Kang Yebin, 23 tahun, mahasiswa jurusan bisnis Universitas Konkuk yang memiliki situs belanja online bernama Biniemoon. Sikapnya yang keras kepala dan kaku itu mampu menjadikannya wanita tegar yang berbeda dari kebanyakan wanita seusianya. Pemikirannya sangat dewasa dan bijaksana. Ia satu langkah lebih maju dibanding teman-temannya sehingga dapat membuat Biniemoon yang dikelolanya sendirian.
Cita-citanya adalah menjadi Bussines Women yang kaya dan sukses. Ia ingin memiliki bisnis belanja online yang dapat menjangkau se-Asia walau saat ini mimpi tersebut masih diperjuangkannya. Ia mudah jatuh cinta dan mudah terluka. Gadis itu sangat keras kepala dan membuat oran lain kerepotan karena kekakuan sikapnya. Sikapnya paling ketus diantara semua wanita yang hidup di Korea Selatan. Prinsip yang dipegangnya adalah ‘Semua akan berubah di tanganku!’
Moon Yul, 33 tahun, seorang bos kafe terbesar Seoul bernama Moonlight Coffe yang saat ini memiliki delapan cabang di seluruh Seoul dan sekitarnya. Ia merupakan putra pertama dari seniman legendaris Korea Selatan bernama Moon Jiwook. Cita-citanya sejak kecil adalah menjadi seniman seperti ayahnya. Namun, setelah kedua orang tuanya meninggal, Yul terpaksa menjadi bos kafe milik ibunya dan mengelola kafe itu sendirian, tanpa keterlibatan adik.
Memiliki wajah yang tampan. Postur tubuh proporsional. Senyuman yang sangat menawan dengan dua lesung pipit yang dalam. Ia mudah tersenyum dan suka sekali menunjukkan pesonanya pada semua orang. Disukai banyak orang dan berpikir bahwa semua orang akan menyukainya karena sikapnya yang ramah dan menyenangkan. Namun, ia sangat lemah terhadap perempuan. Pria tangguh yang seolah bisa melindungi seisi dunia melalui genggaman tangan itu sangat lemah terhadap perempuan dan menjadi sangat penurut di hadapan wanita. Bahkan kepada Yebin, wanita yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Ia selalu jatuh pada tipu daya Yebin yang keras kepala dan karakternya sangat kaku.
Moon Hun, 29 tahun, satu-satunya adik laki-laki Hun yang sebelumnya tinggal di Amerika. Ia merupakan satu-satunya keluarga Yul yang tersisa setelah orang tua mereka meninggal dalam tragedi kecelakaan. Ia bersekolah di luar negeri, tepatnya di Amerika untuk menjadi seorang hakim.
Cita-citanya sejak kecil adalah menjadi hakim. Ia tidak memiliki banyak teman karena selalu sibuk belajar. Satu-satunya teman yang paling dekat dengannya adalah Yul, sang kakak, yang mudah berbaur dan memiliki sosial yang baik. Ia mudah jatuh cinta. Mengagumi seorang wanita yang dikasihinya dalam kesunyian. Sikapnya kadang dingin dan kadang ramah. Ia tak seramah dan sesupel kakaknya, namun sangat pengertian dan menyenangkan.
Jin Haeri, 33 tahun, pengacara wanita di sebuah firma hukum terbesar Seoul. Ia merupakan teman terdekat Yul, sekaligus cinta pertamanya. Hubungannya dengan Yul lebih dari sekadar sahabat, namun tidak melampaui kata ‘kekasih’. Memiliki seorang kekasih yang bekerja sebagai arsitek. Ia telah berpacaran dengan laki-laki tersebut selama sepuluh tahun. Dan menjadikan Yul sebagai tempatnya bergantung dan berteduh ketika memiliki masalah dengan kekasihnya.
Wajahnya cantik dengan sikapnya yang lemah lembut dan elegan. Ia menjadi dambaan setiap pria sejak berada di bangku kuliah. Kulitnya semulus bayi dan wajahnya secantik aktris papan atas dengan sikap seperti permaisuri dari kerajaan yang sangat lembut dan penuh tata krama. Ia menjadi satu-satunya teman terdekat yang menemani Yul yang bertahan hidup sendirian sementara adiknya ada di Amerika. Keduanya saling bergantung dan saling menjaga. Meski pada kenyataannya, Yul yang menjadi tempat sandaran paling hangat untuk Haeri.
(Musim gugur sebelumnya)
Pria flamboyan duduk di hadapan selembar kanvas putih yang penuh coretan cat minyak. Jari tangan yang panjang meruncing memegang kuas lukis flat dengan tekanan ringan. Bergerak perlahan membentuk garis ferrule di tepian rambut wanita cantik dalam lukisan. Otot-otot lengan yang kekar itu terlihat terampil melukis wajah seorang wanita dengan senyuman lembut yang indah. Seolah sedang mengerahkan seluruh hidupnya untuk melukis wanita tersebut, pria tampan yang duduk di depan kanvas itu memasang ekspresi wajah yang mengisyaratkan keseriusan. Seakan-akan dirinya ikut larut dalam atmosfer indah dalam lukisan yang tangannya ciptakan.
Yul mengganti kuas lukisnya dengan kuas flat yang ukurannya lebih kecil. Mengoleskan kuas tersebut pada cat warna merah di atas palet . Lalu mengoleskannya untuk memberi warna pada bibir sang wanita cantik yang tersenyum kepadanya.
Senyum tipis tersungging di bibir Yul begitu wanita di hadapannya itu memperlihatkan senyum menawan dengan bibir merahnya. Otot wajah Yul menggambarkan perasaan lega bercampur puas setelah lukisan yang dibuatnya sejak pagi selesai. Kini wajah wanita cantik yang menggambarkan kebahagiaan itu terasa meresap ke dalam hati Yul. Membuatnya meluluh. Wajah Yul yang tampan dengan kontur wajah simetris dan rahang yang tegas, tersenyum melega menatap lukisan ibunya di depan mata. Senyum yang bermekaran di wajahnya itu merupakan perasaan senang sekaligus puas setelah meluangkan seluruh waktunya sepanjang hari ini untuk melukis sang ibu.
