Hari minggu yang cerah Vega yang saat itu berusia 10 tahun mengayuh sepeda menyusuri jalan menuju rumah tantenya yang bernama Yasmin. Ia di beri tugas mengantar pisang goreng oleh ibunya untuk di berikan kepada tantenya. Sepanjang jalan senyumnya mengembang, wajahnya cerah ceria secerah mentari pagi.
Vega paling suka berkunjung kerumah tantenya karena ia dapat melihat bunga-bunga yang indah yang di jual di lapak depan rumah tante Yasmin yang dekat dengan jalan raya. Ia sudah hafal betul pasti tantenya akan memberinya bunga untuk di bawa pulang.
"Assalamu'alaikum Pak Umar, Tante Yasmin ada?" tanya Vega kepada salah satu pegawai Yasmin yang sedang merangkai bunga pesanan salah satu perusahaan.
" Wa'alaikumussalam. Ada di dalam Ve," jawab Pak Umar.
Vega pun segera masuk kedalam rumah, mencari dimana tantenya itu berada.
"Tante ini pisang goreng dari Mama," ucap Vega yang menemui Yasmin di dapur. Iapun mencium punggung tangan Yasmin, dan mendapat balasan ciuman di pipi kanan dan kiri nya. Yasmin adalah adik dari Raditya ayah dari Vega.
" Trimakasih sayang, tolong sampaikan ucapan trimakasih untuk mama ya,"
" Iya tante, sama-sama. Vega pamit ya, hari ini ada pertandingan di padepokan,"
" Oke, jagoan tante semoga menang ya, kalau mau bunga ambil saja di depan minta tolong Pak Umar!"
" Oke, Trimakasih,"
Vega segera menemui Pak Umar. Satu buket bunga mawar merah ia letakkan di keranjang depan sepedanya. Ia kembali menyusuri jalan ke kampungnya, yang berjarak kurang lebih satu KM dari rumahnya. Ia harus kembali kerumah mengajak adiknya yang bernama Vania untuk ke tempat latihan.
Jalanan sepi, sisi kanan dan kiri masih terdapat sawah dan beberapa perumahan yang masih proses pembangunan. Karena hari minggu para tukang bangunanpun libur. Tiba-tiba dari arah berlawanan, seorang anak yang lebih dewasa dari Vega berlari kearahnya. Ia di kejar-kejar oleh dua orang laki-laki dewasa. Vegapun jadi bingung, mencari jalan.
Brug!
Anak itu terjatuh begitu juga dengan Vega yang terjatuh dari sepeda, tertabrak oleh anak laki-laki tersebut.
" Auwwh!" Vega merintih kesakitan memegangi sikunya yang terbentur aspal dengan keras.
" Kak kalau main kejar-kejaran hati-hati dong!" ucap vega mengerucutkan bibirnya karena kesal.
" Siapa yang main kejar-kejaran, aku mau di culik," jawab anak laki-laki itu.
" Haaahh!" Vega terkejut.
" Sudah ayo sembunyi!" ajak anak laki-laki itu seraya menarik tangan Vega menuju bangunan di sisi jalan yang belum selesai pembangunannya.
Vegapun mengikutinya, sementara sepedanya tergelatak di tepi jalan begitu saja.
Mereka bersembunyi di balik tembok. Vega merasakan tangan yang gemetaran, ketika anak itu menarik tangannya, dan nafas yang ngos-ngosan menandakan ketakutan yang luar biasa. Wajah tampan, kulit bersih dan pakaian bagus menandakan ia anak orang kaya.
" Kenapa kakak mau di culik?"
" Hust!!" anak laki-laki itu memintanya untuk diam. Ia menyadari bahwa dua orang penculik mendekat kearah tempat persembunyian mereka. Mereka mendengar penculik itu mengumpat dan saling menyalahkan.
" Brengsek!! ini gara-gara kamu," umpat salah satu penculik.
