"ibu, apa ibu akan meninggalkan Layla?" - melamun, tatapan kosong mengarah kepada wanita separuh baya yg berdiri didepan saat ini
"kenapa Layla - tanya nya, "bukankah kamu sudah terbiasa tanpa ibu dan tanpa ayah" - terdiam sejenak.
"sejak kecil kamu slalu terbiasa sendiri, bukan?" - usaha mencairkan suasana, aku menarik wajah kebawah langsung terdiam.
"mulai kecil kamu menyukai warna ungu bahkan semua kamarmu penuh dengan warna ungu mulai cat dinding sampai sprei, baju tidur juga banyak warna ungu. Ibu sangat faham dengan kesukaanmu, Layla" - meyakinkan bahwa ia begitu peduli.
"kenapa ibu tidak mau tinggal bersama Layla? dan membiarkan ayah pergi sendiri" - tanyaku suara lembut penuh keraguan.
Ku memalingkan wajah melanjutkan memasukkan barang barang kedalam koper "karena ibu sangat mencintai ayahmu" - meninggikan suara, sedikit mengejutkan "maafkan ibu, Layla" - mengelus pipi menatap dengan mata sayu.
Wajah tertegun mengekpresikan kekecewaan, aku mengatakan hal yang tersimpan padanya "ibu sudah meninggalkan Layla sejak kecil, Layla besar hanya dengan pembantu kepercayaan kalian, bukan dengan kalian" - suara parau, melanjutkan dengan terbata bata
"padahal baru 3 bulan kalian bersama ku setelah kepergian yg sangat lama, tapi kenapa harus pergi lagi?"
"Layla" - tangan lembut meraih wajah mengusap rambutku yang hitam lurus memanjang sepinggang "ibu sangat menyayangimu Layla" - ia tersenyum, membalas tatapan mata yang sinis.
Wajah kita saling berhadapan saat ini, tapi kita tampak berbeda, ia dengan kulit putih pucat dan aku memiliki warna kulit kekuningan.
Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi, jam dinding berada tepat diatas jendela. Terdengar suara detik detik jam mengisi ruang kamar, cahaya matahari menyengat menembus kulit beberapa pot bunga yang memenuhi ruangan berpadu dengan sprei motif bunga warna "ungu" dan lagi aku merapikannya.
"Soraya" - pria separuh baya berdiri didepan pintu mengarahkan kedua mata menuju padaku.
Wajah dan warna kulit terlihat sama denganku seperti itulah ayah memanggil ibu yg saat ini sedang membantu beberes barang, ia memandang begitu ragu "apa kau sudah yakin Layla, kali ini kami akan meninggalkanmu lumayan lama" - tuturnya, spontan membuatku sedikit down
"aku sudah terbiasa sejak kecil" - penjelasan penuh keraguan "lalu apa kalian masih ragu?" - lanjutku, sedikit menekan bahwa aku baik baik saja.
Ibu memeluk, mencium kening dan mengusap rambutku "i'm sorry Layla .... ibu sangat mencintaimu" - dan lagi perkataan ini membuat semakin putus asa.
Aku tersenyum menatap pria separuh baya yg mirip denganku tidak lain adalah ayahku sendiri. Ia berdiri tepat didepan pintu kamar.
tanpa menghiraukan mereka, aku berbalik membelakangi dan melanjutkan merapikan barang barang memasukkan satu per satu kedalam koper sampai bayangan ayah tidak lagi terlihat, kini hanya ada ibu yg membantu merapikan semua.
"aku akan merindukan kamarku yang full warna ungu" - ucap dalam hati
Beberapa foto masa kecil sampai dewasa terpasang di dinding, semua mengenakan baju berwarna ungu dan tidak ada foto kami bertiga. Foto artis favorit ku letakkan dekat meja belajar sambil merapikan rak buku yang penuh buku novel dan pelajaran semasa sekolah.