“Haruskah kutambahkan bunga di rambut ibu?” gumam pelan Yul yang merasa ada sesuatu yang kurang di lukisan itu. “Benar. Itu pasti lebih baik.”
Tidak menunggu lama Yul pun menambahkan bunga kamelia di belahan kanan rambut ibunya yang terurai. Menggambar kelopak bunga kamelia berwarna merah untuk mempercantik lukisan yang akan dijadikannya koleksi itu.
Moon Yul, pria flamboyan yang selalu menebarkan kebahagiaan melalui senyumnya yang menawan. Pria yang ketika berbicara memperlihatkan dua lesung pipit yang manis. Serta, pria yang suka melukis dan memiliki darah seni dari sang ayah yang seorang seniman. Pria berwajah tampan yang sering menghabiskan waktu di kafe untuk melukis itu merupakan pemilik kafe besar bernama Moonlight Coffe yang berdiri di Gangnam dan di tujuh daerah lain di Seoul dan sekitarnya.
Ia adalah CEO dari Moonlight Coffe. CEO yang disegani semua orang karena keramahannya. Serta CEO yang sikapnya patut dijadikan teladan oleh semua karyawan yang bekerja di Moonlight Coffe. Yul, yang dikenal banyak orang adalah sosok yang ramah dan rendah hati. Ia mewarisi darah ayahnya yang dikenal sebagai seniman dermawan yang mengubah hidup ribuan orang melalui karya seninya. Yul yang merupakan putra pertama keluarganya, sebenarnya memiliki darah seni dan bercita-cita menjadi seniman seperti ayahnya. Tetapi, karena hal mendesak yang tak dapat dihindari siapa pun, Yul pun rela mengubah haluannya dan akhirnya menjadi CEO Moonlight Coffe yang dibangun ibunya.
Suara ketukan pintu membuat tubuh Yul menoleh. Ia yang sedang ada di lantai tiga bangunan kafe ini mengerti siapa yang sedang mengetuk pintu ruangannya.
“Masuk.”
Pintu pun terbuka setelah Yul mempersilakan orang tersebut masuk. Jisoo, wanita tiga puluh delapan tahun yang merupakan manager Moonlight Coffe itu berjalan masuk menghampiri Yul yang sedang memberesi peralatan melukisnya.
Pria itu menoleh untuk bertanya. Kedua lesung pipitnya yang dalam otomatis terlihat ketika Yul menggerakkan otot bibir untuk berucap.
“Apa Arsitek Kim sudah datang?”
“Tidak. Arsitek Kim baru memberi tahu kalau hari ini beliau tidak bisa memenuhi janjinya untuk datang. Beliau menjanjikan minggu depan untuk merundingkan pembangunan cabang kafe di Mapo.” Jisoo menjelaskan.
Yul yang mendengar berita tidak menyenangkan itu seketika memberengutkan wajah. Ia kembali menggerakkan jari tangannya untuk memoles bunga kamelia di rambut ibunya.
“Pembangunan itu mendesak karena sebelum tahun baru cabang di Mapo sudah harus opening. Jisoo~ssi sudah memberitahukan itu kepada Arsitek Kim kan?” Yul memastikan dengan tidak membuat wanita yang berdiri di sebelahnya itu tersinggung.
“Saya sudah memberitahukan hal itu, Tuan. Di dalam proposal juga sudah tertulis dengan jelas kalau pembangunan cabang di Mapo itu dimulai paling lambat bulan September.” Jisoo menjelaskan.
Yul terdiam sejenak untuk berpikir. Di sela itu Jisoo menyahut, “Bagaimana? Apa perlu saya carikan arsitek lain untuk menghendel pembangunan cabang baru di Mapo?”
Beberapa waktu Yul menimbang ucapan Jisoo. Setelah lima detik berlalu, Yul beranjak bangkit dari duduk. Tubuhnya menyerong menghadap Jisoo. Sembari melepas apron merah yang melindungi pakaiannya dari cipratan cat minyak, Yul berucap, “Tidak perlu. Biar aku saja yang langsung menemui Arsitek Kim. Beliau yang terlibat dalam pembangunan Moonlight Coffe sejak pertama kali berdiri. Rasanya tidak sopan kalau langsung menggantinya begitu saja.”
Apron merah dari tubuh Yul itu diletakannya ke atas kursi. Ia menyunggingkan senyumnya yang menawan sambil lanjut berbicara, “Aku akan coba bicara dengan Arsitek Kim. Kalau hasilnya nanti tidak memungkinkan, kita langsung cari arsitek lain untuk mempercepat pembangunan kafe.”
Jisoo menganggukkan kepala menyetujui ucapan Yul. Yul pun berjalan menuju meja kerja.
“Perlukan saya temani?” tawar Jisoo. Seketika itu Yul menggeleng.
“Tidak. Jisoo~ssi di sini saja memantau para karyawan sampai jam kerjamu selesai.” Yul menjawab sambil mengambil kunci mobil dan ponselnya di atas meja. Ia teringat suatu hal dan segera menoleh pada Jisoo yang sedang melihat sekeliling ruangan. “Ruanganku biarkan seperti ini saja. Nanti aku sendiri yang akan bereskan setelah bertemu Arsitek Kim.”
“Baiklah.”
Wanita berambut sebahu itu bergegas keluar dari ruangan Yul. Sementara Yul sendiri terlihat sedang membersihkan jari-jari tangannya dari cat warna yang menciprat ketika tadi ia melukis. Begitu jari-jari tangannya itu bersih dari cat menggunakan minyak mineral dan kapas, Yul berjalan keluar sambil menggenggam kunci mobil. Menuruni tangga lantai tiga dan lantai dua. Mengamati kerumunan orang di lantai satu maupun lantai dua yang sedang menikmati waktu mereka di Moonlight Coffe. Tak lupa, beberapa karyawan di kafe ini menundukkan kepala sekenanya menyapa Yul yang sedang lewat. Yul membalas sapaan karyawannya dengan seutas senyum menawan di wajah. Ia berhenti sejenak untuk melihat buku pesanan di atas kaca etalase.
