Azkandariah Aureliana, yang biasa dipanggil "Aureliana" atau "Au", harus terpaksa menikah di usia yang masih sangat muda—19 tahun. Pernikahan yang datang bukan karena cinta, melainkan karena keadaan ekonomi keluarganya yang membuatnya tidak punya pilihan lain. Hatinya hancur, namun bibirnya tetap menandatangani persetujuan.
Hari itu, di sebuah kafe kecil, Aureliana duduk termenung. Matanya kosong menatap keluar jendela, seakan-akan dunianya berhenti berputar.
"hai Au, kamu baru saja menikah, kenapa terlihat murung banget?" suara seorang perempuan terdengar, memecah lamunannya. Maria, sahabat terdekatnya, baru saja datang dan langsung duduk di sampingnya.
"he em," jawab Aurel singkat, namun ia tetap mencoba tersenyum. Senyum itu lebih terasa seperti topeng daripada cerminan hati.
Dalam hati, Aurel ingin mengabaikan pertanyaan itu. Ia muak membicarakan pernikahannya, apalagi ketika pernikahan itu bukan sesuatu yang ia inginkan. Baginya, itu lebih mirip kurungan emas yang mengekang mimpi-mimpi yang sudah ia rajut sejak kecil.
Maria memperhatikan wajah sahabatnya itu. "ya sudah, daripada kamu kayak gini, mending kita ke salon," ujarnya penuh semangat.
"ngapain kita kesana Mar?" Aurel memandang Maria dengan tatapan malas.
"ya perawatan lah, mau ngapain lagi... biar kamu terlihat fresh. Sekarang kamu kayak lebih tua dari umurmu."
Aurel terdiam. Kata-kata Maria memang ada benarnya. Sejak dua bulan pernikahan itu berjalan, ia jarang sekali merawat diri. Hidupnya serasa hambar, wajahnya pun kehilangan cahaya.
Tanpa banyak protes, Aurel mengangguk. Mereka akhirnya memutuskan pergi. Sepanjang perjalanan menggunakan mobil Maria, Aurel hanya duduk diam, menatap jalanan yang ramai namun terasa sunyi di dalam hatinya. Maria sesekali melirik, ingin berbicara, tapi memilih diam karena ia tahu sahabatnya butuh ruang.
Sesampainya di salon, Maria langsung mengambil alih. Ia yang memilih semua paket perawatan, dari spa, massage, hingga facial. Aurel menurut saja. Mereka pun menjalani rangkaian perawatan panjang selama hampir dua jam.
Saat keluar dari ruangan spa, Aurel merasakan sedikit ringan. Kulitnya lebih segar, tubuhnya terasa rileks. Untuk sesaat, beban di hatinya seperti berkurang.
"ayo kita pergi makan dulu Mar," kata Aurel sambil menarik tangan sahabatnya.
"ayo, aku juga sudah lapar banget," jawab Maria, sambil mengusap perutnya dengan wajah memelas.
Aurel tertawa kecil melihat ekspresi itu. "jangan gitu ah Mar, kamu makin jelek tauuuuu....!!!" Ia berlari kecil mendahului Maria, masih tertawa.
Maria tersenyum lega. 'akhirnya kamu tersenyum lagi, Au,' batinnya. Meski hanya sekejap, itu sudah cukup membuat Maria sedikit tenang.
Mereka melangkah menuju restoran terdekat. Dari luar, terlihat cukup ramai, orang-orang sedang menikmati makan siang mereka. Namun siapa sangka, begitu masuk ke dalam, dunia Aurel seakan runtuh lagi.
"Mar... ayo kita pindah aja," suara Aurel mendadak bergetar. Langkahnya terhenti di depan pintu.
Maria bingung. "memang kenapa? ada apa, Au?" Ia mencari arah pandangan sahabatnya.
Tatapannya akhirnya jatuh pada sosok pria tampan yang duduk di pojok restoran bersama seorang wanita cantik. Maria langsung terdiam. Napasnya tercekat.
