NovelToon NovelToon

Cinta Untuk Aruna

CUA Bab 1

Aruna semakin mempercepat langkahnya sambil sesekali melirik jam tangannya. Jam 08.35 pagi, itu artinya dia sudah terlambat lima menit.

Ini adalah hari pertama dia bekerja di sebuah perusahaan ternama di kotanya yang bergerak di industri fashion. Dia bersyukur mendapatkan pekerjaan ini meski hanya sebagai Cleaning Cervice. Mencari pekerjaan di jaman seperti sekarang ini susahnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami.

Beruntung dia mendapatkan pekerjaan ini setelah kemarin dia di pecat dari cafe tempatnya bekerja.

Angkot yang ditumpanginya hari ini tiba tiba saja mogok di tengah jalan. Hingga terpaksa Aruna harus berjalan kaki menuju tempatnya bekerja saat ini. Untung saja perusahaan tempatnya bekerja itu jaraknya tidak terlalu jauh. Dalam beberapa menit saja dia pun sampai.

Setelah kepergian kedua orang tuanya Aruna harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Aruna adalah gadis manis yang lugu, secara mendadak menjelma menjadi seorang gadis yang mandiri dan pekerja keras.

Dengan terpaksa Aruna harus berhenti kuliah dan memilih menjadi tulang punggung keluarga. Demi Alika, adiknya yang masih duduk di bangku SMA dan masih membutuhkan biaya sekolah itu, Aruna harus kuat. Apapun pekerjaannya akan dia lakukan sepenuh hati, jika pekerjaan itu tidak merugikan dirinya.

The Royal Fashion

Sebuah perusahaan fashion ternama dengan produknya yang terbilang berkualitas dan selalu mendapatkan sambutan hangat di pasaran.

Saat ini tersiar kabar bahwa Direktur TRF saat ini sedang jatuh sakit. Dan untuk sementara waktu akan digantikan oleh putra tunggalnya yang baru saja menyelesaikan kuliahnya.

Nampak seorang wanita paruh baya dalam balutan busana modis itu tengah berdiri sambil memandangi seorang karyawan yang berdiri di hadapannya saat ini.

"Shanti ..." panggil wanita paruh baya nan modis untuk mengecek kehadiran karyawan baru di perusahaan itu, lebih tepatnya CS (Cleaning Cervice) baru.

Dia, Bu Diana, seorang kepala HRD. Dialah yang bertanggung jawab penuh atas kinerja karyawan TRF. Dia di beri hak untuk memecat karyawan yang menurutnya kurang maksimal dalam kinerjanya.

"Saya Bu." Sahut Shanti, yang berdiri tepat di hadapannya sejak tadi, sembari mengacungkan jempolnya.

"Aruna." Panggilnya lagi.

"Saya Bu ..." Sahut Aruna dari kejauhan sambil berlari lari kecil dengan nafas terengah - engah. Berjalan kaki ke perusahaan itu sudah cukup menguras tenaganya.

"Baru hari pertama bekerja tapi sudah berani datang terlambat. Bagaimana besok besok nanti." Omel Bu Diana dengan wajah kesalnya.

Sedikit kesal, bahkan ekspresi wajahnya kurang bersahabat kali ini.

"Maaf Bu. Tadi angkotnya mogok, jadi__" Ucapan Aruna terpotong.

"Ya sudah, hari ini saya maafkan. Besok jangan diulangi lagi ya? datang tepat waktu." Sela Bu Diana cepat.

"Baik Bu!" Jawab Aruna sambil menundukkan wajahnya dengan perasaan bersalah.

"Jaka." Panggil Bu Diana kemudian pada seorang karyawan lagi.

"Jaka." Panggilnya sekali lagi karena yang bernama Jaka tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Bu Diana kini menatap tajam kearah Shanti dan Aruna secara bergantian. Dahinya mulai mengerut. Dan kali ini sedikit menyeramkan.

"Ada yang bernama Jaka? Diantara kalian berdua ada yang tahu tidak siapa yang bernama Jaka?"

Aruna dan Shanti hanya saling menatap. Mereka berdua memang tidak tahu siapa yang bernama Jaka. Jangankan kenal, melihat wajahnya saja, belum pernah sekalipun.

