NovelToon NovelToon

Aku Bukan Musuhmu

Pernikahan

"Ibu...Ayah...Alan..., kalian...." Alia menggantungkan kalimatnya. "Bagaimana kalian bisa berada disini?" Tanya Alia sambil meraih tangan kedua orang tuanya dan menciumnya. Kemudian ia membawa mereka memasuki apartemen mewah yang selama ini dihuninya seorang diri.

Tak terasa dua minggu berlalu begitu cepat. Besok adalah hari yang paling mendebarkan bagi gadis manis bermata bulat itu. Tidak ada lagi yang bisa mengubah keputusannya. Bahkan ia sendiri sudah meminta restu kepada kedua orang tuanya bahwa ia akan menikah dengan sosok misterius bagai malaikat tanpa sayap itu.

"Kok kamu nanyanya gitu sih, Al? Memangnya kamu mau menikah tanpa kehadiran wali dan keluargamu?" Tanya Ibu sambil meletakkan tas kecil miliknya diatas meja.

Alia tertunduk mendengar penuturan Ibunya. Agaknya ia sudah salah bicara. Sedangkan Alan dan Pak Harry sudah mengambil posisi masing-pasing untuk mengistirahatkan tubuh mereka akibat penatnya perjalanan. Namun kedua mata mereka masih sigap mengamati percakapan serius antara dua wanita yang amat sangat mereka cintai itu.

"Bukan begitu maksudku, Bu..tapi..aku tidak ingin membebani kalian hanya untuk datang kesini. Secara tiket pesawat enggak murah kan, Bu?" Alia masih tertunduk tidak berani menatap wajah sang Ibu.

"Enggak mahal kok, Kak. Buktinya sekarang kami disini." Celetuk Alan sambil tersenyum kegirangan karena akhirnya bisa merasakan sensasi naik pesawat terbang untuk yang pertama kalinya. Pak Harry hanya menggeleng pelan melihat tingkah anak bungsunya itu.

"Alia anakku..sini deh duduk di samping Ayah." Pak Harry menepuk-nepuk sofa di sampingnya. Saat ini mereka sedang berada di ruang tengah yang merupakan ruang keluarga. Terdapat sofa panjang lengkap dengan meja yang di depannya terpasang televisi 52 inci yang membuat penontonnya berasa berada di layar lebar XXI.

Alia menuruti perintah Ayahnya, lalu duduk disamping Pak Harry. Namun sebelum Pak Harry memulai pembicaraan, Alia mendahuluinya.

"Ayah..maaf.." Air matanya mulai menganak sungai di kedua pipinya.

"Maaf untuk apa, nak?" Pak Harry mengelus lembut pucuk rambut putrinya.

"Maafkan aku karena sudah mengambil keputusan sendiri tanpa berdiskusi dahulu dengan Ayah." Alia semakin terisak, pasalnya ia takut Pak Harry akan menyampaikan kalimat kekecewaan padanya.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, nak. Keputusanmu sudah benar. Ayah dan Ibu merestui pernikahan ini. Jadi, kamu tidak boleh menangis lagi karena besok adalah hari bahagiamu."

"Tapi Ayah, bagaimana bisa dengan mudahnya Ayah memberi restu disaat aku menghubungi Ayah via telepon? Padahal Ayah juga belum kenal calon suamiku kan?" Alia memandang wajah teduh yang sudah menampakkan kerutan di dahinya itu. Terselip rasa penasaran yang amat pekat dibenaknya.

"Nanti juga kamu akan tahu.."

Pak Harry menyeka buliran bening yang membasahi pipi anaknya. Bahagia? Tentu beliau bahagia, akan ada sosok yang menjaga anaknya di kota sebesar ini. Sedih? Tentunya ia juga bersedih karena harus merelakan putrinya kepada orang yang akan menjadi imamnya kelak. Tidak akan ada yang tahu tentang isi hatinya saat ini selain dirinya dan Tuhan.