"apaaaaaaa? kenapa dia ada di sini? kenapa suamimu bersama dengan wanita lain?"
Suara Maria penuh keterkejutan, bercampur amarah. Sosok itu adalah Gabriel, suami Aurel—yang kini tampak tertawa kecil bersama Lucie, sekretaris pribadinya.
Aurel menunduk, air matanya hampir pecah, lalu menggenggam tangan Maria. "Mar!! ayo kita pergi dari sini!" ucapnya cemas.
Namun Maria justru melepaskan genggaman itu. Wajahnya merah padam. "ini gak bisa dibiarin," gumamnya. Ia melangkah cepat menuju meja Gabriel, meninggalkan Aurel yang membeku di tempat.
"kan yang seharusnya marah aku... bukannya dia," bisik Aurel lirih. Kakinya akhirnya bergerak, mengejar Maria.
Belum sempat ia menahan sahabatnya, suara lantang Maria sudah terdengar memenuhi restoran.
"hey kamu!!!!! kamu itu sudah punya istri loh..!! kenapa kamu masih jalan sama cewek lain?"
Semua kepala langsung menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar. Aurel merasakan dadanya sesak. Harusnya itu ia yang mengatakan, tapi ia tidak punya keberanian.
Ia buru-buru memegang tangan Maria. "sudah biarkan saja Mar... semua orang melihat kita... ayo pergi sekarang," bisiknya penuh cemas.
"mengapa kamu mau menyerah gitu aja?" Maria balik menatapnya. "meskipun pernikahan kalian tidak didasari cinta... setidaknya harus ada rasa menghargai."
Kata-kata itu seperti tamparan bagi Aurel. Namun sebelum ia sempat menjawab, suara Gabriel terdengar dingin.
"dia yang istriku tidak memperdulikannya, mengapa kamu yang ikut campur??"
Maria terperangah, menatap Gabriel dengan tatapan tak percaya. Sementara Lucie tersenyum tipis, puas melihat keributan itu.
Bisik-bisik pengunjung makin keras.
“itu kan Presdir El...”
“benarkah dia selingkuh dengan sekretaris Lucie?”
“padahal Presdir El baru menikah, tapi sudah selingkuh...”
Aurel merasa seluruh tubuhnya membeku. Inilah yang paling ia benci: orang-orang membicarakan keluarganya, menyinggung asal-usulnya. Ia hanya ingin lari.
"udah Mar... ayo kita pergi sekarang," ucapnya lirih, air matanya menetes. Ia menarik tangan sahabatnya dengan sekuat tenaga.
Maria ingin protes lagi, namun menahan diri saat melihat wajah Aurel yang begitu rapuh. Mereka akhirnya berjalan keluar dari restoran itu, meninggalkan tatapan orang-orang dan gosip yang terus bergema.
Aurel tidak menoleh sedikit pun. Ia tidak ingin lagi melihat sosok pria yang bahkan tidak pernah menyapanya meski mereka tinggal serumah.
---
‘Bruak!’
Suara meja yang dipukul keras bergema di dalam restoran. Beberapa orang yang tadinya masih sibuk berbisik kini terdiam sejenak, menatap ke arah Gabriel yang berdiri dengan wajah menegang. Napasnya terengah, seperti menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dirinya.
“AkHH… kenapa… kenapa harus jadi begini?!” teriaknya, emosinya pecah di hadapan banyak pasang mata.
Gabriel menunduk, kedua tangannya mengepal, pikirannya kacau. Ia tidak pernah berniat membuat Aurel terluka seperti tadi. Namun, entah kenapa, setiap kali berhadapan dengan istrinya, kata-katanya selalu keluar salah. Apa yang ia rasakan di dalam hati berbeda jauh dengan yang terucap di bibir. Dan itu… membuatnya hancur pelan-pelan.
