BOOM
Dentuman terdengar memecah suasana kala itu. Untuk kesekian kali bom-bom nuklir dan gencatan senjata menjadi latar di dataran negara yang terletak di lintang tenggara Beltran Guido. Asap hitam mengepul membawa serta abu hitam yang menyesakkan pernapasan.
Keangkuhan dan keserakahan para pemimpin tinggi tak bisa dibendung. Tanpa peduli nasib warga negaranya, mereka berperang dengan cambuk kesombongan, mengabaikan mereka yang tersakiti, ketakutan, dan terenggut hak kenyamanannya sebagai warga sipil.
Bumi tahun 2030, sebuah kota bernama Lazar, saat itu tidak lagi hijau, tidak lagi memiliki udara bersih, tidak lagi terdapat manusia yang saling mengasihi. Mereka berperang demi merebut kekuasaan. Dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, bom dan senjata-senjata biokimia dikeluarkan, menyebabkan udara terkontaminasi.
Bukan kemenangan yang mereka dapat, justru mereka memancing malapetaka di mana muncul orang-orang di dalam garis abu-abu. Mereka tidak hidup, tidak juga mati. Senjata biokimia itu telah meracuni otak manusia, merusak syaraf mereka dan mengubahnya menjadi senjata baru mengerikan. Mereka menyerang orang-orang dengan bringas seperti hewan kelaparan. Mereka berjalan di sepanjang kota dan bersembunyi di dalam gedung-gedung gelap. Mereka keluar dari persembunyian hanya untuk makan apapun makhluk hidup yang mereka temui.
Merekalah mahkluk akibat dari sebuah sebab yang ditimbulkan oleh peperangan.
The death walker
***
Lazar, 5 tahun setelah peperangan.
Saat semua penyesalan terlambat untuk diratapi. Manusia kini telah mendapat karmanya. Karma dari sebuah keserakahan dan kesombongan tak dapat ditolerir.
Di sudut hutan yang berbatasan dengan kota Lazar, seorang gadis berlari cepat. Di belakangnya terdengar suara memekakkan telinga.
Bringas
Berangsang
Buas
"HARGH!"
GROOARGH
"Pergi kalian!" teriaknya ketakutan.
Beberapa mayat hidup mengejarnya. Walau langkah mereka lambat tapi jika terlalu banyak maka berlari pun tidak akan lolos dari maut, apalagi gadis itu tidak dibekali senjata apapun. Saat merasa terpojok, gadis itu mengambil sebuah batu lalu melemparnya ke arah zombie. Tidak berpengaruh sama sekali.
Dia berlari kian jauh ke dalam Hutan Zadnok yang daun-daunnya mulai berguguran. Dia baru berhenti ketika napasnya tersengal dan punggungnya menyentuh benda keras. Sial! Dia terpojok di antara batu besar sedangkan zombie ada di depannya.
Tes
Setetes air liur menetes di pipi. Gadis itu lantas menengadah. Yang dilihatnya adalah sepasang mata abu-abu. Kelopak mata gadis itu membuka sempurna ketika dia melihat zombie tepat berada di atasnya. Sedetik berselang, makhluk itu melompat. Remaja itu pun tak dapat menghindar.
"Hargh!"
"JANGAN MAKAN AKU!"
Teriak remaja itu kencang saat zombie menerjang. Yang terdengar kemudian hanyalah suara teriakan teredam oleh rakusnya 'mereka'.
****
DOR
DOR
"Aku menembak satu," ujar salah seorang pria muda berpakaian seragam militer hitam pada dirinya sendiri.
Baru saja salah satu zombie berjalan mendekati dinding pelindung kota, namun dalam beberapa kali tembakan, zombie ditembak binasa. Setelah serangan zombie beberapa tahun lalu, hanya ini satu-satunya pelindung dari serangan luar. Pemuda itu lantas pergi menuju ruang pos ketika melihat dua mobil van hitam mendekati gerbang.
"Jorgi, beri kami akses ke luar," seru salah seorang pria di dalam mobil yang duduk di bangku penumpang di sebelah supir. Sebuah kacamata hitam membuat pemuda itu tampak berkharisma dan tak menghilangkan raut wajah tampan dibaliknya.
Pria bernama Jorgi itu mengangkat tangan, memberi salam hormat, "Siap, Komandan Hideo." Setelah memberi salam, lantas dia masuk ke dalam pos untuk membuka gerbang.
Mobil-mobil itu kini berada di luar Kota Lazar ketika sebuah berita terdengar lagi melalui saluran siaran radio mereka, [Kepada seluruh Divisi Misi Penyelamatan STERIL, aku Altar Langit akan memberi hadiah bagi siapapun yang dapat menemukan anakku, Tahta Langit, dalam keadaan apapun.]
"Aku berharap akan menemukan zombie Tahta hari ini," komentar salah satu anak buah Hideo.
Hideo menoleh ke samping di mana anak buahnya itu sedang menyetir. Dia lalu berkata sedikit mengejek, "Kau tertarik untuk menemukannya?"
"Tentu, komandan. Bukankah Tuan Altar orang kaya dan berpengaruh di Kota Lazar? Beliau pasti akan memberi hadiah besar bagi siapapun yang berhasil menemukan anaknya."
Hideo menggelengkan kepala mendengar penuturan anak buahnya itu, "Dasar matre."