Sepoi angin menembus kulit melalui jendela sebelum ku tutup rapat.
Langkah kaki melangkah berjalan menuruni anak tangga satu per satu, aku memasang headset dan mendengar lagu classic sambil membawa koper yang berisi barang barang. Untuk kali ini mereka meninggalkan tanpa harus tinggal dirumah.
Terlihat ibu sibuk dengan handphone pribadinya memasukkan barang - barang pada bagasi mobil, langit kian berubah mendung angin menyapu rambutku yg lurus memanjang sepinggang menutupi bagian belakang jaket jeans berwarna hijau army yang ku kenakan, dan sepatu kets hitam putih.
"Layla... cepat" - gaya ibu suka memburu waktu
ku membalikkan tubuh mengamati keadaan rumah sambil terus melihat balkon kamarku yang berada ditengah pas diatas pintu masuk seakan aku sangat merindukan bangunan ini, rumahku tempat aku besar tanpa orangtua dan hanya pembantu yg dipercayai yg membesarkan ku. Masa masa kecil sangat tidak membahagiakan. Berbeda dari teman teman yg lain, terpenuhi segala materi dengan kasih sayang dari orangtuanya.
"huft ... " - sedikit membuyarkan lamunan kosong, melangkah menuju mobil Camry milik ayah, hembusan angin kencang mengagetkan bergegas dan kemudian kami pergi
Kali ini perjalanan akan sangat jauh, menuju ketempat teman ayah dengan kecepatan mobil yg di kendarai nya. Hujan pun turun deras bahkan terasa sangat dingin didalam, kaca kaca mobil mulai mengembun. AC perlahan menusuk kulit menembus jaket jeans, tapi aku masih asik dengan musik classic bahkan sengaja ku perbesar volumenya tak mempedulikan ibu yg terus menelepon, dan ayah yg fokus menyetir. Pandangan kosong menikmati pemandangan luar memenuhi mata. Hujan deras begini, masih ada orang dipinggir an jalan, beberapa dari mereka mendayu sepeda tanpa jas hujan "malang sekali nasibnya" - gerutu ku.
"Layla" - panggil ayah melihat dari spion mobil mataku teralih kepadanya. Tangan bergerak mulai mengecilkan volume musik. "aku harap kamu akan betah, tinggal dirumah teman ayah" - aku terdiam, dan lagi lagi ingin menangis.
"kalian begitu lama meninggalkan Layla" - bisik dalam hati, ibu menoleh kebelakang dan meraih tanganku seakan tahu dengan isi hati "maafkan ibu dan ayah, karena sudah sering meninggalkanmu sejak kecil dan kamu besar oleh orang lain. Ayah begitu sibuk dengan pekerjaan, aku harap kamu mengerti Layla" - kata kata menusuk lebih parah lagi, aku menarik tangan dari genggaman Ibu
"aku tidak apa apa jangan khawatirkan aku" - membuang muka. "aku sudah terbiasa sejak kecil ... jadi kalian terlalu berlebihan jika harus mengkhawatirkan ku " - ucapku sedikit ketus. Mata berpindah melihat keluar jendela, menyatakan bahwa perkataan ini telah selesai.
Lagu yg didengar lewat headset sengaja ku perbesar volumenya lagi. Mataku mengarah keluar menikmati pemandangan dengan pepohonan menjulang tinggi berjajar, ditambah sepoi sepoi angin menyejukkan. Langit mulai berawan dan tidak turun hujan tapi jalan masih sangat basah.
Aku duduk dibelakang tepat di belakang ibu, dari samping aku dapat melihat ayah yg lagi menyetir. Mata sayup sayup melihat pemandangan sedikit membuat mengantuk, hawa bertambah dingin. Kaca mobil mulai mengembun, volume lagu classic sedikit terdengar samar. Ku sandarkan tubuh pada kursi dan sangat nyaman sekali.
