NovelToon NovelToon

Mencintai Bodyguard Saleha

Mimpi

"Hari ini kau tidak akan selamat dari ku. Jika kau tiada, aku akan menguburmu." Ujar laki-laki separuh baya itu. Matanya di penuhi kabut amarah. Sementara istrinya tersenyum menyaksikan kekejaman suaminya yang memukuli gadis kecil itu tanpa ampun.

"Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Tolong, lepaskan aku." Gadis kecil itu memohon dengan derai air mata yang tak dapat ia tahan. Pakaian lusuh yang ia kenakan sejak tiga hari yang lalu meninggalkan noda merah bekas darah di beberapa bagian. Bukannya merasa kasihan, laki-laki paruh baya itu semakin bersemangat memukuli gadis kecil itu, kenapa ia terlahir sebagai manusia? Pria baruh baya itu cocoknya menjadi hewan buas saja.

Apa Tuhan tidak menitipkan belas kasih di hati terdalamnya? Kenapa istrinya merasa bangga menyaksikan kekejaman yang di lakukan suaminya? Tak bisakah ia menghentikan aktivitas makannya hanya untuk mengatakan "Hentikan suamiku. Dia masih kecil. Dia pasti sangat kesakitan."

Eeekkkk!

Suara sendawa perempuan kejam itu memenuhi langit-langit rumah sederhananya, seolah dunia berputar hanya di bawah kakinya.

Lima menit kemudian.

"Hentikan suamiku, dia akan tiada. Apa kau mau pohon uang kita mati bersamanya?" Celoteh perempuan yang tak kalah sadis dari suaminya itu.

"Kali ini aku memaafkanmu. Jika besok kau tidak dapat apa-apa dari hasil meminta-minta, jangan salahkan aku, Malaikat maut akan menjemputmu atas perintahku." Ucap lelaki paruh baya itu sembari melempar cambuknya kelantai.

Pasangan sadis itu meninggalkan gadis kecil itu di ruang kecil yang tak layak di tempati manusia. Untuk menangis, gadis kecil itu sudah tidak sanggup lagi. Tubuhnya masih di penuhi memar-memar yang belum sembuh, tapi hari ini pria kejam itu kembali memukulinya secara membabi buta.

"Allah... apa aku akan tiada?" Ucap anak manis itu sambil menghapus sudut mata dengan punggung tangannya.

"Tolong, selamatkan aku!" Rintih gadis kecil itu sambil mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Ia duduk sambil menyandarkan tubuh kecilnya pada dinding yang terbuat dari papan yang sudah lapuk di makan usia. Mata sayunya memandang langit yang mulai menggelap.

Di luar terlihat mendung.

"ALLAH... BANTU AKU PERGI DARI NERAKA INI!" Pinta gadis kecil itu, ia berusaha menahan sakit yang menjalar di sekujur tubuh lemahnya.

Duar!

Suara guntur menggelegar, seakan mewakili kesedihan gadis kecil itu. Hujan pun mulai turun, sangat deras.

"Langit, apa kau sedang menangis bersamaku? Aku sakit! Sangat sakit, tapi aku tidak akan menangis lagi." Celoteh gadis kecil itu mencoba menguatkan diri, ia menghapus sudut mata dengan punggung tangannya.

Hujan tak kunjung reda. Gadis kecil itu memberanikan diri melangkahkan kaki meninggalkan karpet lusuh tak layak pakai itu. Ia memandang kekanan dan kekiri berharap orang tua adopsinya tidak tahu ia akan meninggalkan rumah penuh derita itu. Perlahan gadis itu mengendap-endap seperti pencuri kecil yang takut tertangkap sang empunya rumah. Dan benar saja, ketika gadis itu akan keluar dari gerbang besi, tiba-tiba wanita separuh baya itu berteriak.

"Siapa di sana?"

Tubuh gadis kecil itu menggigil. Perasaan takut apa bila wanita kejam itu melihatnya meninggalkan rumah memenuhi lubuk hati terdalamnya. Hampir saja ia pingsan karena ketakutan.

