Dua belas tahun lalu . . .
Seorang laki-laki berseragam putih biru lengkap dengan tas punggungnya yang masih di punggungnya, terlihat dia sedang menunggu seseorang. Laki-laki itu menyandarkan badannya di tembok sambil melipat kedua tangannya di dada. Wajahnya terlihat gusar tapi senyum manisnya enggan berhenti. Tidak lama seorang gadis memakai seragam yang sama dengannya datang menghampirinya dengan senyum merekah cantik.
Gadis itu adalah Clara. Rambut panjang sedikit pirang kecokelatan tergerai indah dan senyum gadis itu seakan menghipnotisnya.
Mereka saling berhadapan. Rasanya gugup. Jantung berdebar-debar meronta seakan ingin keluar. Bima berniat mengungkapkan isi hatinya. Sebenarnya dia sudah sering tapi Clara terus saja menolaknya, lebih tepatnya Clara menganggapnya sebagai teman tidak lebih. Tapi entah kenapa Bima tidak pernah putus asa terus mencoba meski dia selalu di tolak.
Bima tidak peduli. Dia seorang laki-laki yang harus jadi sosok yang gentleman.
“Bi, kenapa kamu minta janjian di sini?” tanya gadis itu kebingungan. Menatap Bima penuh pertanyaan.
“Sebenarnya ada yang ingin aku katakan, itu tentang-” nada bicara Bima terdengar terbata-bata. “-aku ingin kamu jadi pacarku, kamu mau kan?” dia memang bodoh dan tidak tahu diri sudah berkali-kali di tolak tapi masih kekeh menebak gadis itu seakan Clara hanya gadis satu-satunya di muka bumi.
Melihat wajah Clara, terlihat ada keraguan di senyum gadisnya. Entahlah Bima berharap dia akan menerima cintanya. Karena ia akan sangat malu kalau dirinya akan di tolak lagi.
Clara menghembus nafas pendek petanda gadis itu akan menjawab pertanyaannya lebih tepatnya ungkapan hati Bima selama ini.
“Bi… aku...” Clara belum sepat menjawab, Bima sudah menipalnya lebih dahulu.
“Aku t-tahu aku di tolak lagi.” Bima pesimis.
“Kamu kok一”
“Aku memang tahu. Aku memang gak pantes sama kamu. Kita memang cocok jadi teman aja.” Kata Bima mencoba sabar dan tersenyum tapi masam.
Clara menggeleng.
“Bukan, aku belum jawab pertanyaan kamu. Kamu terus motong aku bicara. Bagaimana kamu tahu jawaban aku.”
Bima mengerjap. “M-maksud kamu?”
“Kamu kok bicaranya gagap terus sih? Jadi sekarang kamu berubah jadi Bima gagap? Bukan Bima Winajaya lagi?" Clara bercanda untuk mencairkan suasana yang penuh dengan kecanggungan diantara mereka. Clara menahan tawanya.
Bima cemberut.
“Ara aku serius loh, ayo jawab. . .” desak Bima tidak sabar.
“Huh, gak sabaran. Memangnya kamu mau jawaban apa sih? Yes or No?”
“Kok kamu malah tukar pertanyaan sih?”
“Iya sekarang tukar pertanyaan ke kamu. . .Yes or No?”
Bima terdiam. Apa yang harus dia lakukan. Kalau Bima sih pengen jawaban YES. Tapi apa Clara menerimanya. Kenapa jadi Bima yang frustasi. Harusnya Clara yang menjawab kenapa jadi dirinya. Gadis itu benar-benar membuat Bima gila. Sumpah!
“Kok diam?” tanya Clara.
“Jadi aku harus jawab?” Clara mengangguk. “Tentu saja… ”
Membingungkan untuk Bima. Jadi Bima yang harus menjawab, awas saja kalau Clara mengerjainya. Dia mengurung Clara dikamarnya. “Kalau aku sih YES!”
“Oke kita pacaran.”
Eh?
Begitu saja. Kenapa Bima merasa ada yang aneh dan seperti gadis itu bukan Clara yang dia kenal. Ini pasti jebakan batman.
“Kok diam, kamu gak mau pacaran sama aku?”
“Mau kok.” Jawab Bima cepat.
Akhirnya mereka resmi berpacaran meski sedikit ada rasa yang begitu menganjal hatinya. Tapi, Bima senang karena Clara sekarang menjadi miliknya.
***
Dan setelah satu minggu pacaran Clara dan keluarganya pindah ke Malang tanpa memberitahu Bima kepergian gadis itu. Hanya berpamitan pada kedua orangtuanya.
Rasa sakit pertama yang Bima rasakan.
Seorang pria dengan perawakan tinggi, wajah bak dewa yunani berpakaian casual dengan tambahan kacamata hitam terlihat berkarisma. Semua pandangan mengarah padanya, bayangkan saat ia turun dari pesawat saja dia sudah di perhatikan para wanita yang mengagumi dirinya.
Bimantara Reza Winajaya.
Memang wanita itu sukanya dengan pria tampan dengan body hot. Bima hanya menggeleng tidak memperdulikan tatapan mereka. Yang ada mereka kepedean ditatap balik Bima.
Banyak wanita yang terang-terangan menggodanya, dan tidak hanya itu saja banyak lamaran pernikahan dan perjodohan untuknya dari kalangan teman bisnis Reza yang selalu membuat Bima geram. Mereka pikir pernikahan itu nego atau saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Untung Reza tidak pernah memaksa Bima menerimanya. Dan mempercayakan Bima untuk mencari pasangan sendiri.
Bima mendorong troli nya, kemudian Bima menemukan sosok wanita yang amat dia rindukan meski umurnya sudah kepala empat lebih, tapi wanita itu masih terlihat cantik dari wanita manapun.
Ada kala dia kecewa kenapa dirinya tidak lahir di rahim wanita itu? Tapi Bima bersyukur kalau wanita itu selalu ada dan menyayangi dirinya dengan tulus. Luna adalah sosok ibu paling terbaik di muka bumi. Meski dia tidak tahu sosok ibu kandungnya sendiri. Tapi Bima sangat berterima kasih pada Lisa-Ibunya sudah melahirkannya ke dunia. Dan menaruhkan nyawanya untuk Bima lahir hingga dia tumbuh sampai sekarang. Sosoknya tak akan Bima lupakan.
Dia sudah tau di usianya belasan tahun. Tadinya Bima marah dan kecewa tapi dia sangat menyayangi Luna yang sudah membesarkan hingga Bima dewasa. Wanita yang amat ia hormati, sayangi, dan cintai.
Luna-Mommynya tetap ibunya akan tetap seperti itu.
Bima menghampir Luna dan Reza yang menjemputnya, kedua orangtuanya adalah sosok teladan untuknya saat ini.
"Biboy..." suara Luna-Mommynya terdengar nyaring menjangkau orang di tempat mereka berada. Menjadi pusat perhatian. Luna memang tidak pernah absen memanggil Bima dengan sebutan Biboy.