Lengkap sudah haru biru permintaan restu itu, walaupun sebelumnya telah dilakukan secara online tetap saja sebuah pertemuan membuat momen itu terlalu menguras rasa. Tidak banyak yang diharapkan Alia. Menjalin kehidupan rumah tangga bahagia dengan mengantongi ridha dari orang tua dan mengabdikan sisa umurnya demi suami yang ia sendiri belum mengetahui bentuk dan rupanya. Tak masalah bagi Alia.

"Al...kamu enggak mau nemuin calon suamimu dulu?"

Tanya Ibu Nana yang sedang menyusun pakaian mereka di dalam lemari kamar tamu. Di apartemen ini terdapat empat kamar. Satu kamar utama, dua kamar tamu dan dua kamar lagi khusus diposisikan di belakang untuk asisten rumah tangga. Hanya saja sekarang belum ada yang menghuninya.

"Aku belum pernah bertemu dengannya, Bu." Jawab Alia santai sambil merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Loh...beli kucing dalam karung dong." Ibu Nana menggoda putrinya. "Kalo ternyata calon suamimu itu tua bagaimana?" Lanjutnya.

"Ibu ini seperti Isni saja. Lebih parahnya lagi secara tidak langsung ia mendo'akan kalau calon suamiku itu kakek-kakeh duda." Cebik Alia, mengingat percakapannya dengan Isni di halaman bandara waktu itu.

"Lagian kamu juga sih, masa' mau nikah tapi enggak tahu seperti apa calon suaminya." Ibu Nana terkekeh melihat wajah putrinya cemberut karena berhasil digodanya. Padahal ia sendiri sudah bertemu dengan calon menantunya itu.

"Enggak papa, Bu. InsyaAllah aku ikhlas dunia akhirat. Lagian aku tidak ingin kabut hatiku berubah jadi mendung dan mengubah keputusan setelah bertemu dengannya. Setidaknya dengan tetap menjaga pandanganku, acara besok akan berjalan sesuai rencana." Ibu Nana menghentikan aktifitasnya sejenak dan menghampiri Alia.

"Ternyata putri kecil Ibu sudah tumbuh menjadi wanita dewasa." Ucap Ibu Nana sambil mengelus lembut pipi anaknya. "Ya sudah, kamu istirahat gih..besok kamu harus bangun lebih awal karena harus dirias kan?" Lanjutnya. Alia bangkit dan memeluk Ibu Nana. Drama Ibu dan anak itu dimulai.

"Makasih ya, Bu. Sudah menjadi wanita kuat dan sabar untuk aku dan Alan." Alia terdengar terisak bahkan air matanya mulai membasahi daster yang dipakai Ibunya.

"Itu sudah tugas Ibu, sayang. Kamu tidak perlu berterima kasih. Hanya saja Ibu ingin berpesan, taatlah kepada suamimu. Seperti apapun dan bagaimanapun keadaannya, berjanjilah kalau kamu akan selalu berada di sampingnya."

"InsyaAllah Bu, Alia sayang Ibu..." Memeluk sang Ibu dengan hangat. Drama pun berakhir dengan sedikit air mata dan kecupan di kening Alia.

Alia kembali ke kamarnya sedangkan Ibu Nana melanjutkan pekerjaannya yang sempat terjeda drama dalam tanda kutip bukan drama k*rea tadi.

***

Angin bertiup mengikuti arahnya. Matahari sejenak bersembunyi sekedar memberi waktu kepada hujan untuk menurunkan rahmat dari Tuhan semesta alam. Anak cucu adam terlihat sudah memenuhi tempat ibadah yang pagi itu akan menjadi saksi bisu kedua insan mengucap janji suci untuk meraih ridha ilahi.

Alia sudah siap dengan kebaya putih dengan mahkota kecil bertengger diatas kerudung yang berwarna senada dengan sentuhan metalik menambah kesan elegan pada penampilannya. Sedangkan wajahnya di make-up flawless terkesan tipis namun sangat menambah aura kecantikan yang natural. Di jamin pengantin laki-lakinya akan semakin jatuh hati.

Gadis yang memiliki lesung pipi kecil itu sengaja menunggu di ruangan khusus dibagian terkecil dari tempat ibadah tersebut. Ia hanya ingin mendengar suara merdu sang Ayah dan calon imamnya melafalkan kalimat romantis tanpa tanding itu dari balik layar.