Merasa tak ada siapapun, wanita itu beranjak dari tempat berdirinya sambil membawa jamu kuat khas Jawa Timur yang ia pesan secara Online minggu lalu, khusus untuk suami kejamnya.

"Allah... selamatkan aku." Lirih gadis kecil itu berkali-kali, ia mulai berjalan menembus dinginnya terpaan hujan.

Sementara itu di tempat berbeda, tepatnya di kediaman Dinata. Tampak keluarga harmonis itu sedang makan dengan lahapnya. Tidak ada percakapan apapun di meja makan kecuali suara sendok dan garpu yang saling bersahutan.

Setelah makan malam, keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri, seorang putra dan seorang putri itu beranjak menuju ruang keluarga. Berbincang sambil menonton Televisi di sana.

"Shawn kita juara kelas lagi, Ma. Papa benar-benar bangga padanya." Senyum merekah keluar dari bibir Bu Hanum setelah mendengar ucapan penuh semangat dari suaminya.

"Tentu saja, Pa. Dia putra kebanggaan kita. Lihat saja nanti, namanya akan di kenal di seluruh seantaro Kota." Ucap Bu Hanum dengan senyuman lebarnya. Shawn yang sedang di bicarakan hanya terdiam, sesekali ia menoleh kearah Mama dan Papanya yang masih tertawa cekikikan.

"Ma. Pa. Shawn pamit kekamar." Bocah pintar itu meminta izin sambil memandang kedua orang tuanya.

Dan dari jarak puluhan kilo meter kediaman Dinata, nampak seorang gadis kecil berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Tubuhnya masih menggigil. Sepersekian detik kemudian tubuh kecil itu tumbang di bawah gerbang besi berwarna hijau, napasnya terdengar berat.

"Allah... jika ini akhir hidupku, aku mohon satukan aku dengan Ayah dan Ibu. Di Surga yang sama tempat kekasih mu berada, Muhammad." Lirih gadis kecil itu sebelum ia benar-benar menutup mata.

Hiks.Hiks.Hiks.

"Jangan pukul aku. Sakit. Sakit."

Suara tangis di sertai rintihan menahan langkah Bu Rahayu. Ia segera berjalan menuju kamar di samping Musalla kecil tempat anak-anak biasa belajar Al-Quran.

"Ndok, bangun." Bu Rahayu menepuk pelan tubuh putri kesayangannya. Perlahan, mata gadis itu mulai terbuka lebar. Bu Rahayu menghapus air mata gadis itu dengan tangan lembutnya. Sungguh, wanita paruh baya itu terlihat menahan kesedihan di balik senyuman yang coba ia paksakan.

"Ibu. Hiks.Hiks." Gadis itu memeluk tubuh Bu Rahayu, biasanya ia tidak pernah menangis di depan siapa pun.

"Apa mimpi buruk itu kembali mengganggumu?" Tanya Bu Rahayu pelan. Gadis itu mengangguk tanpa bisa berkata apa-apa.

"Itu hanya mimpi. Bangunkan adik-adik mu, ambil Wudhu lalu kita Shalat Subuh berjama'ah." Pinta Bu Rahayu, beliau kembali mengusap mata putri kesayangannya yang masih berair.

Setelah shalat subuh dan sarapan. Waktunya anak-anak berangkat sekolah. Di ruang tengah, tiga anak SMP dan lima anak usia sekolah dasar berkumpul. Ada yang sedang memakai sepatu, ada juga yang sedang merapikan seragam dan tas sekolahnya.

"Kak, cepat." Ucap salah satu dari mereka.

"Tunggu sebentar. Kakak sedang merapikan jilbab." Ucap seseorang dari dalam kamar. Satu menit kemudian, seorang gadis berwajah ayu keluar dari balik daun pintu. Ia terlihat bahagia. Padahal pagi tadi ia masih menangis dalam tidurnya.

"Bu, doakan Raina agar Raina segera dapat pekerjaan." Ucap gadis itu sambil mencium punggung tangan Bu Rahayu. Bu Rahayu mengangguk sambil membelai wajah Raina dengan penuh kasih sayang. Tidak terasa air mata mulai menetes dari sudut matanya. Melihat ibunya sedih, Raina hanya bisa memberikan pelukan hangat.