"Aku tidak seperti komandan yang bergaji besar dari petinggi Beltran Guido, lagipula siapa yang tidak tergiur dengan tawaran dari Tuan Altar?"
"Aku," balas Hideo. Matanya masih terus menatap jalanan yang sepi.
"Ha-ah. Komandan tidak butuh harta. Yang komandan butuhkan adalah kekasih. Hahaha."
"Terus saja mengejekku, Zarda," Hideo meninju lengan anak buahnya yang masih tertawa.
****
Siang hari di perbatasan kota Lazar, mobil STERIL memasuki kawasan pemukiman kecil yang diduga menjadi sarang zombie. Sepuluh pasukan berpakaian hitam dengan senjata lengkap dan atribut pelindung, berjalan memasuki salah satu gedung tua, mengikuti status yang dikirim oleh robot kamera.
[Area depan aman, Komandan!] seru kamera robotik yang lebih dulu memasuki gedung.
"Terima kasih, Dorry," jawab Hideo berbisik melalui earphone.
Sang komandan pasukan divisi dalam misi Penyelamatan STERIL mengarahkan pasukannya. Mereka mengemban tugas membawa death walker ke sebuah gedung untuk menjalani rehabilitasi.
Tidak semua zombie mereka bawa untuk diselamatkan. Hanya yang masih terlihat utuh dan sedikit terkoyak saja. Lebih parah dari itu mereka binasakan, karena sudah tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk menjadi manusia. Miris? Ya, namun begitulah adanya.
Derap langkah kaki pasukan yang diutus sangat pelan, hampir tak terdengar. Jangan sampai zombie-zombie itu tahu kedatangan mereka. Kalau tidak----misi akan gagal. Sang komandan berjalan paling depan, memberi komando kepada anak buahnya agar mengikuti instruksi. Kacamata mode melihat dalam gelap bertengger di hidung mancungnya, menambah kesan tegas sekaligus berwibawa. Pria itu lalu menggerakkan jari, memerintahkan anak buah di belakang untuk maju dan membagi tugas.
Dziiiing
Deesssss
Suara dari senjata mesin khusus pembius dosis tinggi terdengar halus. Peluru langsung menancap pada leher salah satu zombie begitu sang target ada dalam jarak jangkauan. Tubuh mayat hidup itu pun ambruk. Salah satu anak buah Hideo mengeluarkan lempengan baja beton dan meletakkannya di bagian perut juga kaki zombie. Begitu tombol pada lempengan baja ditekan, rantai terulur keluar, melilit buruan dengan kencang seperti kaki gurita. Beberapa menit sesudahnya, tubuh itu melayang di udara. Ini memudahkan mereka untuk mengevakuasi zombie hingga ke dalam mobil berlapis baja yang menunggu di luar tanpa kontak fisik.
Satu buruan telah ditemukan, mereka pun melanjutkan pencarian hingga sebuah suara kembali masuki gendang telinga Hideo.
SREEK SREEK
Terdengar langkah kaki diseret. Sang komandan menajamkan pendengaran. Karena cahaya sangat minim dan hanya menyinari ruangan melalui celah jendela, gelombang suara pun jadi satu-satunya identifikasi yang bisa diandalkan.
"Uum."
Kali ini gumaman yang syarat akan nada dingin tertangkap oleh telinga Hideo. Hideo tahu zombie itu ada satu ruangan dengannya, tapi di mana? Posisinya masih belum diketahui. Sang komandan mengarahkan senjatanya untuk bersiaga.
GRROOOAAGH
Tanpa diduga salah satu zombie melompat dari atas lalu menerjang hingga dia jatuh ke lantai. Zombie itu berusaha memakan manusia di bawahnya sehingga sang komandan harus menahan lehernya dengan senapan.
'Sial! Dia kuat sekali,' Komandan Hideo menggeram dalam hati.
HAARGH
Zombie itu membuka mulut dan berusaha memakan Hideo.
Padahal zombie di atasnya bertubuh lebih kecil tapi karena sedang dalam kegilaan, kekuatan zombie itu dua kali lipat dari orang normal. Walau terpojok Hideo masih bisa bertahan dan melakukan serangan balik. Dengan cepat komandan bertubuh tegap itu mengambil tembakan berisi peluru bius yang disimpan di dalam tas pinggang.
Ceessss
Obat bius sudah ditembakkan, namun zombie itu belum juga lumpuh. Dia malah menggertakkan giginya dan memperlihatkan gusi berwarna merah lebih beringas dari sebelumnya. Dilihat dari bawah, Hideo bisa melihat kalau zombie kecil ini memiliki mata ungu keabu-abuan yang menatap dengan nyalang. Rambutnya pirang pucat. Daging di salah satu pipinya terkoyak, tapi tubuhnya masih bagus. Baunya sedikit busuk, karena pada dasarnya tubuh mayat hidup telah berhenti beregenerasi.
Karena tidak juga lumpuh, sang komandan menembakkan lagi obat bius berikutnya. Setelah tembakan kedua, barulah zombie itu ambruk.
"Cih! menyingkir dariku, makhluk mati!" Hideo mendorong tubuh kecil zombie agar menjauh. Tak peduli jika makhluk itu mengamuk. Toh, dia sudah menembakkan peluru bius.
