CAPTER 1
DALAM PERJALANAN PULANG
“Pria bersarung ngapain ngelihatin aku kayak gitu?!” teriak Naura sambil melototi laki-laki bersarung yang tidak lain bernama Hasan.
“Kenapa ... apa aku nggak boleh masuk?!.” “Maaf mba ... saya cuma...,”
“Cuma apa hah?!.”
“Itu tempat wudhu wanita di sebalah sana!.” Sambil menunjuk kearah panah yang bertuliskan WANITA.
Naura mengabaikan Hasan dan berjalan menuju tempat wudhu wanita yang sudah ditunjukkan oleh pria itu.
“Mmmm...” Guman Hasan sambil memasuki masjid dan menunaikan sholat magrib.
Setelah selesai sholat dia kembali mengganti sarungnya dengan celana dan menyimpan sarung itu di jok motor. Dia merapikan kembali kemeja dan mengecek tatanan rambutnya melalui spion sepeda motor.
Dari teras masjid terlihat Naura berjalan menuju mobil Suv warna kuning yang terparkir dihalaman masjid dan hanya beberapa meter dari sepeda motor Hasan. Mata Hasan melirik sosok Naura, wanita dengan rambut diwarnai, memakai sandal hak tinggi dengan dress selutut bewarna army, tentu sangat kontras ketika berada di sebuah
masjid besar yang berdiri diseberang jalan. Naura merasa pria yang tadi sedang memperhatikannya, merasa seolah diintimidasi Naura berjalan menghampirinya.
“Mas nggak pernah lihat cewek kayak saya ada di masjid...ini kan tempat ibadah jadi bebas siapa saja yang mau shalat, emang ada tulisan di depannya HANYA UNTUK YANG BERHIJAB?!.”
“Jangan salah paham gitu Mba.”
“Salah paham apanya...saya nggak suka lho ya cara Mas ngelihatin saya..., apa karena saya nggak pakek gamis jadinya saya nggak boleh masuk buat salat?!.”
“Mba sekali lagi saya minta maaf, soalnya baru kali ini saya ngelihat...,”
Tiba - tiba handphone Naura berdering. Sambil mengangkat telapak tangannya, Naura memberi isyarat pada Hasan untuk diam.
“Iya Pa Naura masih dijalan, ini mampir ke masjid dulu...bentar lagi nyampek rumah!.”
Sambil berjalan menjauh dari Hasan
dan menghidupkan kembali mobilnya, sesaat kemudian mobil itu keluar dari halaman masjid dan menembus jalan raya yang lumayan padat.
Sementara itu Hasan juga kembali menyusuri jalan raya dengan sepeda motornya. Baru beberapa menit mengendari sepeda motor, dia melihat kembali mobil Suv bewarna kuning yang tadi terparkir dihalaman masjid. Hanya berselang beberapa detik si pemilik
mobil keluar dari Apotek yang berada dipinggir jalan. Terlihat dua orang
laki-laki berpenampilan kumal, yang satunya sambil merokok berjalan mendekati Naura.
Naura yang tidak menyadarinya
terus berjalan dengan santai menuju mobil, melihat gelagat dua orang itu, Hasan segera menambah kecepatan sepeda motor. Dan tepat ketika dua orang itu hendak merampas tas Naura, Hasan mengerem sepeda motornya persis disamping laki-laki berkaos biru, bahkan ban depan sepeda motornya mengenai laki-laki itu. Naura yang kaget, spontan kedua telapak tangannya memegang dada.
Hasan segera turun dari sepeda motor dan meraih pergelangan tangan Naura, menarik Naura kearahnya sambil mengarahkan tatapan pada dua laki-laki itu tajam. Wajahnya menunjukkan kewaspadaan level dewa dan siap menghajar keduanya jika tidak
segera enyah.
“Huhh.... “ Guman Hasan.
Naura yang masih terlihat shock tetap diam mematung, pandangannya terus tertuju pada Hasan.
“Ka..kamu!.” Suara Naura terpotong.
“Iya kenapa, mau marah – marah lagi?!.”
“Nggak, itu tanganmu.” sambil melirik bawah.
“Emang kenapa ma tanganku?!. ” belum menyadari.
“Kalo masih belum puas...pegang aja terus. “
“ Siapa juga yang mau pegang.” Sambil
melepaskan genggamannya.
“Lah tuh barusan...masih tebal muka
ngelesnya."
“Mba-nya...bukannya terimakasih malah ngomel!.”
“Ohh...jadi nggak ikhlas nolonginnya?!” suara Naura mulai meninggi.
“Bener-bener dah kucing betina ini," Guman Hasan
“Apa...coba ulangi?!” bukan hanya suara yang meninggi, pupil matanya juga melebar
“Nggak ada.”
“Jelas – jelas tadi ngomong!.”
“Kalau uda jelas ngapain nanya!," potong Hasan
Naura yang tersulut emosi, maju selangkah ke hadapan Hasan dan menatap tajam.
“Ehh.. Wadimor jaga sikapmu ya!.”
“Emmm....” Menghela nafas.
Hasan tidak mau meladeni, dia
memilih menaiki kembali sepeda motornya dan meninggalkan Naura.
-------
Di kediaman pak Malik
Ayah Naura tengah duduk diruang kerja sambil membaca buku, mendengar suara mobil anaknya memasuki garasi, dia menyudahi bacaannya dan
keluar menyambut hangat putri semata wayangnya itu.
“Na...papa rencananya besok mau keluar kota.”
“Kemana Pa?.” tanya Naura sambil memeluk erat ayahnya.