Tak ingin larut dalam kesedihan panjang, Raina meminta adik-adiknya segera bersalaman. Berangkat sekolah, meninggalkan Panti tempat mereka di besarkan dengan penuh kasih sayang.

"Mbak Yu kenapa?" Tanya seseorang dari belakang punggung Bu Rahayu.

"Apa ini tentang Raina? Apa mimpi buruk itu masih mengganggunya?"

Bu Rahayu menghela nafas kasar sambil duduk di kursi rotan, pertanyaan adik perempuannya kembali mengingatkannya pada kejadian pagi tadi.

"Saya tidak menyalahkan Raina, wajar anak itu masih trauma. Peristiwa buruk yang terjadi di masa kecilnya benar-benar menakutkan. Entah Iblis seperti apa yang menyakiti tubuhnya separah itu. Jika Tuhan mempertemukan saya dengan makhluk jahat itu, tak jitak kepalanya sampai puas." Gerutu Bu Romlah kesal.

Bu Rahayu pun belum bisa melupakan kejadian dua puluh tahun silam, kejadian ketika ia pertama kali menemukan Raina dengan luka yang hampir merenggut nyawanya.

...***...

Kemarahan Shawn

Raina berdiri di depan gedung berlantai dua puluh lima. Matanya melotot takjub memandang keindahan mahakarya Manusia. Ia mempercepat langkah kakinya, berjalan menuju meja Resepsionis yang di jaga oleh dua gadis cantik. Kedua wanita muda itu menyapa setiap tamu dengan senyuman ramahnya. Sesekali mereka bermain dengan ponselnya jika tidak ada tamu yang datang.

Belum sempat Raina mengajukan pertanyaan, wanita berambut sebahu itu menyapanya dengan senyuman, ia menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Apa Nona datang untuk melamar pekerjaan?" Resepsionis itu menebak asal setelah menatap amplop coklat yang ada dalam genggaman Raina.

"Maaf. Untuk saat ini, kami tidak membuka lowongan pekerjaan baru. Anda bisa mencobanya di lain waktu." Ucap Resepsionis itu lagi sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.

"Iya, saya mengerti. Terima kasih." Balas Raina cepat. Mengetahui tidak ada harapan, ia berjalan meninggalkan gedung berlantai dua puluh lima itu dengan wajah merunduk menahan kesedihan. Ada rasa kecewa yang hinggap di hatinya, namun ia berusaha untuk tetap tegar demi keluarganya. Dan tanpa Raina sadari, sepasang mata sedang mengawasinya sejak ia tiba sampai ia keluar dari dalam gedung.

"Neng cantik kenapa?" Tanya seseorang menghentikan langkah Raina.

Raina menoleh kearah sumber suara. Ia melihat kesamping kiri dan kanan. Tidak ada siapapun di sana. "Saya?" Raina bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Lawan bicaranya mengangguk pelan.

"Neng cantik mau melamar pekerjaan di kantor ini?"

Raina balas mengangguk pelan.

"Sayang sekali, Neng cantik terlambat. Penerimaan karyawan baru sudah di tutup sejak kemarin." Ucap Sekuriti itu memberi kabar buruknya. Iya, bagi Raina itu hanya kabar buruk.

"Assalamu'alaikum." Tutup Raina pelan, ia berbalik, berniat meninggalkan Sekuriti itu. Wajah lesunya mewakili perasaannya.

"Wa'a..." Belum sempat menjawab salam, kening Sekuriti itu berkerut, ia mencoba mengingat sesuatu yang menurutnya penting.

"Tunggu sebentar."

"Ada apa Pak?" Tanya Raina sembari menghentikan langkahnya, ia berbalik, kembali menatap pria paruh baya di depannya.

"Neng cantik beneran mau kerja?"

Raina mengangguk.

"Saya sangat butuh pekerjaan. Kerja apa aja terserah, yang penting halal." Jawab Raina memasang wajah serius.