Lucie yang duduk di depannya hanya bisa menatap dengan bingung, lalu bertanya hati-hati, “Mengapa, Tuan…? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Namun, bukannya menjelaskan, Gabriel justru melontarkan kata-kata tajam. “Sudah diam kamu!” nadanya meninggi, membuat beberapa pengunjung kembali melirik dengan tidak nyaman.
Lucie menggigit bibir, namun alih-alih mundur, ia justru mengambil kesempatan. Dengan nada setengah menggoda, ia berkata lantang, “Sebenarnya, Tuan… mengapa kau tidak benar-benar selingkuh saja denganku? Bukankah lebih mudah begitu?”
Kalimat itu membuat Gabriel mendongak, menatap Lucie dengan sorot mata yang tajam sekaligus lelah. Lucie sendiri tersenyum percaya diri, Yakin ucapannya bisa menggoyahkan bosnya. Ia tahu ada keretakan dalam rumah tangga Gabriel, dan ia ingin masuk di sela-sela celah itu.
Namun jawaban Gabriel membuatnya terkejut. Suaranya rendah, namun penuh ketegasan. “Kau bahkan tidak bisa menggantikan namanya di hatiku.”
Lucie tercekat, wajahnya berubah pucat. “Lalu apa maksud dari semua ini?!” serunya, tidak percaya dengan pengakuan itu.
Gabriel memejamkan mata sebentar, lalu mengembuskan napas berat. Kata-katanya terhenti di tenggorokan, tapi batinnya bergemuruh. Karena aku… karena aku mencintainya. Karena hanya dia… hanya Aureliana yang mampu membuatku seperti ini.
Namun lidahnya kelu, tak mampu melanjutkan kalimat itu di hadapan Lucie.
Lucie menatapnya tak sabar, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar. “Karena saya… apa, Tuan?”
Restoran kembali riuh oleh bisikan, namun bagi Gabriel, dunia seolah menyempit. Yang ada hanya dirinya, rasa sesal yang menyesakkan dada, dan bayangan Aurel yang pergi dengan mata berkaca-kaca.
---
"karna saya... saya terlanjur mencintai istri kecil saya itu."
Gabriel bergumam lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. Namun karena posisi mereka berhadapan, Lucie jelas mendengarnya. Kata-kata itu menusuk telinga Lucie, membuatnya semakin bingung.
Lucie menatap Gabriel dengan tatapan tak percaya. "Lalu mengapa Anda melakukan semua ini?" tanyanya lagi, mencoba menuntut penjelasan yang lebih logis.
Namun, bukannya menjawab dengan tenang, Gabriel justru mendengus kasar. "Sudah diam!!!" bentaknya, suaranya meninggi hingga membuat kepala Lucie sedikit menunduk ketakutan. Ada getir yang aneh dalam sorot mata Gabriel, seperti lelaki yang bahkan tak mengerti dirinya sendiri. Setelah membentak, Gabriel langsung bangkit dengan langkah terburu-buru, meninggalkan Lucie yang termangu di tempat, dengan hati yang penuh tanda tanya.
---
✨ Di sisi lain, di kediaman Aurel ✨
Matahari telah condong ke barat ketika Aurel dan Maria sampai di rumah megah itu. Halaman luas, gerbang kokoh, dan bangunan bertingkat nan elegan berdiri angkuh di hadapan mereka. Tetapi bagi Aurel, rumah ini bukanlah lambang kebahagiaan—melainkan penjara emas yang mengekang langkahnya.
Maria menatap wajah sahabatnya yang masih sembab. Ia menarik napas panjang lalu berkata, "Au, aku pamit pulang dulu... kamu harus tegar ya. Jangan terlalu lemah!" Ucapannya tegas, tapi ada getar halus di dalamnya.
Aurel hanya tersenyum tipis, lalu meraih tubuh Maria ke dalam pelukan hangat. "Tenang aja, Mar..." bisiknya. Ia tahu, Maria pasti menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian di restoran tadi. Padahal, semua itu bukan salah Maria. Aurel hanya ingin menenangkan hati sahabatnya agar tidak lagi merasa bersalah.