" Maaf Bos, tadi anaknya minta pipis, dari pada pipis di mobil, kamu juga gak mau bantu pegangin"
" Sial, bisa-bisa kepala kita di penggal sama si Bos besar, ayo cari, anak itu pasti bersembunyi di sekitar sini,"
Kedua penculik itupun mulai mencari-cari keberadaan mereka. Mereka masuk ke dalam rumah kosong itu. Lama mereka mencari, namun akhirnya ketemu juga persembunyian mereka. Di sebuah kamar yang masih belum terpasang pintunya.
" Ha ha ha, mau kemana lagi kamu?"
" Ampun jangan culik saya pak," ujar anak laki-laki yang ketakutan itu.
Namun Vega langsung berdiri, memasang kuda-kuda.
"Kalau berani lawan aku," ujar Vega dengan mata yang terbuka lebar.
Kedua laki-laki dewasa itu pun terbahak-bahak, " He anak ingusan, mau coba-coba melawan?"
" Kita bawa sekalian saja bos dua-duanya,"
Kedua penculik mendekat ingin menangkap Vega.
Hiyaa!
Ciyat-ciyat!!
Bught-Bught!
Tendangan dan pukulan mengenai tubuh kedua penculik. Vega bergerak meloncat kesana-kemari sehingga penculik kesulitan menangkapnya.
Anak laki-laki itu hanya terpukau melihat aksi Vega. Ia tak menyangka anak kecil itu berani melawan.
Kekuatan Vega dan kedua lelaki dewasa itu tidak sebanding. Setelah berjuang sekuat tenaga Vegapun tertangkap. Satu lelaki memegang tangannya lalu menggangkat tubuh kecilnya di pundaknya. Vega berusaha memberontak, namun tetap tidak bisa berkutik.
Kedua penjahat itu tertawa puas karena berhasil menangkap Vega. Tinggal satu lagi yang belum mereka tangkap. Kedua penjahat menghampiri anak laki-laki yang tersudut di tembok matanya berkaca-kaca dan gemetaran.
" Lepaskan aku!" pekik Vega.
Namun kedua penjahat tidak menghiraukan dan mendekat kearah remaja laki-laki itu.
"Auuuuuwww!" pekik salah satu penculik.
Penjahat yang menggendong Vega berteriak. Seketika menjatuhkan Vega dari gendongannya. Ia memegang telinganya yang berdarah. Vega merasa orang yang menggendongnya lengah, ia segera menggigit sekuat tenaga.
Ssttt!!
Pyar!!
Vega melempar genggaman pasir kearah mata penculik. Kedua penculik gelagapan karena butir-butir pasir masuk ke dalam matanya.
Nafas berat ngos-ngosan keluar dari mulut dan hidung Vega, ia tak sanggup melawan kekuatan laki-laki dewasa yang lebih besar. Apalagi beberapa pukulan sempat mendarat di bahunya.
" Wah hebat sekali kamu," ucap laki-laki kecil itu dengan senyum mengembang dan berbinar-binar.
" Ayo cepat lari, aku tidak sanggup lagi," ujar Vega.
Sementara penculik masih sibuk dengan matanya yang pedih, dan dua anak kecil itu lari keluar menuju sepedanya.
" Biar aku yang bonceng, kamu tunjukkan jalannya" pinta anak laki-laki itu.
Vegapun duduk di belakang. Vega mengarahkan anak yang di tolongnya itu menuju jalan raya.
" Kita kejalan raya, disana ada pos polisi, semoga masih ada yang berjaga, cepat!!" ujar Vega melihat kedua penculik masih mengejarnya.
" Kamu hebat, bisa bela diri,"
" Harusnya Kakak juga harus bisa bela diri, kalau ada yang berbuat jahat, kakak bisa melawan," jawab Vega.
Anak laki-laki yang sudah duduk di bangku SMP itu menjadi sangat malu. Bagaimana bisa ia malah di tolong anak kecil yang umurnya jauh di bawahnya. Ia tidak berani melawan para penculik. Namun gadis kecil itu bergerak lincah seperti monyet meloncat kesana kemari memberi perlawanan.
Sampailah mereka di pos polisi, beruntung masih ada dua petugas disana.
" Kenapa baju kamu kotor semua, kamu terluka?"
" Ini Om Raka, kakak ini mau di culik, aku nolongin dia," ujar Vega dengan santainya. Raka adalah teman papanya.