Orang di sekitar mendengar panggilan Mommynya membuat Bima merasa sedikit malu dan menunduk.
Bima menggeleng. "Mommy please don't call me Biboy, aku pria dewasa, udah nggak cocok. Aneh." bantahnya. Kemudian memeluk Luna dan Reza secara bergantian. "I miss you..."
"I miss you too, Biboy. Kamu itu masih bocah kecilnya Mommy. Lagian aneh kenapa? Bagus kok. Masih cocok." sanggah Luna mencubit pipi Bima gemas akan tingkah anaknya yang malu. Mencium pipi Bima bertubi-tubi khalayak anak kecil.
Bima pasrah dengan perlakuan Luna.
Reza menempuk pundak putranya agak keras namun tidak membuat Bima mengaduh. Reflek Bima terhentak kaget. Reza yang tiba-tiba. "Denger itu bocah, jangan sok dewasa." Reza mengejek.
"Nggak apa-apa aku memang bocah kecil, masih muda. Memang Daddy sudah tua." Bima tidak mau kalah dari Reza.
"Tua begini masih bisa bikin Mommy kamu bunting."
Luna memukul bahu Reza asal.
"OH NO! Aku gak mau punya adik lagi cukup tiga saja, gak usah nambah. Apa kata teman Bima di usia segini punya Debay lagi."
Bima melipat tangannya di depan dada. Kesal. Daddy dan Mommy selalu saja ingin menambah momongan padahal usia sudah tidak mungkin meski secara fisik mereka berdua masih tetep kece badai.
"Padahal Daddy masih pengen punya anak kembar loh ganda campuran." yap sampai detik ini Reza masih saja memikirkan planningnya untuk menambah momongan.
Reza memelas menatap Luna. Tapi Luna membalas tatapan tajam penuh arti seakan berkata 'Jangan macam-macam' seperti ancaman.
"Bikin planning mulu sih. Makanya nggak jadi-jadi." tuduh Bima.
"Belum rezekinya kali... " Kali ini Luna yang menjawab.
Bapak dan Anak sama saja, tidak mau mengalah. Egois. Kalau sudah berantem beginilah begitulah tidak pernah pada tempatnya. Di bandara pun jadi.
"Udah tua jangan banyak tingkah. Inget umur. Bentar lagi mau punya cucu." ujar Luna.
Cucu maksud mommy?
"Kamu benar sayang. Kalau planning nggak kesampean anak kita aja yang wujudkan. Seperti halnya aku dulu di minta ayah Gege." Reza mengingat ucapan mertuannya yang meminta cucu kembar, Alhamdulilah terwujud, Nabila dan Nadila lahir.
"Cucu dari siapa?" tanya Bima bingung. Luna dan Reza saling bertukar pandang.
"Dari kamulah... " kata Luna dan Reza bersamaan.
"Aku? Yang benar aja." Bima di buat pusing kedua orangtuanya.
Bima menujuk jari telunjuknya ke arah badannya sendiri dan masih belum percaya dengan perkataan dari kedua orang tuanya dia baru saja selesai kuliah. Malah Bima di todong minta cucu. Nikah saja belum.
Lebih tepatnya, pasangan belum punya. Karena masih ada sosok wanita itu yang dulu masih melekat di hati sampai sekarang. Entah kenapa rasa rindunya semakin mendalam bila ingat tentang wanita itu.
Dimana dia sekarang?
Apa dia baik-baik saja?
Apa dia sudah melupakannya?
Apa dia sudah mempunyai kekasih?
Bodoh memang dia harus terjerat dengan wanita itu.
Clara Mariana Argata
Mereka berpisah sejak SMP, pas lagi sayang-sayangnya. Clara dan keluarga pindah ke Malang tempat neneknya berada. Setelah itu tidak ada kabar apapun darinya atau dalam bentuk message apapun itu.
Yang Bima tahu, dua tahun setelah pindah Om Arga meninggal dunia karena kecelakaan pesawat yang di bawanya. Bima juga turut berduka cita. Semenjak itu pula tidak ada kabar dari keluarga mereka.
"Iyalah siapa lagi coba. Nadila dan Nabila baru masuk kuliah. Dan Kai apalagi." ucap Luna. Ia bukannya ingin cepat-cepat punya cucu. Dia hanya ingin Bima bahagia dengan seseorang. Mungkin efek di masalalunya. Luna tidak menyalahkan Bima ataupun Clara. Dia hanya ingin Bima bisa menjalani hubungan dengan wanita yang bisa membuat anaknya nyaman.
Kebahagian Bima paling utama.
"Baru aja pulang udah di todong cucu." keluh Bima tidak habis pikir. Bima memandang kedua orangtuanya yang tersenyum geli. "Terus kita mau berdiri aja gitu di sini..." tambah Bima, Luna maupun Reza baru sadar kalau dan mereka masih di depan pintu keluar, mengobrol agak lama. Harusnya mereka sudah sampai di rumahnya dan makan, tapi malah asyik mengobrol tentang anak cucu segala.
Karena saking rindu dengan Bima, mereka melupakan Pak Kumis yang sudah menunggu mereka. Setelah Pak Yanto pensiun, sosok si Pak Kumis yang menggantikan beliau.
"Mommy sampai lupa. Ya sudah, ayo kita pulang. Adik-adik kamu sedang menunggu. Mereka pasti kangen banget sama kamu."
Mereka memasuki mobil duduk di kursi penumpang bertiga meski berdempetan. Sedangkan Pak Kumis membawa koper milik Bima dan memasukannya ke dalam bagasi mobil.
"Pastilah Bima memang ngangenin. Siapa coba yang gak kangen sama aku" kata Bima. Luna mengangguk setuju.
"Ada yang gak kangen sama kamu Tuh!" ujar Reza.
"Siapa?" Bima dan Luna bersamaan.
"Mang Oding tukang soto komplek sebelah. Dia gak kangen sama kamu."
"GARING." Bima dan Luna kembali menjawab kompak.
"Pake air biar basah."
"GAZEBO."
Bima dan Luna membuang muka. Reza yang awalnya tertawa kembali diam. Dalam mobil Bima tidak henti berbincang-bincang riang dengan Luna hingga Reza terabaikan.
Reza merajuk menyandarkan kepala di bahu Luna. Luna duduk di tengah dan kedua pria itu di sisi lainnya.
"Kalau sudah ketemu anak kesayanganmu, Daddy di lupakan gitu aja." Iri Reza.
Bima tersenyum geli. "Masih aja cemburu sama anak sendiri." kata Luna mengelus pelipis Reza.
"Iya nih, Daddy tuh udah..." belum sempat bicara Reza sudah menimpal ucapan Bima.
"Udah TUA kan maksud kamu...?" runtuknya semakin kesal.