Setelah Maria benar-benar pergi dan sosok jangkungnya hilang dari pandangan, Aurel melangkah masuk ke dalam mansion itu. Dari luar memang tampak megah, tapi begitu kakinya menapaki ruang demi ruang yang sunyi, rasa hampa kembali menyergap. Dinding-dinding tinggi, lampu gantung berkilauan, perabot mewah—semua tampak dingin. Tidak ada kehangatan, hanya kesunyian yang semakin menekan dadanya.
Di kamarnya, Aurel menumpahkan tangisan yang ia tahan sejak tadi. Air mata itu mengalir deras, seperti aliran hujan deras yang menghantam jendela. Baginya, menangis adalah satu-satunya cara untuk menenangkan batinnya yang bergejolak.
Beberapa saat kemudian, ia bangkit dan mulai membersihkan rumah. Menyapu, merapikan, dan mengelap. Tangannya sibuk bekerja, tetapi pikirannya melayang-layang, penuh tanda tanya. Ia tak sadar waktu berlalu cepat. Senja berubah menjadi malam, dan Gabriel belum juga pulang.
Aurel duduk di depan televisi, meski pikirannya sama sekali tidak tertuju pada layar. Apa dia marah atas kejadian tadi? Tapi... seharusnya akulah yang marah, bukan dia... gumamnya dalam hati.
Ia mencoba menepis pikiran itu, tapi justru makin tersiksa. Wajah Gabriel bersama Lucie di restoran tadi terus muncul di kepalanya. Lalu batinnya bertanya pelan, Apa dia masih bersama Lucie sekarang?
Sadar dirinya semakin larut, Aurel menepuk-nepuk pipi sendiri. "Lebih baik aku mandi saja, setelah itu tidur. Dari pada mikirin yang gak jelas."
---
✨ 20:00 — di kamar Aurel ✨
Air dingin dari pancuran sudah ia hentikan. Tubuhnya dibalut baju santai tipis, rambutnya masih sedikit basah. Ia merebahkan diri di ranjang luas, mencoba memejamkan mata. Namun jantungnya berdegup kencang, tidak tenang.
"Kenapa aku gak tenang ya...?" bisiknya.
Ia mencoba mencari alasan rasional. Mungkin karena aku lapar. Sejak siang aku belum makan apa-apa. Dengan keyakinan itu, Aurel turun ke dapur. Syukurlah, Dira—maid rumah itu—sudah menyiapkan makanan sebelum pulang. Aurel duduk, menyuap beberapa sendok makanan dengan pelan.
Namun baru setengah makanannya habis, ia mendengar suara samar di depan rumah. Suara itu cukup jelas untuk membuatnya menoleh.
"Siapa...?" panggilnya agak keras. Tidak ada jawaban.
Ia sempat berpikir mungkin hanya perasaan, tapi tiba-tiba—
Bruak!
Pintu depan terbuka keras, membentur dinding hingga menimbulkan gema. Aurel terlonjak, jantungnya berdegup semakin cepat. Antara takut dan cemas, ia melangkah menuju ruang tamu.
Lalu suara itu terdengar. Parau, keras, dan penuh emosi.
"Istriku...!"
Langkah Aurel terhenti.
"Istri kecilku...!! Dimana kau?!"
Suara itu jelas—Gabriel. Tetapi nadanya seperti orang mabuk. Teriakannya disertai bunyi berdebam, seolah ia menabrak banyak benda di sekitarnya.
Aurel menahan napas, menegakkan punggungnya. "Apa dia sudah gila...?" gumamnya dengan wajah pucat.
Tak lama, matanya menangkap tubuh Gabriel yang terhuyung, lalu jatuh tengkurap di lantai. Lelaki itu tampak kacau, wajahnya merah, rambutnya berantakan. Aurel berjongkok, menatapnya dengan tatapan bingung sekaligus iba.