Ayah menggunakan mobil kesayangan Camry, aku terbebas duduk dibelakang meski kaki ini agak menekuk, ku luruskan sebisa mungkin tapi mustahil. Kulipat kedua tangan sehingga lengan saling bersentuhan dengan telapak tangan, sambil terus menguap karena mengantuk. Kini yg terpapar dijalan hanya pepohonan yg hijau, dan beberapa kedai kopi yang terbuat dari gubuk, seperti pedesaan.
Musik classic beralih pada lagu slow, tak terdengar suara ibu sama sekali, entah yang dilakukan ibu aku tidak tahu, kedua bola mata masih fokus keluar memandang jalanan yang hijau, burung burung beterbangan diatas langit, cuaca agak gelap tak ada sinar matahari.
"Layla " - panggil ayah lagi sontak membuyarkan lamunan, mata ayah melihatku dari spion dalam, aku merunduk. "kau sudah menentukan tempat kuliahmu? dimana kau akan berkuliah" - pertanyaan mengintimidasi, "belum ayah" - jawab spontan "lagian Layla barusan lulus dari sekolah, umur Layla masih muda 19th, jadi ayah kasih waktu setahun untuk memikirkan nya" - penjelasan yang bagus menurutku karena pelajaran sangat membosankan.
"hmm, aku harap kamu segera menentukan, ingat waktu bersantai tidak lama Layla" - ucap ayah tegas. "Baik ayah" - wajah muram yang tidak bisa ku sembunyikan lagi, tampak ibu tidak merespon perbincangan kami, mungkin ia tertidur pulas.
Mobil berhenti tepat dihalaman yang sangat luas bak lapangan sepak bola, pagar besi menjulang tinggi terbuka lebar.
Rumah dengan bangunan kuno dan paling megah dari rumah lainnya, sangat terheran bila terdapat tempat semegah ini di daerah pegunungan. Depan rumah langsung dihadapkan dengan jalan raya menurun dan menanjak, jadi ini masih pertengahan dari puncak gunung.
"Wah, bahkan ini lebih besar dari rumahku !" - mata mengamati halaman, terdapat 3 mobil terparkir BMW Sport, Jeep Rubicon, dan Camry mirip dengan milik ayah.
Dari luar bangunan cat tembok penuh warna putih, bahkan jendela kaca tembus pandang memanjang dari atas atap rumah sampai kebawah berdampingan dengan pintu masuk, terdapat anak tangga berkelok dari dalam rumah yg sedikit tertutup kelambu.
"Bagaimana ayah memiliki teman sekaya ini" - gumam, takjub.
"Layla ayoo" - ayah membuyarkan lamunan "kita harus cepat ! jika tidak cepat aku dan Soraya akan ketinggalan pesawat, kau tau jarak dari sini ke bandara lumayan lama" - bergegas mengambil barang barang dari garasi mobil, tampak ayah dan ibu telah mencapai pintu masuk
"tok tok..." - suara ketukan pintu, terdengar dari tempat saat ini aku berdiri, segera ku berlari menuju pintu dengan membawa tas yg lumayan berat
"cekrek" - suara pintu terbuka, nafas terengah engah berdiri dibelakang mereka.
Pemuda keluar dari balik pintu, kulitnya begitu putih bentuk wajah yang lonjong, rambut lurus hitam lumayan tebal bentuk short neat. Ia berdiri kaku, memakai kaos putih lengkap dengan celana blue jeans. Aku hanya mencapai pundak dari ketinggiannya, ia menarik bibir tersenyum dengan wajah yang kaku menyapa ayah dan ibu yang saat ini berdiri didepannya
"ada yang bisa saya bantu ?" - ucap lirih, mata yang tajam langsung tidak memperlihatkan keramahan ketika memandang ku. Tertegun, bersembunyi di balik tubuh ayah, beralih pada sepatu kets yg ku kenakan, tanpa memandangnya lagi.