Sedikit cerita, Aruna dan Shanti sudah berteman semasa SMA. Mereka berdua senasib. Sama sama dipecat dari cafe tempat mereka bekerja, dan sama sama mereka melamar pekerjaan di TRF. Untung saja keduanya diterima.

Tapi bedanya Shanti masih memiliki orang tua yang lengkap, sedangkan Aruna tidak memilikinya

Hari ini keduanya berangkat kerja sendiri-sendiri. Karena seperti biasa, sebelum berangkat kerja Aruna harus beberes rumah terlebih dulu. Bahkan harus menyiapkan sarapan untuk Alika adiknya, om dan tantenya, Teddy sepupunya, dan untuk dirinya sendiri meskipun terkadang sering dia lupakan.

Dari kejauhan tampak seseorang berlari menghampiri mereka. Seorang pemuda dengan penampilan yang jauh dari kata rapi, rambut acak-acakan, bahkan tali sepatunya pun belum terikat dengan benar.

"Saya Jaka Bu. Karyawan baru." Kata pemuda itu tanpa rasa bersalah sedikitpun sembari terburu-buru merapikan seragam dan rambutnya.

"Ya ampun ... Kamu tahu tidak ini sudah jam berapa? mana seragam kamu belum rapi, rambut masih acak acakan, bahkan kamu tidak merasa bersalah sama sekali. Padahal kamu datang sangat terlambat. Apa kamu serius mau bekerja?" Nada suaranya mulai meninggi dan matanya melotot seakan kedua bola mata itu ingin melompat keluar dari tempatnya.

Bu Diana pun mulai naik pitam. Wajahnya semakin membulat. Tubuhnya yang gen ... Eh bukan, padat berisi lebih tepatnya, akan terlihat semakin melebar saat sedang emosi seperti ini. Sekilas jadi mirip Doraemon kali ya?

"Maaf Bu, saya bangunnya kesiangan. Semalam saya harus memperbaiki genteng rumah yang bocor. Jadi hari ini saya terlambat. Sekali lagi maaf ya Bu?" Kata Jaka dengan santainya.

"Genteng bocor? memangnya tadi malam hujan? hujan dari mana di cuaca cerah begini? Kamu pikir saya baru pulang dari Amerika gitu, sampai saya tidak tahu menahu cuaca di negara saya sendiri. Ada ada saja." Sembari menggelengkan kepalanya. Sebuah alasan yang terlalu klise.

Aruna dan Shanti pun saling memandang. Wajah keduanya memerah karena menahan tawa. Ya ampun, si Jaka. Alasannya sedikit masuk akal sih? Meski nyeleneh.

Diam diam Aruna melirik kan matanya kearah Jaka. Saat tahu ada yang meliriknya, Jaka pun menoleh dengan cepat.

Namun buru-buru Aruna menarik kembali pandangannya dan menundukkan wajahnya sambil tersenyum tipis.

Dilihat dari segi tampang sih, OKE. Potongan anak muda jaman NOW. Postur tinggi, tubuh proporsional, wajah tampan dan so cute, gaya rambut jaman NOW. Tapi rasanya kurang meyakinkan kalau dia yang bernama Jaka.

"Baiklah, sekarang kerjakan saja tugas kalian dengan baik, jangan bermalas - malasan." Tegas Bu Diana setelah panjang lebar menjelaskan tentang tugas-tugas mereka.

"Baik Bu!" Sahut ketiganya serempak bagai paduan suara.

****

Karyawan Marketing saat itu tengah bergosip. Saat Aruna sedang bersih-bersih di ruangan itu.

Di ruangan itu pula tampak Jaka tengah sibuk menyajikan kopi pesanan para karyawan Marketing.

"Dengar - dengar mulai hari ini anaknya Pak Danu yang akan memimpin perusahaan ini." Kata salah seorang karyawan wanita.

Danu Anggara adalah Direktur TRF yang dikenal baik hati oleh semua karyawannya. Beliau adalah orang yang sangat bijaksana.

"Itu memang benar. Pak Danu masih sakit dan untuk sementara waktu anaknya yang akan memimpin perusahaan ini. Tapi menurutku itu mungkin cuma akal akalan nya Pak Danu saja. Dia justru ingin mempersiapkan anaknya untuk menggantikan posisinya nanti, secara....dia kan anak tunggal. Sang ahli waris," sahut seorang karyawan pria lainnya.