‘Chom jigeuteun jangnandeul’
‘I like it, I’m twenty five nal joh-a haneungeol ar-a’
‘Hoo... I got this, I’m truly fine ijen jogeum algogata-nal’
Suara khas dari seorang penyanyi wanita bernama IU dalam lagu berjudul Palette yang dinyanyikannya bersama G-Dragon menemani para pelanggan yang sedang menikmati waktu di Moonlight Coffe. Beberapa pelanggan yang sedang menikmati coffe break ikut mengangguk pelan mengikuti ritme lagu yang sedang diputar di kafe. Salah satu pelanggan yang ikut bernyanyi pelan bersama lagu yang berputar itu adalah Yebin, yang duduk di kursi dekat dinding kaca. Wanita itu menghadap laptop di atas meja kafe yang menyala. Layarnya manampakkan tampilan sebuah situs belanja online bernama Biniemoon. Itu merupakan sebuah portal belanja online atau yang sering orang sebut dengan online shopping mall yang menjual berbagai jenis fashion pria dan wanita. Mulai dari atasan, bawahan, jam tangan, sepatu, syal, dan berbagai macam perlengkapan fashion lainnya.
Yebin mengambil gelas americano dingin di atas meja. Menyesap minuman manis itu melalui sedotan berwarna hitam. Pandangannya masih terfokus menatap layar laptop tempatnya mengunggah beberapa produk baru.
“Kenapa gambarku terasa membosankan? Apa karena foto produknya tidak memakai model?” gumam pelan Yebin yang melihat foto-foto produk di toko online-nya terasa hambar.
Kepalanya memiring untuk menimbang-nimbang apakah gambar-gambar produk yang sedang diunggahnya itu benar membosankan atau hanya perasaannya saja.
“Benar. Itu terlihat membosankan. Harusnya kau menggunakan model laki-laki untuk mempromosikan produk di shopping mall-mu.” Seorang wanita yang duduk di sebelah Yebin menyahut.
Ia adalah Somin, teman kuliah Yebin yang membantunya mengelola Biniemoon. Wanita itu sedang menikmati hamburger yang dipesannya beberapa waktu lalu. Menikmati makan siang sambil memainkan sosial media instagram dalam benda elektronik di genggamannya.
“Membayar model sangat mahal. Apa kira-kira ada model yang tarifnya murah? Aku ingin menyewanya beberapa jam saja.” Yebin menyahut.
“Kenapa susah-susah cari model sungguhan? Minta saja salah satu teman cowok kita untuk jadi model di shopping mall-mu.”
Yebin mengangkat kepala. Keningnya tertarik ke atas. Ia merasa masuk akal mendengar usulan Somin. Tapi sesaat kemudian, Yebin teringat suatu hal dan otomatis napas panjangnya berembus.
“Itu ide bagus. Tapi, apa kau lupa kalau teman cowok kita tidak ada yang ganteng?” celetuk Yebin. Seketika membuat Somin terdiam.
“Ah, benar. Aku lupa,” desus pelan Somin. “Kalau begitu, minta saja senior yang ganteng itu untuk jadi modelmu. Senior yang sering kau ceritakan, yang dari jurusan media,” lanjut Somin menceletuk sambil mencolek lengan Yebin.
Tanpa alasan yang jelas wajah Yebin bersemu merah. Ia tersipu setiap kali mengingat senior yang dibicarakan Somin.
“Bagaimana aku memintanya? Kami bahkan belum mengenal lama,” jawab Yebin sambil menggumam. Ia mengembalikan pandangannya pada layar laptop di hadapan.
“Terus terang saja padanya. Kalau kau memiliki shopping mall dan ingin menjadikannya model produk-produk di toko online-mu.” Somin menjelaskan dengan masuk akal. Kemudian lanjut berbisik di dekat telinga Yebin. “Sekalian kau bisa PDKT dengan senior itu. Lumayan kan?”
Ucapan Somin itu memang ada benarnya. Yebin berpikir, pasti menyenangkan jika senior yang dibicarakannya itu menjadi model produk-produk di Biniemoon. Senior bernama Minho yang mereka bicarakan itu memiliki wajah yang tampan dan postur tubuh proporsional seberti model. Pastinya ia sangat cocok menjadi model di shopping mall Yebin. Jika Minho menjadi model untuk Yebin, pasti mereka akan menghabiskan banyak waktu bersama. Itu juga bisa menjadi kesempatan bagus untuk Yebin semakin dekat dengan senior yang ditaksirnya itu. Namun, berapa kali pun berpikir, Yebin merasa usulan Somin itu tidak bisa diterimanya.
Kepala Yebin menggeleng. “Tidak bisa. Bisnis shopping mall-ku dengan Kak Minho itu berbeda. Bagaimanapun aku akan memperjuangkan perasaanku pada Minho. Tapi tidak dengan cara itu. Aku harus bisa membedakan urusan perasaan dengan urusan bisnis. Itu juga bukan berarti Kak Minho akan menjadi cinta terakhirku. Melibatkannya dengan Biniemoon yang menjadi separuh hidupku kurasa tidaklah benar.”
Yebin memberikan jawaban bijaksana setelah berpikir cukup dalam. Ia memang akan senang jika bisa menjadikan Minho yang ditaksirnya sebagai model. Tapi, bukan itu yang Yebin inginkan untuk bisnisnya. Yebin menyadari betul bahwa perasaan manusia itu bisa gampang berubah seperti siang dan malam. Sementara bisnis yang dimiliki Yebin itu akan diperjuangkannya dalam waktu lama dan akan terus berkembang. Jika ia menjadikan Minho sebagai model untuk keperluan bisnisnya, maka pria itu juga akan terikat dengan Biniemoon yang baru mulai berkembang. Sementara Yebin tidak bisa menjamin apakah perasaan sukanya pada Minho itu akan bertahan lama. Mengingat dirinya yang perasaannya gampang berubah, Yebin semakin merasa tidak yakin. Pun belum lama ia mengenal Minho melalui sebuah klub di kampus.
Somin merenungkan jawaban Yebin. Kepalanya terangguk setuju.