Ini adalah hari Jum'at. Alia sengaja memilih hari ini untuk menjadi hari terbaiknya. Konon katanya Nabi Adam dan Nabi Muhammad melangsungkan pernikahan pada hari ini. Walaupun imamnya kelak tak sesempurna idola dalam hidupnya tersebut, setidaknya ia mengharapkan syafa'at bahwa pernikahannya bisa sehangat dan sebahagia rumah tangga panutan seluruh umat muslim itu.

Detik-detik mendebarkan semakin dekat. Perlahan tapi pasti Alia meremas ujung kebayanya menikmati kekhidmatan prosesi jabat tangan antara wali dan calon suaminya. Tak terasa air suci sebening kristal itu jatuh dari pelupuk mata Alia ketika mendengar kata SAH yang diiringi do'a bagi kedua mempelai dan diaminkan oleh semua orang yang menjadi saksi pernikahan mereka.

Janji suci telah terucap. Kini saatnya Alia keluar dari bilik persembunyiannya. Kaki jenjang itu serasa berat menopang tubuh mininya yang berbalut kebaya cinta. Ada sepasang mata yang sejak tadi mengikuti langkahnya. Alia semakin gerogi. Ia belum berani mendongakkan pandangannya untuk menguak tirai misteri diantara mereka. Sampai akhirnya ia berdiri persis di hadapan sosok yang selama ini selalu ia sebut dalam lantunan do'anya.

Alia diminta mencium punggung tangan suaminya untuk pertama kali. Ia meraih telapak tangan yang sudah tidak asing lagi di matanya. Ruas jari lurus dan putih yang pernah ia genggam sebelumnya. Setelah Alia mencium tangan sang suami, giliran mempelai pria yang mencium kening pengantin wanitanya.

Ada rasa canggung disaat kedua tangan kekar itu meraih rahang indah Alia. Namun ia masih saja tertunduk malu. Akhirnya kecupan hangat sebagai simbol kepemilikan awal sudah berlabuh di tempatnya. Sampai terdengarlah suara lembut yang membuat bulu kuduk Alia berdiri tegak.

"Aku mencintaimu, istriku..."

Alia sontak mengangkat wajahnya, menatap manik mata indah yang selama ini selalu menghantui alam bawah sadarnya. Tidak ada yang berubah dari wajah itu. Malah semakin tampan dan menawan dengan penampilannya yang terlihat lebih dewasa dan berwibawa dari sebelumnya. Alia menelan salivanya dengan berat dan mengeluarkan sisa-sisa gelombang suara yang ia miliki.

"Ka..kamu...."

Bersambung....

Jejakmu semangatku gengs🤗 Terima kasih🙏💞

Sosok Misterius

Alia tercengang. Bibirnya kelu perlahan pucat pasi hampir tak beraliran darah. Lipstick yang tadinya merona sempurna kini memudar bagai ditelan kabut biru bahkan abu-abu. Dipandangnya orang-orang di sekitar, Ayah, Ibu, Alan dan beberapa wajah baru hadir disana dengan senyuman bahagia disetiap sudut bibir mereka. Alia kembali menatap wajah laki-laki yang sejak hari ini sudah sah menjadi imamnya, ia mencubit pipi lembut laki-laki itu sekuat tenaga.

"Aw...sakit Sayang.." Pekikannya terdengar sangat nyata di telinga Alia. "Berarti ini bukan mimpi," batinnya.

"Apa yang kamu pikirkan? Kamu kira ini semua hanya mimpi?" Ah, bagaimana laki-laki ini bisa dengan cepat membaca pikirannya?

"Tadinya begitu," cebik Alia.

"Dimana-mana kalau mau memastikan mimpi atau bukan, harusnya kamu mencubit bagian dari tubuhmu sendiri, bukan orang lain, Sayang.." Jelasnya dengan suara lembut selembut hembusan angin.

"Benar juga kata orang ini," batinnya lagi. Lalu ia mencoba mencubit pipinya sendiri.

"Aduuuuh..beneran bukan mimpi."