"Jadi Pak Danu itu cuma pura pura sakit. Aku pikir sudah sakit parah."

"Hus! jangan sembarangan ngomong. Perusahaan ini punya si boss kan, bukan punya kalian. Terserah dia dong mau ngapain aja. Tugas kalian itu bekerja bukan bergosip yang tidak-tidak." Sela karyawan yang lainnya.

"Aku hanya cemas saja, bagaimana nasib kita nanti kalau perusahaan ini tiba tiba bangkrut karena dipimpin oleh orang yang belum berpengalaman." Kata karyawan pria yang sok tau itu.

"Memangnya kamu kenal anaknya Pak Danu?"

Brukkk ...

Tiba tiba saja Jaka datang dan tanpa sengaja menabrak pria sok tahu itu. Kopi yang dibawanya pun tumpah dan hampir saja mengenai baju si pria sok tahu itu. Seketika pria itu naik pitam dan mulai memarahi Jaka.

Aruna yang masih berada di ruangan itu pun terpaksa menghentikan pekerjaannya. Dia terkejut mendengar seseorang sedang mengomel.

"Pake mata dong jalannya. Kamu bisa kerja tidak. Kalau baju aku kotor gimana. Kerja jadi OB saja tidak becus," kata pria sok tahu itu dengan ketusnya.

"Maaf pak saya tidak sengaja," Jaka meminta maaf sambil membungkukkan badannya.

"Sudah, sudah. Pak Danu sudah datang. Jangan ada keributan lagi. Semua kembali ke tempat masing-masing. Dan Jaka cepat kamu bersihkan itu. Setelah itu tolong kamu buatkan kopi untuk Pak Danu, dan antar ke ruangannya. Ingat, kopinya tanpa gula ya?" tiba tiba Bu Diana datang dan menghentikan omelan Teddy si pria sok tahu itu.

Bu Diana segera bergegas menuju lobby guna menyambut kedatangan bossnya setelah hampir seminggu bossnya itu terbaring di Rumah Sakit. Dan bisa menyempatkan diri datang ke kantor hari ini meskipun kondisinya belum pulih benar.

''Mau aku bantu?"

Aruna mencoba menawarkan bantuannya pada Jaka. Tubuhnya membungkuk, dia sudah bersiap diri mau membantu rekannya itu. Namun Jaka menolak tawaran bantuan darinya.

Jaka tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Untuk hal seperti ini dia bisa mengerjakannya sendiri.

''Tidak perlu, aku bisa sendiri. Tapi makasih." Tolaknya dengan halus.

''Ah...ya sudah, kalau begitu aku balik kerja lagi ya?''

Jaka hanya tersenyum memandangi Aruna. Dia benar-benar tidak membutuhkan bantuan Aruna saat ini.

Tapi gadis itu sangat baik. Jarang orang akan menawarkan bantuannya untuk hal sekecil ini. Setidaknya, itu kesan pertama Jaka terhadap Aruna.

Aruna Pun beranjak pergi meninggalkan Jaka yang tengah membungkuk membersihkan tumpahan kopi itu.

Sekilas Jaka memandangi punggung Aruna yang semakin menjauh meninggalkan tempat itu. Tanpa sadar seulas senyum terukir di wajahnya. Baru pertama kali dia melihat gadis seperti itu. Bahkan untuk hal seperti ini pun dia tidak segan menawarkan bantuannya.

"Gadis yang baik." Bisik Jaka dalam hati dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.

...*...

...*...

...*...

...Bersambung...

Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca karyaku. Ini adalah karya pertamaku. Mohon maaf jika masih terdapat banyak kesalahan dan banyak kekurangan.

🙏🙏🙏

CUA Bab 2

Lobi kantor

Sebuah mobil putih tiba dan berhenti tepat didepan pintu masuk. Dengan cepat seorang security yang sedang berjaga saat itu, membukakan pintu mobil. Sedangkan sang sopir terburu - buru mengambil kursi roda dari bagasi.

Seorang pria paruh baya turun dari mobil itu sambil di bantu sang sopir duduk di kursi rodanya. Dialah Danu Anggara, direktur utama TRF.