"Di sini masih ada lowongan! Tapi, yang tersisa hanya lowongan untuk Bodyguard. Bodyguard khusus untuk Pak Bos yang punya kantor ini." Sekuriti itu menjelaskan sambil menyodorkan selembar kertas yang berisi info lowongan yang tersisa.

Raina tersenyum, ia merasa lega. Setidaknya masih ada rasa Syukur di hatinya karena Tuhan menyisakan satu lowongan pekerjaan untuknya.

Jadi bodyguard juga pekerjaan. Lirih Raina dalam hatinya.

"Apa yang harus saya lakukan agar pekerjaan ini mutlak milik saya?" Tanya Raina penuh semangat.

"Surat lamaran yang Neng cantik bawa, tinggalkan saja di sini. Kalau Neng cantik tidak mendapatkan panggilan sampai besok sore. Berarti pekerjaan itu bukan rizki Neng catik." Jawab Sekuriti itu menegaskan.

"Saya mengerti. Saya pamit. Assalamu'alaikum." Ucap Raina menutup perbincangan. Saking senangnya, Raina sampai lupa memperkenalkan diri.

Sekuriti itu masih menatap Raina dengan tatapan heran. Ia tidak menyangka gadis berjilbab yang ia ajak bicara akan sebahagia itu walau menjadi seorang Bodyguard.

Lima menit sejak kepergian Raina, dua mobil mewah memasuki halaman kantor. Terlihat beberapa staf dan pemegang saham keluar hanya untuk menyambut kedatangannya.

"Enaknya jadi Bos. Baru datang langsung di sambut. Tapi, dari pada jadi Bos galak kayak Pak Shawn yang ganasnya minta ampun, mending saya jadi Sekuriti aja. Gusti. Gusti, sebenarnya saya ini ngomong opo to?" Ucap Sekuriti paruh baya itu sambil menepuk jidatnya.

"Pak Halil." Panggil seseorang. Panggilan itu sontak mengagetkan Sekuriti bertubuh gembul itu.

"Mas Robin. Ada apa Mas?"

Semua orang tahu Robin adalah Sekertaris hebat dan baik hati. Kepribadian Shawn yang dingin dan jutek tidak bisa membuat Robin berpaling darinya. Bersahabat sejak SMA tidak membuat Shawn bersikap lunak padanya. Bagi Shawn, yang salah tetap salah dan harus di tindak

"Pak Halil, saya ingin melihat berkas kandidat yang melamar menjadi Bodyguard Pak Bos?"

"Sesuai permintaan Mas Robin, sepuluh orang sudah menyerahkan berkas lamaran. Mas Robin tinggal pilih, kira-kira siapa yang paling cocok."

"Terima kasih, Pak."

"Oo iya, Mas. Di antara semua pelamar yang datang, salah satunya seorang wanita. Orangnya cantik dan juga baik!" Pak Halil mengabarkan beritanya, seandainya Robin datang lebih cepat ia pasti bisa bertemu dengan sosok yang di maksud pak Halil.

Robin sendiri terkejut mendengar penuturan Pak Halil, ia menatap pria paruh baya itu dengan tatapan tak percaya.

"Wanita? Itu terlalu berat untuknya. Menghadapi Shawn tidak akan mudah." Menghadapi Bos sekaligus sahabatnya itu akan menjadi batu sandungan menakutkan, entah gadis tidak beruntung mana yang melamar menjadi Bodyguard Bos jutek.

...***...

Waktu menunjukan pukul 17.30

Raina bersiap memasuki Musalla yang sengaja dibuat di dalam rumah. Mengajar adik-adik panti mengaji adalah kebahagian yang luar biasa bagi Raina

Iqra' bismi Rabbikal ladzii khalaq

Khalaqal insaana min 'alaq

Iqra' wa Rabbukal akram

Alladzii allama bil qalam

Allamal insaana maa lam ya'lam.

bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah.

Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam.

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Raina mengulang bacaan surah Al-alaq kemudian diikuti oleh adik-adiknya.

"Manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah, dan sebaik-baik Manusia adalah yang paling baik Akhlaknya. Kakak berharap kalian tumbuh menjadi anak-anak yang Shalih dan Shaleha. Allah yang telah menciptakan kita, dan hanya kepada Allah kita akan kembali. Jangan sampai kesombongan memenuhi hati, Allah tidak suka pada Manusia yang berbuat kerusakan." Adik-adik panti menyimak penuturan Raina dengan Khusuk. Tidak ada yang bermain.

Tersisa lima menit sebelum Adzan Maghrib berkumandang. Sekali lagi Raina dan adik-adiknya mengulang membaca surah Al-Alaq, dan benar saja Adzan Maghrib mulai berkumandang di seluruh seantaro Kota.

Setelah Solat Isya, Raina kembali kekamarnya. Sejak siang ia menunggu panggilan, sayangnya panggilan yang ia nantikan tak kunjung tiba. Raina menghela nafas kasar.

"Sepertinya aku tidak di takdirkan untuk pekerjaan itu." Lirih Raina pelan, ketika ia akan berbaring, tiba-tiba ponselnya berdering. Melihat nomor asing membuat Raina bersemangat.

"Assalamu'alaikum. Benarkah! Baik Pak. Baik Pak. Besok saya akan datang tepat waktu, terima kasih."

Tut.Tut.Tut.

Orang di sebrang sana mematikan ponselnya tanpa mengucapkan Salam. Meskipun begitu Raina tetap bersemangat. Tak sabar menunggu hari esok

...***...

Jam sembilan tepat Shawn menerima profil Bodyguard barunya. Siang ini mereka akan bertemu. Perlahan Shawn mulai membaca profil Bodyguard barunya. Calon pertama Shawn memicingkan mata, kemudian melempar dokumen yang baru ia baca kesembarang arah.

"Sebenarnya, ada wanita yang melamar menjadi Bodyguard baru untuk mu." Ucap Robin memecah keheningan. Shawn mulai melirik Robin dengan tatapan tajam.

"Apa kau pikir aku pecundang yang membutuhkan perlindungan wanita?" Tanya Shawn kesal. Robin hanya bisa menelan saliva. Ia merasa sedikit tegang.

"Berani sekali kau menjadikan wanita sebagai Bodyguard ku? Pecat dia sebelum matahari terbenam. Jika tidak, kau akan tahu betapa menakutkannya diriku." Bentak Shawn kasar.

Dengan tegas Shawn meminta Robin meninggalkannya sendirian. Robin keluar dari kantor Shawn tanpa berucap sepatah katapun.

Prang!

Terdengar bunyi pecahan kaca cukup keras. Robin tahu sahabatnya itu pasti bersedih. Bisa saja saat ini ia sedang memikirkan masa lalunya, sosok yang membuatnya bahagia dan sosok yang sekaligis membuatnya sangat menderita.

"Aku membencimu Angel. Aku sangat membencimu. Aku tahu kau pasti sedang bersenang-senang di suatu tempat. Jadi, aku memperingatkanmu, jangan pernah mucul dihadapanku!" Gerutu Robin kesal sambil berjalan menuju kantor sekertaris, kantor yang berada tepat di samping kantor Shawn.

...***...

Uji Nyali

Raina berlari sambil merapikan kain hitam yang ia gunakan untuk menutupi kepalanya. Sedikit berantakan, maklum saja Abang ojolnya terlalu ngebut sesuai dengan permintaan Raina yang terus-menerus mengeluh terlambat.

Raina menarik nafas kemudian pelan menghembuskannya kasar dari bibir. Lagi-lagi sepasang mata memperhatikannya dari pos keamanan.

"Neng cantik datang lagi?"

"Bapak, iya Pak. Saya di minta datang pagi ini."

"Sepertinya menjadi Bodyguard Pak Bos tidak akan mudah untuk Neng cantik." Ucap sekuriti bertubuh gembul itu.

"Memangnya kenapa Pak?" Wajah penasaran Raina seolah mengusik ketenangan Pak Halil.

Kemarahan Shawn pada Robin menjadi lampu merah bagi semua karyawan perusahaan. Kemarahan Pak Bos berarti bencana bagi semua orang.