Tingkah gadis polos itu berhasil membuat orang-orang disana sontak tertawa. Terlebih wanita paruh baya yang sudah melahirkan suaminya itu. Ia sudah sangat tidak sabar lagi untuk memeluk menantu kesayangan dari anaknya yang tersayang itu.

"Sudah...kalau mau main cubit-cubitan entar aja di kamar." Celetuk Pak Penghulu yang sedari tadi cengar-cengir melihat tingkah pasangan pengantin baru itu. Sepanjang sejarahnya menikahkan anak adam, baru kali ini ia menyaksikan tontonan lucu bak serial lawak di stasiun televisi nasional.

Acara selanjutnya adalah sungkeman, yang dimulai dari kedua orang tua pengantin laki-laki kemudian beralih kepada kedua orang tua pengantin wanita. Prosesi ini benar-benar berlangsung penuh khidmat dan drama dalam kutip bukan drama k*rea.

Alia menghampiri Mama mertuanya, berlutut di hadapan lutut si empunya dan mencium punggung tangannya. Ia bersimpuh memohon restu dari wanita luar biasa yang telah melahirkan sosok misterius bagai malaikat tanpa sayap baginya.

"Mama merestui kalian berdua. Semoga bahagia selalu, anak-anakku.." Mama mertuanya memeluk dan menghujani kecupan di setiap inci wajah Alia. Hal itu membuat Alia merasa sangat disayang. Jangan ditanya dimana letaknya air mata, karena saat ini aliran sungai di pipi sudah sangat pasang. Karena baginya yang berharga itu bukanlah uang asap atau pun mahar yang diberikan kepadanya, melainkan restu dan kasih sayang yang berlimpah.

Kemudian mereka bergeser ke hadapan seorang laki-laki paruh baya yang perawakannya masih sangat segar walaupun sebenarnya usianya sudah tak lagi muda.

"Selamat datang di keluarga kami, menantuku. Bagi kami kamu bukan hanya seorang menantu, tetapi putri di dalam rumah kami." Ia memberikan restunya kepada Alia dan mengelus lembut puncak kepalanya.

"Jaga istrimu baik-baik bro, jangan sampai sedikitpun kamu menyakitinya." Lanjut laki-laki itu sambil menatap putranya dengan mata yang berkaca-kaca. Hari ini merupakan hari yang sangat membahagiakan baginya. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa putranya sudah menepati janji itu, janji seorang anak kepada orang tuanya.

"Barokallah untuk kalian berdua, Ayah akan selalu mendo'akan semoga kalian bahagia selamanya. Ayah titip Alia ya, nak. Jika suatu saat nanti kamu tidak mencintainya lagi, jangan katakan padanya, katakan saja pada Ayah, maka Ayah akan menjemputnya." Ucap Pak Harry kepada menantunya dengan cairan bening yang sudah membingkai kedua bola matanya. Tiada hari yang lebih berat bagi seorang Ayah selain hari dimana ia harus menyerahkan permata hatinya kepada sosok laki-laki yang telah menjadi imamnya.

"Itu tidak akan terjadi Ayah, aku sangat mencintai Alia dan akan selalu begitu, InsyaAllah." Ucap laki-laki itu ketika mencium punggung tangan mertuanya.

"Alia..ingat kata-kata Ibu! Apapun keadaannya kamu harus tetap berada di sisi suamimu, sesulit apapun itu."

Ibu Nana sudah tak bisa berkata banyak, perasaannya hanya terwakili oleh buliran bening kesucian lambang indah kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya. Tak lupa pula ia memberi restu kepada menantunya yang setelah ini akan menjadi satu-satunya sosok yang akan menjaga Alia di kota besar ini.

Drama dalam tanda kutip bukan drama k*rea itu berakhir sudah. Setelah menjamu para tamu dengan hidangan terbaik, mereka berkumpul di halaman masjid yang telah menjadi saksi suci dari sebuah ikatan yang tak kalah sucinya.

Tampak raut kebahagiaan menyelimuti kedua keluarga itu dan beberapa orang di sana, namun tidak dengan sosok yang bersembunyi di balik jendela mobil yang letaknya tak jauh dari mereka. Sosok yang sejak tadi mengamati prosesi khidmat itu dari kejauhan. Sosok yang tidak senang melihat pasangan itu mengikat janji pernikahan dan sosok yang sudah menemukan alat pemantik untuk menyalakan api prahara.