"Apa yang kamu lakukan...?" tanyanya pelan.
Gabriel mengangkat wajahnya perlahan, lalu bergumam dengan suara serak, "Kamu... kamu yang buat aku seperti ini... kamu..."
Aurel menatapnya dalam. "Kenapa aku...?" tanyanya lirih, meski dalam hatinya sudah menduga jawabannya.
"Karena kamu..." jawab Gabriel, gumamnya semakin tak jelas.
Aurel menarik napas panjang, lalu menggeleng. "Sudahlah. Aku akan bawa kamu ke kamar." Ia membopong tubuh Gabriel—entah dari mana datangnya tenaga itu—dan menyeretnya naik ke lantai atas.
Di kamar, ia membaringkan Gabriel di kasur, menata selimut agar ia nyaman. Namun saat hendak pergi, tiba-tiba tangan Gabriel menariknya dengan kuat. Aurel terjatuh di atas tubuhnya.
"Lepaskan! Apa yang kau lakukan?!" teriak Aurel panik.
Gabriel justru menatapnya dengan senyum samar. "Tubuhmu... sangat mungil, istriku..." bisiknya, napas panasnya menyapu kulit Aurel.
Aurel merinding, berusaha melepaskan diri. "Lepaskan!!!!! Kau sudah keterlaluan!"
Namun teriakan itu langsung terbungkam ketika bibir Gabriel mendarat di bibirnya. Ciuman paksa, penuh nafsu, tanpa kelembutan. Aurel memberontak, menangis, tapi tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman kuat itu.
Air matanya jatuh, menetes di pipinya. Melihat itu, Gabriel melepas ciumannya. Tetapi bukannya merasa iba, ia justru menatap sinis.
"Mengapa kau menangis? Apa kau tidak suka suamimu melakukan ini? Atau kau ingin melakukannya dengan laki-laki lain, hm?"
Kata-kata itu menusuk hati Aurel. Ia terpaku, hancur, dan hanya bisa berbisik lemah, "Lepaskan aku..."
Namun Gabriel kembali menariknya, menjatuhkan tubuh mungil itu di ranjang. Aurel berusaha melawan, memohon, menangis.
"Tolong... lepaskan... kau menyakitiku..."
Gabriel justru semakin mendekat, mengelap bibir Aurel dengan tangannya, lalu mencium air mata yang masih menetes di pipinya. Mata Gabriel kini dipenuhi kilatan nafsu yang membuat Aurel merasa semakin terpojok.
"Hentikan, Gabriel...!!!"
Jeritannya menggema di kamar, bercampur dengan isak tangis, sementara malam semakin larut.
---
Aurel terus memohon agar semuanya berhenti, air matanya mengalir deras seakan tak mau berhenti. Suaranya parau, tubuhnya bergetar, namun hatinya tetap berharap Gabriel akan mendengar permohonannya.
Namun kemarahan Aurel sudah memuncak. Ia sudah sangat frustasi dengan segala hal yang dilakukan Gabriel kepadanya sejak tadi. Ia akhirnya meninggikan suara, berteriak dengan sisa keberaniannya.
“Hentikan, Gabriel…!!!”
Tapi bukannya berhenti, Gabriel justru semakin tersulut. Bentakan Aurel membuatnya terbakar emosi. Dengan gerakan kasar dan tanpa pikir panjang, ia meraih baju Aurel dan menariknya hingga sobek. Suara kain yang koyak terdengar jelas, membuat Aurel terkejut.
Pundak Aurel yang terbuka seketika membuat Gabriel salah fokus. Kulit putih mulus itu membuat naluri kepemilikannya bangkit. Ia ingin meninggalkan jejak, seolah ingin membuktikan bahwa Aurel adalah miliknya.