"Apa Neng cantik tidak mau mundur dari pekerjaan ini? Cari yang lain maksut Bapak."

"Wah, nggak bisa Pak." Balas Raina dengan keyakinan penuh.

"Ya sudah. Nanti di dalam Neng harus pastikan kalo Neng yang terbaik."

Harus memastikan menjadi yang terbaik? Ucapan Sekuriti itu berhasil membuat dada Raina berdebar tak karuan. Rasa senang dan takut melebur menjadi satu. Sementara itu di Lobi telah duduk seorang lelaki berbadan tegap sembari menantikan kedatangannya.

"Apa anda Nona Raina?" Tanya pria itu dengan wajah penasaran. Raina menganggukkan kepala pelan.

"Siapa?" Raina balas bertanya. Sayangnya, lelaki di depannya sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.

"Ikuti saya." Ucap lelaki itu dengan tatapan tajamnya.

Hay! Kemana kau akan membawaku? Aku baru di sini. Kau tidak bisa memerintah ku semaumu. Ingin sekali Raina berkata seperti itu, namun bibirnya seolah terkunci rapat.

Kini Raina dan lelaki itu berada di ruangan yang cukup besar. Di dalamnya terdapat alat-alat olahraga. Dan yang paling menyita perhatian Raina, di dalamnya terdapat tiga pria kekar dengan pakaian pelindung lengkap.

Apa aku akan di adu dengan pria-pria ini? Lirih Raina dalam hatinya, nyalinya tiba-tiba ciut.

"Nona sendirian! Walau Bos besar marah dan menolak keputusanku, aku berjanji padamu. Jika kau berhasil menang melawan Bodyguard pilihanku, maka kau berhak menjadi Bodyguard Bos besar dan bekerja bersama mereka." Ucap Robin sambil menunjuk salah satu Bodyguard yang berdiri di samping kanannya.

Ya Allah, selamatkan aku. Lirih Raina dalam hatinya. Entah kapan terakhir kali Raina berduel, ia sendiri sudah tidak ingat lagi.

Sedetik kemudian.

"Baiklah, jika hanya ini syarat yang anda ajukan." Ucap Raina dengan penuh keyakinan kalau ia pasti akan menang.

Raina memakai baju pelindung yang di lempar secara kasar padanya. Tak perduli seberapa kuat orang itu ia pasti akan meladeninya dengan tangan terbuka.

"Ayo. Sudah lama juga aku tidak berduel." Ucap Raina dengan berani.

Raina sengaja membawa sarung tangan yang biasa ia pakai saat berduel dengan laki-laki.

"Ayo kesini." Perintah lawan Raina yang sudah mengambil posisi tarung berjarak sepuluh meter.

Tak mau tinggal diam Raina menuju kelokasi duel dan langsung memberi ancaman kepada lawannya dengan tendangan Sabit miliknya. Lawannya mundur satu langkah.

"Oh... hooo. Sabar Nona." Ucap laki-laki yang berduel dengan Raina sambil tersenyum mengejek.

Mereka lalu terlibat duel yang cukup berimbang. Kelincahan Raina memang menjadi kekuatan yang tak bisa di pandang remeh. Raina terkadang berhasil mendaratkan pukulan ke bagian depan mengarah ke perut lawannya. Namun tak jarang juga di balas dengan tendangan T milik lawannya yang nyaris mengenai bagian pipi Raina.

Beberapa kali gerakan lelaki itu bisa ditepis, Raina membalikkan keadaan dengan melancarkan pukulan maupun tendangan telak kepada lawannya. Bagi Raina, lelaki ini ingin di hajar sekuat mungkin. Mumpung ada kesempatan, berani sekali ia memandang remeh pada wanita.

Sepuluh menit berlangsung dengan duel ketat tanpa henti. Keringat deras mulai meluncur dari tubuh Raina, bengitu juga dengan lawan duelnya. Terdengar deru nafas mereka yang tak stabil tanda kelelahan.

Sementara itu, Robin menyaksikan duel itu dengan perasaan takjub yang tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata. Sungguh di luar dugaannya, wanita bertubuh semampai sanggup menumbangkan lawannya hanya dengan beberapa langkah saja.