Hideo kesal karena dia berhadapan langsung di mulut zombie yang bau amis. Dipandanginya lagi sosok berseragam itu kini tergeletak di lantai. Kalau diperhatikan baik-baik selain bertubuh kecil, wajah zombie itu juga sedikit menawan. Aish! Apa yang kau pikirkan? Bagian mananya dari zombie yang menawan? Kau mungkin sudah gila.
Hideo baru sadar kalau zombie itu memakai seragam sekolah Cassanova High School. Bukan hanya dia yang menyadari ini, melainkan anak buahnya juga. Insiden penyerangan bus yang ditumpangi sekelompok anak sekolah membuat geger Kota Lazar. Ditambah ada anak Tuan Altar di sana. Pastilah menjadi berita menghebohkan pada waktu itu. Ditambah Tuan Altar gembar-gembor mengeluarkan sayembara bagi siapa saja yang menemukan anak semata wayangnya.
"Komandan, kau baik-baik saja?" tanya salah seorang anak buahnya.
"Ya, aku baik-baik saja."
"Zombie ini berasal dari sekolah Cassanova?" tanya anak buahnya yang lain.
"Ya. Ternyata anak-anak dari insiden penyerangan bus sekolah beberapa bulan lalu masih bisa kita selamatkan." sahut Hideo ala kadarnya. Sebenarnya dia tertarik dengan insiden bus sekolah itu, tapi tugasnya sangat banyak. Tidak ada waktu untuk bergosip.
"Komandan, lihat papan namanya? Di sini tertulis namanya Tahta Langit. Dia anak Tuan Altar, Komandan?!" Seru prajurit yang lain. Ternyata anak buahnya lebih antusias daripada komandannya sendiri.
Mendengar ini, Hideo lantas menarik jas yang dipakai makhluk itu agar bisa membaca lebih jelas. Hideo tidak bereaksi apa-apa selain memasang wajah datar. Bukan berita besar dia bisa menemukan anak Tuan Altar atau tidak. Baginya tugas adalah tugas.
"Bawa dia ke markas!" perintah Hideo tegas.
"Siap, Komandan!"
Setelah merantai zombie Tahta pada sebuah lempengan baja, mereka segera keluar dari gedung dan pergi menuju markas Atlantis yang menjadi pusat rehabilitasi.
****
Bersambung
Di Gedung Atlantis yang menjadi pusat Rehabilitasi, Zombie- zombie tampak riuh. Suara ganas serupa auman harimau terdengar dari pintu masuk hingga aula. Memekakkan telinga. Tak ayal darah menetes dari mulut mantan manusia. Ya, apa namanya jika bukan itu? Jelaslah mereka dulunya manusia sama seperti kita, namun tidak sekarang. Mereka tak sama lagi. Mereka bukan manusia.
Para militer negara yang terbentuk dalam Pasukan Penyelamat STERIL, tim per tim membawa hasil buruannya. Mereka mempertaruhkan nyawa dengan pergi melewati dinding pertahanan untuk mencari dan menangkap zombie yang masih bisa diselamatkan dengan taruhan nyawa. Betapa mulia dan beratnya tugas militer di Beltran Guido. Semoga Beltran Guido selalu diselimuti cahaya----Alunan doa agung untuk negaranya.
GROARH
"Tahan rantainya kuat-kuat!" Teriak salah seorang militer pada beberapa anak buahnya untuk mempertahankan buruan.
Setelah efek obat bius memudar, makhluk yang selalu merasa lapar itu mengamuk, memaksa untuk lepas. Sayangnya meski ingin kabur, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Pasukan militer tadi telah menarik lilitan rantai lebih keras agar makhluk itu mau menuruti perintah. Hasilnya bukan hanya menurut, tetapi 'dia' juga berjalan semakin terseok dengan lutut hampir menyapu lantai. Para pria berpakaian putih pun segera membersihkan ceceran darah yang menetes dengan cairan antiseptik, antikuman, dan antibakteri nomor 1 yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan menggunakan tekhnologi mutakhir.
"Laporannya, Komandan Hideo?" Seorang wanita berpakaian jas putih khas ilmuwan bertanya saat tim dari Divisi Utara datang dengan tiga zombie.
"Tiga buruan, Doktor Leony. Lihat saja sendiri pemindaian data dari Dorry. Robot kamera itu sangat hebat. Semua data ada di sini, seperti biasa."
Hideo tersenyum lalu mencabut bandul berbentuk lempengan hitam transparan dari rantai kalungnya. Selagi dia menyerahkan data, dilihatnya Dorry terbang ke arah lain. Benda bulat itu menggerutu. Oh! Jangan lupakan dua garis mata dan tetesan air sebagai ekspresi wajahnya.
[Oh~Aku lelah. Aku ingin istirahat. Mungkin makan es krim lebih baik], keluhnya dengan suara khas anak laki-laki berumur 10 tahun.
"Kapan dia akan sadar kalau dia adalah robot? Sampai konslet pun dia tidak bisa kelelahan apalagi makan es krim? Reaksi itu sangat manusiawi. Kurasa Dorry perlu diperbaiki." Hideo berbisik sambil terus menatap robot kamera itu menjauh.