"Hemm...ternyata itu wanita yang membuatmu menolak ku, sayang. Kita lihat saja..apa yang akan terjadi pada istri kesayanganmu itu." Senyuman busuk menyeringai di bibir manisnya.

***

Langit senja telah menampakkan aura jingga memesona. Burung-burung berkicau berterbangan hilir mudik kembali ke rumah pohonnya masing-masing. Tak terkecuali sepasang pengantin baru ini. Acara akad nikah yang digelar sederhana itu cukup menguras tenaga keduanya. Saat ini mereka sedang berada di sebuah kamar salah satu hotel bintang lima dengan kamar president suit sebagai kado dari mertua Alia.

"Kamu berhutang penjelasan kepadaku."

Alia melayangkan pernyataan dingin itu dengan wajah datarnya kepada sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu tersenyum hangat dan menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa.

"Sayaang..."

Laki-laki itu menggenggam kedua tangan Alia. Kata ajaib penuh hipnotis itu seolah menjalar masuk melalui pori-pori terkecil dari lapisan kulit Alia, lalu masuk perlahan beriringan dengan aliran darah dari pembuluh nadinya sehingga mencapsi titik paling utama. Jantungnya berdetak tidak karuan. Suhu badannya pun mendadak terasa panas dingin.

"Padahal tadi laki-laki ini juga sempat mengucapkan kata itu di hadapan orang banyak. Tetapi kenapa sekarang rasanya berbeda? Oh jantung, tetaplah di posisimu," batin Alia.

"Tanyakan lah apapun yang ingin kamu ketahui. Aku akan menjawabnya sebisaku, insyaAllah." Ucap laki-laki itu dengan tatapan penuh dambanya yang tidak berubah ketika berhadapan dengan Alia.

"A-aku..." Alia menundukkan pandangannya. Pesona laki-laki ini masih sangat kuat dan mengikat bagian terapuhnya. Perasaan yang sekian kali ia tepis keluar angkasa ternyata mengguyur tubuhnya seketika bak hujan keberkahan cinta.

"Sayang..." Mengangkat dagu Alia sehingga menatap wajah tampannya.

"Maafkan aku..tolong berdamai lah dengan masa lalu. Kita mulai semuanya dari awal. Aku mungkin bukanlah manusia terbaik di dunia ini. Namun aku akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu."

Lagi-lagi kalimat laki-laki ini menyihir logika Alia yang tadinya memberi tekanan penolakan berubah menjadi penerimaan karena etiket baik yang sudah ia tunjukkan. Usaha yang benar-benar terniat, membuat Alia jatuh cinta berkali-kali dengan sosok misterius ini.

"A-aku juga minta maaf, Mas. Aku menyadari bahwa dulu aku sangat egois, lebih tepatnya lagi labil sehingga aku tidak bisa melihat betapa besar dan tulusnya perasaanmu kepadaku. Emosi menguasai diriku, gengsi dan sifat kekanak-kanakan yang aku miliki malah menjadi boomerang tersendiri bagi diriku. Aku terima hubungan ini mas, insyaAllah aku ikhlas. Namun aku butuh waktu mas, ini sungguh sangat mengejutkan bagiku. Aku harap kamu bisa mengerti."

Senyum mengembang di bibir penuh laki-laki itu, kata-kata Alia adalah siraman air segar bagi hatinya yang telah lama gersang, gelisah, rindu, putus asa dan banyak lagi perasaan buruk lainnya. Hari ini semua itu terobati sudah. Keinginan menatap wajah ranum kekasih halalnya tanpa adanya tirai pemisah kini tercapai sudah.

"Terima kasih sayang. Terima kasih atas kebesaran hatimu. Aku sangat mengerti posisimu saat ini, pelan-pelan saja..lama-lama kamu juga akan terbiasa. Namun yang perlu kamu ketahui sejak dahulu, kini dan seterusnya aku akan selalu mencintaimu, Nyonya Aufar Dwi Anggara."