“Ketemuan sama teman lama papa.”
“Mmm...how long?.”
“Mungkin dua hari."
“Sama siapa Pa?."
“Sama David”
“Ok...”
Naura memberikan ciuaman
hangat di pipi ayahnya dan bergegas kelantai atas menuju kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Beberapa saat kemudian dia kembali turun dan menemui ayahnya yang sudah menunggu dimeja makan.
“Emang siapa teman lamanya Papa itu...Nana kenal nggak Pa?.”
“Na nggak kenal.”
“Oww....”
Naura mengambilkan beberapa
makanan dan meletakkannya di piring, dan juga menuangkan air putih untuk ayahnya.
Setelah makan malam ayah Naura kembali ke ruang kerja tapi kali ini tidak untuk melanjutkan bacaannya, melainkan untuk menelfon teman lama yang dia maksudkan tadi.
------
Dilain tempat
Hasan segera memarkir sepeda motor miliknya begitu tiba di rumah, dengan perasaan kesal dia memasuki rumah.
“Kenapa Mas?!.” tanya Ilham.
“Ehh...apa?.”
“Yahh...gagal fokus."
“Emang nanya apa barusan?.”
“Masnya kenapa...kok kayak lagi emosi gitu?!.” Ilham mengulangi.
“Ohh...nggak ada cuma,” Hasan tidak
melanjutkan omongannya, dia malah tersenyum tipis.
“Lah kok malah senyum – senyum sendiri...tanda – tanda ini."
“Tanda- tanda apa hah?.”
“Ya...itu dah!.” Sambil nyengir.
“Itu apa?!."
“Itu....”
“Itu apa?!.” Mulai kesal.
“Itu kesurupan.”
“Apa?!."
“Kesurupaan kuntilanak cantik!.” Ilham
menjelaskan sambil tertawa
“Siapa Ham yang kesurupan kuntilanak
cantik?.” Andik berlari menghampiri mereka berdua
“Siapa lagi kalau bukan Mas bujang ini.”
Ilham tertawa
Hasan menendang betis Ilham
dan berlalu dari hadapan dua kunyuk itu, begitu berada dikamarnya dia senyum –
senyum sendiri tak kala mengingat pertengkarannya dengan si kucing betina.
CAPTER 2
PERMINTAAN YANG BIKIN PENASARAN HASAN
Ditengah – tengah keseruan sekaligus
tegang nonton pertandingan MMA yang disiarkan langsung disalah satu stasiun tv swasta, handphone Hasan berdering, setengah kesal dia berlari memasuki
kamar. Wajahnya terlihat kaget ketika melihat nama yang tertera di ponsel itu.
“Assalamualaikum...pak Yai."
“Waalaikumussalam...piye kabare le?" tanya pak Yai dalam bahasa jawa.
“Alhamdulillah pak Yai."
“Le ... hari ahad besok bisa datang ke
pesantren?.”
“Inshaallah pak Yai ma...maaf pak Yai kalau boleh saya tahu ada...,”
“Ndak da acara apa – apa...cuma pak yai ada keperluan sama kamu.”
“Keperluan?!.”
“Iya...gimana Le bisa?.”
“Iya pak Yai inshaallah saya bisa.”
Selesai berbincang di telepon dengan pak Yai Hasan kembali bergabung, kali ini dia tidak seantusias seperti sebelumnya, pasalnya dia masih penasaran akan permintaan pak Yai untuk datang. Ilyas yang melihat perubahan mood senior sekaligus ustad-nya mencoba bertanya.
“Mas...kenapa?."
“Nggak apa – apa cuma penasaran aja kenapa pak Yai nelfon terus minta mas datang ke pondok."
Sebenarnya semua juniornya di pondok memangilnya dengan ustad tapi Hasan tidak mau ketiga bocah itu memanggilnya demikian.
“Jangan – jangan pak Yai mau jodohin Mas sama neng Salma.“ Celoteh Andik.
Sudah rahasia umum di pondok
kalau neng Salma yang tak lain adalah putri pak Yai mengagumi Hasan. Bahkan santri – santri menganggap mereka pasangan serasi dan mendoakan mereka berdua berjodoh. Hasan sebenarnya bukanlah pria ganteng tapi sikapnya yang dewasa, tenang, tidak boros bicara tapi murah senyum membuatnya dikagumi, disamping itu otaknya yang encer menjadi nilai plus.
Dia hanyalah pria berperawakan jangkung dengan kulit coklat khas indonesia, hidungnya lebih
menonjol dari ukuran standar orang indonesia dan kedua matanya memiliki
pandangan yang tajam, serta jenggot tipis tumbuh dibagian bawah bibirnya
semakin menambah kesan maskulin pada dirinya. Hasan menepuk bahu Andik untuk menyanggah omongannya.
“Ngayal kamu ini!."
“Kalau beneran gimana Mas?.” tanya Ilham.
“Beneran apanya...ya nggak lah!.” jawab Hasan sambil mengalihkan obrolan.
“Gimana kalau kita taruhan...kalau beneran dijodohin, Mas harus traktir kita.” Ilham masih tidak mau mengubah topik.
“Setuju.” Ilyas dan Andik langsung menjawab dengan semangat.
Hasan tidak berani menangapi ide konyol mereka bertiga, dia lebih memilih pergi meninggalkan tiga kunyuk yang masih berdiskusi.
“Beneran lho Mas?!." seru Andik masih tidak mau menyerah.
