NovelToon NovelToon

Broken Home, Broken Heart And Broken Health

Itu gue, SINYO!! part 1

“Sejumlah siswa kelas tiga terlibat baku hantam dalam lift sekolah akibat gas buangan (kentut) yang tidak diakui pemiliknya”

“Mantaapp…hahah…” Abel tertawa terbahak dengan perasaan puas memandangi artikel mading buatannya yang sekarang sedang menjadi trending topic di sekolah.

Aku menyentak-nyentakkan kaki ke lantai sambil memegangi lebam di pipi kananku yang sakitnya mencubit-cubit.

“Kalo gini gue bisa jadi tertuduh pelaku kentutnya Bel.. Sahabat macem apa lo! Harusnya nggak usah disebut soal gas buangan itu atau minimal jangan dijadiin judul deh..” Kataku memelas. Wajah Abel berubah garang.

“ Perjuangan gue buat dapet cewek bisa jadi sia-sia gara-gara artikel lo ini.” Kataku lagi.

“Buat orang-orang, lo itu tertuduh. Buat gue lo positif pelaku hahaha…lo kira gue nggak tau siapa lo.” Abel menjulurkan lidahnya kearahku.

“Lagian diet dulu kalo mau dapet pacar. Kan kasian cewek yang pacaran sama lo, kalo naik bajaj berdua bisa-bisa kempes kejepit badan lo”

Jleb!

Aku mendesah pasrah mendengar ucapannya. Tapi Abel harus mendengar penjelasanku agar dia mau ikut terlibat dalam perjuanganku mencari cinta. Ada niatan mulia yang harus aku realisasikan yaitu mengentaskan status jomblo cewek cantik.

“Bel…” Aku menarik tangan Abel duduk di tepi koridor depan kelas.

Aku menghela nafas panjang. Meyakinkan diri akan maksud baikku yang kupastikan kebenarannya.

Aku selalu yakin cewek bukan butuh cowok setampan Gu Jun Pyo atau setajir Gayus. Tapi cewek cuma butuh perhatian tulus yang apa adanya dan seadanya. Dengan memacari cewek cantik aku bisa menginspirasi semua cowok dan cewek gendut untuk tidak lagi rendah diri. Kami punya kelebihan lain yang memikat selain berat badan yaitu hati yang tulus. Aku akan buktikan itu!

“Gaya lo lebay!” Seru Abel saat aku mengungkapkan niatan heroikku. Aku menatapnya tajam. Dia mendelik dan tersenyum kecut.

“Gue serius Bel! Langkah gue ini pasti menginspirasi bukan cuma genduters deh.. tapi juga semua orang yang kejelekannya mutlak. Pasti ada harapan.” Kataku bangga.

“Hmm…” Abel berdehem lama. “ Siapa yang mau lo deketin?”

Yess! Tanggapan Abel menuju positif.

“Sasha, menurut lo?”

“Hahh Sasha temen sebangku gue?”

“Iyaa..bantu gue yah… kasih info-infonya aja. Nanti gue PDKT sendiri pas jam-jam istirahat. Selesai drama B. Indonesia baru gue tembak dia.”

“Hmm…3 bulanan lagi dong?”

“Iya, bantu gue yah….”

“No way!” Dia bangkit dari duduknya.

“Usaha sendiri! Hmm…update ke gue yah perkembangannya.” Sambungnya lagi seraya mengeloyor pergi.

***

Aku juga selalu yakin kalau cewek tidak melulu suka dengan kata manis dan romantis ala para dewa seantero Merkurius sampai Pluto. Apalagi rayuan murah khas tukang obat kaki lima yang bikin mual-mual. Menurutku kebanyakan cewek suka dibuat penasaran. Karna itu banyak cewek suka cowok yang terkesan cool dan misterius padahal kencing aja belum tentu lurus. Fiuhhh...

Berhubung cewek gebetanku ini teman satu sekolah yang kemungkinan akan langsung kabur kalau tahu aku yang sedang mengincarnya maka lebih baik kalau aku pakai tekhnik pendekatan gerilya. Meskipun katanya sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Selama melompat aku akan dan harus sudah berhasil membuanya nyaman dengan keberadaanku sampai lengket tak mau lepas bahkan jika aku kentuti. Sip!

“Hai, sms gue duluan dong malam ini.” Aku mengekeh kecil saat membaca smsnya. Jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 09.30 malam.

Tuhh kan baru sebulan setelah aku memproklamirkan niatan muliaku, sekarang gebetanku sudah mengisyaratkan tanda-tanda nyaman.