Leony melirik Hideo sesaat. Sahabatnya selalu sembarangan kalau berkomentar. Hasil karya para ilmuwan sangat bagus, baik mesin maupun memori bekerja sempurna. Mungkin Hideo saja yang berlebihan. Leony mengembalikan bandul milik Hideo, setelah memindai data persentase aktifitas otak ke gawai berbentuk tablet miliknya.
"Nih, kau jangan asal bicara, Hideo. Robot tim-mu itu masih berfungsi dengan baik. Jelas saja reaksinya begitu karena dia diprogram sebagai anak laki-laki jenius."
"Ganti saja programnya dengan yang lebih berguna."
Hideo mendesah lelah sambari berkacak pinggang. Karena robot kamera milik timnya masih anak-anak, telinganya selalu berisik mendengarkan Dorry bernyanyi selama di dalam mobil. Mereka 'kan sedang bertugas, bukan pergi untuk kontes menyanyi.
Ucapan Hideo ini mendapat reaksi lain dari Leony. Pikiran mereka tak searah. Pemuda itu lantas mendaratkan tangannya ke lengan berotot Hideo agak keras. Leony berharap sahabatnya lebih bertoleransi walau pada robot kamera sekalipun.
"Dia robot canggih. Kau harusnya bersyukur ada Dorry di dalam tim-mu."
Hideo membalas Leony, "Coba kau ada dalam posisiku dan mendengar nyanyiannya yang tidak jelas itu!"
"Kau kan Komandan, masa kalah dengan anak umur 10 tahun? Kukira kau sudah kebal. Bagaimana kalau suatu hari nanti kau punya kekasih yang kekanakkan juga? Apa kau akan bilang kekasihmu aneh lalu membuangnya?"
"Ya, tentu tidak! Lagipula tidak mungkin aku berpacaran dengan orang yang kekanakkan?"
Leony memicingkan mata, "Hati-hati dengan ucapanmu, Hideo. Ucapan adalah doa."
"Ya. Ya. Kau cerewet sekali, Leo." Hideo melengos. Dia malas mendengar ceramah sahabat ilmuwannya ini. Leony seperti ibu-ibu tua saja. "Daripada itu, lebih baik kauperiksa anak Tuan Altar dengan saksama?"
"Apa? Anak Tuan Altar?" Leony terkejut dam berharap kalau pendengarannya masih berfungsi baik. Barusan Hideo bilang anak Tuan Altar?
"Ya. Zombie berseragam sekolah yang kubawa tadi adalah putra Tuan Altar. Aku sudah baca papan namanya."
"Benarkah? Aku belum mengeceknya tadi." Leony menoleh pada zombie yang tengah melayang dan tertidur akibat ditembak obat bius oleh Hideo. "Kenapa kau baru bilang sekarang?! Ini berita besar! Aku harus segera memberitahu Tuan Altar!"
Hideo tak sempat berkata-kata karena Leony terlebih dulu berlari meninggalkannya.
****
Seorang pria paruh baya berpakaian elegan memasuki sebuah gedung ditemani seorang asisten dan seorang pengawal yang berjalan di belakang. Wajahnya terlihat tenang, namun siapa bisa menduga kalau jauh di dalam hati pria itu sedang berkecamuk dan resah. Sejam lalu dia mendapat kabar tentang seseorang. Orang yang sangat disayangi akhirnya ditemukan, meski dalam keadaan menyedihkan.
Beberapa bulan lalu dia telah kehilangan anak perempuan satu-satunya ketika sedang pergi ke luar kota bersama teman-teman sekolah. Jalur yang mereka lalui saat itu sudah dipastikan aman, namun siapa yang mengira kalau ban bus mereka kempes di perbatasan dan berujung penghuninya hilang tanpa jejak. Setelah berbulan-bulan berlalu, akhirnya sang anak ditemukan.
"Tuan Altar Langit, Anda sudah datang?" Leony menyambut kedatangannya dengan ramah. Dia sebenarnya tahu bagaimana perasaan pria itu. Terlihat dari kedua matanya kalau Tuan Altar tengah menatap rindu sekaligus sedih.
Dia bertanya dengan antusias, "Di mana putriku---Tahta Langit?"
"Dia sekarang sedang disterilkan di ruang khusus. Anda tidak boleh mendekat. Tapi kalau anda mau anda bisa melihatnya dari balik jendela kaca. Mari ikuti aku."
Mereka berjalan menuju sebuah ruang isolasi. Sebelum mereka memasuki kawasan itu, semua alat komunikasi disimpan dalam wadah khusus, untuk menghindari radiasi dari telepon genggam. Kawasan ruang isolasi harus benar-benar steril, bahkan orang yang masuk ke sana harus memakai kain penutup khusus.
Tuan Altar masuk bersama asistennya juga Leony, sementara pengawal menunggu di luar. Sesampainya ke tempat Tahta dirawat, mata Tuan Altar melebar begitu melihat puterinya dari balik jendela berkaca tebal. Di dalam ruangan bernuansa putih, tampak sosok makhluk sedang berjalan mondar-mandir, pelan, kaku, seperti robot. Kepalanya terus menunduk hingga Tuan Altar tidak bisa melihat wajahnya.
Wajah yang dikasihinya itu pasti tak menyiratkan lagi senyuman, tak lagi manis seperti dulu. Hati Tuan Altar tersayat begitu pandangannya jatuh pada rantai di kedua pergelangan tangan dan kaki anaknya. Tahta terlihat seperti seorang tahanan. Namun, apa boleh buat? Ini demi kebaikan.