Tak berapa lama mobil lain pun tiba. Seorang pria muda dengan potongan rapi, berpostur tinggi dan tampan turun dari mobil itu. Kemudian menghampiri Pak Danu dan membantu mendorong kursi rodanya untuk memasuki gedung bertingkat itu.

Bu Diana pun datang dengan tergesa-gesa untuk menyambut kedatangan atasannya itu.

''Selamat datang kembali Pak. Bagaimana keadaan Bapak? Bapak kan belum pulih benar kenapa datang ke kantor? Bapak kan bisa menghubungi saya kalau Bapak ingin bertanya tentang keadaan di kantor.'' Kata Bu Diana mencemaskan keadaan Pak Danu

Pak Danu terlihat mengulum senyum.

Hampir 20 tahun lamanya Bu Diana bekerja di TRF. Untuk itu hubungannya dengan pak Danu sudah seperti keluarga, bukan atasan dan bawahan lagi.

''Saya tidak apa apa, kamu tidak perlu cemas. Tolong kamu ikut keruangan saya, ada yang perlu saya bicarakan.''

''Iya, baik Pak."

Merekapun bersama sama beranjak keruangan pak Danu.

****

Sementara itu di pantry kantor ...

"Oh ya ... Soal yang tadi itu, tolong jangan diambil hati ya? Dia orangnya memang Begitu." Kata Aruna pada Jaka. Seolah dia sudah mengenal Teddy si pria sok tahu itu.

''Tidak apa apa, itu hal yang biasa. Siapapun pasti marah, apalagi kalau sampai bajunya kena tumpahan kopi." Kata Jaka sembari menyiapkan secangkir kopi tanpa gula yang diminta Bu Diana.

Aruna tersenyum manis, hatinya kini merasa lega. Ternyata Jaka pemuda yang baik. Meskipun namanya udik tapi dia cukup manis apalagi kalau rambutnya sedikit berantakan.

''Kamu kenal orang itu?" Tanya Jaka kemudian.

"Sayangnya iya, aku kenal dia.''

''Oh ... pantas saja." Jaka pun tidak bertanya lagi. Dia tidak ingin tau lebih banyak lagi tentang si sok tau itu.

''Sedang apa kalian? Apa pekerjaan kalian sudah selesai?'' Tanya Shanti yang datang tiba tiba dengan kain lap dan kemoceng ditangannya.

''Lagi bikin kopi buat siapa sih?'' Tanya Shanti kepo saat pandangannya bergulir dan melihat Jaka tengah menyeduh secangkir kopi.

''Waaahh sepertinya kopinya enak nih." Shanti menelan salivanya dalam-dalam. Sambil pandangannya fokus pada secangkir kopi itu.

''Kamu juga mau?'' Tanya Jaka sembari tersenyum.

''Boleh, boleh." Dasar Shanti. Tidak akan menolak yang namanya gratisan.

''Tunggu sebentar ya."

Segera Jaka menyeduh secangkir kopi pahit lagi. Lalu menyodorkannya pada Shanti.

''Ini kopinya, silahkan dicicipi." Jaka tersenyum tipis sembari memperhatikan Shanti yang terlihat senang saat menerima kopi itu.

Aruna pun hanya bisa tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. Shanti tidak tahu kalau kopi itu sebenarnya pahit. Aruna pun iseng, sengaja membiarkan sahabatnya itu mencicipi kopinya.

Perlahan Shanti pun mulai menyesapnya. Namun tiba-tiba saja dia menyemburkan kopi itu bak dukun yang tengah beraksi.

Byurrrrr

''Wueekk! Pahit ... Pahit ..." Shanti memuntahkan kembali kopi yang sudah terlanjur tertelan itu. Sementara Aruna dan Jaka hanya tertawa - tawa melihat tingkah Shanti yang lucu itu. Lagian Shanti gak cek and ricek dulu.

''Ya ampun Jaka, kamu sengaja mau mengerjai aku ya?" Sungut Shanti.

''Kamu sendiri yang minta.''

"Kenapa tidak bilang dari tadi kalau kopinya itu pahit" Shanti pun mulai cemberut. Dia kesal dengan ulah Jaka yang sengaja memberinya kopi pahit itu.

''Makanya kasih tahu kalau kamu mau kopinya pake gula.''

''Ikh ... aku jadi kesal deh. Oh ya, tapi itu kopi buat siapa sih?"