"saya Jafar Shodiq dan ini istri saya Soraya, saya ingin bertemu bapak Khadir, apa bapak Khadir ada dirumah?" - suara parau ayah memperkenalkan diri
"oh... ayah, dia ada paman" - terdengar suara yang menggema "saya anaknya Ali" - lanjutnya, memperkenalkan diri. Mata masih tak berani memandang nya lagi
"baik saya akan panggilkan, silahkan masuk" - tanpa basa basi lagi, ia mempersilahkan kami masuk. Berjalan tepat dibelakang ayah tanpa mendongak kan wajah fokus bersembunyi mengamati lantai keramik menuju ruang tamu.
Lukisan seorang pria berwajah eropa terpampang pada dinding dengan ukuran yg sangat besar serta pedang panjang dan pakaian putih bak pahlawan pada jaman peperangan, tertulis dibawah lukisan tahun 1990 dibuat. Ruangan dipenuhi barang kuno terdapat guci dan beberapa benda antik yang terbuat dari keramik, berjajar lukisan orang pada jaman dahulu terpajang rapi pada dinding.
"Pemilik rumah ini seperti kolektor barang" - bergumam sendiri
"Layla, paman Khadir orang jaman dahulu yg sangat gemar terhadap barang barang kuno, dia anak dari Belanda dan Indonesia … Khadir Jhavaleen" - penjelasan ayah, membaca mimik muka yang terheran
"dulu tahun 1980 dia senior ayah kuliah di Universitas Daya Bhakti" - lanjutnya. "Saat itu usia dia masih 20th dan aku 18th, setelah lulus kuliah ia jadi pegawai batu bara di Kalimantan sampai akhirnya dia menjadi pemilik batu bara sendiri" - terdiam seksama mendengarnya.
"Semoga paman Khadir bisa menerimamu" - lanjutnya lagi.
Tak sepatah kata keluar dari bibir, menanggapi sedikitpun tidak. Perkataan ayah membuat diam seribu bahasa, sekarang perasaanku bercampur aduk antara sedih dan menyesal bahwa aku akan ditinggal lagi oleh mereka.
"Jafar !!! " - lelaki paruh baya, gagah sedikit gemuk mendatangi tempat duduk ayah. Berpelukan sebentar lah mereka
"kau dir? apa kabar? "
"syukur sehat semua disini, far !! sudah lama tidak bertemu, mau minum apa? biar aku panggilkan" - terlihat ayah sangat antusias dengan pertemuan ini.
"mbok ne...mbok ne" - suara lantang paman Kadir
segera wanita tua datang "mbok ne bikinkan wedang jahe untuk mereka, disini musim dingin jadi alangkah bagusnya minum wedang jahe" - lanjutnya, penjelasan masuk akal karena cuaca, bergegaslah wanita tua itu pergi.
"Waduh ... sudah lama kita tak jumpa, kau masih bergelut di usaha minyak bumi, far ?" - tersenyum sinis
"iya dir, ini aku mau ke Arab Saudi untuk pekerjaan mengebor minyak bumi" - ungkap ayah
"hast, jangan panggil Kadir lah !! aku ini di perusahaan biasa dipanggil bapak Jhavaleen, Java panggil aku Java" - potong paman Kadir, tertawa sesekali meledek.
"Hahaha.. bisa aja kau dir, bukan begitu ini aku mau menitipkan putriku kepadamu sampai aku kembali dari pekerjaan"
"hah.. siapa?" - terheran, menoleh ke arahku
"Layla" - perjelas ayah, mengangkat wajah sambil tersenyum "paman Khadir salam" - ucapku canggung.
"Ini tuan" - mbok ne mengantar minuman wedang jahe untuk kami, menutupi pandangan paman Khadir terhadapku "oh oke oke, baik ... kira kira berapa lama rencana kau disana?"
"kurang lebih 5 tahun" - jawab spontan ayah.