" Dimana?" tanya Raka.
" Jalan menuju kampungku,"
Raka segera menghubungi kantor, beberapa polisi menyusuri jalanan mencari orang yang mencurigakan, namun penculik segera kabur ketika melihat polisi.
Raka membawa Vega dan anak laki-laki itu ke kantor polisi. Raka menghubungi Papanya Vega, setelah sampai di kantor polisi. Raditya papa Vega segera datang memeluk Vega, menanyakan bagian tubuh mana yang terluka. Radit mengusap lembut rambut Vega, " Anak Papa hebat, pemberani, aku bangga pada mu sayang,"
" Raka, tolong kamu urus anak itu, tolong sembunyikan identitas anakku, aku tidak mau orang lain tahu siapa yang menolong anak itu,"
" Siap Pak!" jawab Raka.
Vega meminta izin menemui anak laki-laki yang telah di mintai keterangan oleh polisi.
" Trimakasih kamu sudah menolongku, ini jam tanganku sebagai ucapan terima kasih,"
" Sama-sama Kakak,"
Vega menerima jam tangan itu langsung berlari menuju Papanya kembali. Belum sempat anak itu bertanya nama gadis yang ia kagumi itu, ia sudah tidak terlihat.
Tak lama keluarga datang menjemput korban penculikan itu. Perasaan bahagia terlihat dari sorot mata mereka. Polisi menyembunyikan identitas Vega dari keluarga anak tersebut karena alasan keselamatan. Padahal mereka hanya ingin mengucapkan terima kasih.
Sesampainya di rumah, Vega bercerita kronologi sampai ia bisa bertemu dan bertarung dengan para penculik itu. Mama Vega yang bernama Karina mengobati beberapa luka gores dan memar anaknya. Air matanya mengalir, ia tidak bisa membayangkan bagaimana anaknya yang masih kecil bertarung dengan para penculik itu. Ia tidak bisa membatangkan jika Vega tertangkap dan ikut jadi korban penculikan.
Vegapun mengusap air mata mamanya dengan senyum polosnya " Mama jangan menangis, aku kan calon Polwan,"
" Sudah Ma, jangan menangis, anak Papa mulai sekarang harus berhati-hati," ujar Raditya.
Raditya memeluk kedua putrinya dan berkata, " Mau jadi apapun kalian nanti, kalian harus saling menyayangi dan saling menjaga. Vega anak Papa yang paling besar harus bisa menjaga mama dan adik Vani, jika nanti Papa tidak ada,"
Hati Karina bergetar seketika mendengar percakapan bapak dan anak-anaknya itu. "Papa jangan bicara sembarangan, kita akan selamanya bersama."
Bagaimana ia tidak khawatir beberapa hari yang lalu Radit pulang dengan berlumuran darah, setelah penggerebekan terhadap Mafia obat-obatan terlarang. Radit yang memimpin penggerebekan tersebut berhasil menangkap salah satu bandar Narkoba.
Pekerjaan Radit sebagai anggota kepolisian yang beresiko, membuat istrinya selalu was-was. Hal itu juga yang membuat ia mengizinkan suaminya membawa kedua putrinya kesebuah padepokan seni bela diri agar mereka dapat berlatih melindungi dirinya sendiri.
Ketika makan malam bersama, Radit menyadari Vega memakai jam tangan. Ia pun bertanya pada putrinya, " Ve, jam tangan siapa yang kamu pakai?"
" Di kasih Kakak yang tadi pagi itu, katanya sebagai ucapan terima kasih," jawab Vega setelah menelan makanan yang ia kunyah.
" Lepas!"
" Kenapa?"
" Kalau menolong orang harus ikhlas, tidak boleh meminta imbalan. Kembalikan nanti kalau ketemu anak itu lagi" ujar Radit.
" Papa gimana? Vega tidak tahu rumahnya, nama kakak itu saja tidak tahu,"
" Ya sudah, simpan saja, kalau suatu saat bertemu kembalikan padanya,"
" ### Baik Pa," ucap Vega dengan pasrah, ia tidak mau membuat papanya marah.