Kata T. U. A memang sensitif untuk Reza. Maklum meski sudah berumur 50-an tapi sikapnya masih seperti anak 17 tahunan.
Labil.
Daddy nggak sadar kalau udah tua, malah pengen di anggap muda. Bima membatin.
Bima tertawa. "Sotoy..." memang bener sih.
"Terus apalagi? Cuma kata matra itu aja yang ada di otak kamu Bimantara.. " balas Reza kesal.
Tua begini masih ganteng. GGS (Ganteng-Ganteng Sexy) bukan Ganteng-Ganteng Serigala. Gerutu Reza dalam hatinya geli sendiri.
Benar kata anaknya udah tua, nggak tau diri.
"Hahaha gitu aja ngambek...cuma kata itu aja yang pas buat Daddy... "
"Serahlah..." Reza menenggelamkan wajahnya di leher Luna. Bermanja-manjaan meski tidak ingat umur.
Bima menggeleng akan tingkah konyol Daddynya.
Di usia kedua orangtuanya yang sudah tidak muda lagi tapi mereka bisa menjaga keharmonisan keluarga. Ada saja pertengkaran mereka. Tapi itu wajar. Kedua orang tuanya menjadi contoh untuk dia kelak saat dia sudah berkeluarga nanti.
"Kalian berdua bisa gak usah berantem. Baru juga kita bertemu masa udah bikin bad mood sih. Pusing kepala barbie, kalian nggak kasihan sama Mommy?" ucapnya berhenti sejenak saat kedua pria itu hanya mengangguk tersenyum.
"Lanjutin, berantemnya di rumah aja ya?"
"Yes, Mommy." Bima dan Reza bersamaan. Hanya Luna yang bisa menundukkan bapak dan anak itu.
"Good..."
***
"Welcome to home, My Brother... "
eriak seorang gadis cantik saat Bima dan kedua orang tuanya turun dari mobil. Sosok cantik itu Nadila, Bima kenal sekali akan adiknya yang satu ini. Dia rindu akan Nadila yang riang dan ceria yang selalu membuat Bima naik darah. Dan di sampingnya ada Nabila sosok yang kalem, dan memiliki senyum yang hangat. Keduanya berbeda tapi sama.
"Hai, my sisters…" Bima menyapa keduanya dan memeluk rindu adik kembarnya. Sudah lama dan melihat perubahan signifikan antara kedua gadis kesayangan yang sudah beranjak dewasa.
"Apa kabar, kalian berdua. Udah gede aja. Tinggi lagi."
"Alhamdulillah baik… " keduanya kompak. "Iya, kita itu tumbuh ke atas bukan ke samping…" tambah adila cecengiran.
"Korban iklan…"
Bima memeluk kedua adiknya. kemudian mencari sosok satu lagi, tak lain adalah Kaivano si bungsu manja dan banyak tingkah.
"Pasti nyariin Kai, kan?" kata Nabila, dia sekilas melihat kakaknya.
Bima mengerut alisnya. "Kok tahu, sih?"
"Taulah, kangen di jailin Kai, ya?" balas Nabila tertawa pelan.
"Sok tahu, Kak Bi cuma siaga aja menghidari ancaman kejailan Kai. Tau sendiri tingkah Kai macam apaan."
Nabila dan Nadila membenarkan keluhan Kakaknya atas Kaivano. Bukan takut, tapi kejahilannya sering tidak terduga.
"Jangan di cari kak, Kai pasti lagi main sama pacarnya." timpal Nabila mengaitkan tangannya di lengan Bima sambil memasuki rumah besar yang sudah lama Bima tinggalkan. Kedua orangtuanya dan Nadila mengikuti dari belakang.
Rumah ini masih sama tidak ada yang berubah sama sekali.
Bima melihat ke sekeliling ruangan.
"Dia sudah punya pacar?" tanya Bima penasaran akan pergaulan adiknya. Apalagi si bungsu. Sekarang sudah menginjak remaja. Kaivano tumbuh menjadi pria yang tampan seperti dirinya dan Daddy.
"Sudah, pacarnya banyak." Nadila terlalu dramatisir akan ungkapannya.
"Masa?"
Si Kai macam playboy aja sampai banyak ceweknya, aku aja kalah sama anak tengil itu.
"Kakak nggak tau sih, jarang pulang, kayak bang toyib. Betah banget di Jerman sampai nggak tau apa-apa di sini." ujar Nadila.
Bima memang jarang pulang ke Indonesia, bukan Bima tidak rindu atau apapun itu. Karena memang dia ingin fokus dengan kuliahnya sana. Tepatnya itu ingin cepat lulus dan kembali cepat pada keluarga yang di rindukan dan selama di Jerman pula Bima tinggal di rumah sang Opah-Omahnya.
Dan melakukan acara magang juga di perusahan milik Opahnya yang sekarang sudah di pimpin Uncle Barrack adik tiri Mommy-nya. Dan Aunty Dee menjadi Direktur pula di sana.
Hingga dia punya banyak pengalaman, pulang dengan segala pengalamannya di sana dan siap menggantikan Reza-Daddynya di SJC milik kakeknya Galang.
"Maafkan Kakak deh, sibuk kuliah dan magang pula di sana. Gak bisa melihat perkembangan kalian di sini."
"Ok di maafkan, karena kakak sudah pulang."
"Bagaimana kuliah kalian berdua?" tanya Bima sekarang mereka duduk di ruang tamu. Sedangkan orangtuanya pergi ke kamar. Belum sempat menjawab pertanyaan Bima, seseorang datang.
"Ini minumnya Den.. Non… " Bi Yustina meletakkan tiga gelas jus jeruk untuk mereka.
"Makasih Bi Yus… "
"Iya, kalau begitu permisi." Mereka mengangguk dan tersenyum.
Bi Yustina adalah anak pertama Bi Surti yang menjadi ART-baru menggantikan ibunya yang pensiun. Bima meminum jus jeruk hingga tandas. Nabila dan Nadila tersenyum melihat Bima. Kemudian meletakkan gelas bekasnya di atas meja.
Bima memang sedikit lelah dan capek akan tubuhnya tapi Bima tetap berusaha mendengar cerita si kembar yang begitu antusias bertemu dengannya.
"Jadi gimana kuliah kalian?" Bima mengulang kembali pertanyaannya karena ada iklan lewat.
"Alhamdulillah lancar aja kak, masih MABA juga sih kita, belum ada kendala apapun." jawab Nabila. Ia mengambil sastra inggris. Nabila juga sangat senang menulis. Karya ceritanya sudah ada yang di publish app novel yang memang untuk penulis amatir.
Mereka kuliah di tempat berbeda. Meskipun keduanya masih kuliah di daerah Jakarta juga.
"Kamu harus fokus sama apa yang kamu pilih, itu akan menentukan masa depan kamu." itu nasehatnya pada Nabila.
"Iya, Abil bakal inget ucapan Kak Bima."