"Maksudku apa kau tidak apa apa meninggalkan Layla dalam waktu segitu?" - wajah heran paman Khadir terhadap ayah
"aku mohon sangat untuk menitipkan kepadamu, aku tidak bisa meninggalkan Layla sendiri disini di kota ini. Kau tau kan sekarang kejahatan merajalela, aku takut jika Layla ditinggal sendiri dirumah, takut ada perampok atau pembunuhan atau apalah. Jaman sudah berbeda, keamanan sudah tak terjamin aku mengkhawatirkan Layla. Apalagi dia anak satu satu ku" - mata paman Khadir sesekali melirikku, terheran.
"Oke oke" - ungkapnya santai
"untuk biaya hidup aku sendiri yg akan mengirim Layla dan kau dir"
"kau meledekku far" - spontan paman Khadir tertawa, "biaya hidup Layla tidak usah kau kirim aku sudah menjamin" - suara menantang membuat ayah tak bisa menahan tawanya.
"ngerepotin kau dir, tetap aku akan mengirim Layla, mgkin dia perlu sesuatu" - terdiam sejenak.
"Oh ya tadi itu anakmu?" - tiba tiba ayah mengalihkan pembicaraan "lelaki muda itu ?" - basa basi ayah, sangat bisa diprediksi
"oh Ali" - wajahnya berubah senang, "iya dia anakku tapi wajah kita tidak mirip" - lanjutnya
"anakmu berapa, dir ?" - suara lantang ayah
"pertama anakku bernama Helma, dia kuliah di Perancis. Kedua Ali dia kuliah di Universitas Cokroaminoto ambil jurusan hukum, bentar lagi akan lulus. Dan ketiga Haby putra ketiga ku, dia baru masuk kuliah 1 tahun ini, universitasnya sama dengan Ali ... itu anak anakku" - menatapku tersenyum
"kau akan senang disini Layla" - lanjut paman Khadir, lagi lagi aku merasa perkataan itu menyiksa sekali
"kuharap paman" - sedikit menekan.
"Oke kalau begitu, dir !!! aku titip Layla padamu waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 pesawat ku berangkat jam 17.00, kau tau kan jarak dari rumahmu yg lokasi pegunungan ini amatlah jauh dari bandara" - ayah berdiri menghadap paman Khadir yg saat itu juga berdiri mengikutinya
"Layla, ayah dan ibu pergi dulu".
Tanpa membalas perkataan ayah, ku menundukkan kepala membiarkan paman Khadir mengantar sampai keluar sendiri.
Suara pembicaraan mereka masih terdengar dari dalam, aku mengamati ruang tamu dengan desain kuno, memutar mata mengamati sudut ke sudut, tiap tiap sudut terdapat barang barang antik.
"Its amazing..." - bergumam, tanpa peduli suara mobil ayah yg kian menjauh dari rumah ini
"Layla ..." - suara paman Khadir memanggil, ia berjalan menaiki anak tangga
"iya paman" - kode bersiap mengambil tas koper dan bergegas melangkah menuju tangga
"kau berumur berapa Layla ?" - tanyanya saat ini, berjalan memunggungi ku
"19th" - mata menatap keluar jendela melihat pemandangan hijau yg sangat indah, puncak gunung terlihat jelas "kenapa tidak kuliah ?" - tiba tiba pertanyaan interogasi membuyarkan
"karena Layla belum minat !!" - jawaban spontan, tanpa berfikir
"aku punya anak perempuan Helma dia mengambil kejuruan desain di Perancis. Mungkin suatu saat kau bisa belajar banyak darinya" - ungkap paman membuat terdiam
"iya paman" - tersenyum, jawaban singkat.
Tangga ini rasanya tinggi sekali, keringat mulai bercucuran tapi masih belum sampai juga.
"host ... " - gerutu ku
"ada apa Layla?"
"tidak apa apa" - tanpa sadar, sudah mencapai ruang atas
"wow ...." - ditengah terdapat ruang keluarga dengan karpet berwarna putih ditambah TV Flat berukuran bioskop.