Di ruang tengah mereka bertiga
masih antusias membahas alias bergosip soal perjodohan Hasan dan neng Salma, lain halnya dengan Hasan yang tengah rebahan diatas kasurnya, justru teringat dengan Naura. Kilas balik pertemuan mereka kemarin malam tengah diputar dibenaknya..Hatinya bergetar mengingat pertengkaran konyol itu, entah perasaan apa yang
ditimbulkan sulit untuk dijelaskan, keinginan untuk bertemu kembali menggores hatinya.
---------
Sore ini setelah mengajar dia
langsung pulang ke rumah dan bersiap – siap untuk berangkat ke pondok. Mengingat perjalanan cukup jauh, Hasan memutuskan berangkat ke sana dengan kereta api. Dia harus menghemat tenaganya mengingat sebenarnya jadwal mengajarnya di kampus x cukup padat, ditambah kegiatan diluar kampus.
Kali ini dia meminta Andik untuk mengantarnya ke stasiun kereta, kebetulan Andik tidak punya jadwal kuliah di sore itu. Dengan mengendarai sepeda motor miliknya, Andik mengantar Hasan ke stasiun kereta dan menemani Hasan menunggu kereta datang.
“Kabari ya Mas kalau uda nyampek."
“Hmmm....”
“Ohh...iya salam buat pak Yai ya Mas.”
“Hmmm....” Sambil mengangguk Hasan berjalan menuju kereta dan melambaikan tangannya pada Andik.
-----
Di pesantren
Begitu tiba di pondok Hasan
langsung menuju ndalem pak Yai, beliau sudah menunggunya sedari tadi.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumussalam...la ini wes datang, sini Le masuk.” Pak Yai menyambutnya dengan hangat.
Sambil menggenggam tangan Hasan beliau menuntunnya ke dalam dan memintanya duduk berhadapan dengan seorang tamu, tamu itu terlihat akrab dengan pak Yai.
“Paling temannya pak Yai Bapak ini." gumannya dalam hati.
“Le kenalkan ini pak Malik, beliau temannya pak Yai dulu di pondok x tapi nasib kita berbeda....” Dengan tertawa kecil pak Yai memperkenalkannya pada Hasan.
Pak Malik tersenyum dan Hasan
pun membalas senyuman pak Malik sembari mengulurkan tanganya untuk bersalaman.
“Le...pak Malik ini punya hajat sama kamu.”
“Maaf pak Yai....”
Sambil tersenyum pak Yai melanjutkan
pembicaraannya yang terpotong namun beliau sempat menoleh ke pak Malik sebelum melanjutkannya.
“Beberapa waktu lalu Beliau minta dicarikan mantu ke pak yai...la kok pak yai kepikiran ke kamu, jadinya pak yai minta kamu kesini biar bisa ketemu langsung sama beliau."
“Saya?!." Hasan bingung harus bicara apa, dia hanya duduk diam dan menundukkan kepalanya.
“Anak saya cuma satu dan saya rasa saya membutuhkan seseorang yang bisa mengarahkan dia...dia lama tinggal diluar negeri jadi sikapnya kebawa luarnya.”
“Gimana Le?.”
“Maaf pak Yai tapi saya rasa...saya kurang pantas...."
“Pantas yang gimana yang kamu maksud Le?!.”
“Semuanya pak Yai....” Menunduk.
“Semuanya...bisa dijelaskan?!." tanya pak Malik menyela.
“Saya hanya orang biasa Pak...latar belakang saya juga bukan dari kalangan...," kata Hasan tak lanjut.
“Saya tidak butuh latar belakang yang kamu maksud itu Nak...orang tuamu pasti bangga punya anak seperti kamu.”
“Maaf pak kedua orang tua saya telah
meninggal, saya tidak memiliki apa-apa yang bisa saya berikan pada Bapak terlebih pada putri Bapak.”
“Asal punya akhlak yang baik itu sudah lebih dari cukup buat saya.“ ucap pak Malik meyakinkan Hasan.
Hasan kehilangan kata – kata lagi untuk menyanggah, dia terdiam. Pak Yai kembali mengambil alih pembicaraan.
“Gimana Le?.” tanya pak Yai.
“Saya...saya manut pak Yai.” Jawab Hasan gugup.
“Umurmu sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga, tinggal luruskan niatmu dalam menikah, inshaallah akan diberi kemudahan dan keharmonisan.”
“Injeh pak Yai saya manut." Seru Hasan.
Mendengar jawaban Hasan senyum lebar menghiasi wajah pak Malik, dia pun mulai bercerita tentang keluarnganya dan kesibukanya setiap hari termasuk mengenai putri semata wayangnya.
Setelah shalat magrib berjamaah, Hasan menemui pak Yai yang tengah berbincang berdua dengan pak Malik.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam wa rohmah...masuk Le.”
“Pak Yai maaf...saya ijin pamit....”
“Lho kok kesusu ... ndak nginep ... pulangnya besok saja!.”
“Mohon maaf pak Yai sebenarnya jadwal saya penuh jadi nggak bisa lama -lama."
“Gitu ya...saya pikir baliknya besok.“
“Naik apa baliknya Nak?.” tanya pak Malik ingin lebih akrab.
“Saya naik kereta."
“Pulangnya sama bapak saja ya..tapi nanti habis sholat isya."
“Terimakasih Pak saya...,”
“Wes baliknya sama Beliau Le..sekalian biar tambah akrab.” Usul pak Yai.