Kemudian melirik ke arah Nadila terlihat gusar. "Terus kamu sendiri bagaimana?" tanyanya pada Nadila.
"Lumayanlah, tapi gitu..."
"Gitu gimana?"
"Aku nggak suka sama satu dosennya...muka tembok. Es balok, muka kulkas, blaa.. blaa.." cerita Nadila menujuk ketidak sukaannya pada Dosen mata kuliahmya. Dosen memang banyak jenisnya. Tergantung pembawaanya.
Lalu muka tembok? Es balok? Muka kulkas? Apa coba hubungannya dengan Dosennya? Hanya Nadila yang memang selalu banyak mengeluh pada Bima. Anak zaman sekarang aneh-aneh. Segala sesuatunya selalu di buat sesuai ucapan mereka. Padahal belum tentu kebenarannya.
"Kamu ambil Bisnis kan? Terus kenapa kamu nggak suka sama dosennya?"
"Dosennya galak, terus dingin kaya batu es. Aku sering banget di marahin sama dia." Bima tersenyum dengan cerita Nadila.
"Kamu kali yang salah dan buat Dosen itu kamu jengkel. Dosen nggak akan marah kalau mahasiswanya itu bikin ulah sama dia." kata Bima, dan di angguki Nabila setuju dengan kakaknya. Nadila hanya diam sesaat.
"Ya, memang sih...aku sering telat, sering ngobrol pas pelajaran dia." jujurnya.
"Denger Dila. Mau kamu di marahin sama Dosen atau di caci maki sama Dosen. Dan kamu tau tidak kalau Dosen itu selalu benar, Dia adalah sosok penting dalam mata perkuliahan kamu. Jangan banyak tingkah, jadilah gadis yang baik."
"Siap bosque... " Nadila mengalah nggak akan menang dengan kakaknya.
Iyahin aja biar cepat.
"Kalau begitu kakak mau istirahat dulu capek seharian penuh di dalam pesawat bikin jetleg."
"Ya sudah selamat istirahat kakakku... "
Bima bangikt meninggalkan keduannya masih di ruang tamu. Dia memasuki kamar yang sudah lama tidak dia tempati. Rindu akan tempat tidurnya.
Dia merentangkan tangannya di kasur empuk. Bima memejamkan sejenak matanya. Badannya begitu lelah tapi pikiran dan otaknya hanya memikirkan sosok wanita itu.
Gila.
Dia masih saja memikirkannya. Belum tentu dia memikirkan dirinya juga. Kadang cinta memang bisa membuat orang gila, dan itu terbukti pada Bima.
Teman kecilnya telah merampas hatinya begitu dalam.
Bima harus terjebak dengan satu wanita, padahal di luar sana ada begitu banyak wanita lebih baik dan cantik dari Clara.
Meski dia sempat berhubungan dengan beberapa wanita. Sampai sekarang pun belum ada wanita lain yang bisa meluluhkan hatinya.
Hanya wanita itu yang bisa mengobati hatinya.
Hanya dia.
Dia.
***
Tok Tok Tok
Suara pintu terdengar, membuat Bima terbangun dari tidurnya yang entah sudah berapa jam dia tertidur. Ia bangun terduduk di kasur.
"Biboy sayang ayo makan... " teriak Luna, sambil berkali-kali mengetuk pintu tidak ada jawaban.
Pintu di kunci Bima dari dalam. Tumben. Akhirnya Bima memberikan sahutan membuat Luna lega, Bima tidak apa-apa. Tadinya sih Luna akan memanggil suaminya karena khawatir Bima tidak jua keluar sejak tadi hingga malam menjelang.
"Yes, Mommy nanti Bima ke bawah kok." sahut Bima memgambil ponselnya dan ternyata sudah jam tujuh malam selama itu dia tidur.
Melihat keluar jendela hari memang sudah malam.
"Nggak pake lama, kita tunggu di bawah, sayang."
"Iya... "
Bima pun beringsut dari kasur menuju kamar mandinya untuk membersihkan badannya yang lengket. Setelah setengah jam berlalu Bima pun bergegas menuju ruang makan. Ia memakai kaos hitam dengan celana pendek selutut berwarna khaki.
Sampai di ruang makan sudah kumpul orangtuanya, si kembar dan juga si bungsu. Duduk manis mengobrol dan belum sama sekali menyentuh makanan di meja makan.
"Hey, guys sorry tadi ketiduran..."
Bima duduk di samping dekat Reza berhadapan dengan Luna. Di sisinya ada si kembar di sisi Luna ada Kaivano.
Momen seperti ini yang sangat dia rindukan. Makan bersama.
"Padahal aku sama Daddy mau dobrak pintu kamar Kak Bi loh kalau nggak keluar juga." Segitu lamanya dia tertidur. Sampai keluarganya berpikir aneh. "Aku kira Kak Bi pingsan nggak keluar-keluar dari kamar." seru si bungsu.
Mereka tertawa mendengar ucapan Kaivano.
"Kecapean Dek." balas Bima. "Kamu kemana saja, sudah tahu kakak pulang. Kamu malah keluyuran." tambahnya. Lalu Luna menyiukan nasi untuk keluarganya di bantu kedua putrinya dan memasuki lauknya.
Para pria itu hanya bisa menerima dan siap menyantap. Pria memang harus di layani dengan baik. Dan mereka menyapa makan malam dengan bincang-bincang ria.
"Kak Bi kayak nggak pernah muda saja." jawabnya santai dan tenang. Kaivano memang sangat mudah bergaul.
"Memangnya kakak sudah tua, sampai nggak pernah muda."
"Memang kakak kelihatan udah tua… jangan ngaku muda kalau masih jomblo.." Bima mengerut alisnya tidak suka.
Ini kah KARMA?
Apa karena Bima sering mengejek Daddy-nya dengan ucapan tua. Malah dirinya kena ejekan Kaivano, adik bungsunya. Memang karma berlaku untuk siapa aja.
Sialan!
Reza hanya tersenyum geli akhirnya ada juga yang bisa membalas dirinya.
Terima kasih bungsu.
"Kakak belum tua. Umur segini bukan nyari pacar, tapi calon istri.. Masih muda begini. Ganteng lagi." pedenya.
Calon istri?
Rasanya Bima ingin tertawa. Bagaimana bisa dia akan punya calon, pacar saja tidak punya bukannya Bima tidak mau membuka hati. Tapi memang hatinya sudah terisi seseorang. Bima ingat pernah berpacaran dengan teman sekelasnya dulu saat masih SMA, kalau tidak salah namanya April dia pacar Bima yang paling lama menjalin hubungan hampir dua bulan, paling pendek hanya satu minggu. Bima memang bukan pria super romantis atau perhatian. Ia terlalu cuek. Wanita itu ingin di mengerti. Bukan di abaikan macam kertas kalau salah langsung di sobek lalu di buang.
Bima sadar.
Akan sikapnya pada para mantan-mantannya dulu.