Ada beberapa jendela dan tanaman diluar tak jauh dari ruang keluarga, sungguh sangat indah
"ikuti paman !!! " - suara menekan, berjalan berlawanan arah dari ruang keluarga menuju salah satu ruangan agak ke sudut terdapat kamar per kamar berjarak 1 meter.
Salah satu pintu terbuka lebar, bayangan laki laki berkaos putih dari balik rambutku terlihat jelas sedang duduk sambil memainkan laptop.
"ini kamarmu" - tunjuk paman, jarak 2 ruangan dari kamar Ali.
Aku memasuki kamar dan mengamati desain cat tembok berwarna biru telur asin, lukisan lukisan dan pot bunga full dinding kamar. Meja belajar bersebelahan dengan jendela yang menghadap pada halaman rumah, persis tidak jauh berbeda seperti kamarku memiliki balkon menghadap ke depan
"ini sudah lama tidak digunakan" - perjelas paman Khadir
"tepat disebelah Ali, adalah kamar Helma, dan antara ruangan Helma dan ruangan mu adalah kamar Haby, semoga kamu menyukai nya Layla. Kalau ada apa apa panggil saja pembantu rumah ini" - ungkap paman
"baik paman" - ucapku tegas
"Ding dong ding dong" suara jam dinding menunjukkan pukul 06.00 pagi
aku tertidur lelap kelelahan karena perjalanan tanpa sadar melupakan barang barang ku dari dalam koper "aku belum merapikannya" - bergumam sendiri
"tok tok" - getaran pintu.
"Layla, kau sarapan lah !!! tadi malam kau tidak keluar sama sekali. Jangan telat makan! paman akan pergi beberapa waktu" - suara paman dari balik pintu
"iya paman" - jawabku, meraih tas koper mengeluarkan semua baju, parfum, alat make up, alat catok / curly, dan sabun mandi
aku tertidur mulai kemarin sore sambil merenung "huft"
"brm" - suara mobil dari luar jendela, segera ku melompat dari spring bed menengok kebawah halaman
paman Khadir meninggalkan kediamannya memakai mobil Camry.
Segera menuju kamar mandi yang berada di sudut dalam kamar, setelah beberes barang mengeluarkan baju bajuku seperti hem, kaos, celana jeans, celana kain, sepatu flat, boot dan kets juga terdapat parfum badan kopi, sabun mandi aroma coklat, make up mulai dari pensil alis, eyeliner, lips glos, lip tint semua ku rapikan dalam rak kosmetik yang tersedia di atas meja rias
"wus" - hembusan angin dari luar jendela meniup rambut yang basah sehabis keramas
alunan musik classic yang ku setel dari laptop beserta speaker menemani.
"Tralala lala" - memakai alat catok menggulung rambut yg lurus menjadi curly.
Hari ini mengenakan hem berwarna coklat dengan celana jeans biru, berpadu parfum aroma kopi menyejukkan hati.
Menuruni anak tangga satu persatu menuju tempat makan
terlihat sepi tanpa ada orang sama sekali "kemanakah ? apa memang selalu seperti ini?" - gumam sendiri, tampak di meja makan beberapa sayur berkuah, mie kuning kering, daging ayam, dan roti gandum.
Mengambil roti gandum dan selai, langsung memakan lahap "yum...yum" dengan minuman juice jeruk
"wah enak sekali" - kelaparan karena tadi malam.
Kediaman paman Khadir tampak sepi hanya ada mbok ne tapi saat ini mbok ne pergi ke pasar
tak selang berapa lama setelah sarapan,
"huft bosan sekali, sama seperti di rumahku" - mengoceh sendiri, aku pun kembali ke kamar melewati anak tangga satu per satu menengok tiap sudut, benar benar sepi untuk rumah semegah ini.