Melihat puteri kesayangannya menjadi mayat hidup membuat Tuan Altar merasa gagal menjadi seorang ayah. Bagaimana dia mempertanggungjawabkan keadaan ini pada mendiang istrinya? Dia malu, tak punya nyali, hilang muka. Dia merasa jadi laki-laki yang payah, karena menjaga satu anak saja tidak bisa.
"Bertahanlah, Nak. Kau akan segera pulih," gumam Tuan Altar pada sosok zombie Tahta. Setelah puas melihat, Tuan Altar pergi.
"Tuan, ada telepon dari Tuan Soni," kata pengawalnya sambil menyerahkan telepon genggam miliknya, namun pria itu hanya mengambil lalu diserahkan kepada asistennya.
"Suruh dia datang ke sini. Tahta membutuhkan kehadirannya," kata Tuan Altar tanpa menoleh atau menjawab panggilan.
"Baik, Tuan."
Asistennya mendengarkan kata-kata Soni.
"Tuan, sepertinya ... Tuan Soni tidak mau datang ke sini. Dia ingin bicara langsung pada Tuan."
"Apa maksudmu?" Tuan Altar segera mengambil alih telepon dari tangam asistennya, "Soni?"
["Maafkan aku. Aku tidak bisa meneruskan ini. Aku tidak mau bertunangan dengan zombie. Aku ingin pasangan normal yang tidak membuatku merasa terancam. Lagipula, aku tidak mau nama baik keluargaku rusak gara-gara kekasihku menjadi zombie. Aku ingin putus dengannya. Sekali lagi aku minta maaf.]
Telepon genggam hampir merosot dari tangan Tuan Altar kalau saja dia tidak memegangnya dengan erat. Soni, anak dari salah seorang kenalannya memutuskan pertunangan karena Tahta menjadi zombie. Amarah mulai bangkit di dalam hati Tuan Altar. Inilah sebabnya kenapa dia tidak menyukai laki-laki itu. Dia menerima Soni karena Tahta begitu mencintainya. Dia setuju mereka bertunangan karena tidak ingin melihat anaknya sedih.
Tuan Altar pikir mereka saling mencintai, namun sepertinya cinta sang lelaki tidak sebesar bayangannya selama ini. Tuan Altar sadar, hanya Tahta yang berhati tulus. Dia pun tersenyum sinis.
Cinta yang dangkal.
"Tu ... Tuan, anda baik-baik saja?" asistennya dapat merasakan aura hitam menguar dari dalam diri Tuan Altar. Pastilah itu aura kemarahan.
"Sonia memutuskan pertunangan. Kaucari orang untuk menjadi pasangan anakku. Syaratnya dia harus kuat dan tidak pernah merasa takut. Kerahkan seluruh tenagamu! Katakan pada orang itu aku akan memberikan apapun yang diinginkan asalkan dia mau menjadi kekasih Tahta! Aku tidak perduli!" Tuan Altar berteriak, membuat sang asisten, pengawal dan Leony terkejut.
Leony sejak tadi diam. Dari posisinya berdiri, dia tahu masalah apa yang sedang menimpa Tahta. Tahta dicampakkan dan kini ayahnya amat marah.
"Baik, Tuan," jawab asisten dan pengawalnya.
"Kau!" Tuan Altar menunjuk Leony serta memberi sorot mata tajam seperti ingin menguliti hidup-hidup.
Leony tak berkutik.
"Sembuhkan anakku sesegera mungkin. Aku akan mendanai pengembangan obat pemulihan untuk mengembalikan 'mereka' seperti manusia," lanjut Tuan Altar.
"Baik, Tuan. Akan kulakukan sebaik mungkin. Anda jangan khawatir," kata Leony dengan mantap. Dia tidak bisa menolak, karena pria itulah pencetus dari Misi STERIL sekaligus donatur terbesar misi ini.
Esoknya di berbagai media masa, siaran televisi, maupun siaran radio, memuat berita bahwa Tuan Altar sedang mencari pasangan untuk anak zombienya. Berbagai pro dan kontra diberikan sebagai imbas dari rencana nekat orang paling berpengaruh di Kota Lazar. Meski dianggap gila, tidak waras, dan berlebihan, pria itu berpegang teguh pada pendirian. Dia akan membawa harapan dan kebahagiaan untuk anaknya.
****
"Bagaimana, Tuan? Tidak satupun dari penghuni Lazar yang mau memiliki kekasih zombie. Aku sudah mencari gadis ke setiap sudut kota, tapi baru saja mereka membuka pintu, mereka menjerit dan tidak sampai satu menit pintunya langsung ditutup," Kalilo menunduk lesu, takut tuannya marah.
"Gadis jelas akan ketakutan," Tuan Altar yang sedang berdiri menatap ke luar jendela rumahnya menjawab, "Bagaimana kalau militer?"
"A-apa?" Kalilo menatap tuannya tak percaya. Jangan bilang kalau tuannya ingin mencari seorang pemuda tak seusia untuk dijadikan pasangan anaknya? Begitu putus asanyakah pria ini?
"Ya, Kal. Kali ini kaucari pemuda kuat, tangguh, pemberani, dan memiliki keahlian segala jenis ilmu bela diri. Dia haruslah seorang pemuda yang tidak takut pada zombie."
