingintahuannya pada masalah orang sangat tinggi. Tetapi Memet tetap menyukai semua yang ada pada gadis cantik itu, walau pun banyak kekurangannya.
Memet melangkah mencari keberadaan teman nakalnya itu, andai saja ia tidak menceritakan perasaannya kepada Dodo pasti tidak akan membuat dirinya canggung dekat dengan Bety. Sahabatnya itu benar-benar keterlaluan becandanya. Mulutnya komat-kamit mengeluarkan sumpah serapah karena saking kesalnya, tetapi orang yang dicari tidak menampakkan tanda-tanda keberadaanya.
****
Sekarang adalah hari kelulusan bagi seluruh siswa dan siswi kelas Xll. Memet dan sahabatnya Dodo tengah berkumpul di lapangan sekolah mendengar pengumuman dari kepala sekolah, ia juga harap-harap cemas menanti namanya dipanggil. Teman-temannya yang lain telah mendapat satu persatu amplop berisikan kertas kelulusan, ada yang berteriak riang, menangis haru, dan ada yang marah karena tidak lulus. Beruntung Memet lulus ia sangat senang sekali.
“Memet, aku lulus. Kamu pasti lulus juga dong,” kata Dodo cengengesan.
“Iya.”
“Ayo kita gabung sama yang lain mereka sudah siap untuk kumpul-kumpul,” ajak Dodok, menarik tanganya.
Biasalah, kalau sudah dapat tanda kelulusan ujung-ujungnya coret-coret baju pakai cat warna-warni. Memet mengikuti saja kemauan temannya itu, ia juga ingin menikmati masa-masa indah ini dengan teman-temannya yang lain. Belum sempat ia melangkah ke tempat temannya berkumpul ia dikejutkan dengan sesuatu yang mendarat di kulit wajahnya.
Phssssssk!
Wajah Memet kena semprot cat warna kuning. Siapa lagi pelakunya kalau bukan cewek barbar yang menjadi pujaan hatinya ia merasakan bau cat kuat menusuk hidungnya. Dilihatnya cewek di hadapannya sedang tertawa bahagia karena berhasil menyemprotkan ke wajahnya.
“Betyyyy!!!! Kenapa muka aku disemprot.” Memet berteriak kesal pada Bety yang terbahak-bahak melihat wajahnya berwarna kuning.
“Bagus Met. Sini! Aku tambahin warna ijo biar mirip hulk,” Bety tidak hentinya tertawa memegang perutnya yang sudah tegang menertawai Memet.
“Awas ya,” Memet segera merebut cat itu dari tangan Bety, dan menyemprotkan kembali kepada wajah Bety.
“Ah, Memeeeet! Kenapa ke muka aku.” Sama halnya dengan wajah Memet tadi, wajah Bety juga berubah jadi kuning.
Setelah itu mereka kejar-kejaran perang cat. Dodo hanya memperhatikan kedua temannya itu, ia juga melakukan hal yang sama dengan teman-temannya yang lain, saling bertukar tanda tangan di baju masing-masing. Itu semua sebagai kenang-kenangan di masa SMA, kenangan indah yang tidak akan bisa kembali kita temui lagi. Di masa itu siswa-siswi mempunyai kisah cinta putih abu-abu, suka duka bersama, mempunyai kenangan bersama guru, dan masih banyak lagi kalau mengingat masa putih abu-abu itu.
Semua siswa dan siswi yang merayakan hari kelulusan berkumpul, rencananya mereka akan mengadakan acara makan-makan bersama sebelum perpisahan. Dan di sini lah Memet dan juga Dodo berada. Mereka memilih tempat makan di pinggir jalan yang lumayan ramai pengunjung karena terkenal akan masakan enaknya.
“Memet, nanti traktir kita-kita ya?” kata Bety, memberikan senyuman manisnya.
Memet mengerutkan keningnya. Gak salah, sebanyak ini dia yang traktir? Helo! Dikira aku nenek buyutmu traktir sebanyak ini?