“Gue makin penasaran sama lo. Kita satu angkatan. Sekelas. Ayo dong ngaku siapa? Udah hampir sebulan masa kita mau sms-an terus, kapan ngobrol face to facenya? Gue ajak telp juga nggak mau. Gue minta pin BB atau whatsapp juga nggak mau. Kasih tau ciri-ciri deh biar gue bisa ngira-ngira.” Belum sempat aku balas smsya, dia sudah mengirimiku sms lagi. Woww...analisaku tepat, cewek memang suka dibuat penasaran.

Hmm…aku bangkit dari tempat tidur. Berdiri di depan cermin besar yang menempel di pintu lemari. Aku menarik kaos yang kukenakan sedikit keatas.

Dua bidang bahu, dua bidang dada, satu buah perut bulat dan satu bagian di bawah perut. Okay…

“Gua sixpack, dan gue yakin itu!” Sms singkat penuh percaya diri segera kukirim padanya.

“Tapi gue kan nggak bisa liat sixpacknya badan lo. Kecuali lo mau topless ke sekolah. Gimana? Hehe…”

Iya sih…bodoh! aku nyengir manis. Kalau kusebut badanku subur kemungkinan besar akan ketahuan karna stok cowok gendut di kelas sangat terbatas. Lebih baik gunakan kata-kata yang cenderung aman.

“Gue putih, tinggi.”

“Hampir semua cowok di kelas kita itu putih tinggi. Lo yang mana?”

“Hmm… pastinya gue nggak lebar kayak Yopi.” Hehehe.. aku gendut tapi Yopi sedikit lebih gendut jadi bisa dibilang kalau aku tidak bohong. Kira-kira beratnya satu kilo diatas berat badanku.

“Ohohoho…tau ah gue masih clueless. Jadi kapan lo mau muncul ke permukaan. Jangan ngumpet terus dong.” Balasnya.

“Nanti kalo lo udah mau cukur bulu ketek, bukan cuma ketemu tapi lo langsung gue tembak.”

Ini cewek langka. Aku tahu pasti, tepatnya sering mengintip celah lengan bajunya, kalau dia punya rambut lebat di ketiaknya. Dan dia paling malas cukur-cukur.

“Lohh kok tau?”

Heheh..dia penasaran.

***

--> bersambung...)))))

Itu gue, SINYO!! part 2

***

Dan aku tahu dengan seyakin-yakinnya kalau cewek itu paling suka diberi kejutan. Makanya banyak program reality show semacam pernyataan cinta diam-diam atau lamaran diam-diam. Ini pun berdasarkan clue yang kudapat hasil survey di kelas bahwa dari 26 orang cewek yang ada hanya satu yang tidak suka kejutan yaitu Sasha.

“Sasha!”

Aku memanggilnya dari sudut kelas. Sasha mendekatiku. Sebulan belakangan ini kami hampir selalu menghabiskan waktu istirahat bersama. Kecuali jika dia sedang berhasrat ingin pup karna biasanya itu makan waktu setengah jam dan kupastikan rutin 3 hari sekali. Kami duduk di koridor depan kelas.

“Beres?” tanyaku meyakinkan.

“Apanya yang harus diberesin sih? Tinggal tembak aja. Harus siapin apa?”

“Iya sih… gugup aja gue. Lo yakin kan dia excited sama sms-sms gue?” aku menunduk penuh kecemasan. Sasha menepuk bahuku pelan tapi itu tidak membantu.

“Tenang! Pede! lo udah berhasil buat dia nyaman. Dia cerita gitu sih ke gue. Buktinya dia mau smsan sama lo intense gitu. Dia kan cuek banget. Berarti lo udah setengah berhasil.”

Kata-kata Sasha membatku sedikit tenang.

“Okehh… selesai drama B. Indonesia gue bakal langsung nembak dia. Doain gue yah Sha.” ujarku.

“Okehh juga” kami berjabat tangan seperti nasabah yang baru membeli polis asuransi dari seorang marketing. Deal!

***

Dan aku dengan pasti dan yakin sangat benci kegugupan. Ini membuatku mulas dan berhasrat ingin buang gas. Karna terlalu gugup aku jadi lemas dan dengan kaki berselonjor kedepan hanya bisa duduk di kursi pojok kelas.