Pandangan terhenti tepat pada kursi sofa warna merah, Ali duduk dan fokus menonton film action. Wajahnya begitu kaku, mata tidak menunjukkan keramahan menatap layar lebar TV bentuk cinema bioskop, dia menikmati setiap adegan dan tak sedikitpun menoleh ke arahku, aku pun berbalik dan trus berjalan menuju kamar.
"Wah... ini film kesukaanku udah tayang !!!" - membuka laptop dan fokus menonton.
Tiba tiba cahaya kamar menjadi gelap, cahaya matahari tertutup awan mendung. Bergegas ku nyalakan lampu kamar meski sebenarnya ini masih jam 09.00 pagi, hujan mengguyur kota lagi
Beberapa hari ini update lagu lagu classic di youtube, memakai headset menikmati setiap alunan, membaca buku percintaan novel romance.
Tanpa disadari hpku berdering
"jangan lupa jaga kesehatanmu, mommy" - pesan dari ibu
aku melanjutkan membaca buku sampai tertidur lagi
"dok dok" - getaran pintu membangunkan ku
"nona Layla, makanlah ... makan malam sudah siap setelah ini bibi akan kembali pulang, jika butuh apa apa langsung ambil saja ke dapur" - suara mbok ne bergegas pergi
aku sangat mengantuk sekali saat ini, hujan masih tak berhenti dari tadi pagi.
Aku melanjutkan tidur lagi, benar benar payah.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tepat malam hari
"ding dong ding dong" - bel jam dinding menunjukkan pukul 00.00 malam
"kronyongg" - suara perut yang lapar.
Langkah kaki keluar menuju dapur benar benar sepi tidak berpenghuni "tau gitu sama saja aku tinggal dirumahku sendiri aja " - menggerutu lagi, memakan nasi dan ikan laut dimeja makan
"masakan mbok ne enak juga" - rasanya tidak tahan karena lapar, aku memakan semua lauk pauk.
Semua pintu kamar tertutup bahkan sedikitpun tak terlihat Ali,
selesai makan dan mengabaikan keadaan rumah, ku mencuci piring piring kotor.
"Geruduk geruduk" - suara petir hujan malam hari membuat kaget, aku berlari menuju tangga tapi lantai dekat anak tangga licin "aw..."
"huh ... panasnya" - membuka mata, tanpa tersadar aku berada diatas tempat tidur.
Cahaya matahari menyengat kulit waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi, pakaian ku masih tak berganti mengenakan hem coklat dan jeans biru, berusaha mengingat kejadian kenapa aku tidak memakai baju tidur
"aduh ..." - kepalaku terasa nyut - nyutan, punggung begitu sakit, keadaan pintu kamar tidak terkunci
"gawat ... tadi malam kan aku jatuh terpeleset dekat anak tangga. Siapa yang sudah memindahkan tubuhku" - mengingat sesuatu sambil memegang kepala.
Segera mengambil handuk, melepas pakaian dan bergegas mandi
shower air hangat ku nyalakan dengan busa sabun aroma coklat memenuhi tubuh, terasa rileks
"drt .. drt" - suara handphone yang ku taruh dekat meja belajar berbunyi pesan masuk dari Citra
"Layla, maukah kamu berjalan jalan denganku" - teman sebangku semasa sekolah mengirim pesan
"okay jemput aku" - balasan singkat
"oke Layla" - Citra SMA.
Hari ini aku pergi memakai baju hem hijau army dan celana jeans coklat, kombinasi sepatu flat merah maroon. Meng curly rambut yang ku kuncir sampai ke ujung kepala
"tin... tin" - bel mobil terdengar, tampak citra menunggu dihalaman. Segera turun dan menemuinya
"hay ... Citra" - sapaku berjalan melewati pintu ruang tamu menghampiri, ia keluar dari dalam mobil
"hay juga" - memelukku pertanda rindu.