"Tapi sampai sekarang calonnya masih belum keliatan macam hilal."
"Gampang dek, kakak tinggal tunjuk kalau nggak tinggal kedip mata, cewek-cewek pada nyamperin loh. Gak ada yang bakalan menolak." Jelasnya sedikit percaya diri membuat Kaivano kesal. Bima memang sangat tampan, tapi Kaivano tidak kalah tampan.
"Sombong bener punya kakak." Balas Kaivano sambil menyantap makanan nya.
"Sirik aja."
Reza menatap Bima. "Memangnya kamu masih jomblo, Bi? Kalah kamu sama Kai. Kai aja sudah kenalin Daddy cewek-ceweknya kalau main kesini. Kamu kapan bawa calon mantu ke sini?" Luna mendelik ke arah Reza tidak suka pertanyaan sensitif untuk Bima yang tertutup perihal wanita.
Mereka diam menatap Bima. Penasaran akan jawaban Bima. Ia memang tidak pernah mengenalkan pacarnya pada orangtuanya. Ya memang tidak begitu penting wanita yang dia pacarin dulu.
"Tenang aja Bima pasti akan bawa calon mantu ke rumah ini. Coming soon… " Bima asal menjawab tidak tahu harus bagaimana kalau membicarakan tentang wanita.
"Amin… " mereka sekeluarga mengaminkan. Hal paling Bima rindukan adalah bisa berbincang dengan keluarga. Sarapan atau makan malam bersama.
Selesai makan mereka lebih memilih menonton acara TV. Tapi tiba-tiba Reza mengajaknya ke ruang kerjanya. Bima tahu pasti akan membicarakan tentang sesuatu yang penting untuk besok. Karena besok adalah hari paling penting untuk Bima. Yaitu menggantikan posisi Reza sebagai CEO SJC yang baru.
"Kamu harus percaya diri buktikan kalau kamu layak menggantikan posisi Daddy."
"Yes, Daddy."
***
Sudah baca? Bagaimana menurut kalian? Masih belum inti cerita sih masih belum greget, tapi semoga kalian suka.
Kalau nggak suka kalian bisa bayangin Bima siapa aja.
Kalau sudah baca jangan lupa klik jempolnya ya (👍)
Terima kasih.
Hai, Readers
Jangan lupa jempolnya (👍)
Dan Votenya biar masuk Ranking
Selamat membaca
***
Bima duduk berhadapan dengan Reza, di ruang kerjanya. Ini untuk pertama mereka mengobrol setelah kepulangan Bima. Setelah Bima lulus, Bima langsung pulang ke Indonesia. Atas perintah Daddy-nya. Ia menyesap tehnya. Lalu memusatkan perhatiannya pada Reza dan ia yakini kalau Daddy-nya ingin membicarakan tentang sesuatu.
Pria di hadapannya memang sudah berumur tapi dia masih punya pesona yang tidak kalah dengan Bima. Reza masih tampak gagah dan masih bisa memimpin SJC beberapa tahun kemudian mungkin bisa lebih lama.
Mungkin orang banyak berpikiran menjadi seorang CEO hanya diam dan memerintah tapi semua itu salah, mereka mempunyai tanggung jawab yang besar untuk kelangsungan perusahaan, bukan hanya hidup pemimpin yang ditaruhkan tapi semua karyawan yang bekerja serta keluarga mereka yang di taruhkan.
Kadang Bima berpikir apa dia mampu? Apa dia bisa menjadi pemimpin yang baik seperti Daddy-nya? Apa sebaliknya?
Melihat hal itu Reza menyentuh tangan Bima.
"Jangan terlalu banyak berpikir, kamu hanya harus menjadi Bima. Buka bagaimana menjadi Daddy-nya. Menjadi pemimpin itu memang tidak mudah. Harus mendapatkan kepercayaan dari banyak pihak. Dulu Daddy sepertimu, tidak begitu percaya diri. Malah Daddy saat itu lebih parah, banyak pihak yang tidak menyukai Daddy. Karena Daddy terlalu arogan. Tapi lihat Daddy sekarang. Mereka menerima Daddy. Meski butuh proses lumayan panjang." Reza memberikan wejangan pada Bima, dan masalalu dimana ia pernah ditolak mentah-mentah oleh pemegang saham yang tidak mempercayainya.
Untuk saat ini, Bima lebih mudah. Karena Reza sudah membeli sebagian saham milik SJC atas nama Luna beberapa persen dan semua pemegang saham adalah, keluarganya sendiri. Bukannya apa-apa dia hanya ingin melindungi keluarganya dari orang lain yang ingin memiliki SJC, pemegang tertinggi masih Galang.
"Bima tidak akan membuat Daddy kecewa karena sudah mempercayakan semuanya pada Bima."
"Kamu harus percaya diri buktikan kalau kamu layak menggantikan posisi Daddy."
"Yes, Daddy."
--
Mendengarkan nasehat-nasehat Reza-Daddynya. Ke esokannya Bima memutuskan refreshing. Dia lebih memilih ke Cafe Shop N&N milik Mommynya. Ia mengendarai mobilnya menuju Cafe, sembari menjemput Mommynya pulang, karena hari ini Reza memberi waktu Bima istirahat sebelum dia memulai harinya di perusahaan. Ketiga adiknya jam segini masih sangat sibuk kuliah dan sekolah. Sudah lama tidak mengendarai mobilnya. Rasanya sudah lama sekali.
Dalam perjalanan Bima menikmati lagu di radio yang sedang berputar. Lagu The Script - The Man Who Can't Be Moved
So I'm not moving, I'm not moving
I'm not moving, I'm not moving
People talk about the guy that's waiting on a girl
There are no holes in his shoes but a big hole in his world
Maybe I'll get famous as the man who can't be moved
Maybe you won't mean to but you'll see me on the news
And you'll come running to the corner
Cause you'll know it's just for you
I'm the man who can't be moved
I'm the man who can't be moved
Cause if one day you wake up and find that you're missing me
Lirik lagu tersebut begitu pas dengan keadaan sekarang masih belum move on dari masa lalunya. Selama ini Bima mencari kabar wanita itu yang mungkin sudah beranjak dewasa seperti halnya Bima sekarang. Pasti dia sangat cantik, pikir Bima. Setelah belasan tahun lamanya dia tidak pernah melihatnya, apa dia masih seperti dulu?
Pemikiran Bima hilang dalam sekejap saat di tersadar hampir saja menabrak seorang gadis kecil.
Astagfirullah.
Bima mengerem mendadak, Bima terkejut bukan main bagaimana bisa seorang gadis kecil berada di tengah jalan, bagaimana kalau ada mobil menabrak seperti tadi dirinya hampir membuat gadis kecil kehilangan nyawanya.
Bima keluar dari mobilnya. Dia menghampiri anak itu. Tidak ada seseorang di sekitarnya. Jalan lumayan tidak ramai karena memang masih dalam area komplek perumahan. Bima jongkok menyamai tinggi gadis kecil itu.