“Nyo, kenapa lo? lo sama bumil nggak ada bedanya.” Dion mendekat dan mengambil tempat di kursi sebelahku. Dia menunjukkan ekspresi kekhawatiran sebagai ketua kelas. Tapi…

“Sana… sana lo… gue lagi mau sendiri.” Dion ngedumel mendapati responku. Dia beranjak dari duduknya meningalkanku yang masih merenung memperhatikan jalannya drama. Sebentar lagi. Sebentar lagi Sang Pangeran akan menyatakan cinta pada Cinderella. Dan kemudian giliranku.

Brutt! Aku kentut.

"Cinderella maukah kau menikah denganku?"lalu Cinderella memandangi Sang Pangeran dengan wajah malu dan senyum asam manis.

"Iya pangeran, aku mau."

Ya! Ini giliranku! Aku melirik pada Sasha. Dia sudah melirikku terlebih dahulu. Lalu kami saling mengedipkan mata ala emotikon yang disebut winking. Aku maju ke depan kelas diikuti Sasha seraya menarik tangan Abel. Sasha membawanya ke hadapanku. Seisi kelas riuh. Tapi mereka bersedia menepi. Ada yang mengucapkan ciee… prikitiw… atau melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah bisa kulakukan yaitu bersiul cuitt cuitt..

Bu Amel, guru Bahasa Indonesia kami hanya terbengong sambil mengerenyitkan dahi. Bersandar pada meja guru.

Semua sudah menyingkir. Hanya ada aku dan Abel di depan kelas. Semua tiba-tiba hening menatap kami sesaat setelah aku berdehem. Abel sendiri kebingungan.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Memandangi Abel dengan tajam. Dibalas oleh pelototan mata bulat Abel. Aku sedang menjadi Arjuna pencari cinta tanpa panah dan busur. Tanpa coklat dan bunga. Tepatnya ketinggalan di rumah.

Dag! Dig! Dug!

“Bel…gue mau lo jadi pacar gue!” kataku cepat dan lantang.

Seisi kelas riuh kembali. Mereka bersorak-sorai seperti sedang menonton konser dangdut. Kerenyitan di dahi Abel terlihat semakin dalam.

Kayaknya gue salah nih!

“Eh…Bel gue suka sama lo. Mau nggak lo jadi pacar gue?” aku mengulangi penembakanku. Nafasku tersengal seperti terhenti diantara paru-paru dan kerongkongan.

Abel masih diam. Kerutan di dahinya menghilang. Ekspresinya lebih datar.

“Bukannya lo mau nembak si Sasha? Kok jadi gue?” akhirnya Abel mengeluarkan suara. Dia melirik tajam kearah Sasha yang sedang duduk di bangku baris ke dua menyaksikan kami. Sasha nyengir membalas lirikan tajam Abel.

“Lagian kita itu sahabat jadi nggak mungkin pacaran.” katanya lagi.

“Justru Sasha yang bantuin gue. Bel…”

“Jadi yang sms gue selama ini…” tanyanya penuh selidik.

“Iya! Itu gue, Sinyo!”

Aku menarik tangan Abel. Membawanya ke koridor depan kelas. Semua teman, hampir seisi sekolah mengintip di balik jendela. Beberapa berkerumun di bingkai pintu. Tidak terkecuali Bu Amel yang ikut terselip di antara kerumunan di bingkai pintu.

“Lo tunggu di sini. Gue buktiin cinta gue ke lo. Gue bakal lakuin apa yang selama ini lo suruh ke gue tapi nggak pernah gue lakuin. Lari pagi!”

“Tapi ini siang.” sergah Abel.

“Yaa…pokoknya yang penting lari. Gue bakal bakal lari keliling lapangan tiga kali. Di setiap gue sampe di depan lo, gue kasih tau lo alasan-alasan kenapa gue sama lo bisa dan mungkin banget pacaran.” ucapku terengah-engah karna gugup. Abel masih saja memasang wajah dingin.

Putaran pertama!

Aku berlari santai kurang lebih sepuluh menit. Wajahku merah. Ketiak basah kuyup. Keringat membasahi seragam. Ngos-ngosan. Bau badan, mungkin ketiak mulai asam.

“Satu! Karna lo dan gue adalah sahabat yang udah saling ngerti. Bisa terima kelebihan dan kekurangan masing-masing!”

Putaran ke dua!

Aku berlari lebih santai dengan empat kali berhenti untuk menarik nafas selama lebih kurang tiga belas menit. Mungkin lebih lima menit. Wajah nyaris gosong. Mata merah berair. Mandi keringat. Kaki kaku karna kecapekan. Ngos-ngosan jangan disebut lagi. Ini ngos-ngosan stadium tiga. Nafas hampir putus.

“Duah! Karnah lo udah nyamanh sama gueh. Lebih dari sahabat. Gue tau itu!”