Kalau sudah pak Yai yang bicara tentu Hasan tidak berani menolak. Dia menerima tawaran pak Malik meski sebenarnya canggung buatnya untuk bersama, ditambah lagi sepertinya pak Malik memiliki latar belakang yang berbeda dengannya. Sepintas dari penampilannya menunjukkan kalau beliau orang berada.
Pak Malik dengan penuh kegembiraan menelfon asisten sekaligus supir, dia seorang pria paruh baya yang memiliki tampang lumayan cakep, namanya David dan dia sangat cekatan.
“Hallo...Assalamualaikum Vid tolong pesankan tiket ya buat bapak dan nak Hasan.”
“Waalaikumussalam iya Pak.”
“Ambil penerbangan terakhir aja ya.”
“Iya pak habis ini langsung saya pesankan.”
------
Setelah menunaikan sholat
isya’ berjemaah, pak Malik dan Hasan
pamit dari pondok. Meski merasa canggung Hasan melangkahkan kakinya memasuki mobil yang sudah dipesankan oleh David sebelumnya.
Setelah dirasa tidak ada yang ketinggalan, pak Supir menjalankan mobilnya menembus jalanan yang lumayan lengang. Maklumlah pesantren tempat Hasan pernah menimba ilmu berada di kota kecil, lalu lintas kendaraan tidak sepadat di kota – kota besar, tapi jarak antara pesantren dan bandahara lumayan jauh, membutuhkan kurang lebih empat jam dengan roda empat.
setibanya di Bandahara, David
langsung bergegas check in sebelum jadwal keberangkatan. Sementara itu, Hasan terlihat duduk berdampingan dengan pak Malik, mereka berdua terlibat obrolan yang hangat meski Hasan masih terlihat canggung dan malu – malu. Dia tidak berani mengajukan pertanyaan atau memulai pembicaraan, dia hanya memilih
merespon dan menjawab semua pertanyaan yang diberikan pak Malik kepadanya.
Pak Malik yang melihat kecanggungan Hasan, sesekali menepuk pundak ataupun menggenggam tangannya.
Cerita pak Malik tentang keluarga terutama anak perempuan semata wayangnya membuat Hasan penasaran namun dia tidak berani bertanya tentang calon istrinya lebih detail. Obrolan mereka terhenti dengan kedatangan David, mereka berdua pun segera bergegas dari kursi tunggu menuju ruang keberangkatan.
“Nak boleh bapak minta nomor teleponnya?" pinta pak Malik setibanya di bandara.
Hasan pun segera memberikan
nomor teleponnya dan pamit. Awalnya pak Malik berniat mengajaknya untuk pulang bersama namun kali ini Hasan menolak ajakan pak Malik.
“Terimakasih Pak tapi saya sudah ada yang jemput."
“Kenapa minta dijemput kan bisa bareng sama bapak."
Hasan tidak berani menjawab, dia hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya.
“Mas!.” Teriak Ilham sambil berlari kearah Hasan.
“Alhamdulillah." Batin Hasan.
Ilham mengabaikan keberadaan pak Malik yang berdiri disamping Hasan, dia berdiri didepan Hasan dan segera menarik tangannya.
“Pak maaf saya...,”
“Ohh iya iya hati – hati ya Nak.” ucap
pak Maik memotong omongan Hasan.
Ilham yang terkaget, seketika
membungkukkan badannya, sambil tersenyum dia pun mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Maaf Pak."
“Nggak apa-apa hati – hati ya...jangan ngebut dijalan.”
Hasan dan Ilham melangkah pergi meninggalkan pak Malik, Ilham yang penasaran memberanikan diri untuk bertanya.
“Mas Bapak itu siapa?."
“Yang mana?.”
“Ealahh...Mas malah balik nanya!.”
Hasan tidak menjawab, dia justru tertawa kecil sambil terus berjalan.
“Mas....jangan bikin penasaran napa!."
Tetap tidak menjawab, sambil
terkekeh Hasan terus berjalan. Ilham yang tidak kehabisan akal terus mencoba memprovokasi Hasan.
“Hmmm..calon mertuanya ya Mas?.” ucapnya cepat
Mendengar ucapan Ilham, spontan Hasan menghentikan langkahnya. Melihat ekspresi Hasan yang seketika kikuk dan panik, Ilham dengan yakin merasa mendapat jawaban. Sambil nyengir dia berjalan mendekatinya.
“Ayo Mas...buruan biar cepat nyampek rumah.” Ucapnya ditelinga Hasan.
Hasan yang masih kikuk sontak
tersadar, tangannya dengan cekatan memukul bokong Ilham dengan tas ransel yang sedari tadi menggantung di bahunya.
“Tinggal jawab iya ja kok susah Mas....” seru Ilham
“Uda ahh...ayo buruan."
--------
Di rumah Hasan
“Dik, Ilyas tau nggak barusan aku ketemu siapa!." seru Ilham dengan semangat.
“Ya mana aku tahu!.” Jawab Ilyas.
“Emang ketemu sama siapa?.” tanya Andik.
“Jangan ngegosip!.” Hasan mencoba
menghentikan Ilham.
“Calon...calon!.” Seru Ilham mengabaikan omongan Hasan.
“Apa sih maksudnya?.” Andik penasaran.
“Inget nggak taruhan kita yang kamarin lusa itu.” Ilham mengingatkan temannya.
“Wiiuuhhh...beneran?!.” mulut Ilyas ternganga.
“Tutupin mulutnya entar kemasukan lalat!" ucap Hasan.
“Nggak usah didengerin omongannya dia!" lanjut Hasan.