"Dek, kamu gak apa-apa kan?" tanya Bima, memegang pundak gadis kecil di hadapannya terlihat masih terkejut. Ia bisa melihat kalau gadis ini kisaran umur lima tahun. Tapi aneh, kenapa dia berada di sini? Dimana orangtuanya?
Gadis kecil itu menggeleng. Entahlah dia baik-baik saja, atau sebaliknya.
"Rumah kamu di mana? Mau Om anterin?"
Gadis kecil itu menggeleng, tidak mau.
Bima berpikir jangan-jangan dia bisu, sejak tadi diam membisu dan menjawab dengan gelengan saja. Membuat Bima serba salah. Dia jadi khawatir dengan gadis ini. Merasa kalau gadis ini sangat mirip dengan seseorang, tapi dia memutuskan semua pemikirannya dan mana mungkin.
"Dek, Kamu tahu rumah kamu?"
Gadis kecil itu manggut-manggut, sebagai jawaban. Setidaknya ia lega. Kalau dia sampai menggeleng lagi. Bima pastikan membawa dia ke rumah. Ia culik.
"Dari tadi cuma geleng-geleng, manggut-manggut. Kamu bisa bicarakan?"
Dia kembali mengangguk. Artinya dia bisa bicara tapi kenapa masih tidak mau bicara? Bikin emosi aja. Padahal dirinya akan menjemput Mommy-nya.
"Kalau begitu, Om minta kamu bicara. Jangan buat Om khawatir."
Gadis itu mengerat alisnya yang tipis. Kemudian mengeratkan boneka lumba-lumba yang sejak tadi di peluk.
Dia sangat mirip, wanita itu.
Gadis kecil itu, mencoba bicara. "Kata Tante Hana, Tya gak boleh bicara sama orang asing. Nanti Tya di culik sama orang asing, Om." jelasnya buka suara akhirnya. Bisa lega bukan main.
Memang sih ada benarnya juga. Harus berhati-hati dengan orang asing. Bima membenarkan itu. Mengerti.
"Kalau begitu, Kenalin nama Om, Bima. Kamu Tya?" Bima pun menyodorkan tangannya mengajak berkenalan.
"Iya, aku Tyana." Tyana membalas salaman Bima. Meski sulit karena masih enggan melepas boneka lumba-lumbanya.
"Berarti Om bukan orang asing, karena kita sudah sama-sama kenal. Jadi kalau boleh tau, rumah kamu di mana? Om antar kamu pulang ya?"
Tyana tersenyum.
Sial, senyumnya mirip dengan nya pula. Runtuk dalam hatinya, banyak sekali kemiripan Tyana dan Clara.
"Gak, Tya pulang sendiri aja."
"Yakin?"
"Iya dong, Tya sudah gede."
"Terus kenapa kamu sendiri di sini?"
"Tya abis ngejar kucing bandel, tadi boneka Tya dibawa kucing. Kucing kira boneka Tya ikan asin. Makanya Tya kejar sampai sini."
Bima tertawa mendengar celotehan Tyana. Menjadi ingat kembali masa kecilnya dulu. Tyana masih belum selesai menceritakan hal terjadi, Bima dengan senang hati mendengarkan. Rasanya Bima seperti memiliki seorang anak, dan gadis kecil di hadapannya yang sedang berceloteh riang adalah anaknya. Mungkin rasanya seperti ini kalau punya anak.
"Om ganteng, eh maksudnya Om Bima. Tyana pulang dulu ya, takut Tante Hana nyariin Tya. Nanti Tya dihukum gak boleh makan es krim."
Tante? Kenapa bukan Mamah nya yang cari?
Bima menyipitkan matanya. "Okay, kalau begitu. Kamu langsung pulang ke rumah jangan main ke tempat lain. Nanti Mamah kamu nyariin."
Mendengar kata 'Mamah' gadis itu berubah raut wajahnya menjadi sedih. Kemudian Tyana melambaikan tangan, berpamitan kepada Bima
"Bye bye Om… " ucapnya dengan senyum meski Bima tahu kalau dia tadi merasa sedih.
"Hati-hati."
Bima masih belum beranjak dari tempatnya. Berdiri dari posisinya. Melihat kepergian Tyana rasanya tidak rela. Bima tidak rela ditinggal Clara. Tidak lama seorang wanita perawakan kecil menghampiri Tyana berseragam putih, mungkin baby sitternya. Menggandeng tangan Tyana sesekali gadis kecil itu menoleh ke arahnya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Setelah memastikan Tyana sudah tidak ada di hadapannya. Bima melanjutkan kembali perjalanan.
"Tyana? Clara? Mereka sangat mirip."
***
"TYANA"
Teriak seorang wanita, berlari menghampiri Tyana dengan pakaian santainya. Terlihat begitu cemas. Tapi sebaliknya yang di cemaskan malah cecengiran tidak merasa bersalah dan baby sitternya di sisinya menunduk takut. Wanita itu berhamburan memeluk Tyana erat.
"Tante Hana, sorry." Tyana merasa menyesal telah membuat Hana cemas. Pelukan mereka terlepas. Hana menangkupkan tangannya di pipi cabby Tyana yang gembil.
"Bandel ya, kamu buat Tante jantungan. Gimana kalau Tante mati. Tante belum nikah, Tya. Masih jomblo juga." Ucap Hana mengasal bawa-bawa status kejombloannya yang bikin keki.
Tyana menggigit bibir bawahnya.
"Tante jangan mati. Nanti Tya sama siapa?" Tyana nampak sedih. Hana salah bicara. Seharusnya dia tidak membicarakan tentang hal macam itu.
"Sorry, Tante asal bicara. Tante janji gak akan ninggalin Tya. Asal Tya jadi anak yang baik jangan buat Tante Hana cemas seperti tadi. Kamu gak kasian sama Mbak Fani kelabakan cariin kamu dan Tante omelin."
"Tya janji."
"Tante pegang janji kamu."
Kedua melakukan pinky swear.
Mereka memasuki rumah yang lumayan besar. Hana dan keluarga sudah tinggal di rumah ini hampir dua tahun. Yang sebelumnya ia dan keluarga tinggal di Bandung. Ayahnya membuka kantor cabang di Jakarta, mengharuskan pindah kemari dan fokus di sini. Seorang wanita paruh baya berhijab menghampiri keduanya. Terlihat raut muka khawatir. Tyana memeluk wanita paruh baya itu. Mencium kedua pipi yang sudah nampak kendur.
"Tyana, kamu kemana saja sih? Bikin Nenek khawatir tau gak." ucap wanita paruh baya.
"Sorry, Nek. Tadi Tya main gak bilang-bilang." anak itu sedikit berbohong karena tidak mau membuat Tante dan Neneknya khawatir.
"Ya, sudah. Ayo kita makan siang dulu. Tya pasti laparkan?" kata Hana.