“Benar juga. Kalau nanti kau sudah tidak suka lagi sama Kak Minho, kau pasti akan kerepotan menghapus semua fotonya dari portal Biniemoon.” Somin membalas sambil berpikir dalam.
“Aku akan mencari model untuk produk-produk baru yang kuunggah di Biniemoon. Siapa tahu aku bisa dapat model yang tarifnya mudah.”
Yebin melanjutkan kegiatan menggunggah produk di shopping mall-nya dalam waktu cukup lama. Sementara Somin di sebelahnya sedang mengunggah produk-produk di akun media sosial Biniemoon. Akun media sosial Biniemoon terdiri dari instagram, facebook dan KakaoTalk. Somin memegang dua diantaranya; instagram dan facebook. Sedangkan akun KakaoTalk dipegang sendiri oleh Yebin.
“Turun?!”
Pekikan Yebin yang keras seketika itu membuat Somin menjingkat kaget. Beberapa pelanggan kafe pun menujukan pandangan pada Yebin yang tersentak.
“Grafik penjualanku bulan ini menurun. Sial! Apa yang terjadi?”
Yebih yang sedang emosional terpaku menatap layar laptopnya yang memperlihatkan grafik penjualan produk di Biniemoon bulan ini. Garis hijau dalam grafik penjualan bulan Agustus menunjukkan penurunan yang cukup drastis. Membuat kepala Yebin seketika itu terbakar. Ia belum percaya pada grafik yang sangat akurat itu.
“Tiga bulan terakhir grafiknya semakin meningkat. Kenapa sekarang jadi seperti ini? Apa semua pelangganku lari ke portal sebelah? Sial!” Yebin lanjut merutuki layar laptopnya yang memperlihatkan hasil mengecewakan itu. Ia berusaha keras menerima semua yang terjadi ini.
“Tidak mungkin.”
Bahu Yebin perlahan melemas. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sementara pandangannya masih menatap tajam grafik berwarna hijau tersebut.
“Benar-benar turun drastis. Kenapa bisa seperti itu?” Somin yang sedang melongokkan tubuh untuk melihat layar laptop Yebin pun menggumam. Ia merasa terkejut sekaligus membingung melihat penurunan penjualan Biniemoon yang sangat drastis.
Beberapa waktu Yebin terdiam sembari memandangi layar laptopnya untuk merenung. Perlahan-lahan tatapan wanita dua puluh tiga tahun itu membara. Tubuhnya bergejolak karena larut dalam grafik penjualan berwarna hijau yang turun pada angka 1,7 juta won.
Dengan tatapan tajamnya yang membara Yebin menggumam keras, “Bulan lalu hasil penjualan mencapai lima juta won. Dan bulan ini hanya 1,7 juta won. Penjualan turun sebanyak 3,3 juta won, alias 66 persen. Bagaimana ini bisa terjadi? 66 persen itu sangat banyak. Lebih dari separuh, hampir semua pelanggaku lari ke portal sebelah?! Ini tidak mungkin.”
Kepala Yebin terasa mau meledak memikirkan penurunan grafik penjualan shopping mall-nya. Tatapannya masih berapi-api sementara Somin di sebelahnya hanya mengangguk-angguk menanggapi ucapan Yebin tentang grafik penjualan.
Dengan semangat yang berkobar-kobar Yebin memeriksa kembali shopping mall-nya. Memeriksa semua fitur yang ada di toko online tersebut. Juga membuka beberapa portal belanja online lain yang merupakan saingan berat dari Biniemoon. Yebin mulai melakukan pencarian tentang apa penyebab penjualannya bulan ini menurun dengan begitu drastisnya.
“Ini tidak boleh terjadi! Aku harus cari tahu kenapa orang-orang memilih belanja di portal lain dibanding Biniemoon-ku. Aku harus perbaiki fiturnya. Kalau perlu membanting harga dan memperluas jangkauan iklan. Berani-beraninya burung-burung itu mencuri pelanggan setiaku? Tidak akan kubiarkan!”
Somin yang melihat temannya itu sedang berkobar-kobar, hanya mengangguk pelan sambil ternganga. Ia tahu Yebin adalah orang yang pekerja keras dan pantang menyerah. Sampai wanita itu bisa menaikkan kembali penjualan di Biniemoon, sepertinya api semangat yang berkobar di kepalanya itu tidak akan padam.
“O... ohh. Semangat, Kang Yebin!” desus pelan Somin menyemangati Yebin yang mulai melakukan riset di beberapa portal belanja online.
Ketika Yebin masih sibuk melakukan riset di beberapa portal belanja lain menggunakan laptopnya, seorang pelayan kafe datang. Pelayan wanita itu mengantarkan caramel macchiato. Somin menggeser piring berisi biskuit di atas meja. Menyiapkan tempat untuk pelayan itu meletakkan pesanan minumannya. Tepat setelah itu....
“Agh!”
Yebin memekik ketika pelayan itu menumpahkan minuman di atas laptopnya. Kesepuluh jari tangan Yebin yang sedang sibuk bergerak di atas keyboard laptop pun basah. Minuman manis dingin yang diantarkan pelayan itu seketika meresap ke dalam laptop Yebin. Bongkahan es batu dari dalam gelas menggelinding ke atas keyboard laptop. Laptop yang mulanya masih menyala pun seketika itu padam. Yebin yang terhenyak, membelalakkan mata. Mulutnya menganga menyaksikan laptopnya tak terselamatkan.
“Astaga! Bagaimana ini? Ma... maaf. Saya benar-benar minta maaf.”
Pelayan wanita yang memanik itu seketika menundukkan kepala. Ia membersihkan laptop Yebin yang telah mati dari bongkahan es batu.
Tercengang, napas berat Yebin berembus panjang. Somin yang ikut terperengah, memperlihatkan raut kemarahan.
“Apa yang kau lakukan?!” Yebin yang tidak dapat mengendalikan emosinya seketika itu berteriak. Ia berdiri dari duduk untuk meneriaki pelayan wanita yang menumpahi laptopnya menggunakan minuman dingin itu. “Apa yang sebenarnya kau lakukan? Apa kau sengaja menumpahi laptopku agar mati?!”