Ilham tidak menjawab pertanyaan Ilyas, namun dia memberi isyarat pada temannya itu dengan kedipan mata. Mereka berdua yang paham maksud dari isyarat itu spontan berlari mendekati Ilham.
“Kayak gimana orangnya Ham?" tanya Andik.
“Cantikan mana sama neng Salma?" tanya Ilyas tidak mau gantian.
“Iya ya...kenapa bukan sama neng Salma?!” ucap Ilham.
“Hehh..kayak siapa?” tanya Andik kembali.
“Bukan itu, tapi calon mertua....” ucap Ilham cepat.
“Calon mertua?!" seru Andik.
“Huhhh...langsung tancap gas...aroma janur uda mulai kecium nih!" goda Ilyas.
“Ya harus siap siap!” Ilham menimpali.
“Mas udah!" seru Andik tidak melanjutkan.
Melihat tingkah orang tiga itu, Hasan tertawa kecil sambil berjalan menuju kamarnya.
“Udah lanjut besok lagi" jawab Hasan dari dalam kamar sambil senyum – senyum sendiri.
-------
CAPTER 3
MENDADAK DIJODOHKAN,
TIDAK BISA DINEGO LAGI
Sinar matahari pagi menembus
kamar Naura melalui celah gorden pada cendela kamarnya, sinar yang terasa
hangat dikulit membuatnya terbangun. Dengan langkah malas dia berjalan ke kamar
mandi, bersiap – siap untuk berangkat ke butik seperti biasanya.
Langkah kaki penuh semangat
serta senyum cerah menghiasi wajahnya, dia menuruni tangga.
“Pagi Pa!.” Sapa Naura.
“Pagi Nak...sini sarapan habis itu jangan
langsung berangkat ya....”
“Emang kenapa Pa?.”
“Nggak ada.”
“Ihhh...papa kalo ngak ada, kenapa mesti
ditahan dulu Naura.” Seru Naura dengan memonyongkan mulutnya.
“Udah ayo sarapan dulu!."
Setelah selesai sarapan pak
Malik beranjak duluan, sementara Naura masih membantu bik Siti merapikan meja
makan seperti biasanya. Teringat dengan pesan ayahnya, Naura menghentikan
pekerjaan. Dia pamit sama bik Siti yang tengah mencuci piring.
“Papa nggak kenapa – napa kan?." tanya Naura mengejutkan papanya.
“Emangnya papa kenapa?!.” Pak Malik balik
bertanya.
“Yah si Papa malah balik nanya, tadi nyuruh
Nana jangan langsung berangkat!.”
“Oww...itu, sini duduk deket papa." Pinta pak
Malik.
“Ada apa sih Pa?.” Naura tambah penasaran.
“Na-papa mau nikahin Nana sama...,”
“NIKAH Pa?!” Bola matanya melotot, tidak percaya dengan ucapan ayahnya.
“Iya nikah...papa uda ketemu sama dia, dia
juga sudah setuju!.”
“Pa...harusnya kan Papa bilang dulu ke Nana...." Suaranya melunak.
“Perasaan papa uda bilang sayang....”
“Nana nggak mau!.” Ucap Naura dan seketika
berdiri namun sebelum dia sempat melangkah, ayahnya menghentikannya.
“Terserah Nana...selama ini papa ngak pernah
nuntut apa-apa dari Nana.”
“Tapi kan nggak gitu juga Pa!." Protes Naura.
“Dia orangnya baik, cakep, nggak ada yang
kurang dari dia, nggak apa – apa Nana nggak mau tapi anggap saja papa sudah tiada!.”
“PAPA!."
Pak Malik tidak menanggapi protes anaknya, tampa bicara sepatah katapun dia melangkah pergi, meninggalkan putrinya yang masih mematung.
“Vid ayo berangkat!.” Perintahnya dengan
nada datar.
David yang sudah hafal betul dengan karakter atasannya itu, tanpa bertanya langsung menghidupkan mesin mobil. Mobil BMW hitam itu pun melesat keluar dari pintu gerbang rumah.
Sementara diruang baca ayahnya, Naura masih mencoba menata emosinya kembali. Jelas ayahnya terlihat sangat marah dan tidak menerima penolakan sama sekali. Namun dia masih berniat untuk bernegosiasi dengan ayahnya nanti malam. Dia sudah menyusun banyak rencana untuk memuluskan negosiasi itu nanti.
------
Tidak seperti biasanya kali ini Naura pulang lebih awal, setelah memarkir mobilnya, dia berlari kedalam rumah, menghampiri ayahnya yang tengah sibuk membaca buku di ruang kerja.
“Papa....” Sambil memberikan pelukan yang
hangat serta ciuman manis mendarat dipipi sang ayah.
“Hmmm...tumben pulang cepat?.” tanya ayahnya.
“Papa nggak suka kalo Nana pulangnya lebih
awal?!." tanya balik.
“Papa justru seneng tapi,”
“Tapi kenapa pa?.” potong Naura.
“Rasanya papa nyium glagat - glagat aneh ni.”
“Papa?!.”
Mendapati putrinya terpancing, pak Malik tertawa lepas. Sambil berdiri dan berjalan menuju ruang makan dia berkata,
“Kali ini papa nggak bakal lengah...apalagi
mengalah."
“Papa...ayolah jangan jadi Kim Jong Un
kedua....” Rengek Naura.
“Papa ini uda tua...papa cuma kuatir nggak
bisa ngelihat kamu menikah, tidak bisakah turuti satu – satunya keinginan papa?!."