"Laper banget, Tante."
Tyana memegang perutnya yang sudah terasa lapar, ketiga pergi ke ruang makan. Di sana sudah terhidang makanan. Hana tidak ikut makan karena dia sedang menjalani proses pengurangan lemak alias diet. Ia memang sudah ideal tapi menurutnya itu masih berlemak hingga seharian ia hanya makan buah dan makan sehari satu kali pagi saja. Acara diet itu untuk persiapannya bekerja. di sebuah perusahaan besar. Sehingga Hana harus mempersiapkan semuanya secara sempurna.
"Tante masih diet?" tanya Tyana, sebelum menerima suapan dari Hana.
"Masih dong, biar nanti pas Interview, Tante tambah kece dan di terima kerja di sana." Jawabnya, Tyana mengangguk. Kemudian Hana kembali memberikan suapan pada Tyana.
"Memang kamu yakin bakal diterima?" tanya wanita paruh baya, sembari menyiuk nasi dan lauk ke dalam piring.
"Yakin dong, Bun. Masa udah lulus sarjana. Jadi pengangguran sih."
"Tapi kamu kan bisa bantu-bantu Bunda di toko kue, kalau gak kerja di kantor Ayah."
Hana menggeleng. "Gak Bun. Hana mau mandiri gak mau bikin repotin Bunda dan Ayah yang sudah besarin Hana seperti anak sendiri. Biarkan Hana untuk bisa balas budi ke Bunda dan Ayah."
"Ayah dan Bunda tidak mengharapkan apapun dari kamu. Kami ikhlas, berkat kehadiran kamu, kami berasa mempunyai anak lagi. Jadi Bunda mohon kamu jangan berfikir seperti itu, Hana tetap anak Bunda dan Ayah."
"Makasih ya, Bun."
Acara makan siang mereka menjadi galau, sejak kecil Hana di titip kedua orangtuanya di rumah Bunda Safira dan Ayah Azata, saudara sepupu dari Papi nya. Mereka malah lebih menyayanginya Hana di banding kedua orangtuanya sendiri yang mementingkan kakaknya. Hingga suatu saat mereka kembali meminta Hana untuk ikut pergi dan meninggalkan Bunda dan Ayah. Namun Hana menolak keras, bukannya tidak mau saat itu dia sudah tahu yang namanya sakit hati. Apalagi dulu sakit hatinya begitu amat membekas.
Dulu ia tidak tahu alasanya. Tapi sejak saat kakaknya pergi. Ia baru mengerti. Selama ini ia salah paham.
Saat memasuki SMA Hana mendapatkan kabar bahwa Papanya meninggal. Ada rasa penyesalannya. Tidak bertemu untuk yang terakhir kali. Hana menemui keluarga kandungnya menghadiri acara pemakaman yang di antara kedua orangtua angkatnya yang baik.
Setelah hal itu, keluarganya meminta maaf kepada Hana. Sejak saat itu Hana dan keluarga kandungnya terjalin baik.
Tapi dia masih tetap memilih tinggal bersama kedua orangtua angkatnya. Yang sudah membesarkannya.
"Tante Hana…Kok melamun?" Lamunan Hana buyar saat Tyana memanggilnya. Safira sejak tadi memperhatikan hanya memaklumi anak angkatnya.
"Kenapa, Tya?"
"Tante, melamun?"
Hana tersenyum. "Sedikit." kemudian meletakkan piringnya yang sudah habis. "Mau es krim?" Hana mengalihkan pembicaraannya.
"Mau… " jawab kegirangan. Hana dan Tyana berdiri dari kursinya. Dan menggeser kembali kursi yang didudukinya sedikit ke dalam.
"Bunda, aku sama Tya mau beli es krim dulu ya, di swalayan dekat komplek." Safira masih belum menyelesaikan makan siangnya dan memandang Hana.
"Iya jangan lama-lama. Jangan ajak Tya keluyuran." ucap Safira mengingatkan.
"Gak lah Bun, nyadar masih jomblo masa keluyuran apa kata calon pacar."
"Jomblo kok bangga, heran Bunda." Safira heran dengan Hana, ia wanita yang cantik banyak yang menyukainya tapi tidak tahu kenapa ia selalu menolak pria yang mendekatinya.
"Tenang aja Bun, sebentar lagi aku bakal melepas ke Jomblowan. Calon pacar masih dalam proses searching. Tunggu aja semoga gak error."
Hana terkikik geli sendiri akan ucapan.
"Candamu, Han." Safira menggeleng.
"Kalau gitu, Hana sama Tya pamit, Bun." Hana mencium tangan Safira di susul Tyana. "Nek, Tya pamit ya."
"Iya cucu Nenek." Safira mencubit pipi gembul Tyana. "Sudah sana, kira aja ada cowok di pinggir jalan mau diajak pacaran." usirnya ke Hana.
"Tukang dagang kali, Bun."
"Gak apa-apa, biar anak Bunda gak jomblo terus." Hana memang sudah hampir dua tahun jomblo, masih mencari, karena ia tidak mau hubungannya kandas seperti dulu, disaat mereka ingin serius pria itu malah meninggalkannya. Ngenes kan? Sampai sekarang Hana ngejomblo, mencari-cari sosok yang bisa membuat hatinya kembali bergetar.
"Yaelah, Jahat banget Bun, biarkan Rangga yang jahat jangan Bunda."
"Somplak kamu. Kapan perginya coba. Kasian Tyana mau es krim pending mulu." kembali mengingatkan. Tyana sejak tadi hanya melihat tingkahnya konyolnya Hana.
Hana menggandeng tangan Tyana. "Sorry. Ayo Tya kita kuy lah," ajaknya. Mengucapkan salam.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
***
Semua pengunjung dalam cafe terarah kepada sosok pria, yang baru saja memasuki cafe. Bima menghampiri pelayan pria itu yang sedang berdiri pandangannya ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu, pak?" pelayan pria itu ramah, sedangkan pelayan wanita di sebelah terus memandangnya seperti akan siap menerkam.
"Saya mau bertemu, Ibu Luna." balas Bima.
"Ada keperluan apa ya, pak?" Pria itu kembali bertanya, mungkin dia pegawai baru makanya tidak mengenalnya siapa Bima, tidak lama seorang wanita mendekat. "Mas Bima kan?" katanya, wanita itu menunduk hormat.
"Iya, kenal saya?"
"kenal dong, Mas. Lupa sama Minong?" wanita itu membuat Bima mengingatkan kejadian di mana dia pernah mengenal wanita yang bernama Minong itu. Setelah beberapa detik barulah Bima ingat akan wanita itu, Minong dengan gigi behel. Saat masih SMA dulu, Bima pernah menolong gadis SMP di pinggiran jalan menangis karena tidak punya uang untuk pulang. Membawa Minong ke Cafe untuk sekedar menenangkannya. Lalu Minong malah mengajukan kerja partime untuk uang tambahannya. Mommy-nya menerima.