-
-
-
*****
Hai para readers,,,
Biar aku tambah semangat Up, mohon berkenan tinggalkan jejak ya! like dan coment anda adalah moodboster buat aku.
Semoga anda semua menyukai dan terhibur dengan karya-karyaku yang masih amatiran ini.
Trimakasih.💗💗💗💗🌹🌹🌹🌹🌹🌺🌺🌺🌺🌷🌷🌻🌺
Suara teriakan, tendangan dan pukulan menjadi irama penuh semangat membelah senja di padepokan pencak silat "Tangan Sakti." Raditya Dipta tengah berdiskusi dengan pimpinan padepokan, ia menanyakan perkembangan kedua putrinya Vega dan Vania.
" Pak trimakasih sudah melatih kedua putri saya, saya titip anak-anak saya," ucap Raditya.
" Sama-sama Radit, mereka sudah saya anggap anak sendiri," jawab Pak Satya.
Vega melepas bodyprotektor yang menjadi pelindung tubuhnya ketika berlatih bertarung, lalu segera menggandeng Vania berlari menuju Radit. Vega dan Vania yang penuh kecerian mencium punggung tangan Radit yang masih berseragam polisi. Kemudian bersalaman dengan Satya untuk berpamitan.
Sepulang dari padepokan mereka berhenti di sebuah toko. Apalagi kalau bukan es krim yang menjadi incaran mereka. Papanya sering mengajak mereka mampir ke toko untuk membeli es krim sepulang latihan.
Mereka menjilati es krim yang berbentuk cone sepanjang jalan. Wajah lelah saat berlatih terbayar sudah dengan dingin dan manisnya es krim di mulut kedua bocah itu.
Belum sampai di rumah, ketika melewati jalanan sepi mereka di hadang mobil yang berisi sekawanan mafia. Raditya terpaksa turun dan meminta anaknya berlindung di balik sepeda motornya. Sebelum meladeni para mafia, Radit menyerahkan ponsel kepada Vega. Vegapun langsung faham maksud Papanya.
Sementara Radit baku hantam dengan para penjahat, Vega menghubungi Raka meminta bantuan.
Vega melihat ayahnya di keroyok, iapun segera menolong, sebelumnya meminta adiknya tetap bersembunyi, " Vani, kamu tetap disini, aku mau membantu Papa,"
" Aku takut kak," ujar Vani yang pipinya sudah basah dengan air mata.
Vegapun tersenyum dan berkata, " Anak Papa Raditya tidak boleh takut,"
" Iya Kak," jawab Vani yang masih menangis.
Bught!
Bught!
Vega dengan gesit dan tangkas menghajar salah satu orang yang mengkroyok Papanya.
" Vega, kembali ke tempatmu biar Papa yang bereskan orang-orang ini!" teriak Raditya ketika menyadari putrinya ikut bertarung dan terkena tendangan di perutnya.
" Tidak Pa, aku akan membantu Papa," teriak Vega tak menghiraukan larangan Papanya.
Wiuw wiuw wiw!
Suara sirene memecah suasana, suara tembakan dari polisi mengarah kearah para penjahat. Mereka lari tunggang langgang menaiki mobilnya, Polisi pun mengejar mereka menggunakan mobil patroli dan beberapa menggunakan sepeda motor.
Raka, turun dari sepeda motornya menemui Radit dan Vega. "Kalian tidak apa-apa?"
"Tidak " jawab Radit.
" Ve, bagaimana dengan kamu?" tanya Radit dan Raka berbarengan.
Vegapun nyengir kuda lalu berkata, " Sedikit sakit, Pa, Om, tapi Vega kuat kok!" jawab Vega seraya mengepalkan kedua tangannya dan mengangkatnya keatas.
Radit memeluk putrinya dengan penuh kebanggaan, " Aku bangga padamu sayang, gunakan kekuatanmu ini untuk menolong orang lain"
Tos!
Mereka melakukan tos lalu menghampiri Vani yang ketakutan berlindung di balik sepeda motor.
Vanipun berlari menghambur Papanya dan memeluknya.
Dorrr!
Hal tak terduga, sesosok laki-laki Menggunakan helm teropong mengendarai sepeda motor berhenti dan melepaskan senjata. Dari arah belakang punggung Raditya.