Naura tidak menjawab dia justru berjalan menghampiri ayahnya dan memeluknya. Sebenarnya dia ingin sekali menolak bahkan siap berdebat dengan sang ayah. Tapi kali ini entah kenapa omongan ayahnya membuat hatinya sedih, tidak bisa membayangkan jika dia harus kehilangan satu – satunya orang yang dia sayangi di dunia ini.
“Tapi Papa janji nggak bakal ninggalin Nana,
kan?.” suaranya bergetar.
“Maksudnya?.”
“Papa janji ya nggak boleh ninggalin Nana kalo Nana nuruti keinginan Papa?.”
“Nak hidup dan matinya orang itu hanya yang
diatas yang tahu....”
“Iya iya. .Nana paham, Papa jangan ngomong
kayak gitu terus!.”
Pak Malik menggenggam erat tangan putrinya, hatinya bergetar tak kala mendengar ucapan putrinya yang lirih.
“Jum’at besok dia akan datang kesini...Nana
pulang dulu bentar buat nemuin dia ya.”
“Hmmm....”
------
Hari jum’at yang ditunggu pak
Malik tiba juga, hari ini dia sengaja mengosongkan kegiatannya dan fokus untuk
menyambut calon menantunya. Sementara dilain tempat, Hasan terlihat bingung dan
gugup. Bahkan Andik, Ilham dan Ilyas yang memperhatikan tingkahnya semakin dibuat penasaran.
“Mas kenapa sih?!." tanya Ilyas.
“Iya...dari tadi kayak orang bingung!.” Tambah
Andik.
“Kalo ada apa -apa bok ya cerita sama kita,
siapa tau bisa bantu!.” Ilham menimpali.
Hasan tetap dalam kebingungannya dan tidak memberikan komentar sedikitpun, dia sibuk dengan dirinya yang tak jelas.
“Mas kita berangkat dulu ya.” Pamit Ilham.
“Hmmm....” Kesadaran Hasan mulai kembali.
Hasan berjalan menuju kamar
dan mengambil kunci sepeda motor yang tergeletak dimeja, matanya melirik ke
arah jarum jam dipergelangan tangannya. Angka menunjukkan pukul 09.17 pagi, dia mempercepat langkah kakinya keluar rumah dan menghidupkan sepeda motor.
Sesaat kemudian sepeda motor
itu melaju dengan kecepatan sedang menuju kediaman pak Malik. Kediaman pak Malik
berada di Grand Tulip Residence, yang
dikenal sebagai kawasan perumahan cukup elit. Terlihat dua orang satpam diujung
gerbang.
“Selamat pagi ada yang bisa saya bantu?.” Sapa pak Satpam sekaligus bertanya.
“Pagi Pak, saya mau kerumahnya pak Malik.” ucap Hasan sambil menyerahkan kertas yang berisi alamat rumah pak Malik.
“Bisa tunjukkan KTP-nya sebentar!.” Pinta pak
Satpam.
“Ohh...iya Pak bentar.” Jawab Hasan sambil mengambil KTP dari dalam dompetnya lalu menyerahkan pada Satpam tersebut.
Pak Satpam itu segera kembali
ke dalam pos dan beberapa menit kemudian dia kembali dan menyerahkan KTP Hasan
serta menekan remote agar palang pintu terbuka.
Hasan yang baru pertama kali memasuki
kawasan perumahan elit tampak bingung, meski sudah diarahan oleh pak Satpam
tadi. Setelah beberapa menit memutari perumahan itu, akhirnya dia menemukan
kediaman pak Malik.
Rumah model klasik berwarna
putih dan berukuran besar dengan halaman yang cukup luas. Setelah memencet bel
dua kali, pagar pintu itu terbuka secara otomatis dan terlihat seorang
laki-laki yang sudah berumur berlari dari dalam rumah. Dia mengarahkan Hasan
untuk memarkir sepeda motornya dibelakang tepatnya disamping kolam renang.
“Silahkan masuk Mas.”
“Pak Malik ada?.”
“Ada Mas...bapak sudah nunggu di dalam.” Sambil menuntun Hasan masuk.
“Assalamualikum."
“Waalaikumussalam ayo sini...gimana nggak
bingung kan kesininya?.”
“Alhamdulillah ndak Pak.” Terpaksa berbohong.
“Nana masih diluar tapi bentar lagi datang...uda bapak telepon kok tadi.“
“Iya Pak.” Ucap Hasan singkat.
“Mbak Siti tolong buatkan teh ya!.” Seru pak
Malik dari ruang kelurga.
Beberapa saat kemudian bik Siti
muncul dengan membawa teh dan beberapa kue. Dia meletakkannya di meja,
“Silahkan....”
“Terimakasih....” Ucap Hasan pada bik Siti.
Setibanya di dapur kembali, bik Siti dikagetkan oleh keberadaan Naura.
“Ya Allah Non...bikin kaget!.”
“Husstt....” Naura memberi isyarat agar bik
Siti tidak bersuara.
“Bik orangnya uda datang?.”
“Iya Non...orangnya cakep manis.”
“Siapa yang nanya!.”
“Kirain nanyain itu Non...tapi beneran
orangnya cakep manis.”
“Ihhh... Bibik cakep manis gimana?.”
“Iya Non maksudnya itu cakepnya manis.”
“Bukan manisnya cakep?.” Goda Naura.
“Kayaknya Non mulai....”
“Apa sih bik...orang nggak tahu juga tampangnya kayak apa!.”
“Tenang Non... Bapak pinter milihnya.“
“Nggak yakin aku....”