"Mas Robin, sepertinya Nona muda itu akan keluar sebagai pemenangnya. Lihatlah gerakan lincahnya. Rasanya saya sedang menonton flem action." Ucap salah seorang pria yang duduk di samping kiri Robin.

Robin setuju, ia tidak pernah mengalihkan pandangannya sejak duel di mulai.

Tak mau berlama-lama Raina lalu mendaratkan kembali tendangan sabit dengan kaki kanannya. Kali ini, perut lawannya menjadi sasaran. Dengan sigap lelaki itu menahan tendangan Raina, lalu menekuk kaki kiri Raina hingga tersungkur. Raina kalah telak dan terduduk tak berdaya di lokasi mereka berduel. Raina meringis kesakitan. Lawannya tersenyum sambil memandang meremehkan.

Raina bangkit lalu mendaratkan pukulan keras ke ulu hati lawannya yang terlapis sabuk pelindung dan melanjutkannya dengan tendangan ke arah samping kiri badan lawannya.

Uuuugggh!

Lekaki itu meringis kesakitan.

"Cukup." Ucap Robin sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Nona sendirian, kau benar-benar hebat." Sambung Robin lagi sambil tersenyum kearah Raina yang berjarak lima meter darinya.

"Terima kasih, Pak."

"No. No. Jangan panggil Pak. Just Robin!"

Raina tersenyum sambil mengusap pipi perihnya. Ia tidak menyangka akan mendapatkan teman baru di hari pertamanya. Seorang teman yang selalu tersenyum padanya.

"Sepertinya wajahmu harus di kompres dengan es batu. Apa itu sangat perih...?" Robin bertanya karena ia merasa bersalah.

"Sedikit perih. Tapi, tidak apa-apa Pak." Balas Raina cepat.

"Pak lagi? Just Robin."

Raina tersenyum sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Uji nyali hari ini benar-benar melelahkan. Semoga saja besok pagi wajahnya tidak membengkak.

...***...

Kediaman Dinata.

"Daebak. Ma. Pa. Tadi malam Bang Robin cerita katanya Bodyguard Kakak kali ini seorang wanita berhijab. Jago silat." Ucap Yuna penuh semangat. Pak Andi dan Bu Hanum saling tatap tak percaya.

"Beneran, Ma. Tadinya Yuna nggak percaya! Malahan Bang Robin ngirimin Yuna vidio ketika Bodyguard baru Kakak berduel bareng Pak Yanto. Daebak-nya, dia sangat luar biasaaa."

"Apa dia sungguh sehebat itu?" Tanya Pak Andi pada putrinya dengan tatapan kurang yakin.

Mendengar keluarganya sibuk membicarakan kehebatan Bodyguard barunya, Shawn tak bergeming sedikit pun. Ia sibuk mengunyah makanannya tanpa memperdulikan hal yang menurutnya tidak penting.

Sementara Yuna, ia segera menunjukkan vidio yang di kirimkan Robin pada Mama dan Papanya. Tidak hanya Yuna, Pak Andi dan Bu Hanum pun berdecak kagum.

"Kak, kapan-kapan ajak Yuna ketemu Kakak cantik ini ya." Celetuk Yuna tak menghiraukan jika Shawn mulai bosan dengan isi percakapan mereka bertiga.

"Kakak mau pergi kemana? Kenapa nggak libur aja? Inikan pertama kalinya Kakak sarapan di rumah setelah sekian lama."

"Ma. Pa. Shawn pergi dulu." Ucap Shawn tanpa menghiraukan ucapan adik perempuannya.

"Kak Shawn menyebalkan." Teriak Yuna kesal. Yang di teriaki justru melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun.

"Kakak mu itu tidak akan memperdulikan apa pun selain pekerjaannya. Jangan berharap lebih darinya." Ucap Pak Andi menghibur Yuna.

Bu Hanum menghela nafas pasrah. Walau kesal dengan sikap putranya, ia lebih memilih untuk membiarkannya. Shawn pulang sekali dalam sebulan saja sudah membuat Bu Hanum sangat bahagia.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!