Ya ampun, hampir saja Jaka lupa. Sejak tadi Bu Diana memesan kopi itu. Tamatlah riwayatnya kini. Ibu - ibu gendut itu sebentar lagi akan menjelma menjadi seekor singa lapar. Sudah pasti. Siapa dulu dong. Ratunya ngomel.

''Oh iya, tadi aku lihat Pak Danu baru saja datang. Dia datang bersama dengan seorang pangeran. Dan pangerannya itu cakep banget loh Run. Aku jadi penasaran, kira-kira dia itu siapa ya? Dia itu benar-benar tipe idealku Run. Aku jadi ingin tau siapa namanya."

Shanti pun mulai genit. Kebetulan tadi dia sedang bersih bersih di lobby saat Pak Danu datang bersama pangeran yang dia maksud. Matanya hampir tak berkedip melihat pria tampan yang datang bersama pak Danu saat itu.

''Dasar genit kamu ... Kalau dia itu pangeran, terus kamu ini siapa? Jangan terlalu ketinggian deh Shan. Jatuh dari ketinggian itu rasanya sakit. Kita itu ya, ibarat langit dan bumi. Dia di atas, kita di bawah. Jangan pernah mimpi bisa mendapatkan seorang pangeran." Celetuk Aruna mengingatkan Shanti tentang posisi dan status mereka saat ini. Lagipula mana ada pangeran yang mau dengan upik abu seperti mereka ini.

Dan Shanti malah memasang kembali wajah cemberutnya. Tapi, apa yang di katakan Aruna itu ada benarnya juga.

****

Sementara itu di ruang direktur. Situasi tampak sedikit menegang.

''Jadi dia belum datang?'' Pak Danu terkaget saat mendengar seseorang yang dimintanya datang ke kantor hari ini malah mengabaikan perintahnya. Tampak ada kecemasan yang sangat dari raut wajahnya saat ini.

''Iya Pak. Dari tadi saya sedang menunggu kedatangannya. Tapi dia belum juga datang. Saya pikir dia akan datang bersama Pak Danu." Jawab Bu Diana.

''Bram ... Kamu kemana?'' Gumam Pak Danu lirih. Memanggil putranya.

Raut wajah pak Danu pun seketika berubah. Ada kesedihan yang nampak dari raut wajah pria paruh baya itu. Putra tercintanya sudah dua tahun pergi dari rumah semenjak kepergian ibundanya tercinta untuk selama lamanya.

Sejak saat itu Bram tidak pernah lagi pulang ke rumah meski hanya untuk menjenguk ayahnya. Baru beberapa hari yang lalu Pak Danu mengetahui kabarnya dari Dicko dan memintanya untuk datang menemuinya di kantor. Dan dari Dicko pula dia tahu kalau Bram sudah menyelesaikan kuliahnya saat ini.

Bahkan dia sama sekali tidak tahu bagaimana Bram membiayai hidupnya sendiri. Karena Bram mengembalikan semua fasilitas darinya. Bram bahkan memutuskan pindah kuliah dan tidak memberitahu ayahnya kemana dia pindah. Mereka benar benar telah kehilangan komunikasi. Selama dua tahun ini pak Danu terus mencari keberadaan Bram hingga membuatnya jatuh sakit.

Dicko Adiguna, pria tampan yang datang bersama pak Danu. Dicko adalah pria yang dingin, dan sulit di tebak. Bermuka datar karena jarang di wajah tampannya itu terukir sebuah senyuman. Sejak kecil dia sudah tinggal dengan pak Danu karena sejak kecil dia sudah menjadi yatim piatu. Orang orang mengenalnya sebagai saudara sepupunya Bram.

''Tidak usah khawatir Om, aku yakin dia pasti datang. Kalau Om mau aku bisa bawa dia menemui om. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan Om dulu. Masalah Bram, biar aku saja yang urus." Kata Dicko menimpali. Dia khawatir dengan kondisi kesehatan Pak Danu yang belum pulih betul saat ini.

''Iya benar itu pak. Yang paling penting sekarang itu adalah kesehatan bapak. Kan ada Pak Dicko,untuk sementara gimana kalau Pak Dicko saja dulu yang menggantikan bapak. Pak Dicko ini kan sudah berpengalaman dan sudah dua tahun bekerja dengan kita," kata Bu Diana menambahkan.