“ Uda sana Non temuin...ingat Non pasang
muka yang lembut.“
“ Bibik!.." Mata Naura sedikit melotot,
Diruang keluarga pak Malik
terlihat tengah ngobrol santai dengan seorang laki-laki muda yang sudah
terlihat matang. Entah kenapa Hasan merasa sepertinya ada sosok yang tengah
mengintip kearah mereka berdua. Seketika jantungnya berdetak kencang, gugup kah
atau perasaan lainnya dia tidak bisa memastikannya. Namun yang pasti suhu
tubuhnya mulai meningkat dan memproduksi keringat secara massal, bahkan dia
merasa tangannya gemetar. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan sepatah kata,
wajahnya tertunduk malu ketika pak Malik memanggil putrinya.
“Na bisa kesini sebentar!.”
Naura kaget mendengar ayahnya
memanggilnya, dia bingung kenapa ayahnya bisa tahu kalau dia sudah di rumah dan
bahkan tengah mengintip mereka berdua.
Tubuhnya lemas seketika dan jantungnya
seketika berpacu, meski dalam keadaan gugup Naura mencoba melangkahkan kaki sesantai mungkin menghampiri ayahnya dan Hasan.
“Ini putri saya Nak...namanya Naura."
Hasan tidak berkata sedikitpun, dia hanya tersenyum ringan pada pak Malik tapi tidak berani menoleh ke arah Naura. Sebaliknya dia justru menundukkan kembali wajahnya.
“Na papa rencananya ingin menikahkan kalian berdua minggu depan.” Ucap pak Malik mengawali pembicaraannya.
“Papa!." Protes Naura yang terlihat syok
mendengar keputusan ayahnya.
“Lho...Nana kan bilangnya Ok kemarin!."
Sanggah pak Malik.
“Papa...Nana kan bilangnya Ok buat nikah bukan Ok buat nikah minggu depan!.” Ucap Naura dengan nada kesal.
“Semakin cepat semakin baik Sayang.”
“NO!."
“Mau kemana...duduk dulu!.” Tegur pak Malik
mencoba menghentikan Naura yang hendak pergi.
“Maaf Pak...apa tidak sebaiknya berikan waktu dulu bagi kami untuk saling mengenal.“ Tiba – tiba Hasan bersuara.
“Sampai minggu depan kan masih ada waktu buat mengenal....”
“Saya rasa butuh waktu lebih lama....”
“Mau berapa lama?.”
“Pa...ini kan bukan acara kawin kawinannya anak kecil, lagian dalam minggu ini Nana sibuk harus...,”
“Hanya akad nikah...pestanya kita atur
setelahnya, papa uda minta David buat ngurusin pendaftarannya di KUA.”
“ Pa - pa!."
“Maaf Pak ngurusin pendaftaran maksudnya?.” tanya Hasan kaget.
“Iya kemarin David yang nemuin nak
Hasan.”
“Jadi kapan hari yang minta itu...maksudnya buat daftar!.” Hasan masih tidak percaya.
Pak Malik tidak menjawab, dia hanya tersenyum pada Hasan.
“Pokoknya Nana tetap nggak mau!.“
“Nana!.” Suara pak Malik terdengar sedikit
menekan.
Naura yang sangat memahami
karakter ayahnya seketika terdiam dan menundukkan kepalanya.
“Bapak tinggal dulu sebentar ya
Nak..kalian ngobrol aja dulu biar bisa
saling mengenal." Ucap pak Malik dan berlalu meninggalkan mereka berdua.
Suasana berubah hening, baik Hasan maupun Naura keduanya saling membisu. Hasan masih tetap menundukkan kepalanya, tidak memiliki keberanian untuk menoleh apalagi menatap wanita di depannya itu. Sementara Naura terdiam karena kemarahan, kepalanya tengah menyusun serangkaian negosiasi untuk mengundur pernikahannya dengan pria bisu didepannya.
Hasan mengubah posisi duduknya, mengambil nafas dalam -dalam. Dia memberanikan diri untuk memulai percakapan.
“Maaf.“ Ucap Hasan pelan.
Sembari mengangkat kepala dan
memandang wanita didepannya itu. Tak disangka wanita yang memakai dress berwarna merah maroon yang juga tengah menatapnya adalah si Kucing Betina.
“Ka-kamu!.” Suara Naura melengking.
“Kenapa dunia ini tiba-tiba jadi sempit
banget...baru kemarin udah ketemu si Wadimor lagi.” Keluh Naura.
“Apa?.” ucap Hasan.
“Lupain...tolong yakinin Papa aku buat nunda
pernikahan kita.” Pinta Naura.
“Caranya?.” tanya Hasan.
“Caranya ya kamu pikirkan sendirilah!.”
“Ya harus dipikirinnya
bareng-bareng...nikahnya kan bareng.”
“Yang ngebet nikah kan kamu!.”
“Mulai dah Kucing Betina ini.” Guman Hasan
“Ngomong apa?.”
“Nggak ada...iya nanti aku pikirin caranya
gimana.”
“Ok!.”
Naura beranjak pergi meninggalkan Hasan sendirian, sebelum menaiki anak tangga Naura menghentikan langkahnya. Dia menoleh kebelakang.
“Kabari aku ya nanti!." Ucapnya sambil memberi isyarat.
Hasan tidak menjawab, dia
hanya tersenyum sinis dan mengeluarkan handphone dari saku celananya. Naura
memperhatikan Hasan yang tengah menelfon.
“Kenapa sikapnya berubah kalem gitu.” Guman Naura.