Darah mengucur deras dari balik punggung Raditya, bersama pekikan memilukan dari kedua putrinya,
" Papaaa!!"
Vega menatap tajam mata elang yang menembak Papanya. Raka segera melepaskan peluru kearah pemuda tersebut. Satu tembakan mengenai kakinya. Namun pemuda itu berhasil kabur. Raka segera menghubungi mobil ambulance.
Raditya menggenggam kedua tangan putrinya. Kepalanya bersandar di paha Raka. Airmata menetes dari ke empat orang tersebut.
Raditya menahan sakit, berpesan pada kedua putrinya, " Putriku sayang jaga mama, jadilah kalian anak yang berguna. Vega aku titipkan mama dan Vani padamu, jadilah kakak yang baik,"
" Papaa!" isak tangis dari kedua putri Raditya memecah keheningan senja.
" Raka, aku titip anak-anakku, jaga mereka,"
Ahggg!
Raditya tak sadarkan diri. Mobil ambulance membawa Raditya ke rumah sakit.
Suara tangisan histeris memecah keheningan malam. Karina istri Raditya menangis histeris di ikuti kedua putrinya, mendengar suaminya tidak tertolong.
" Kakak yang sabar! Kakak harus kuat, demi Vega dan Vani," ucap Yasmin menenangkan kakak iparnya itu, sementara dirinya juga ikut menangis, mendapati kakaknya sudah tak bernyawa.
Raka memeluk Vani dan Vega yang menangis histeris. Vega mengusap air matanya, tatapannya tajam mengingat sorot mata elang sang penembak yang menatapnya setelah menembak Papanya. Sorot kebencian penuh dendam terpancar dari mata Vega. Seketika keceriannya terenggut pada hari naas itu.
Pemakaman Raditya Dipta di gelar esok hari di hadiri para petinggi POLRI, Keluarga dan tetangga. Ia meninggal saat usianya masih 30 tahun, masih sangat muda. Isak tangis istri, anak, para kerbat dan tetangganya mengiringi kepergiannya.
Kedua orang tua Karin berusaha tegar agar anaknya juga ikut tegar. Mereka dari Jawa segera meluncur ke Jakarta, setelah mereka mendengar kematian menantunya itu.
Sementara kedua orang tua Raditya sudah lama meninggal dunia, hanya Yasmin satu-satunya saudari yang ia miliki.
Semua orang menangis hanya satu orang yang tidak menangis yaitu Vega. Ia diam membisu, terlalu berat kepedihannya hingga ia tak bisa meluapkan semuanya. Tatapannya tajam penuh dendam. Tak mudah baginya menerima kenyataan kepergian Papanya.
***
Satu minggu sudah kepergian Raditya. Hasil penyidikan ternyata sekawanan mafia itu membalas dendam karena bosnya tertangkap, dan dalangnya yaitu adik dari mafia yang menjadi buron.
Karin menyadari perubahan drastis dari kedua putrinya. Vega berubah menjadi anak yang keras, jarang tersenyum dan sedikit bicara. Sedangkan Vani menjadi pobhia pada suara keras, bahkan suara petasan ia akan sangat histeris dan ketakutan. Karin akhirnya harus menahan kesedihan dan bangkit dari keterpurukannya mencoba mencurahkan seluruh kasih sayangnya agar kedua putrinya dapat hidup layaknya anak-anak lainnya. Ia berharap dapat mengobati trauma pada ke dua putrinya.
Kedua orang tua Karina merelakan putrinya tetap tinggal di Jakarta, karena Vega bersikeras tidak mau ikut pindah ke Jawa. Suara keras penolakan yang tak terduga mereka dengar dari mulut bocah itu, " Tidak mau!! Kalau Mama ingin ke Jawa, silahkan ikut Nenek. Vega akan tetap tinggal disini, aku akan membalaskan dendam kematian Papa. Sampai ke ujung dunia penjahat itu akan aku cari," ujar Vega dengan teriak mendengar rencana kepindahan mamanya ke Jawa.
" Vega, yang sopan! dendam tidak akan mengembalikan Papamu," ucap Karin ikut berteriak.