Yebin benar-benar marah. Kepalanya terasa mau meledak karena penurunan penjualan di situs belanja miliknya. Dan sekarang latopnya rusak karena pelayan wanita ceroboh yang menyebalkan itu. Yebin, wanita yang cukup buruk dalam mengendalikan emosi, menyeka rambutnya yang terurai ke atas. Ia beberapa kali menarik napas panjang sambil menenggerkan kedua tangannya di pinggang. Menatap geram ke arah pelayan yang beberapa kali membungkukkan tubuh untuk meminta maaf itu.
“Maaf? Hei, kau! Apa apa yang kau lakukan? Bisa-bisanya kau menjatuhkan minuman di atas laptopku? Kau pikir aku ini sedang bersantai?! Jika tanganmu tidak sampai, kau bisa minta tolong! Kenapa kau diam saja dan akhirnya membuat kekacauan? Menyebalkan sekali!”
Bahu Yebin naik turun menahan amarah yang membakar kepalanya. Teriakannya yang amat kencang seketika mengundang perhatian para pengunjung kafe. Orang-orang yang ada di lantai satu kafe pun menujukan pandangan pada Yebin yang sedang memarahi seorang pelayan wanita.
“Ini benar-benar rusak. Bagaimana, Yebin~a?” Somin mendesus panik memeriksa laptop Yebin yang sudah rusak. Padahal laptop itu sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan Biniemoon dari krisis.
Air dari minuman dingin itu bahkan bercucuran ketika Somin mengangkat laptop Yebin. Terlihat lebih dari setengah gelas air yang mengalir dari lubang udara mesin laptop bagian bawah.
Dari arah etalase kafe, Yul mengamati keributan itu. Ia terdiam beberapa detik untuk mencerna keributan apa yang sedang terjadi antara pelayan dan dua pelanggan wanita di meja nomor tujuh.
“Bagaimana ini? Dua wanita mahasiswa itu adalah pelanggan tetap. Salah satunya adalah blogger. Bagaimana kalau dia memberikan review buruk di blog-nya?”
Dari balik meja gerai beberapa karyawan berbisik-bisik. Yebin dan Somin itu adalah pelanggan tetap kafe yang telah terdaftar sebagai member VIP. Pun, Somin merupakan blogger yang sering memberi review produk-produk dan merupakan seorang beauty flogger. Kedua wanita muda di meja nomor tujuh itu sama-sama menjadi anggota VIP Moonlight Coffe yang hampir setiap hari datang untuk membeli minuman.
Mendengar desusan karyawannya di balik meja gerai, Jisoo, sang manajer kafe yang bertanggung jawab pada semua karyawan, hendak turun tangan menangani kekacauan yang diperbuat salah satu karyawannya. Ia hendak berjalan menuju meja nomor tujuh sebelum Yul memberinya aba-aba.
“Biar aku saja,” kata Yul.
Pria tinggi proporsional yang sedang mengamati kekacauan itu berjalan menuju meja nomor tujuh. Sesampainya di sana, ia menatap ke arah Yebin yang dikerubuti kemarahan dan Somin yang amat mencemaskan laptop.
“Aku benar-benar minta maaf atas kelalaian karyawanku. Aku pemilik kafe, dan yang bertanggung jawab atas karyawanku. Berikan nomormu, aku akan memberikan kompensasi atas kekacauan ini.” Yul berkata sembari mengulurkan kartu namanya kepada Yebin. Wajah tampannya yang terlihat ramah sempat membuat Yebin bertanya-tanya.
Sayangnya Yebin terlanjur marah. Sekalipun ia menerima kartu nama dari laki-laki berambut hitam rapi itu, Yebin tidak peduli. Ia menatap tajam ke arah Yul yang mengisyaratkan permintaan maaf melalui wajah rupawannya.
“Maaf? Kompensasi?” Yebin mengembuskan napas keheranan. Wajahnya melengos dari Yul yang menatapnya.
Biniemoon, yang diperjuangkan Yebin dengan seluruh hidupnya, berada dalam situasi krisis yang harus segera ditangani. Dan laptop yang digunakan untuk mengakses Biniemoon adalah laptop milik Yebin. Yebin sengaja memperketat akses masuk ke website-nya untuk memperkuan keamanan. Sehingga hanya satu perangkat yang bisa mengakses Biniemoon dan mengolahnya. Itu adalah laptop Yebin. Sekarang laptop itu rusak karena kecerobohan pelayan Moonlight Coffe. Pun Yebin, yang harus segera menangani krisis di Biniemoon, tidak dapat mengakses website karena laptopnya rusak. Situasi tidak masuk akal apa ini? Apa Biniemoon yang menjadi separuh dari jiwa Yebin setara dengan kata ‘maaf’ dan kompensasi?
Membutuhkan cukup waktu untuk Yebin mengendalikan amarahnya. Ingin rasanya ia memberi tamparan pada orang-orang yang telah mempertaruhkan Biniemoon. Tapi, Yebin menahan diri.
Ia menatap legas ke wajah Yul yang memperlihatkan raut penyesalan. Lalu menukas, “Sudahlah! Lupakan apa yang terjadi. Aku benar-benar muak!”
Yebin menutup layar laptonya dengan gusar. Ia menyabet tas di atas kursi. Lalu menentang tas dan laptopnya yang basah sambil memberi perintah pada Somin.
“Ayo pergi, Somin~a. Tempat ini benar-benar terkutuk!”
Kedua wanita yang dikerubuti kabut amarah dan kepedihan itu berjalan pergi meninggalkan Yul dan seorang karyawannya. Keluar dari bangunan kafe dengan perasaan bercampur aduk. Yebin yang sudah cukup stres karena penurunan penjualan Biniemoon. Seolah akan meledak karena situasi konyol yang terjadi ini.
Yul yang menatapi kepergian kedua wanita itu menghela napas panjang ke dalam dada. Ia melirik ke arah karyawannya yang menunduk dalam-dalam sambil menangis.