“Kenapa aku?” kata Memet, merasa bingung dan melihat sekeliling.
“Yelah, Met. Cuma kelas kita doang, lagian kamu kan juragan kontrakan yang duitnya bejibun nggak bakal habis tujuh turunan.” Bety memeletkan lidah, menatap remeh Memet.
Memet merasa kesal dengan gaya Bety yang sering seenaknya itu. Bayangkan kalau dia dan Bety menikah bisa-bisa tiap hari diporotin semua brangkasnya. Memet menatap sebal ke arah Bety yang senyam-senyum kencentilan.
“Oke, iya. Puas loh!” kata Memet dengan raut wajah sebal.
“Lama-lama gue kawinin juga, lo.”
Bety tersintak kaget mendengar ucapan Memet yang ingin mengawininya. Dikira gue kucing, main kawin-kawin aja.
“Kawin? Gak salah dengar kan telinga gue.... Met?” Bety pura-pura heran.
“Makannya telinga tuh dikorek biar bersih!” katanya cetus.
Memet berhasil membuat wajah Bety memerah malu, Karena dia mengatakan itu tepat di depan teman-temannya yang lain. Dilihatnya wajah Bety yang telah berubah jadi masam dan mengerikan. Memet tebak setelah ini pasti akan keluar semburan api yang akan membakarnya.
“Memet setaaaan! Gak mau gue kawin sama kadal kayak loh.” Bety meneriaki tepat di telinga Memet, membuat cowok itu merinding melihat ekspresi Bety yang sudah berang.
“Maaf neng, abang gak bermaksud. Sueer deh,” Memet mengangkat dua jarinya berbentuk v, berharap Bety tidak akan mengamuk kepadanya.
“Malas ahh! Aku pulang aja, bikin mood hancur di sini!” Bety menghentak-hentakan kakinya berjalan keluar.
Tangannya sudah gatal hendak meremas mulut Memet. Melihat laki-laki itu mengerjainya di depan teman-teman sekelas membuat mood Bety hancur, padahal ini adalah hari bahagia bagi yang lainnya yang sebentar lagi akan berpisah mencari jalan masing-masing termasuk Bety. Daripada berdebat dengan lelaki itu, lebih baik dia pergi sebelum acaranya berantakan karena perang mulut.
Memet jadi tidak enak hati setelah mengerjai Bety di depan teman-temannya, tadi niatan hatinya Cuma menggoda Bety agar memberikan lelucon pada yang lain, tapi malah berakhir membuat Bety marah. Dikejarnya Bety keluar, menghibur cewek cantik itu agar mau lagi bergabung makan dengan yang lainnya.
“Betyyy! Tunggu dong. Aku minta maaf deh, udah bikin kamu marah. Tadi itu Cuma becanda aja,” kata Memet, mencoba mendekati Bety yang masih kesal padanya.
“Beeety, ayo dong maafin abang Memet yang ganteng ini. Nanti janji deh dikasih bunga yang banyak biar dedek Bety senang,” katanya menghibur cewek cantik itu, yang masih membelakanginya.
Bety sebenarnya menahan senyum mendengar Memet yang mencoba menghiburnya. Dalam hatinya ia memaki dirinya sendiri kenapa ia jadi berdebar-debar setiap dekat dengan Memet, padahal selama ini mereka sudah seperti kucing dan anjing kalau sudah bersama.
“Bety,” Memet mencoba meraih lengan Bety menghadap dirinya, tapi malah ditepis oleh cewek itu.
“Jangan pegang-pegang!” bentak Bety.
“Jangan marah lagi dong, “ Kata Memet dengan wajah memelas.
Bety berdecak sebal melihat wajah ganteng Memet yang masih berusaha menghiburnya tapi wajah itu juga yang membuat jantungnya tidak tenang dari tadi. Dilihatnya ke sekeliling, dan lumayan agak jarak dari tempat teman-temannya.