" Sabar Nak, Vega masih kecil, dia masih tidak terima atas kematian Papanya," ucap nenek, sambil mengusap punggung Karin.
Karin segera menghambur memeluk Vega, baru kali ini ia membentak anak itu. Ia pun meminta maaf, " Maafkan Mama Nak,"
" Maafkan Vega Ma, tapi vega tidak mau pindah, Papa sudah berpesan agar aku menjaga Mama dan Vani. Kita akan tetap di sini kan?"
" Baiklah sayang kita akan tetap disini,"
" Vega mau ke makam Papa sebentar dengan Vani,"
" Hati-hati sayang," jawab Karin.
Sore hari Vega mengayuh sepeda membonceng Vani. Sampailah mereka di pemakaman. Setelah berdoa Vega mengeluarkan pistol milik Papanya.
" Papa dengan pistol ini aku akan meledakkan kepala orang yang menembak Papa,"
" Kakak, kenapa kamu bawa senjata itu, bukankah Pak Polisi mencarinya," ujar Vani yang sangat ketakutan dengan hanya melihat senjatanya saja, ia masih sangat trauma.
" Vani, jangan bilang siapa-siapa kalau kakak menyembunyikan pistol ini, walaupun kepada Mama,"
" Iya Kak, rahasia?" ujar Vani yang masih polos di usianya yang masih 7 tahun itu.
" Rahasia," ujar Vega memberi penguatan. Vega menjadi lebih dewasa sebelum umurnya.
Sejak kejadian itu Vega semakin giat berlatih bela diri. Satu hal yang membuat pelatihnya kuwalahan, ketika berlatih bertarung, Vega sangat agresif menyerang membabi buta tanpa ampun seolah betul-betul menyerang musuhnya. Pelatihpun kerap memaksanya berhenti dengan memegangi tubuhnya.
Satya memahami prilaku Vega yang berubah, hal itu tidak lepas dari trauma dan dendamnya pada pembunuh Papanya. Sejak saat itu ketika Vega bertarunng selalu di berikan lawan yang lebih dewasa darinya. Bila di hadapkan dengan seumurannya, lawannya akan di lahap habis olehnya. Vegapun tumbuh menjadi pesilat tangguh tak terkalahkan.
Vega beranjak remaja. Waktu duduk di bangku SMP ia sudah mulai tumbuh menjadi remaja yang cantik dan cerdas menuruni kecantikan mamanya. Namun trauma masa kecilnya benar-benar merubah kepribadiannya. Ia terkesan cuek, judes, pendiam dan pelit senyum. Namun hal itu tidak mengurangi banyak jumlah temannya. Semua teman menyukainya apalagi ia selalu menolong gadis-gadis yang di jahili teman cowoknya. Ia sudah layaknya pahlawan bagi teman-temannya, terlebih teman perempuan. Teman laki-laki seangkatan dengannyapun menaruh hormat padanya, tidak ada yang berani mengganggunya. Kecuali Gengnya Eric, kakak kelasnya di sekolah.
Pernah suatu ketika ia menolong salah satu temannya yang di palak sekawanan remaja di sekolahnya ketika pulang sekolah.
Dibalik gang sempit menuju halte ia mendengar sayup-sayup suara remang-remang laki-laki memaki seseorang.
Di balik tembok laki-laki culun bernama Gavin teman sekelas Vega, di tampar oleh ketua geng, yang ternyata kakak kelasnya di sekolah yang sama. Karena Gavin menolak mengeluarkan isi dompetnya, iapun di bully oleh kakak kelasnya itu.
" Berhenti!!" pekik Vega.
Para remaja itupun berhenti menampar Gavin, beralih menatap tajam kearah Vega dengan tatapan ingin membunuh saja.
" He, kamu jangan sok pahlawan!" ucap ketua geng.
Vega hanya menyunggingkan bibir dan berkacak pinggang.
" Bos, hati-hati katanya gadis ini jagoan di sekolah kita," ujar salah satu anggota geng.
" Oh gadis ini yang sering di bicarakan orang-orang," ucap sang ketua geng yang bernama Eric di sela tawanya.
" Habisi dia!" pinta Eric.