Putaran ke tiga!

Lari terseok-seok. Tampilan muka abstrak. Baju basah lepek amburadul. Nafas seperti tinggal tersisa di pangkal kerongkongan. Ini baru bisa disebut setengah mati.

“Tigahh…” kataku dengan suara tersengal-sengal.

“Karnaah loh dan guehh..sad..harh atau ngaahh. Kitahh sah..linghh sehhayangghh.”

aku menarik nafas dalam. Mengaturnya agar tidak benar-benar berhenti.

“Tau dari man..”

“Bel!” seruku cepat memotong keraguan Abel.

“Since everything about you, me and us has been our concern. We are more than you used to think. We’ve touched the love.” kali ini suaraku lebih tenang dari sebelumnya. Rasanya plongghh…

Semua yang menyaksikan riuh kembali. Beberapa ada yang terharu. Aku memandang Abel penuh harap.

Tiba-tiba Abel tertawa terbahak-bahak. Membuat semua yang semula riuh berubah hening. Aku pun melongo keheranan.

Apa cewek kalau ditembak sahabatnya sendiri bisa jadi gila? Kasian Abel.

Kini giliran Abel yang mendekatiku. Dia lalu menarik tanganku. Kami duduk di tepi koridor. Aku masih belum mengerti apa maksudnya.

“Lo bau keringet.” katanya setengah berbisik.

“Iyalah, masa bau bensin.” aku nyengir.

“Hahah…kita sahabatan udah tiga tahun. Dari kelas satu gitu..” Abel menepuk bahuku keras. Aku meringsut menahan nyeri.

“Lo kira gue nggak kenal gaya sms lo! Ya gue tau lahh itu lo. Tapi gue diemin aja. Gue mau liat gaya lebay lo sampe mana.” Abel tertawa ngakak. Aku Cuma bisa diam pasrah.

“Jadi?” Tanyaku memastikan keputusannya.

“Tapi gue belum cukur bulu ketek.” bisiknya di telingaku.

“Nggak apa-apa. Bener deh...”

“Sipp…lo sukses macarin cewek cantik!”

Hahh… aku speechless. Hanya bisa memandang wajah Abel yang juga memandangiku dengan senyum tersungging di bibir tebalnya. Aku ingin memeluk Abel tapi takut dijewer Bu Amel yang masih memperhatikan kami. Hahah..akhirnya kami hanya bisa saling menertawakan kesalah tingkahan kami masing-masing.

Ciee…prikitiw…cuitt cuitt… seru teman-teman.

Bruutt!

Plaak!

Kesan pertama pacaran dengan Abel. Tangan merah dikeplak karna mengentuti. Aku gugup…

*** End

Sampai jumpa di cerpen berikutnya 😘

Tidak Ada Mimi (part 1)

Mata sayu anak baru itu terus melihat ke arahku. Pelan-pelan ia melangkahkan kaki kurusnya ke meja tempat aku duduk. Tanpa basa-basi ia meletakkan tas punggung hitamnya, lalu mengambil tempat di kursi sebelahku.

Aku menahan kesal, ia tidak sopan. Sepatutnya ia meminta persetujuanku dulu. Kursi itu memang kosong tapi bukan berarti aku mau berbagi meja dengan seseorang termasuk ia.

Namun wajah pucatnya membuat amarahku reda begitu saja. Ia terlihat sakit. Aku melirik pada wajah di balik rambut panjang dan lurus menjuntai sebahunya. Spontan ia menangkap tatapanku tajam, membuatku terkejut lalu secepat kilat berpaling.

Ia malah terkekeh kemudian mengulurkan tangannya yang kusambut dengan hati-hati. Aku tak berani menggenggamnya erat. Takut mematahkan jemarinya yang kurus seperti ceker ayam. Yaa.. meskipun kuku-kukunya tidak setajam cakar.

“Mimi..” ujarnya memperkenalkan diri. Sungguh itu adalah suara paling jernih yang pernah kudengar.

“Sabita..”

Ia berdeham tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Kamu mau kan jadi sahabatku?”

Seperti tersihir aku mengangguk sebelum sempat berpikir tentang apapun.

Dan ajaib! Matanya tiba-tiba membulat lebar dan berbinar. Wajah pucatnya seketika merona bersamaan dengan senyum lebar yang ia sungging. Hawa hangat menjalari tangan kami berdua seolah air yang mengalir deras.

Aku menarik tanganku cepat. Aneh! Aku memekik dalam hati. Ia malah tertawa melihatku keheranan. Beruntung tidak ada anak lain yang memerhatikan kami. Semua sibuk masing-masing.