''Ya sudah... Dicko, untuk sementara tolong kamu gantikan Om. Soal Bram, nanti kalau kamu ada waktu tolong kamu temui dia. Kasih tau kalau Om lagi sakit dan Om ingin sekali bertemu dengannya.''

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu.

''Masuk." Seru Pak Danu mempersilahkan.

Seseorang membuka pintunya dengan perlahan. Saat pintu terbuka, tampak Shanti datang dengan nampan berisi secangkir kopi yang di minta Bu Diana. Wajahnya pun tampak sumringah dan jadi salah tingkah saat tatapannya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Dicko.

''Permisi pak, saya membawakan kopi pesanan Bapak." Kata Shanti malu - malu sembari berjalan menghampiri dan meletakkan kopi itu di meja setelah dipersilahkan. Sesekali dia terlihat mencuri pandang kearah Dicko.

''Terima kasih'' kata pak Danu.

''Kenapa malah kamu yang bawa, kan tadi saya minta Jaka yang bawa. Mana Jaka, kenapa bukan dia yang bikin kopinya.''

Sesuai perkiraan Jaka tentunya, ibu ibu gendut ini sudah pasti akan menjelma menjadi seekor singa lapar. Seperti yang tampak sekarang ini. Dia mulai mengeluarkan omelan pamungkasnya.

''Emm ... Anu Bu, itu, tiba tiba saja perutnya Jaka sakit Bu. Jadi dia meminta saya yang membawakan kopinya. Tapi kopi itu jaka yang bikin kok, Bu." Jawab Shanti tergagap.

Untung saja Jaka mendadak sakit perut. Akhirnya Shanti jadi punya kesempatan untuk melihat Dicko dari dekat. Sang pangeran impiannya.

''Ya sudah, cepat keluar dan kembali bekerja." Bu Diana tegas.

''Baik bu. Saya permisi dulu." Detik itu juga Shanti mendadak lesu dan tak bertenaga.

Shanti pun segera meninggalkan ruangan itu dengan wajah cemberut. Pupus sudah harapannya ingin melihat Dicko sedikit lebih lama. Akh, ibu-ibu gendut itu begitu tega. Padahal dia hanya ingin melihatnya saja dari jauh. Pangeran impiannya itu.

...----------------...

-Bersambung-

CUA Bab 3

Jam 04.30 sore Aruna baru pulang kerumahnya. Hari pertama kerja cukup melelahkan baginya. Berbeda dari pekerjaannya di cafe sebagai waiters, pekerjaannya kali ini cukup menguras tenaganya. Untung saja dia sudah terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini dirumahnya.

Sejak kedua orang tuanya meninggal, Aruna dan Alika adiknya, tinggal di rumah pamannya. Rumah peninggalan orangtuanya terpaksa dijual untuk melunasi hutang orangtuanya yang menumpuk semasa mereka masih hidup.

Sejak saat itu Aruna terpaksa berhenti kuliah dan memilih mencari pekerjaan demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk membiayai sekolah adiknya. Untung saja pamannya berbaik hati mau menampung mereka dirumahnya.

''Kenapa jam segini baru pulang?'' seru seseorang saat Aruna hendak masuk ke kamarnya.

Teddy, si pria sok tahu. Dia adalah saudara sepupu Aruna. Dari dialah Aruna tahu kalau TRF membuka lowongan pekerjaan. Teddy orangnya cukup baik, itupun kalau lagi ada maunya. Tentu saja dia membantu Aruna mendapatkan pekerjaan di TRF tidak dengan cuma cuma, itu ada imbalannya. Dia meminta Aruna membelikannya jam tangan bermerek .

''Masih ingat dengan perjanjian kita kan?'' Tanya Teddy. Seakan perjanjian di antara mereka itu sangat penting.

''Iya, masih ingat kok." Jawab Aruna datar.

''Atau sepatu yang kamu simpan itu buat aku saja Run. Yaaa ... Daripada nanti gaji kamu tidak akan cukup untuk kebutuhan kamu. Kan lumayan, uangnya nanti bisa kamu tabung.''

''Kita lihat aja nanti Kak Teddy." Kemudian bergegas masuk ke kamarnya.