“Arghhh…”
Aurel mengerang kesakitan ketika tiba-tiba Gabriel menggigit pundaknya. Gigitan itu bukan hanya meninggalkan rasa perih, tapi juga bekas merah yang dalam, jejak yang tak mungkin ia sembunyikan begitu saja.
Tak lama setelah itu, seakan lelah oleh emosinya sendiri, Gabriel terlelap begitu saja. Napasnya mulai teratur, wajahnya tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Aurel hanya bisa memandangi suaminya dengan perasaan campur aduk. Ketika yakin Gabriel benar-benar tertidur, ia dengan hati-hati menggeser tangan yang melingkar di tubuhnya. Ia membetulkan posisi tidur Gabriel agar lebih nyaman. Tapi, baru saja ia hendak menjauh, tiba-tiba Gabriel menariknya lagi ke dalam pelukan.
Dalam keadaan setengah sadar, Gabriel bergumam lirih, “Au… kau yang buat aku seperti ini… aku suka sama kamu, tapi… kamu juga yang buat aku benci…”
Aurel terdiam. Kata-kata itu membuat hatinya bergetar, tapi sekaligus bingung. Sejak kapan Gabriel mencintainya? Selama ini yang ia rasakan hanyalah kebencian, amarah, dan tuduhan.
“Sejak kapan aku membuatmu mencintaiku…?” batinnya.
Aurel mencoba menenangkan diri. Ia berusaha mencari sisi positif dari kejadian yang baru saja menimpanya. Pertama, jika benar Gabriel mencintainya, berarti ia tidak dianggap orang asing. Kedua, untung saja tadi malam tidak terjadi hal yang lebih buruk. Namun, luka di hatinya tetap ada. Ia tidak tahu apakah luka itu akan sembuh atau justru membuat hubungan mereka semakin hancur.
Akhirnya, karena terlalu lelah, Aurel pun ikut tertidur di ranjang yang sama dengan Gabriel.
---
07:00 pagi
Gabriel bangun dengan kepala berat, efek mabuk semalam masih terasa. Ia menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang sambil memijat pelipisnya.
“Ahh… kepalaku pusing banget…” keluhnya lirih.
Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam, tapi kepalanya berdenyut setiap kali mencoba. “Apa yang terjadi tadi malam?” gumamnya sambil mengacak-acak rambut.
Saat itu Aurel keluar dari kamar mandi, sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia tidak menyadari bahwa Gabriel sudah bangun.
Gabriel sempat menatap lama ke arah Aurel. Pandangannya jatuh pada pundak Aurel ketika rambutnya tersibak ke samping. Ia membeku. Ada tanda merah yang mencolok mendekati leher Aurel.
“...Apa itu…?” bisiknya, kali ini lebih keras.
Ia turun dari ranjang, melangkah cepat mendekati Aurel. Sorot matanya penuh curiga.
“KAU telah bercinta dengan cowok mana lagi, hemmm…??”
Nada suaranya meninggi, membuat Aurel spontan menoleh dengan wajah kebingungan.
“Apa maksudmu?” tanyanya, tidak mengerti sama sekali tuduhan itu.
Gabriel makin marah. “Jangan sok polos denganku! Apakah ini ulah kekasihmu yang kemarin bertemu denganmu di taman?!”
Ia bahkan berani menyentuh pundak Aurel, tepat di bekas gigitan yang ia sendiri buat semalam.
Aurel makin bingung. Cowok? Taman? Apa yang sebenarnya dibicarakan Gabriel? Semua tuduhan itu seperti halusinasi.
Melihat ekspresi Aurel yang bingung, Gabriel menunjuk bekas merah itu dengan wajah murka.
“Lalu apa ini…?!”
Aurel menatap tanda itu, lalu menatap Gabriel. Ia benar-benar tidak habis pikir bagaimana pria yang membuat tanda itu bisa lupa, dan malah menuduhnya berselingkuh.
“Ini semua ulahmu… kenapa kau selalu curiga padaku?” suara Aurel meninggi, menahan amarah.