Alia tersenyum malu-malu mendengar julukan terbaru yang diberikan suaminya. Melihat wajah menggemaskan sang Istri, Aufar semakin tidak sabar ingin membenamkan tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Namun ia harus tetap bersabar, pelan-pelan saja.

"Ya udah, kita sholat magrib yuk.." Ajak Alia yang sudah mulai salah tingkah.

Bersambung....

Jempol dimerahin ya sayang☺️ itu rate 5 tolong dipincit yah🤗 Thank you💞🙏

Percikan Api

Aufar mengecup kedua telapak tangan istrinya sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi untuk bersuci. Sementara menunggu suaminya selesai berwudhu Alia menyiapkan peralatan shalat untuk mereka berdua.

Di sela-sela aktivitas, tiba-tiba senyuman menyeringai di wajah cantiknya, walaupun tanpa polesan make-up. Terbesit akal usil menghampiri memori terbesarnya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak menggoda Aufar. Sepertinya kali ini adalah waktu yang tepat. Tak lama kemudian, sosok yang ia tunggu-tunggu datang menghampirinya.

Kala itu penampilan Aufar terlihat lebih fresh dari sebelumnya. Entahlah, mungkin karena pengaruh air suci yang membasahi setiap inci wajahnya menambah nilai ketampanannya naik kesekian persen. Apalagi rambut-rambut halus basah yang jatuh mengenai dahi itu terlihat sangat sexy dan menggoda di mata Alia. Wanita bermata bulat itu menelan salivanya dengan berat.

"MasyaAllah..kenapa dia malah terlihat lebih tampan?" Gumam Alia dalam hati sambil memegangi dadanya seakan memberi proteksi kepada organ penting yang berada di dalam sana yang gerakannya sudah tidak bisa dikondisikan.

Melihat Alia yang mematung di hadapannya membuat Aufar tersenyum simpul. Ia mendekati Alia dan berbisik, "aku tampan ya, Sayang?"

Nafas hangatnya dengan mudah lolos begitu saja menembus lapisan kain indah yang selalu setia membungkus aurat bagian atas istrinya.

"Oh, no! Lagi-lagi dia selalu bisa membaca pikiranku," batin Alia. "Misi tetaplah misi, please jernih lah engkau wahai otak," pintanya kepada dirinya sendiri. Alia menggigit-gigit bibir bawahnya menetralisir kecanggungan. Ia meremasi jari jemarinya yang sudah mulai berkeringat.

Kemudian Alia menoleh ke arah Aufar, membuat wajah mereka berhadapan menyisakan jarak yang begitu dekat. Aufar sontak kaget dan menjauhkan dirinya dari Alia. Namun hal itu malah membuatnya terpental dan jatuh ke lantai karena saking kagetnya.

"Aw..." pekiknya sambil memegangi pantatnya yang sakit luar biasa. Sejurus Alia tergelak dan tidak bisa mengondisikan tawanya.

"Sayang...bukannya bantuin suami berdiri, eh malah tertawa heboh hiiiiiisssssh," cebik Aufar sambil meringis kesakitan.

"Yakin mau dibantuin berdiri? Ayo sini!" Alia mengulurkan tangannya bermaksud menolong sang suami. Namun Aufar terlihat berpikir sejenak.

"Enggak usah deh sayang, nanti malah bersentuhan." Ucap Aufar yang mulai berdiri.

"Memangnya kalau bersentuhan kenapa? Kamu enggak mau menyentuh istrimu sendiri?" Alia mendekati Aufar dengan suara manja dan tatapan menggoda. Hal itu membuat Aufar terkejut dengan respon yang menurutnya tidak biasa dari sang istri. Ia mundur beberapa langkah hingga akhirnya tubuhnya mentok terhimpit tubuh Alia dan tembok. Alia semakin tersenyum usil dan merasa menang karena Aufar terkunci dan tidak bisa meloloskan diri.

"Maaassss..." Ucapnya lagi di dekat telinga Aufar dengan suara menggoda level satu.

"Sayaaang...please jangan sekarang." Pinta Aufar yang semakin merekatkan tubuhnya pada tembok seperti seekor cicak. Matanya tertutup rapat seolah menghindari serangan rubah kecil di hadapannya.