“Kamu janji dulu, habis ini beli bunga beneran. Kalau gak, aku gak mau lanjut gabung lagi,” kata Bety malu-malu.
Alis Memet terangkat, bingung melihat perubahan dari raut wajah Bety yang baru saja masam sekarang jadi ceria lagi seperti dibuat-buat. Tapi Memet berusaha diam agar tidak menimbulkan masalah lagi.
“Iya. Berharap banget sih dapat bunga, jangan-jangan kamu suka beneran sama aku ya?” tuduh Memet, menggoda Bety.
“Apaan! Dasar kadal jelek. Tadi bilangnya mau kasih bunga, sekarang malah nuduh-nuduh. Sana ajalah! Aku males ladenin orang gak nepatin janji!” Bety memilih berjalan meninggalkan Memet yang masih melongo di tempatnya.
Baru saja Bety ingin memberhentikan angkot, tangannya dicegat dari belakang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Memet. Bety berbalik, menatap wajah Memet yang tiba-tiba berubah jadi datar. Ada apa dengan orang ini? Bety jadi heran, seharusnya dia yang marah lalu kenapa malah sebaliknya.
“Aku antar kamu pulang.”
“Aku bisa sendiri... lepas!” Bety menyentak tangannya.
Memet tidak menghiraukan ucapan Bety, dia langsung menarik tangan cewek itu pergi ke parkiran motornya. Setelah itu diangkatnya tubuh langsing itu ke tempat duduk belakang.
“Memet!” Bety berteriak, karena badannya tiba-tiba diangkat ke atas motor.
“Diam!” bentak Memet.
“Ngapain sih main angkat-angkat aja. Kamu pikir badanku ini karung beras! Seenaknya saja dia.” Bety memukul pundak Memet, membuat cowok itu meringis kesakitan karena pukulan Bety seperti petinju kelas kakap.
“Udah diam saja. Nanti kamu juga bakal tahu,” ujar Memet, melajukan motornya menuju tempat penjual bunga,
Bety menurut diam, ia tidak mau membuat Memet berubah marah karena ocehannya. Ia juga heran kenapa Memet tiba-tiba berubah serius begitu, padahal tadi mereka masih terlibat perdebatan sengit. Dilihatnya jalan yang telah dilalui. Bukannya ini jalan yang biasanya dia lalui untuk pulang ke rumah? Oh, jadi Memet mau ngantar aku pulang, pikir Bety dalam hati.
Eh, kenapa tiba-tiba Memet berhenti di sini? Setelah dilihatnya Memet memajukan motornya ke tempat penjual bunga di pinggir jalan.
Memet berhenti persis di depan toko bunga.
“Turun,” kata Memet, membuka helmnya.
“Iya, iya.”
Bety segera turun dan mengikuti langkah Memet masuk ke dalam toko. Setelah itu Memet melihat jenis bunga yang akan dipilihnya dan menanyakan harga.
“Bu, berapa harganya satu buket bunga?” kata Memet menunjuk bouquet mawar merah.
“Dua ratu lima puluh ribu, dek,” kata penjual itu.
“Buat satu buket ya,” ujar Memet, mengeluarkan uang dua ratus lima puluh ribu.
Bety hanya diam memperhatikan. Jadi Memet serius membelikannya bunga? Betapa senangnya hati Bety dapat bunga dari cowok ganteng itu.
Ganteng?
Ya ampun! Kenapa Bety berubah jadi memuji Memet, memang benar sih Memet ganteng, tapi selama ini mereka tidak seakrab itu untuk memuji satu sama lain. Yang ada mereka akan perang mulut, perang sapu, dan masih banyak lagi perang-perangan lainnya. Yang lebih menantang adalah perang gulat di Kasur, bisa bak bik buk ser. Otak Bety sudah traveling kemana-mana memikirkan ia dan Memet nantinya.