"Kamu tinggal disini Layla?" - terheran mengamati rumah paman Khadir
"iya Citra ..." - jawabku, membuka pintu memasuki mobilnya
"kamu mau menyetir Layla?" - tawaran menantang yang tak bisa ku tolak
"semoga wajahmu baik baik saja jika aku mengendarai mobilmu" - kataku meledek, berpindah ditempat duduk kemudi.
Kami pun segera berpindah tempat duduk dan meninggalkan kediaman paman Khadir.
Mobil Citra Honda Jazz silver, seperti milikku semasa sekolah (Honda Jazz berwarna biru) aku ahli dalam menyetir mobil mungil ini, karena body nya yang ramping tidak terlalu susah.
"Kamu tau, sejauh apa rumahku dari tempat tinggal mu saat ini?" - keluh si tukang cerewet
"aku benar benar gila jika harus menjemputmu disini setiap kali kita bertemu" - lanjutnya.
"Dengan begini kita bisa jarang bertemu" - tertawa nyengir meledek, duduk disamping kemudi ia memprotes "Layla, bisakah kamu menyetir lebih pelan lagi" - matanya melotot "baik sesuai permintaan" - jawabku tersenyum.
"Layla, kamu yakin tidak memilih universitas sama denganku, kamu yakin tidak mau kuliah?" - kurasa ia mengulang pertanyaan itu untuk kesekian kalinya, dan mengerti jawaban yang akan keluar dari mulutku
"jangan memaksaku, aku sangat bosan !! kamu tau berapa jam kita menghabiskan untuk belajar semasa ujian, full time. Dan itu menyakitkan" - lagi lagi aku bersikeras, ia tampak tertawa meledek
"oke oke ... Layla, itu rumah milik siapa?" - tatapan interogasi
"rumah teman ayah" - jawaban santai.
"Heran juga di wilayah pegunungan seperti itu, ada rumah megah bak istana" - teka teka dalam fikiran yg diucapkan bukan oleh mulutku.
Aku terdiam merenung, menyala kan bluetooth dan menyambungkan ke speaker mobil milik Citra, alunan suara lagu classic mendamaikan fikiran.
"Layla, selama mengenalmu di sekolah kamu tidak pernah punya pacar, berbeda sekali denganku" - pertanyaan membosankan yang tidak ingin kudengar, "apa kamu tidak pernah tertarik dengan lawan jenis?" - lanjutnya.
"Belum ada" - sekilas bayangan Ali mengisi fikiran "bukan begitu, aku belum bertemu orang yang tepat saja" - pandangan fokus pada jalan didepan, tak berubah.
"semoga kamu segera menemukannya" - meledekku, tampak ia juga menikmati pemandangan diluar tak mempedulikan.
"semoga saja... " tersenyum sedikit.
Kami tiba di mall Cinema tepat pukul 15.00 sore, kegiatan kami adalah menonton bioskop drama romance, membeli beberapa bedak foundation, memakan pizza italia dan bermain roller coaster
"huuek ..." - Citra tertawa melihatku memuntahkan semua makanan dalam perut dan berlari mencari toilet.
Dan beberapa menit harus menunggu
"lama sekali di toiletnya ?" - wajah begitu kesal, komplain yang tidak ingin kudengar.
"Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak mau naik roller coaster, okay" - gerutu, membuang muka.
Kami berjalan menuju parkiran mobil "Layla, bukankah ini terlalu larut jika harus pulang kerumah teman ayahmu" - fikiran berubah seketika "sekarang pukul 19.00" - menunjuk arloji di pergelangan tangannya.
"Kamu tau jika harus kembali kesana mungkin sekitar jam 23.00 kita sampai, dan kamu membiarkan aku balik dari rumah itu jam segitu?" - keluhnya lagi, melanjutkan pembicaraan
"mau kan kamu nginep di apartemen ku?" - pintanya merayu, senyum tak pasti aku menjawab "baiklah, ini harimu tapi antarkan aku besok pagi pagi sekali ya" - menekan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!