"Mas yakin enggak mau sekarang?" Nada menggoda Alia naik satu level diikuti dengan hembusan nafas yang terasa hangat di tengkuk Aufar. Sungguh Aufar terpancing, permainan rubah kecil ini berhasil membangkitkan naluri kejantanannya.

Aufar sontak membuka mata. Ditatapnya kedua manik bulat kekasih halalnya itu lekat-lekat. Sungguh sangat menggoda. Pikiran Aufar mulai berkabut. Jiwa kelaki-lakiannya sudah naik hingga ke ubun-ubun. Senyuman sensual tersimpul begitu saja di bibirnya.

"Jangan membangunkan macan yang sedang tidur, Sayang?"

Reaksi Aufar sontak membuat Alia terpingkal-pingkal. Ekor matanya tampak basah melihat ekspresi mesum sang suami. Ia menjauhkan tubuhnya dari Aufar dan berlari ke kamar mandi sambil menjulurkan lidahnya mengejek sang suami.

"Shalat maghrib, Mas...Hahahahaha." Bahagia sekali rasanya karena telah berhasil menggoda dokter muda yang saat ini benar-benar sudah tertipu olehnya.

Melihat tingkah menggemaskan sang istri, membuat Aufar tersenyum dan menggeleng pelan karena telah terpancing permainan Alia. "Dasar rubah kecil," batinya.

Setelah melaksanakan kewajiban bersama, Aufar membalikkan tubuhnya menghadap Alia. Menatap hangat wajah sang istri yang seolah bersinar oleh cahaya cinta. Kain sajadah yang masih terbentang menjadi saksi do'a yang Aufar panjatkan di atas kepala Alia dan diakhiri dengan kecupan kecil di keningnya.

"Terima kasih sudah bersedia menjadi makmum ku, Sayang..." Ujar Aufar tulus menatap sendu manik mata Alia. Baginya hari ini bagaikan mimpi yang ia sendiri pun masih belum mempercayai bahwa wanita yang selama ini ia dambakan telah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya saat ini.

"Terima kasih juga karena telah menjadi malaikatku, Mas. Mulai saat ini aku bersedia mengabdikan sisa hidupku bersamamu, hanya untukmu."

Alia mencium punggung tangan suaminya dengan lembut. Menempelkan kedua telapak tangan kekar itu pada pipi chubby nya sambil memejamkan mata, seolah sedang mentransfer kehangatan tubuh Aufar ke wajahnya yang mulai terasa dingin.

"Sayaaang.." Panggilan mesra Aufar selalu berhasil menghipnotis Alia.

"Hemm..." Alia masih memejamkan kedua matanya, namun desiran darah mengalir deras di dalam sana.

"Hangat ya?" Tanya Aufar sambil tersenyum menggoda.

"He'em..." Alia hanya mampu berdehem karena masih menikmati kehangatan telapak tangan Aufar.

"Mau yang lebih hangat lagi?"

Pertanyaan itu membuat Alia membuka kedua matanya sempurna dan duduk tegak menghadap Aufar. Ia sangat mengerti kemana arah pembicaraan sang suami. Di kamar ini hanya ada mereka berdua. Sedangkan anggota keluarga yang lainnya sudah kembali ke apartemen Aufar. Alia mulai panik melihat wajah sang suami yang sejak tadi tersenyum penuh makna. Otak kecil Alia mulai berselancar mencari solusi jitu bagaimana bisa keluar dari posisi mengancam ini.

"Mas...aku lapar..." Alia merengek, memasang wajah sesendu mungkin meminta belas kasihan.

"Kamu ini ya, pinter banget deh kalau disuruh ngeles." Aufar mencubit manja hidung sang istri.

"Serius mas, iiih..laffffffaaaar..." Rengeknya lagi menaikkan nada kemanjaannya satu level lebih tinggi.

"Ya udah..ayo kita makan istriku yang cantik, kira-kira mau makan di kamar atau turun ke restoran?" Tanyanya sambil memegang kedua pundak istrinya.