Kenapa denganku? Tidak biasanya memikirkan hal-hal konyol begini, pikirnya. Dilihatnya Memet yang masih setia berdiri menunggu tukang bunga merangkai bunga untuknya. Kalau dilihat-lihat dari dekat ini, wajah Memet memang ganteng ya? Perawakan yang tinggi di atas rata-rata, hidung mancung mirip perosotan anak TK, bibirnya tipis berwarna merah, dan ada lesung pipi kalau tersenyum. Melihat itu semua membuat Bety kesensem dengan kegantengan cowok itu. Apa lagi kalau dipeluk......
“Ngapain senyum-senyum gitu? Dasar aneh!” kata Memet yang sudah berdiri di hadapannya, menyerahkan sebouquet mawar merah.
“Nih,” Memet memberikan bunga itu ke Bety.
“Makasih,” kata Bety menunduk malu.
Memet mengusap kepala Bety, “ Udah, jangan marah lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.”
“Iya.”
Mereka kembali menaiki motor menuju ke rumah Bety. Saat motor memasuki komplek perumahan, motor Memet memelan. Akhirnya berhenti di depan rumah megah bertingkat itu. Beragam jenis bunga tumbuh subur di halaman luas itu. Senyum Bety melebar, tak sabar ingin memperlihatkan bunga yang diberikan oleh Memet kepada mamanya.
“Udah, turun.” Kata Memet.
“Kamu juga turun.”
Memet langsung menuding dadanya sendiri dengan tatapan tak percaya. “Buat apa aku turun?”
“Bawain bunganya ke dalam, Met.” Tangan Bety menyerahkan bouquet mawar besar itu.
“Kamu ini manja banget. Heran, kenapa tadi aku mau tawarin buat antar pulang. Sudah dikasih bunga, masih banyak maunya,” Memet ngomel-ngomel, turun dan meletakkan helmnya di gantungan motor.
“Mamaa!” teriak Bety tak dapat menyembunyikan letupan bahagianya.
“Mama! Aku pulang diantar sama Memet, niih. Yang kata mama orangnya baik sedunia.”
Mama Memet dan mama Bety berteman dekat, mereka selalu kompak dalam berbisnis dan juga berteman sedari jaman sekolah.
“Mamaa!” teriak Bety lagi, ia sudah berada di ambang pintu.
Sampai beberapa langkah Bety langsung terhenti melihat ada ibu Ida, mama Memet yang duduk bersama mamanya di ruang tamu.
“Ngapain teriak-teriak sih, nak.” Mama Bety geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak gadisnya.
“Eh, ada tante juga, hehe.” Bety jadi salah tingkah karena telah teriak-teriak tidak jelas memanggil mamanya.
Di belakangnya Memet hanya diam mematung ia melihat ke sekeliling. Kenapa mama di sini juga, katanya dalam hati. Ia malu karena sedang memegang bouquet mawar merah itu.
“Wah! Si Memet udah bawa-bawa bunga, tuh. Udah siap melamar Bety, ya Met?” kata bu Ida tersenyum ceria.
“Siapa bilang aku mau melamar dia, ma. Tidak!” Memet meletakkan begitu saja bunga mawar itu di meja dan lantas menyalami mamanya dan ibu Rika, mama Bety.
Mata ibu Rika beralih menatap ke arah bouquet mawar yang tergeletak di meja itu. Lalu menatap penuh selidik ke arah Bety.
“Ada yang dapat bunga, nih!” goda ibu Rika menatap putrinya, yang terlihat malu-malu di samping Memet.
Mampus! Memet langsung memalingkan muka menatap ke langit-langit rumah, berharap kedua orangtua itu tidak bertanya yang aneh-aneh masalah bunga mawar itu. Tadi itu hanya sekedar menghibur Bety, makanya dia membelikan bunga. Dan ia juga tidak tahu kalau mamanya juga berada di rumah Bety saat ini.
Memet
Bety
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!