Gabriel terdiam sebentar, mencoba menyangkal. “Aku? Mana mungkin aku yang melakukan itu? Kau sendiri tidak mau kudekati walau kau tahu kau istriku… hal seperti itu… mana mungkin aku melakukannya?”
Kebingungan makin menekan pikirannya. Ia mencoba mengingat, tapi mabuk semalam membuat kepalanya makin pusing.
“Memang perbuatanmu!” Aurel akhirnya membentak. “Kalau kau tidak percaya, aku juga tidak peduli!”
Gabriel tetap keras kepala. “Jangan jadikan aku kambing hitam atas perselingkuhanmu, Aurel!”
Aurel sudah tidak tahan. Ia berteriak lebih keras, “Berapa kali harus aku bilang… aku TIDAK selingkuh!!! Dan laki-laki yang kau maksud itu hanya temanku!”
Suasana kamar memanas. Gabriel sempat terdiam, ragu. Kalau memang dia yang melakukannya… kenapa Aurel tidak melawan semalam? Pertanyaan itu akhirnya lolos dari bibirnya.
“Jika benar aku yang melakukan itu, mengapa kau tidak menghindar? Padahal kau selalu menolak dekat denganku…”
Pertanyaan itu membuat Aurel kaku. Ia menggigit bibir, menunduk. Dengan suara gugup ia menjawab, “Karena… kau mencengkeramku terlalu kuat.”
Ia bahkan menunjukkan bekas cengkeraman Gabriel di pundaknya. Wajahnya memerah karena malu harus membuka sedikit bajunya. Cepat-cepat ia menutupnya kembali dan beranjak keluar.
“Sudahlah. Lebih baik aku turun daripada meladeni pria arogan sepertimu!” katanya ketus.
Gabriel sempat tertegun, lalu memanggil, “Hey! Berhenti kau!”
Aurel menoleh dengan wajah penuh tanda tanya. Gabriel memandanginya dari atas sampai bawah, lalu terkekeh kecil.
“Apakah kau mau turun memakai baju itu?” tanyanya, seolah mengejek.
Aurel refleks melihat bajunya, wajahnya langsung memerah. Malu, ia pun bergegas masuk kamar ganti untuk berganti pakaian.
---
Setelah semua kejadian canggung itu, Aurel turun dan menyiapkan sarapan. Gabriel akhirnya ikut duduk, bahkan sempat bertanya apakah Aurel tidak ikut makan. Aurel menjawab singkat sambil mengelak, karena ia buru-buru ke kampus.
Ketika hendak berangkat, Gabriel tiba-tiba mengajaknya pergi bersama. Aurel menolak mentah-mentah, tapi Gabriel malah mengejeknya dengan tuduhan tentang “kekasih.” Aurel geram, tapi menahan diri karena waktu kuliah sudah mepet.
Akhirnya mereka tetap berangkat bersama dalam diam.
Namun kesunyian pecah saat Gabriel menelpon sekretarisnya. Suara manja Lucie dari seberang telepon membuat Aurel terdiam kaku. Hatinya terasa perih, tapi ia memilih berpura-pura tidak peduli.
Sesampainya di kampus, Aurel turun tanpa bicara. Namun langkahnya terhenti ketika seorang lelaki mendekat. Lelaki itu—Azrul—temannya yang selalu dicurigai Gabriel.
“...Ada apa?” tanya Aurel datar, bingung kenapa Azrul menghampirinya.
Dari jauh, Gabriel melihat pemandangan itu. Dadanya langsung sesak. Tanpa pikir panjang, ia keluar dari mobil, berjalan mendekat, lalu melingkarkan tangan di pinggang Aurel dengan penuh kepemilikan.
Aurel membelalakkan mata, menoleh dengan heran. “Ada apa denganmu, Gabriel…?” ucapnya, tercampur bingung dan jengkel oleh sikap suaminya yang tiba-tiba seperti itu.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!