***
Preview:
“Sial! Ternyata bos kafe yang sok baik itu tetanggaku. Tidak bisa. Aku harus menaburi sekeliling rumahku dengan garam agar terhindar dari kesialan.”
“Apa ini benar bisa diperbaiki? Berapa lama dan berapa biayanya? Saya membutuhkannya secepat mungkin. Apa bisa diperbaiki dalam waktu kurang dari seminggu?” Yebin menghujani pertanyaan pada petugas servis laptop yang sedang memeriksa kerusakan laptopnya. Wajah Yebin penuh harap sementara petugas servis laki-laki yang berkacamata itu terlihat sedang berkonsentrasi memeriksa laptop yang rusaknya cukup parah.
Kepala petugas servis memiring. Ia melihat ke arah laptop Yebin yang diletakkan di atas meja kaca toko servis elektroniknya. Memeriksanya menggunakan beberapa alat tes.
“Tolong perbaiki laptop temanku, Ajeossi (sebutan untuk memanggil laki-laki yang jarak usianya jauh lebih tua). Kami benar-benar membutuhkannya. Tanpa laptop itu, hidup kami akan berakhir. Kumohon, Ajeossi. Perbaikilah laptop temanku itu secepat mungkin dan sebaik mungkin.” Somin menambahi dengan nada suaranya yang penuh permohonan.
Pandangan petugas servis itu sedikit menaik. Tepat di hadapannya, dua wanita cantik menatapnya dengan wajah yang sangat memelas. Seolah tak dapat menahan kepedihannya melalui tatapan yang penuh pilu itu.
“Aku perlu memeriksanya lebih lanjut. Jika bisa diperbaiki, mungkin tidak akan memakan waktu lebih dari semingg.”
Jawaban melegakan yang dilontarkan oleh petugas servis itu seketika membuat kedua wanita di hadapannya mengembuskan napas panjang. Kaki Yebin yang terasa lemas seketika itu memiliki tenaga lagi untuk berlari.
Hari yang sangat melelahkan untuk Yebin. Ia nyaris menggundul rambutnya jika sampai Biniemoon tidak bisa diselamatkan karena laptopnya rusak. Dan sekarang, mendengar petugas servis itu berkata dapat memperbaiki laptopnya, Yebin merasa sangat lega. Seakan-akan sepuluh tahun usianya yang terpotong karena kekacauan tadi telah kembali.
“Terima kasih. Aku meninggalkan nomor teleponku di sini. Kalau sudah selesai, tolong hubungi aku.”
Yebin menyerahkan secarik kertas bertuliskan nomor teleponnya kepada petugas servis. Lalu keluar meninggalkan tempat servis ini dengan tatapan penuh haru yang masih tersirat.
“Untung saja. Kau hampir celaka, Yebin~a. Aku tidak percaya pelayan itu menuangkan minumanku ke atas laptop berhargamu,” cerocos Somin yang berjalan di sebelah Yebin. Lebih dari apa pun wanita itu mengerti situasi apa yang akan dialami Yebin jika sampai Biniemoon tidak bisa diselamatkan.
Somin memang membantu Yebin mengelola Biniemoon. Lebih tepatnya, membantu memasarkan produk-produk yang dijual di Biniemoon melalui akun media sosialnya sebagai beauty flogger. Somin juga kerap memberikan review produk di Biniemoon melalui blog yang ditulisnya di berbagai situs pencarian. Secara kasat mata Somin memang memiliki andil dalam pengelolaan Biniemoon. Tetapi, ia mencemaskan Biniemoon bukan karena keikutsertaannya, melainkan karena Yebin yang merupakan sahabat baiknya. Ia tahu kalau Yebin sangat menyayangi Biniemoon yang menjadi separuh hidupnya.
Kedua wanita itu telah bersahabat baik sejak SMP. Mereka saling mendukung satu sama lain. Yebin mendukung Somin yang ingin menjadi model majalah. Sementara Somin juga mendukung Yebin yang sejak kecil mimpinya menjadi CEO dan memiliki bisnis yang bergerak di bidang fashion.
“Aku tidak akan memaafkan siapa saja yang mencelakai Biniemoon-ku. Hah, wanita pelayan itu benar-benar membuatku jengkel. Tidak hanya merusak laptopku, dia juga merusak hariku.” Yebin merutuk-rutuk.
Ia sedang berjalan di trotoar menuju halte bus. Pandangan Yebin menyebar ke sekeliling. Mengamati suasana siang pada awal musim gugur.
Langit siang cukup cerah pada siang hari ini. Warna biru muda dengan semburat putih dari awan yang bergerak ke barat mengisi seluruh pandangan ketika Yebin mendongakkan kepala ke atas. Aroma dedaunan yang mulai gugur menyentuh indra penciuman. Yebin menghirup aroma bunga cherry yang tumbuh di sepanjang pinggiran trotoar.
Kedua wanita itu tiba di trotoar. Menunggu kedatangan bus selama beberapa waktu. Bus yang akan ditumpangi Somin datang lebih dulu. Wanita itu naik ke dalam bus sementara Yebin menunggu bus lain yang akan membawanya pulang ke rumah.
“Aku duluan. Sampai jumpa besok, Yebin~a!” seru Somin sambil beranjak naik ke dalam bus. Ia melambai-lambakan tangannya kepada Yebin yang masih terduduk manis di halte.
“Hati-hatilah.” Yebin membalas seruan temannya yang bertubuh tinggi langsing itu sambil melambaikan tangan.
Bus yang membawa Somin pun melaju pergi. Napas Yebin berembus panjang. Padahal hari belum berakhir. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga. Tetapi tubuh Yebin benar-benar lelah. Ia lelah secara fisik maupun mental karena kekacauan yang terjadi di kafe beberapa waktu lalu. Ya. Kekacauan yang menguras emosi dan tenaganya.
Di halte itu Yebin menunggu selama beberapa saat. Ia teringat suatu hal dan segera merogoh saku celana.
Pandangan Yebin menurun. Melihat selembar kartu nama berwarna coklat muda di genggaman. Pada kartu nama itu tertuliskan nama Moon Yul yang merupakan CEO Moonlight Coffe. Di bawah nama yang tertulis juga terdapat nomor kontak, alamat email, dan alamat rumah.