“Persahabatan itu memang menghangatkan, Sabita.” Kata-katanya membuatku bergidik ngeri, seakan ia baru saja membaca pikiranku dan itu jelas bukan hal bagus.

Aku mengalihkan perhatianku pada Bu Sri yang sedang menerangkan trigonometri di papan tulis. Sedangkan ia masih terus memerhatikanku dengan ekor matanya. Oh God, menakutkan sekali cewek ini.

Keanehan berlanjut saat pulang sekolah. Aku berjalan setengah berlari mengetahui ia mengikutiku di belakang. Kakinya grasak-grusuk mengimbangi. Kalaupun rumahnya satu arah denganku, seharusnya ia tidak perlu pulang berjalan kaki menantang serbuan karbon monoksida dari knalpot kendaraan di jalan. Banyak angkot lewat, kenapa ia tidak menyetop satu lalu naik bersama teman lain. Malah capek-capek berjalan bersamaku. Kalau aku memang jelas tidak punya uang saku. Jujur saja aku merasa dibuntuti. Keringat dingin mulai menetes di dahiku.

“Mimi, kenapa kamu tidak naik angkot saja?” tanyaku pada akhirnya.

Ia tesenyum tipis, berjalan lebih cepat menyamai langkahku yang melambat. “Aku memang mengikuti kamu.”

Aku menatapnya meminta penjelasan lebih.

“Rumah kita searah, Sabita. Karena kamu jalan kaki, ya aku juga jalan kaki menemani kamu. Kita kan sahabat.” Diacungkannya jari kelingking yang dengan sedikit ragu kusambut dengan mengaitkan jari kelingkingku.

Meskipun Mimi sedikit aneh, namun tidak bisa kupungkiri kalau aku menyukai sikap hangat dan manisnya. Ini pertama kalinya aku punya sahabat. Bisa dibilang ini pertama kalinya aku punya teman. Anak-anak lain di sekolah tidak suka berteman denganku. Aku pun demikian. Aku tidak pernah nyaman dengan cara mereka bercanda dan mengobrol.

Suara mereka lantang, saling menyahut satu sama lain. Sedangkan aku selalu berbicara pelan. Mereka tidak pernah mendengarkanku atau mungkin memang tidak pernah ingin mendengarkanku. Padahal aku sangat butuh untuk didengar. Aku juga ingin bersuara, bercerita, bercanda.

Aku menceritakannya pada Mimi.

Wajahnya kelihatan sedih seakan-akan itu menimpa dirinya sendiri.

Melihat empatinya, membuatku menjadi semakin nyaman . Tanpa ragu aku melanjutkan cerita tentang keluargaku.

“Aku sedang ngambek, orang tuaku juga tidak pernah mau mendengarkan aku.” Jawabku pelan ketika ia bertanya mengapa aku sampai tidak punya uang saku.

Sial! Mataku mulai berembun. Tidak.. aku tidak boleh menangis disini atau dimanapun.

Mimi tidak melepaskan tatapannya dariku walau sedetik. Ia tidak menyela sedikitpun. Bahkan ia menyelipkan rambut menjuntainya di belakang telinga. Seolah agar ia dapat mendengarkan ceritaku dengan lebih baik.

“Mendengarkan tentang apa misalnya?” Wajahnya penasaran, aku jadi semakin bersemangat untuk curhat.

Sebelum sempat menjawab, Mimi menarik lenganku ke bawah pohon di sisi trotoar. Kami duduk di pinggiran paving block yang sedikit lebih tinggi. Bayangan pohon yang jatuh menyelamatkan kami dari sengatan matahari. Aku menyeka dahi berkeringatku dengan punggung tangan. Ia mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tasnya lalu menyodorkannya padaku. Kukembalikan botolnya setelah meminum beberapa teguk.

Ia sendiri tidak minum. Tidak juga tampak kelelahan ataupun berkeringat.

“Lanjutkan.” Pintanya. Aku mengangguk.

“Mereka tidak pernah mendengar pendapatku setiap ada perselisihan. Uhmm.. buat mereka, aku cuma anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Juga tentang rencana perceraian itu, mereka tidak pernah mau tahu bagaimana perasaanku. Ibu atau ayah sama saja. Karena itu aku tidak bawa uang saku hari ini. Aku ngambek, mogok bicara.”

Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya seakan-akan apa yang kukatakan ikut membuatnya risau.

“Jadi mereka mau bercerai?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk sedih.

*** bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!