Satu lawan 6 orang remaja laki-laki mengeroyok Vega.
Bugh! Bugh! Bugh!
Tanpa mengeluarkan banyak tenaga para remaja yang lebih tua dua tingkat dari Vega tersungkur dan babak belur di hajar Vega tanpa ampun. Naluri menyerang seketika merasuki jiwanya, ia sulit mengontrol emosinya sendiri.
Keesokan harinya sekolah tempat Vega menuntut ilmu menjadi gempar. Para orang tua yang anaknya babak belur mengadu pada Kepala sekolah dengan membawa dua orang berseragam polisi.
Kepala sekolah memanggil Vega di temani oleh guru BP. Orang tua Vegapun di minta datang ke sekolah.
Keenam ibu-ibu duduk menatap Vega dengan tatapan sinis. Mata mereka beralih menatap Karina ketika Mama Vega itu datang dengan wajah khawatir. Mereka memberondong Karina dengan segala umpatan dan makian.
" Apa ibu tidak bisa mendidik putri Ibu?"
" Bagaiman seorang gadis bisa bertingkah bar-bar seperti anak ibu itu?"
Dan masih banyak lagi makian dan umpatan.
" Berhenti memaki Mama saya, saya yang menghajar anak ibu yang kurang ajar itu," ucap Vega
" Vega yang sopan!" ucap Karin dengan keras.
Iapun belum tahu asal muasal kejadian yang melibatkan putrinya dan sampai melibatkan polisi.
"Mohon maaf sebenarnya ada apa ini?" tanya Karin.
" Bu, menurut ibu-ibu ini anak mereka di hajar oleh Vega, tanpa alasan yang jelas. Pengakuan korban mereka hanya mengolok-olok dan menggoda saja. Tapi putri ibu menghajar mereka hingga babak belur," ujar kepala sekolah seraya menunjukkan bukti foto-foto kepada Karin.
Karinpun tak menyangka putrinya bisa berbuat seperti itu. Ia terkejut hingga menutup mulut dengan salah satu tangannya. Air mata tak terbendung lagi.
" Benar kah Vega kamu yang melakukannya?" tatapan nanar menatap putrinya, berharap putrinya memberi jawaban tidak.
Namun Vega mengangguk, " Maaf Ma,"
"Akhirnya kamu mengakuinya?" hardik Mama dari Eric.
" Tunggu bu kita selesaikan secara kekeluargaan saja," guru Bp membuka suara.
" Tidak kami akan menuntut anak brandal ini!" ucap salah satu ibu.
" Saya tidak salah, saya hanya menolong Gavin yang di palak dan di kroyok oleh Eric dan gengnya,"
" Kita akan memanggil saksi," ucap salah satu oknum polisi.
Gavinpun akhirnya di minta keruang kepala sekolah. Ruangan kini semakin penuh dengan orang.
" Gavin apa betul kamu kemaren di kroyok oleh Eric dan teman-temannya?" Tanya guru Bp.
Gavin menatap sekeliling dengan wajah takut, ia membetulkan kaca mata dan mulai bicara dengan gagap dan ketakutan, " Sa saya tidak tahu apa-apa,"
Deg!!
Hati Vega hancur seketika, hatinya di liputi amarah, ingin rasanya ia membenamkan remaja culun itu kedasar laut. Bagaimana bisa air susu di balas dengan air tuba. Setelah di tolong malah ia berbohong yang menjerat Vega menjadi tersangka dan bersalah.
" Kamu bohong!" ucap Vega yang sudah siap-siap melayangkan tinju. Untung Guru Bp segera menahan tubuh Vega agar tidak menghampiri Gavin.
" Kalau memang anak saya bersalah saya serahkan putri saya untuk di proses secara hukum yang berlaku," ucap Karina dengan suara berat, menahan tangisnya agar tidak pecah.
Gavin tidak berani melihat kearah Vega, ia masih menunduk karena ketakutan.
Pihak sekolahpun sudah berupaya memohon kepada walimurid dari korban untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, mengingat Vega masih di bawah umur. Pihak sekolah tidak rela muridnya di masukkan ke penjara anak-anak, mengingat Vega juga adalah anak yang berprestasi. Namun upayanya gagal, polisi tetap membawa Vega ke kantor polisi.