Kedua alis Yebin menaik melihat alamat rumah yang tertulis di kartu nama Yul. Ia memastikan penglihatannya tidak salah. Mendekatkan kartu nama untuk dibacanya dengan lebih jelas.
“112, Degin-ro, Banpo-dong, Seocho-gu, Seoul. Ini kan alamat rumahku?”
***
Dua truk pengangkut barang berhenti di depan rumah dengan pintu gerbang berwarna coklat tua. Rumah berlantai dua dengan berbagai macam tanaman yang mengisi halaman itu dihuni oleh dua orang wanita. Truk pengangkut barang yang mengangkut barang-barang pindahan Yul berhenti di depan rumah dengan dua penghuni wanita di dalamnya.
Suaral bel berbunyi ketika seorang petugas dari jasa angkut barang memencet bel di depan pagar rumah. Di dalamnya, Yebin yang baru selesai mandi berjalan menuruni tangga dengan handuk putih yang melilit kepalanya. Ia menceletuk kepada ibunya yang sedang ada di dapur untuk memasak.
“Ibu, siapa yang datang?” tanya Yebin bingung melihat dua truk pengangkut barang berhenti di depan rumahnya. “Apa ada yang mau pindah ke rumah kita? Kenapa ada truk pengangkut barang?” lanjut Yebin bertanya sambil mendekat ke arah jendela kaca rumah untuk melihat ke depan gerbangnya.
“Siapa yang pindah kemari? Semua sepupumu kan sudah berkeluarga,” jawab Miyoon yang sedang mencuci piring.
“Lalu siapa mereka? Kenapa mereka berhenti di depan rumah kita?”
Sementara itu suara bel terus terdengar. Yebin yang masih belum melepas handuk di kepalanya, terdiam mengamati dua truk itu melalui jendela kaca. Miyoon yang baru menyelesaikan kegiatan mencuinya, berjalan untuk membukakan pintu gerbang pada petugas angkut barang.
“Apa benar-benar ada yang mau pindah kemari?” gumam pelan Miyoon sambil berjalan menuju pintu gerbang. Wanita paruh baya berwajah cantik dengan kerutan kecil di beberapa bagian wajah itu membukakan pintu gerbang untuk petugas angkut barang yang memencet bel rumahnya.
“Selamat sore, kami dari perusahaan jasa pindah rumah. 112, Degin-ro, Banpo-dong, Seocho-gu, Seoul. Alamat ini benar di sini kan?” tanya seorang petugas begitu Miyoon membukakan pinru gerbang.
Kepala Miyoon mengangguk. Keningnya mengerut kerena merasa ada yang aneh.
“Itu benar alamat ini. Tapi, sepertinya tidak ada yang mau pindah kemari. Apa alamat yang tertulis itu sudah benar?” Miyoon meyakinkan.
Petugas itu mengecek kembali alamat yang diterimanya. Memastikan kalau alamat yang tertulis di atas kertas itu memang sudah benar.
“Ini alamatnya sudah benar.”
Tidak lama kemudian ada satu mobil hitam yang tiba. Mobil yang dikendarakan Yul itu berhenti di depan gerbang rumah mewah berlantai tiga yang berdiri di seberang jalan. Yul turun dari mobilnya. Berjalan menghampiri petugas dari jasa pindah rumah.
“Sebelumnya mohon maaf. Sepertinya ada kesalahan teknis. Rumahnya bukan yang ini, tapi yang seberang itu, Ajeossi.” Yul menjelaskan begitu tiba di hadapan Miyoon dan seorang petugas angkut barang.
Petugas angkat barang itu cepat tanggap dan segera mengirim kedua truknya untuk pergi ke rumah di seberang jalan. Sementara petugas beranjak pergi, Yul membungkukkan tubuh sekenanya untuk menyapa Miyoon. Senyumnya yang ramah tersungging di bibir ketika ia memperkenalkan diri.
“Annyeonghaseyo (Halo). Saya tetangga baru yang akan tinggal di seberang. Senang bertemu Anda.”
Yul mengulurkan tangan. Miyoon memperlihatkan raut wajah semringah kepada tetangga barunya yang tampan. Kemudian menyambut uluran tangan Yul dengan hangat.
“Aduh, sudah lama sekali sejak ada laki-laki tampan tinggal di lingkungan ini. Rasanya menyegarkan. Semoga kita akrab,” kata Miyoon dengan seutas senyum riang di wajah. Ia melihat Yul menganggukkan kepala dengan sopan.
Miyoon menjabat tangan Yul dalam waktu lama. Ia pun lanjut menanyai, “Kalau boleh tahu siapa namamu?”
“Saya Yul, Moon Yul. Beberapa orang memanggil saya Yul, dan beberapa orang lainnya lebih akrab memanggil Moon Sajang (bos).” Yul berucap pelan.
Kepala Miyoon memiring mendengar laki-laki tampan itu yang tutur katanya lembut dan sopan. Wajah ibu rumah tangga yang semringah terlihat mengagumi Yul. Seolah-olah ingin menjadikan lelaki itu menantunya.
Sementara kedua manusia di depan gerbang itu masih bercakap-cakap ria, Yebin mengumpat-ngumpat di dalam hatinya. Wanita yang sedang mengintip melalui jendela lantai dua itu masih mengingat dengan baik wajah Yul yang tadi dilihatnya di kafe.
Yebin belum melupakan kejadian siang tadi. Mengingat Yul, membuat Yebin teringat kembali kekacauan itu. Membuatnya merasa marah. Dari lantai dua rumahnya ia mengamati ibunya yang terlihat gembira berkenalan dengan Yul.
“Sial! Aku sudah curiga sejak melihat kartu namanya. Ternyata dia adalah tetanggaku. Tidak bisa. Aku harus menaburi sekeliling rumahku dengan garam agar terhindar dari kesialan.”