"Tuan, kriteria seperti itu ada pada pasukan militer khusus."
"Maksudmu?" Tuan Altar menengok pada asistennya.
"Mereka kuat, pemberani, tidak takut pada zombie, dan memiliki keahlian ilmu bela diri. Tapi mereka belum tentu mau memiliki kakasih mayat hidup."
"Meskipun begitu, aku tidak akan menyerah. Jika aku menyerah, itu artinya aku pun menyerah tentang anakku. Lakukan!"
"Baik, Tuan. Aku akan mencarinya."
****
Bersambung
BUAGH
BRUGH
"Aampun, Ndan!! Aku ... menye-rah!"
Seorang prajurit memukul-mukul lantai tanda kekalahan mutlak, karena Hideo hampir membuat nyawanya melayang. Sampai kapanpun Hideo tidak bisa dikalahkan dengan mudah. Pemuda itu menguasai tinju dan beberapa ilmu bela diri yang pastinya mematikan. Lawan manusia akan kewalahan dibuatnya.
Sudah sejak dua jam yang lalu mereka berlatih, komandan Divisi Utara itu menjadikan anak buahnya sebagai samsak dan membanting mereka tanpa ampun. Bagi warga sipil, latihan ini mungkin mengerikan, namun baik untuk ketahanan fisik. Hideo memiliki jadwal latihan bersama anak buahnya di waktu tertentu dan tak segan-segan mengerahkan seluruh kemampuannya.
"Cih! Kalian lemah sekali! Apa pantas disebut sebagai militer? Bagaimana kalian mau melindungi warga sipil dari serangan zombie jika kalian lemah seperti ini, hah?!"
"Siap, Ndan. Ma ... maafkan kami." Salah seorang prajurit yang wajahnya babak belur menjawab dengan kesusahan.
Walaupun pemimpinnya kerap kali marah-marah, namun anak buahnya tidak dendam sedikit pun. Mereka tahu ini demi kebaikan mereka sendiri dan semua kata-kata Hideo adalah hal yang perlu dihormati. Mereka masih berbaris termasuk anggota pasukan yang semula hanya menonton di pinggir aula. Mereka berdiri dengan badan ditegakkan lalu bicara serentak nan lantang.
"Kami mengaku bersalah, Komandan! Kami lemah! Kami akan berlatih lebih keras lagi!"
Hideo dengan sorot mata tajam, memindai wajah anak buahnya satu per satu. Sebagai pemimpin tim, ada rasa bangga karena anak buahnya tidak pantang menyerah. Mereka adalah satu kesatuan. Mereka dididik dan digembleng dengan kesulitan dan kerja keras. Mereka disumpah untuk mengabdi kepada negara demi melindungi seluruh penduduknya.
"Pengakuan bersalah kalian kuterima. Cepat obati luka-luka kalian!" Hideo berteriak membuat anak buahnya segera bubar dan keluar dari ruang latihan yang menurut mata awam terlihat seperti arena adu jotos.
"Bringas seperti biasa, Hideo."
Seorang pemuda berambut pirang melangkahkan kakinya ke markas Divisi Utara. Suara sepatu terdengar kuat menapak di lantai. Begitu melihat sahabatnya bercucuran keringat tahulah dia apa yang dilakukan oleh pemuda itu. Pasti sahabatnya baru saja membantai anak buahnya dengan mix martial art. Dia sendiri sudah pernah melihat keganasan Hideo dalam latihan, tentu saja ketika mereka masih sama-sama prajurit.
*MMA: Mix Martial Art, kombinasi dari berbagai jenis ilmu bela diri. Membuat penggunanya bebas memakai jenis bela diri apapun.*
"Sedang apa kau di sini, Mark?" Hideo mengambil botol air mineral lalu meminumnya. Sesekali dia mengusap keringat yang menetes dengan handuk kecil.
"Aku datang untuk mengajakmu melihat anak Tuan Altar. Aku penasaran dengannya. Makanya aku datang ke sini. Sekalian menemui sahabatku dan membantu bila ada anggota pasukan di sini yang butuh bantuan ke rumah sakit," kata Mark disertai kekehan menyebalkan.
"Kau mengejekku, hah? Ayo lawan aku!" Hideo mengibaskan handuk ke arah Mark, mengajak duel.
"Woah, tunggu dulu! Aku datang ke sini bukan untuk mengajakmu berkelahi." Mark mundur untuk menghindari sabetan Hideo. Bukan karena dia takut, melainkan----ayolah, dia hanya penasaran dengan zombie yang sangat terkenal itu.
"Aku ada kencan hari ini. Aku harus menjaga penampilanku," lanjut Mark.
"Kencan dengan kekasihmu yang ke berapa?"
"Hm----sepuluh kalau tidak salah," setelah menjawab, Mark langsung memberi cengiran.
"Dasar playboy!"
BET
Hideo menyabet Mark, namun pemuda itu berhasil menangkap ujung handuknya. Dua pemuda itu malah saling tarik-menarik handuk seperti dua anak kecil bertengkar. Untung saat ini tidak ada Leony di tengah-tengah mereka. Jika ilmuwan itu sudah ikut campur bisa dipastikan kuping mereka akan panas karena diceramahi.
"Kita sudahi ini. Ayo kita ke Gedung Atlantis. Bukankah gedungnya dekat dari sini, karena itu aku mengajakmu."