Hasan tidak menyadari kalau Naura sedang memperhatikannya, dia berpikir Naura sudah tidak disana. Sambil menggeleng-gelengkan kepalan dia tersenyum tipis, sebelum dia berdiri dari duduknya dan beranjak pergi. Bik Siti muncul dari dapur, dia menyapa Hasan.
“Lho Mas mba Naura-nya mana?.” tanya bik Siti.
“Keatas barusan Bik.” Jawab Hasan sambil
tersenyum.
“Bapak?.”
“Bapak ada urusan sebentar katanya...tapi
kenapa belum datang ya?.”
“Tunggu bentar ya Mas.”
Bik Siti berlari kecil menaiki tangga sambil berteriak memanggil Naura.
“Mba Naura... Mba!.”
“Iya Bik.” Jawab Naura sambil melangkah keluar dari kamarnya.
“Iya Bik!.”
“Itu Non...Mas-nya Non mau balik.” Ucap bik Siti sambil menunjuk ke arah Hasan.
“Mas-nya aku!.” Protes Naura.
“Hehehe...iya Non.” Jawab bik Siti polos.
“Apa lu senyum-senyum, nggak ada yang lucu!.” Bentak Naura yang kesal melihat senyuman licik Hasan.
Mendapati Naura yang kesal
Hasan justru merasa senang, bahkan dia terang – terangan menertawakan Naura.
Naura yang merasa diledek oleh laki-laki Wadimor yang satu itu, menuruni anak
tangga dengan cepat dan bahkan menerobos bik Siti. Bik Siti tertawa geli melihatnya.
“Apa maksudnya tadi senyum kayak gitu?!.”
bentak Naura.
Hasan tidak menanggapi, dia justru tersenyum menghadapi kemarahan Nuara.
“Aku udah tahu gimana caranya ngatasin ini
Kucing Betina.” Gumannya dihati.
“Mba bisa nggak lembut dikit.” Ucap Hasan
tenang.
“Ngomong sama kamu nggak perlu lembut!." Jawab Naura ketus.
Hasan menghela nafas dalam
sementara tangannya mengelus – ngelus pelipis matanya. Dia menurunkan bahunya,
memberikan isyarat pada Naura bahwa dia tidak ingin berdebat lagi dengannya.
Hati Naura mulai melunak mendapati perubahan sikap Hasan.
“Mba maaf saya masih ada kerjaan diluar, saya pamit dulu ya...salam buat Bapak.” Ucap Hasan dengan nada dan ekspresi yang
lembut.
“kerjaan apa?.” tanya Naura merengek seolah-olah tidak mau ditinggal pergi.
“Ngajar Mba” Hasan menjelaskan.
“Ohhh....” Seru Naura.
“Lho uda mau balik Nak?.” suara pak Malik
mengagetkan mereka berdua termasuk juga bik Siti.
“Bapak...” Seru Hasan.
“Kok cepet baliknya?.” tanya pak Malik sekali
lagi.
“Maaf Pak saya masih ada kerjaan yang harus
diselesaikan.” Jawab Hasan.
“Ohh iya iya bapak paham Nak...Na antar
kedepan Mas-nya.” Perintah pak Malik.
Naura kaget mendengar ucapan
ayahnya tapi dia tidak berani membantah. Dia hanya mengangguk pelan. Sambil
berkata,
“Ayo aku antar kedepan.” Kata Naura lembut.
Suara Naura yang berubah
lembut membuat Hasan tersenyum bahkan hatinya juga ikut tersenyum. Setelah
pamit sama pak Malik, dua anak muda yang baru dipasangkan itu melangkah keluar
meninggalkan pak Malik.
“Naik apa kesininya?.” tanya Naura memulai
pembicaraan.
“Masih tetap yang kemarin itu.” Mulai memprovokasi lagi.
“Aku serius lo ya nanyanya!.”
“Maaf maaf...jangan gampang emosi eman sama wajah cantiknya itu.”
“Tenang aku ini uda cantik dari sononya!.”
Sambil menepuk bahu Hasan.
“Percaya aku....” Bisik Hasan ditelinga Naura.
Tanpa disadari tangan Naura
mencubit lengan Hasan, senyum manja terlukis diwajahnya. Mendapati sikap manis
si Kucing Betina ini, jantung Hasan nyaris meloncat keluar dari dadanya
sementara sekujur tubuhnya diserang demam seketika. Tangannya entah mulai kapan
bergerak, tiba-tiba sudah mendarat di kepala Nuara dan membelai lembut rambut
wanita itu. Pelan namun pasti Hasan mendekatkan wajahnya dan berhenti tepat
beberapa inci dari telinga Naura.
“Pamit dulu ya!.” Suaranya terdengar sangat
lembut ditelinga Naura.
Suara lembut itu ternyata memberikan stimulan di setiap syaraf tubuhnya dan mengalirkan gelombang panas yang terpusat diubun – ubun. Tak hanya itu, pipinya memerah karena efek gelombang panas itu. Mulutnya tidak bisa memproduksi kata – kata lagi, dia hanya tersenyum sementara matanya
menatap Hasan penuh damba.
Kepergian Hasan menyadarkan kembali Naura yang terbius sesaat. Emosinya kembali naik, kali ini dia mengutuk dirinya sendiri yang
terlihat bodoh dan nyaris membenamkan dirinya pada Hasan.
“Pinter juga si Wadimor itu ngerayunya...aku
nggak boleh lengah...ini harus jadi yang terakhir.” Mencoba mengingatkan dirinya
sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!