"Kalau tetap di kamar bahaya nih buat aku, mending cari aman aja deh ya..hehe," batin Alia.

"Emmm...di restoran aja ya, Mas. Aku sekalian pengen lihat-lihat suasana di hotel ini."

"Baiklah, yuk siap-siap.."

Alia menyimpan kembali perlengkapan ibadah mereka di tempat semula. Kemudian mereka mengganti pakaian masing-masing dan turun ke lantai dasar untuk makan malam.

***

"Sayang..kamu yakin mau makan disini? Ramai banget loh ini.." Aufar celingak-celinguk seperti seekor angsa melihat kerumunan orang di restoran hotel itu.

"Sepertinya disini lagi ada acara deh, Mas. Gimana kalau kita cari makan di luar aja yuk..." Ajak Alia yang sudah menarik pergelangan tangan Aufar keluar dari area restoran.

"Sebentar sayang.." Aufar menghentikan langkahnya, membuat Alia memicingkan mata.

"Kenapa, Mas?"

"Kontak mobilku ketinggalan di kamar. Aku ambil sebentar ya, kamu tunggu disini jangan kemana-mana!" Perintah Aufar kepada istrinya yang sedang berdiri di lobby hotel.

Setelah kepergian Aufar, mata Alia menyapu keadaan di sekitar. Ada sebuah aquarium raksasa yang terdapat di bagian kiri pintu masuk yang mencuri perhatian Alia. Ia mendekati aquarium yang berisi berbagai hewan air itu dengan sentuhan tangan pada kaca pembatas.

"So beautiful.." Ia tersenyum lembut melihat dua ekor ikan yang berenang bersama seolah-olah sedang bercanda mesra.

"Ikan aja bisa mesra-mesraan ya.." Alia terkekeh melihat respon salah satu ikan yang membalas tatapannya seolah baru saja mendengar celetukan wanita itu.

"Nah loh..dia komat-kamit..marah mbak? Tenang aja aku enggak akan gangguin kok, kalian lanjutin aja.." Ucapnya sambil tertawa kecil.

Samar-samar terdengar ketukan sepatu menghantam lantai lobby hotel itu, namun sudah pasti bukan sepatu kuda dan suaranya semakin mendekat ke arah Alia. Alia segera menoleh ke arah sumber suara.

Terlihat seorang wanita cantik memakai gaun berwarna peach tanpa lengan sudah terdiri tegap di hadapannya. Perawakannya seperti seorang model, namun Alia tidak ingin menduga-duga. Wanita itu memandangi penampilan Alia dari atas sampai bawah, lalu ia melemparkan senyuman penuh ejekan.

"Jadi hanya wanita seperti ini yang dipilih Aufar untuk meninggalkanku?" Sarkasnya terdengar pedas sekali di telinga Alia.

"Maaf mbak, mbak ini siapa ya?" Alia tidak ingin berasumsi dan berusaha setenang mungkin merespon perkataan wanita itu yang jelas-jelas telah tersimpan dengan sempurna di memorinya.

"Perkenalkan aku Ghifana Aurora, kekasih Aufar."

DEG

Aliran darah yang dipompa oleh jantung Alia seakan macet di tengah perjalanan. Dadanya terasa sempit seperti mendadak kehabisan stok oksigen. Suhu tubuhnya menjadi panas dingin menahan emosi yang mulai naik ke ubun-ubun. Ingin rasanya ia menampar keras pipi wanita yang sudah lancang memfitnah suaminya itu. Alia sebisa mungkin mengontrol emosi yang bercampur dengan bisikan-bisikan setan di sekelilingnya. Namun ia tidak ingin termakan permainan orang asing yang baru saja ia temui ini.

"Maaf ya Nona Ghifana yang terhormat, jika Anda ingin bermain api, maka berhati-hatilah jangan sampai percikan api yang Anda nyalakan, membakar tubuh Anda sendiri!"

Alia berlalu keluar hotel meninggalkan Fana yang sudah mengepal kedua tangannya menahan geram.

"Berani sekali wanita itu, lihat saja nanti aku akan merebut Aufar darimu." Kemudian ia pergi dari lobby hotel karena khawatir Aufar mencium keberadaannya.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!