"Kau benar-benar mau melihat anak Tuan Altar? Untuk apa?" Hideo bertanya heran.
"Jangan bilang kau tidak tahu berita itu? Berita tentang Tuan Altar yang mencari pasangan untuk anak zombie-nya menyebar ke seluruh kota ini dan kau tidak tahu?! Ck ... ck ... ck." Mark geleng kepala. Dia tidak tahu kalau sahabatnya kurang up to date separah ini.
"Diam, kau! Aku sudah tahu berita itu dan aku tidak peduli. Jangan bilang kalau kau tertarik, Mark?" Hideo menatap Mark sinis, namun bukan untuk menjatuhkan. Mereka sering bertengkar dan saling ejek. Tentu saja karena mereka tumbuh bersama, termasuk Leony.
"Aku bilang kan cuma melihat-lihat. Aku cuma penasaran seperti apa wujud zombie itu sekarang. Lagipula aku sudah punya kekasih jadi ... kuberikan padamu saja."
Hideo menepis tangan Mark yang berada di pundaknya. "Apa maksudmu?"
"Karena kau memenuhi syarat yang sedang Tuan Altar cari untuk menjadi calon menantunya. Lagipula kau belum punya pacar. Hahahaha."
"Memangnya orang gila mana yang mau memacari zombie?" Ini pernyataan bukan pertanyaan. Yah, untuk orang normal tak akan mau memiliki kekasih zombie, kecuali orang itu sudah gila.
"Kau. Karena kau kan memang gila, Hideo. Hahahaha."
"Kau sudah bosan hidup, Mark?!"
Perkelahian pasti akan terjadi, tetapi Mark memilih kabur sebelum Hideo mengamuk dan membantingnya menggunakan martial art.
****
Hideo keluar dari gedung divisi menuju halaman parkir untuk mengambil kendaraan. Hari menjelang senja ketika dia melajukan motor besar kesayanganya menuju sebuah cafe. Dia masih ingin berada di luar rumah. Toh tidak akan ada yang mencari. Pulang agak malam juga tak masalah.
Kadang dia merasa kesepian. Tinggal di rumah dinas yang luas hanya berisi satu orang membuatnya merasa tempat itu terlalu besar. Rasanya ada sebuah kekosongan di sana. Makanya kadang Hideo pergi ke luar untuk mencari hiburan. Terkadang dia berkumpul bersama dua sahabatnya. Jadi, kekosongan itu bisa tertutup sementara.
Hideo duduk di salah satu sudut dan memanggil seorang pelayan. Sambil menunggu pesanan datang, dia berpaling ke luar jendela untuk menikmati pemandangan kota yang belum terkontaminasi, karena adanya sebuah dinding tinggi dan tebal mengelilingi Kota Lazar. Dinding berlapis baja itu dirancang oleh seorang ilmuwan senior bernama Gillian untuk melindungi kota yang masih asri ini. Kota Lazar tampak seperti surga dunia di antara kepungan mayat hidup. Seperti oasis di tengah gurun pasir.
Tak berapa lama, seorang pelayan datang dengan secangkir kopi hitam. Baunya sangat harum. Hideo menyesap kopinya perlahan untuk merasakan pekat dari minuman hitam di cangkirnya. Namun, kenikmatan itu harus tertunda begitu pendengarannya yang tajam menangkap percakapan dua orang lelaki.
"Kau benar-benar memutuskannya?"
Di sebelah meja yang diduduki Hideo, duduk dua orang remaja yang penampilannya berlebihan dan bicara juga berlebihan. Tangan salah satu dari mereka sibuk merapikan pakaian yang dikenakan. Tak jarang sesekali dia menyibak pergelangan tangan kemeja, sehingga terlihatlah arlojinya yang berkilau.
"Tentu saja. Memangnya siapa yang sudi bertunangan dengan zombie? Aku tidak mau ketakutan seumur hidup. Walaupun dulu saat masih manusia Tahta menjadi idola Cassanova dan sangat menawan, tapi sekarang ... zombie tetap saja zombie."
"Kau benar Soni. Zombie itu sangat menakutkan. Keputusanmu untuk memutuskan pertunangan sudah benar. Kalau aku jadi kau, aku juga tidak mau. Aku tidak mau wajahku yang tampan jadi rusak. Itu sangat mengerikan."
"Kau benar. Aku pantas mendapatkan yang lebih baik, seperti kakak kelas dari club pemandu sorak misalnya. Ngomong-ngomong, tadi siang dia menyapaku. Ini peluang! Aku bisa mengajaknya kencan, kau tahu?!"
"Tentu saja kau bisa mengajaknya kencan. Oh, ya! Kudengar tuan Altar malah mencarikan pasangan untuk anak zombie-nya. Bagiku hal itu sangat berlebihan. Mana ada lelaki yang mau. Bagaimana menurutmu?"
"Ah, biarkan saja! Sampai mati pun tidak akan ada yang mau jadi kekasihnya. Melihatnya saja sudah mengerikan dan menjijikkan, apalagi sampai menjadi kekasihnya. Masih banyak gadis cantik di Kota Lazar. Kenapa harus zombie?" Bibir Soni tertarik ke atas. Bahunya sedikit bergetar karena tawa. Remaja itu memang sudah membuang Tahta, tapi tak perlu mengejek juga. Dia tidak tahu kalau Tahta sedang berjuang di sana.