"Jadi kamu Minong si gigi behel?" Minong mengangguk antusias, akhirnya pria itu mengenalnya. Minong menunduk malu lalu menyekat rambutnya ke telinga. "Sekarang kok behelnya gak ada Minong, di kemanain?"
"Alhamdulillah, Mas Bima akhirnya ingat sama Minong, soal behel udah Minong lepas. Gigi Minong sudah bagus, sudah gak butuh."
Minong dan Bima tertawa. Membuat para karyawan wanita dan para pengunjung iri akan Minong dekat dengan pria tampan itu.
"Kamu masih kerja di sini? Aku kira kamu sudah jadi, artis kayak mimpi kamu."
"Mas Bima meledek Minong, muka macam Minong paling dapet figuran, numpang lewat doang. Paling dapet bayaran sepuluh ribu satu adegan lewat." balasnya, perawakan Minong itu memang kecil dan mempunyai kulit hitam manis. Tapi Minong punya kelebihan mempunyai mata bulat dan indah.
Minong teman Bima di luar Gengkor. Anaknya asyik dan mudah berbaur.
"Segitu juga, harus bersyukur. Intinya bisa masuk TV kan. Terus di bayar sepuluh ribu satu kali lewat, coba kalau lima puluh kali lewat, dapet lima puluh ribu, lumayan buat beli pulsa." desis Bima pada Minong yang polo mendengarkan perkataan Bima yang ngasal.
Minong manggut-manggut. "Iya juga sih. Nanti Minong coba."
Bima tertawa dalam hatinya. Dasar Minong polos mau aja dikerjain.
"Kapan pulang dari luar negri, makin ganteng aja." ucapnya sambil mengagumi sosok Bima. "Cewek-cewek sampai ngiler tuh dari tadi ngeliatin Mas Bima." nunjuknya ke seluruh ruang Cafe. Bima hanya tersenyum. Malas membahas perihal ini. Sudah biasa.
"Kemarin." ucapnya singkat.
"Mau ketemu Ibu Luna, Minong antar ke ruangan."
Akhirnya Minong peka juga.
"Ayo."
Bima melangkah mengikuti Minong, dalam perjalanan ke ruang Luna mereka bercerita menenangkan zaman dulu. Bima untuk Minong adalah malaikat penyelamat nya, kalau tidak bertemu Bima, Minong mungkin tidak bisa pulang saat itu. Minong menjadi karyawan tetap di Cafe, berkat kerja kerasnya selama ini. Setelah sampai di sebuah pintu Minong mengetuk dan membuka knop pintu, wanita paruh baya duduk dengan santai di depan laptop.
Bima masuk, Minong kembali bekerja. Tidak lupa Bima berterima kasih pada wanita itu. Ia masuk tapi Mommy-nya masih belum sadar akan keberadaanya. Bima melangkah pelan mendekati meja Luna.
"Sibuk banget, Mom. Sampai gak sadar Bima ada." kata Bima.
"Biboy, kamu sama siapa kesini, sorry Mommy lagi cek e-mail." Luna beringsut dari kursinya memeluk kedatangan Bima. Lalu kembali duduk, berhadapan.
Biboy lagi, Biboy lagi, ucapnya dalam hati.
"Sendirian. Jangan terlalu fokus sama kerjaan Mom, serahin aja semua ke Nabila. Mommy diam saja di rumah. Jangan terlalu diforsir bekerja. Jaga kesehatan."
Bima sekilas melihat ruangan Luna begitu minimalis dan rapi. Ada beberapa foto terpampang di dinding ruangan, dan di meja kerja juga ada. Foto kebersamaan keluarga besar mereka. Ada foto masa kecil, serta liburan ke luar negeri dan banyak lagi.
"Mommy juga maunya begitu tapi kamu tahu sendiri, Nabila masih kuliah."
"Kalau begitu gaji orang aja."
"Kamu itu kayak Daddy kamu, minta serahkan ke orang. Mommy gak mau sembarang orang, Sayang. Zaman sekarang itu susah cari orang yang dipercaya. Mommy masih trauma cabang Mommy yang di Malang dan Makassar, orang kepercayaan Mommy malah menipu abis-abisan. Sampai rugi bandar." ujar Luna, sembari memeriksa beberapa e-mail di layar laptopnya.
Malang? Bima baru tahu kalau CSN&N ada cabang juga di sana. Apa selama ini Mommy masih berhubungan dengan keluarga Clara.
"Mommy punya cabang juga di Malang?" Luna menghentikan pekerjaannya memandang Bima. Anaknya memang tidak tahu kalau Luna punya cabang di Malang, karena saat itu Bima berada kuliah di Jerman. Luna sengaja membuka cabang di sana, sembari mencari keberadaan Nita sahabat mereka. Tapi hasilnya nihil. Mereka tidak pernah ada, hilang begitu saja. Semenjak Arga meninggal, Nita dan keluarga pindah rumah. Sampai detik ini pun mereka masih belum menemukannya.
"Punya, sudah tiga tahun lalu." balasnya.
"Selama itu?" Luna mengiyakan.
"Kamu masih memikirkan Clara?" Luna berhati-hati bertanya, ia bukan bermaksud mengingatkan masa lalunya tapi memang ini hal yang ingin Luna tanyakan sejak dulu. "Masih belum Move on?"
Bima tampak datar. "Bima sudah Move on. Udah gak lagi mikirin dia." bohongnya. Bima tidak mau membuat khawatir Mommy-nya karena masalah percintaannya yang begitu membekas dan membuat luka di hatinya robek begitu saja. Luna tahu kalau Bima bohong. Insting seorang Ibu tidak pernah salah. Ikatan batin Luna dan Bima sangat erat. Meskipun bukan darah dagingnya sekalipun.
"Jangan mencarinya lagi, lupakan dia. Cari wanita lain, belajar mencintai seseorang meski sulit. Mommy mau kamu bahagia."
Mendengar ucapan Luna. Bima jadi sangat bersalah selama ini. Mommy-nya sangat memikirkan kebahagian Bima dan ingin melihat dirinya bisa mencintai seseorang.
Bima sadar hal itu.
Ia juga ingin mencobanya.
Tapi sangat sulit. Masih belum menemukan sosok yang membuat Bima penasaran dan nyaman. Bima tidak butuh sosok wanita yang cantik yang penting wanita itu bisa membuat hati Bima nyaman dan bisa mengobati lukanya perlahan.
"Bima akan berusaha bahagia dengan seseorang, Mommy jangan khawatir."
"Mommy yakin cepat atau lambat kamu akan menemukan wanita yang akan membuat kamu jatuh cinta lagi."
"Bima berharap begitu."
***
Sampai sini ada yang sudah tebak alur atau isi ceritanya bakal bagaimana?
Kalau masih penasaran tunggu kelanjutannya ya.
Terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!