Dari sekian banyak rumah mewah yang berdiri di Seoul, kenapa harus rumah yang berdiri di seberang rumah Yebin? Mengingat apa yang terjadi di Moonlight Coffe siang tadi saja membuat kemarahan Yebin kembali tumbuh. Bersusah payah wanita itu melalui harinya yang buruk. Setelah sore hari, Yebin mulai bisa bernapas karena tak terbayang-bayang lagi oleh krisis yang sedang dialami Biniemoon. Ia mulai bisa merasa tenang tanpa memikirkan hal yang membuatnya benar-benar stres. Tapi, melihat pria yang menjadi CEO Moonlight Coffe—yang seolah-olah bersedia bertanggung jawab atas kerugian Yebin yang tidak dapat dihitung menggunakan uang—ada di depan rumahnya, Yebin merasakan stres lagi di kepalanya. Ia kembali teringat Biniemoon setelah berusah payah mencoba menenangkan pikiran.
“Apa laptopku belum selesai? Aku membutuhkannya segera untuk memperbaiki fitur Biniemoon,” gumam pelan Yebin sambil berlalu meninggalkan jendela. Berjalan masuk ke kamar. Sepertinya wanita itu akan mengambil ponsel untuk memeriksa apakah petugas servis itu menelepon atau mengiriminya pemberitahuan.
***
“Jangan khawatir. Aku sudah pindah rumah dengan baik. Aku juga sudah menyiapkan kamar untukmu.”
Yul memegangi ponsel di telinga kirinya untuk bercakap-cakap dengan sang adik di seberang telepon. Pria itu baru selesai membongkar semua barang pindahan dan menatanya. Kini ia sedang menelepon Hun sambil mempersiapkan makan malam.
“Jangan khawatirkan aku. Para tetangga memperlakukanku dengan baik dan mereka semua juga ramah. Kau baik-baik saja di sana dan jalani pelatihanmu dengan maksimal. Aku akan membuka cabang kafe baru di Mapo. Sepertinya aku akan sangat sibuk beberapa hari ke belakang.”
Sembari meneruskan kegiatan meneleponnya, Yul membuka pintu lemari pendingin di dapur rumah yang masih sangat bersih. Di dapur itu belum ada satu peralatan memasak pun. Hanya ada kompor listrik dan beberapa peralatan makan. Yul hampir tidak pernah memasak ketika tinggal sendirian di apartemen sehingga tidak ada peralatan memasak yang bisa ia bawa saat pindah rumah. Ia lebih suka makan di luar atau pun memesan makanan cepat antar daripada harus memasak yang itu sangat merepotkan. Kalau terdesak, pria itu hanya akan memasak makanan cepat saji seperti mie instan dan makanan-makanan instan lain yang hanya tinggal memanaskan.
“Baik. Aku akan meleponmu lagi.”
Panggilan telepon Yul berakhir setelah itu. Ia meletakkan ponselnya ke atas meja marmer dapur. Melihat ke dalam lemari pendingin untuk mencari apa yang hendak dimakannya untuk makan malam. Di dalam lemari pendingin itu hanya terdapat bahan makanan instan, susu instan, air mineral, dan beberapa kotak daging sapi yang masih mentah.
“Ah, ternyata tidak ada telur. Bagaimana aku bisa memakan ramyeon kalau tidak ada telur?” Yul mendesah panjang karena tak menemukan telur ayam di dalam lemari pendingin. Baginya, telur adalah hal wajib yang harus ada saat ia memasak ramyeon. Tanpa telur, ramyeon yang dimasaknya terasa hambar dan tidak ada apa-apanya.
Kening Yul mengernyit melihat ada tiga kotak daging sapi mentah di dalam freezer. Ia mengambil salah satu kotak dan melihat bagian atas kemasannya.
“Tiga hari lagi sudah kadaluarsa. Apa ini masih bisa dimasak?”
Yul pun mengeluarkan semua kotak daging sapi dari dalam lemari pendingin. Menenteng ketiga kotak tersebut untuk dibawanya keluar dari rumahnya yang sunyi ini. Ya.Rumah besar berlantai tiga itu sungguh terlihat sunyi untuk ditinggali satu orang pria lajang.
Langit gelap mengisi pandangan Yul ketika ia tiba di depan gerbang rumah. Suasana dingin pada waktu yang menunjukkan pukul tujuh ini terasa menyegarkan kulit di awal berjalannya musim gugur. Pun jalan depan rumah pria itu menunjukkan kesunyian. Hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala. Di antara rumah-rumah yang berdiri di lingkungan ini, rumah Miyoon adalah rumah yang jaraknya paling dengan tempat tinggal Yul. Yul hanya perlu beberapa langkah saja untuk sampai di rumah seorang ibu rumah tangga yang sore tadi menyambut kedatangan Yul dengan hangat.
Sampai di depan gerbang rumah Miyoon, Yul memencet bel rumah. Pandangannya menerobos ke dalam gerbang. Melihat lampu rumah yang masih menyala, menunjukkan aktivitas di dalam rumah tersebut yang masih berjalan.
Tidak lama setelah Yul memencet bel, seorang gadis berambut panjang keluar dengan tatapan dinginnya. Itu adalah gadis yang siang tadi ada di kafe. Gadis yang membuat Yul merasa bersalah sepanjang hari setelah kesalahan yang diperbuat karyawannya.
Gadis itu tinggal di rumah ini?
Yul mengernyit kaget mendapati Yebin. Pria itu melihat Yebin berjalan semakin mendekat ke arah gerbang. Kemudian membukakan pintu gerbang untuknya.
“Aku pria yang tinggal....”
“Kami tidak menerima sogokan dalam bentuk apa pun. Jadi pergi saja, Ajeossi.”
Jrreet!
Tanpa memberi kesempatan untuk Yul bicara, Yebin membanting gerbang rumah dan menutupnya. Ia berlalu pergi setelah memberi penegasan bahwa ia tidak akan menerima tiga kotak daging sapi yang tetangganya itu bawa.
Di depan gerbang rumah, Yul diam tercengang. Dalam sekejap tubuhnya mematung melihat sikap wanita yang ketus itu. Dengan raut wajah yang masih tertegun, Yul menghela napas ke dalam perut. Kepalanya memiring sambil mendesus, “Apa apa dengan wanita itu? Apa dia sedang pubertas?”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!