****

Sepasang sepatu putih yang sudah dua tahun lamanya menghiasi rak sepatu Aruna itu entah siapa pemiliknya. Meski sampai saat ini Aruna tidak tahu siapa pemiliknya tapi dia masih menyimpannya dengan rapi dan sering membersihkannya agar sepatu itu tidak rusak sampai dia bisa mengembalikan sepatu itu pada pemiliknya nanti.

Sepatu seperti itu mungkin banyak dijual dipasaran. Tapi sepatu itu terlihat berbeda, karena ada inisial nama pemiliknya. ''A'' adalah inisial nama yang tertera di sepatu itu. Mungkin sepatu itu dipesan khusus oleh seseorang yang spesial.

''Dijual saja Kak sepatunya. Mungkin pemiliknya sudah tidak butuh lagi,'' ucap Alika saat melihat Aruna tengah memperhatikan sepatu itu.

Kedatangan Alika seketika membuyarkan lamunannya. Aruna pun langsung mengalihkan pandangannya pada Alika.

Alika menghempaskan tubuhnya di ranjang dan menghela nafas panjang. Dia tampak lelah. Setiap pulang sekolah Alika menggantikan tante Novi menjaga warung sembakonya. Malamnya adalah giliran Aruna yang menjaga warung. Begitu setiap hari. Seakan mereka tidak diberi kesempatan untuk istirahat.

''Siapa yang jagain warung? Nanti Tante Novi marah loh." Cemas Aruna.

''Ada om Heru kok. Om Heru sendiri yang suruh aku pulang." Ucap Alika kemudian membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Aruna kini mengalihkan pandangannya kembali pada sepatu itu.

''Dijual saja Kak, lagipula sudah dua tahun loh Kak. Tidak mungkin kan pemiliknya tiba-tiba saja datang dan minta sepatunya dikembalikan. Lebih baik dijual saja, toh sepatunya juga tidak muat di kaki Kak Runa." Kata Alika menyarankan.

Entah siapa pula pemilik sepatu itu. Dia hanya heran pada kakaknya. Sudah dua tahun berlalu, tapi dia masih saja berharap menemukan sang Cinderella Prince yang meninggalkan sepasang sepatunya itu.

''Yah siapa tahu. Suatu hari kakak akan bertemu dengannya."

Aruna berharap bisa mengembalikan sepatu itu pada pemiliknya nanti. Dia bahkan belum sempat mengucapkan kata terima kasih atas bantuan pemilik sepatu itu. Terkadang rasanya konyol berharap bertemu dengan orang yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali.

Flashback on

Dua tahun sebelumnya.

Malam itu Aruna baru pulang dari rumah temannya setelah menyelesaikan tugas kelompok. Dia hendak membersihkan tubuhnya dari keringat yang terasa lengket malam itu saat tiba-tiba telfonnya berdering.

''Halo?'' sapa Aruna dengan perasaan yang mendadak gelisah, seolah akan terjadi sesuatu.

''Apa?'' Pekik Aruna seketika dengan air mata yang mulai bercucuran membasahi wajahnya.

Bagai disambar petir malam itu, seketika perasaan Aruna pun hancur. Isak tangisnya pecah saat itu juga. Semakin lama semakin meraung - raung. Hingga terdengar pilu dan menyayat hati.

Pihak rumah sakit menelfon nya malam itu dan mengabarkan kalau orang tuanya mengalami kecelakaan mobil dan keadaannya sedang kritis saat itu. Mendengar kabar itu Aruna pun bergegas ke rumah sakit.

Dengan perasaan yang hancur dan air mata yang terus mengalir, Aruna berlari sekuat tenaganya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Aruna hanya bisa menangis tersedu sedu. Kenapa begitu cepat ayah dan ibunya pergi. Bagaimana dia akan menjalani hidupnya nanti.

Aruna kini menghentikan langkahnya. Nafasnya terengah-engah. Perlahan dia pun kembali melanjutkan langkahnya dengan tertatih - tatih. Kakinya begitu sakit karena dia berlari tanpa menggunakan alas kaki. Saking terkejutnya mendengar kabar itu, hingga dia pun lupa mengenakan alas kaki. Bahkan saat itu dia tidak punya uang sepeserpun.

Karena merasa lelah, Aruna memutuskan beristirahat sebentar sembari duduk di trotoar jalan sambil memijat kakinya yang terasa pegal.