Hideo berdecak kesal. Dua remaja itu sangat berisik. Sekarang dia tau zombie yang dibawanya waktu lalu memiliki kekasih. Sayang, kekasihnya bukan membantu memulihkan justru malah menghina. Dada Hideo pun berdenyut menahan gejolak bagaikan deburan ombak yang akan menghantam daratan. Hey, tunggu dulu! Kenapa dia masukkan ke dalam hati perkataan dua lelaki barusan? Bukankah Tahta bukanlah siapa-siapa baginya?
Tahta Langit sebenarnya nama yang bagus. Nama dengan arti mendalam. Maknanya haruslah----seseorang yang bertakhta dihati----ku? Eh? Apa yang baru saja dia pikirkan? Tahta-ku? Tahta mereka? Hideo, kau sudah gila.
Hideo menurunkan kacamata hitam yang dipakainya. Lantas dia melirik dua remaja di samping meja. Topik pembicaraan mereka kini beralih pada sesuatu yang menurut Hideo bisa membuatnya mati berdiri. Dua pria membicarakan gadis dan tertawa-tawa ketika membandingkannya dengan Tahta. Bukankah mereka pantas dihajar? Tetapi sangat sayang jika energinya terbuang percuma.
"Maaf, nona-nona," sapanya menyindir tanpa *t*edeng aling-aling.
Kedua remaja itu menoleh dan tidak sempat bergeming. Sebenarnya Hideo terlihat tampan dan keren. Sosok berambut hitam pendek dengan highlight kecoklatan di bagian ujungnya itu terlihat modis. Hideo tampak seperti model daripada seorang militer jika tanpa seragam. Namun, begitu Hideo melepas kacamatanya, sorot mata tajam tak mampu menutupi kesan mengintimidasi.
"Apa kalian sedang membicarakan kekasihku?"
"Apa?" Soni terkejut.
"Kau tahu semua makhluk hidup di dunia ini punya pasangan. Dan aku tidak menyalahkanmu. Lelaki penakut dan pengecut sepertimu memang tidak pantas menjadi pasangan zombie ... oh bukan ... namanya Tahta. Terima kasih kau sudah putus dengannya. Kebetulan aku sedang ingin punya kekasih yang bisa memacu adrenalinku." Hideo memakai kembali kacamatanya lalu pergi meninggalkan dua lelaki yang terbengong-bengong.
****
Di gedung rehabilitasi dengan penjagaan sangat ketat, beberapa orang ilmuwan junior sedang sibuk dengan sebuah selang air. Sebagai bagian dari pemulihan STERIL, mereka perlu memandikan zombie untuk mematikan bakteri dan virus dari luar.
Namun sepertinya sosok itu tidak bisa diajak bekerjasama. Tubuh penuh luka itu berlonjak kaget saat beberapa air disemprotkan ke tubuhnya. Tubuh kurus telanjang miliknya terlihat ringkih dan tidak berdaya.
Kalau masih dalam mode murni zombie, dia pasti akan menerjang siapa saja yang sudah mengganggu. Tapi setelah tiga hari berada di ruang rehabilitasi dan diberi suntikan steril secara bertahap, tubuhnya perlahan melemah karena pemulihan.
Tubuh putih itu berlari menghindari air yang disemprotkan oleh dua orang berpakaian serba putih.
Seakan tidak perduli jika sosok itu kedinginan, mereka terus menyemprot. Biar bagaimana pun zombie yang diketahui bernama Tahta itu masih belum sepenuhnya menjadi manusia sehingga harus dimandikan dengan cara yang tidak biasa.
"Arrgghh." Suara serak terdengar dari mulut Tahta. Dia merasa terganggu. Dia mengangkat wajah saat air dimatikan, lalu menggeram disertai tatapan nyalang, hendak menyerang.
"Berikan handuknya!" pinta salah seorang petugas yang memandikan tadi pada temannya. Petugas lain memberikan selimut besar yang kemudian digunakan untuk menutupi tubuh Tahta.
Sebenarnya Tahta tidak perlu selimut karena zombie tidak merasakan dingin. Tentu saja karena syaraf mereka rusak. Tubuh Tahta berbeda dari zombie lainnya. Kulitnya memang agak keriput. Ada luka di pipi, tangan, dan kaki, tapi selain itu keadaan tubuhnya masih bagus dan lengkap.
CLING
Suara rantai di kedua tangan dan kaki Tahta terdengar saat dia menggerakkan badan. Para petugas tidak takut Tahta akan kabur karena sejak berada di pusat rehabilitasi, para zombie yang menjalani pemulihan dipakaikan rantai. Rantai itu dipasangi alarm dengan sensor gerak. Alarm akan berbunyi jika pemiliknya terindikasi melakukan pergerakan yang dapat membahayakan orang lain.
"Kenapa dia?" tanya salah satu ilmuwan yang sedari tadi memandikan Tahta.
Entah mengapa tiba-tiba Tahta merendahkan tubuhnya lalu dia berjongkok. Selimut tebal yang dipakainya menutupi seluruh tubuh, membuatnya tenggelam.
Tahta hanya diam, tak bersuara. Hal ini membuat semua orang waspada sekaligus merasa lucu.
****
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!