Tiba - tiba saja seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Seseorang itu terlihat sedang mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.

Orang itu mengambil sepasang sepatu putih dari kotak kardus yang dia keluarkan dari ranselnya. Dengan sopan dia memakaikan sendiri sepatu itu di kaki Aruna tanpa meminta ijin Aruna terlebih dahulu. Indera penciuman Aruna saja bisa menebak kalau sepatu itu masih baru.

''Maaf, kamu siapa?'' tanya Aruna canggung sambil mencoba mengintip wajah orang itu dibalik topi hitamnya.

''Kamu mau kemana?'' tanya orang itu sembari memakaikan sepatu yang sebelahnya lagi.

''Rumah sakit.''

Tanpa bertanya apa - apa lagi, dengan sopan orang itu membatu Aruna berdiri dan berjalan kearah taksi yang sedang menunggu. Aruna Pun langsung masuk kedalam taksi itu tanpa berpikir panjang lagi.

Saat itu yang terpenting baginya adalah kondisi orangtuanya yang tengah dalam keadaan kritis. Kekhawatirannya membuatnya tidak bisa berpikir apa - apa lagi. Tidak tahu apa yang harus Aruna perbuat saat itu. Jika terjadi sesuatu pada orangtuanya, bagaimana nasibnya dan Alika nanti.

''Antar dia ke rumah sakit ya pak,'' ujar orang itu sambil menyodorkan selembar uang seratus ribuan pada sopir, lalu menutup kembali pintu taksi itu kemudian.

Aruna terkejut melihat orang itu tidak ikut naik taksi bersamanya. Padahal taksi itu adalah taksi yang ditumpanginya tadi. Aruna bahkan tidak mengenal orang itu. Tapi satu hal yang pasti, orang itu adalah orang yang baik.

.

Sesampainya di rumah sakit Aruna langsung melangkahkan kakinya cepat menuju IGD. Dia melihat Alika sedang ditemani Shanti. Adiknya itu tengah menangis tersedu - sedu dalam dekapan Shanti.

''Alika." Panggil Aruna sembari berjalan menghampiri.

Melihat Aruna datang, Alika pun langsung menghambur ke dalam pelukan kakaknya dengan erat sambil terus menangis.

''Ayah dan Ibu Kak, kata dokter mereka harus segera dioperasi." Kata Alika di sela isak tangisnya.

''Yang kuat ya Run, sabar." Shanti mencoba menguatkan sahabatnya itu. Yang baru saja di landa musibah.

Mereka bertiga berpelukan saling menguatkan. Tak lama kemudian dokter yang menangani pun keluar dari ruangan itu.

''Bagaimana keadaan orang tua saya dok?'' tanya Aruna cemas.

''Mereka harus segera dioperasi." Sahut dokter itu singkat.

''Tolong lakukan yang terbaik untuk orang tua saya dok.''

''Saya akan berusaha semampu saya. Tapi tolong kalian selesaikan dulu administrasinya.''

*****

"Apa?"

Aruna sangat terkejut begitu tahu berapa banyak biaya yang harus dia keluarkan untuk operasi orangtuanya saat itu yang begitu besar. Darimana dia akan mendapatkan uang sebanyak itu.

''Maaf dek, tapi biaya operasinya sudah dilunasi. Baru saja dilunasi begitu adek kemari." Kata resepsionis yang bertugas malam itu.

''Sudah dilunasi? Tapi, siapa yang melunasinya Sus?'' Siapa gerangan orang yang telah berbaik hati mau melunasi biaya operasi orangtuanya yang begitu besar.

''Orang itu, katanya dia kerabat kamu." Suster itu menunjuk kearah seorang laki-laki yang berjalan tergesa-gesa meninggalkan rumah sakit. Seorang laki-laki dengan topi hitam dan ransel di punggungnya.

Laki-laki itu adalah orang yang telah membantu Aruna di jalan tadi. Pemilik sepasang sepatu putih itu.

''Tunggu." Panggil Aruna kencang sambil berlari mengejarnya. Namun begitu cepat laki-laki itu menghilang dari pandangannya. Sampai akhirnya Aruna hanya melihat bayangan orang itu dari balik jendela mobil yang melintas didepannya saat itu.

Flashback off

*

*

*

Bersambung...........

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!