Vega menatap Mamanya, " Mama, aku rela di penjara asalkan mama percaya pada Vega, Vega tidak bersalah, Vega hanya membela diri, Vega juga menolong Gavin, biarpun dia tidak mengakuinya," air mata Vega menetes melihat mamanya memalingkan muka dengan menangis.
Guru Bp mendampingi ke kantor polisi. Karinpun masih tinggal di sekolah memohon maaf kepada para orang tua dari korban amukan Vega dan kepala sekolah atas prilaku putrinya. Hati Karin hancur, meskipun hati kecilnya percaya bahwa putrinya tidak bersalah. Ia mengenal betul watak putrinya itu. Namun sayang saksi kunci memberikan kesaksian yang berbeda.
Gosip beredar dengan cepat di lingkungan sekolah, namun tidak sesuai fakta. Luna dan Maya yang menguping pembicaraan mulai awal, segera mencari Gavin. Ia percaya temannya itu tidak mungkin berbohong, mereka menduga Gavinlah yang berbohong.
Sementara Vega di introgasi di kantor polisi, Luna dan Maya mengintrogasi Gavin di ruang kelas.
" Gavin kenapa kamu berbohong?" tanya Luna.
" Aku tidak bohong," jawab Gavin menunduk, pura-pura membaca buku.
" Hey bukunya kebalik tuh!" ujar Maya.
" Pasti eric sudah mengancam kamu, iya kan?" ujar Luna seraya menggebrak meja.
" Sudah jangan ganggu saya," Gavin beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan Luna dan Maya.
Kecurigaan Luna dan Maya semakin besar, ia harus segera menyelamatkan sahabatnya itu. Merekapun membuntuti Gavin sampai rumahnya.
Setelah mengetahui kediaman Gavin, mereka menuju kantor polisi.
Merekapun meminta izin untuk menemui Vega. Vega tidak di tempatkan di sel tahanan. Ia di tempatkan di kantor Raka, namun tetap saja di kunci dari luar. Sayangnya Raka masih di luar kota bersama Yasmin yang beberapa bulan lalu baru menikah. Namun setelah mendengar kabar bahwa ponakannya tersandung masalah, merekapun segera kembali ke Jakarta.
Luna dan Mayapun segera memeluk Vega, setelah petugas membukakan pintu. " Vegaa,"
" Kenapa kalian kesini, kalian nggak malu berteman dengan kriminal seperti saya," ucap Vega yang sudah lebih rilex.
" Karena kami percaya kamu tidak bersalah," jawab maya.
" Kamu tenang saja, segera akan aku buat Gavin bersaksi. Sepertinya Gavin di ancam,"
" Trimakasih kalian sudah percaya padaku, sayangnya Mamaku sendiri tidak percaya," Vega mulai berkaca-kaca.
" Biar kami yang akan menemui tante Karin," ucap luna.
Pelukan perpisahan mengakhiri pertemuan mereka. Luna dan Maya harus segera menemui Gavin dan kedua orang tuanya.
Luna dan Maya menemui Gavin di kediamannya. Namun tetap saja, Gavin tidak mau mengakui kebohongannya. Mereka berharap menemui Gavin bersama kedua orang tuanya agar Gavin mau berkata jujur.
" Baiklah Gavin, kalau kamu tetap berbohong maka selamanya orang menganggapmu pembohong, satu lagi kamu dengan segaja merusak masa depan Vega, orang yang telah melindungimu," ucap Luna.
" Kalau kamu tahu balas budi, jadilah laki-laki sejati yang membela kebenaran meskipun seseorang mengancammu," imbuh Maya.
Merakapun akhirnya pergi meninggalkan rumah Gavin. Entah apa yang merasuki kedua bocah itu sehingga bisa berkata-kata yang berkwalitas seperti tadi. Padahal mereka di kenal dengan gadis yang hanya suka bercanda, hura-hura dan kurang serius dalam belajar. Untung Vega yang cerdas mau membantu mereka belajar, dan kadang suka mencotek pekerjaan rumah milik Vega.
Sore hari Luna dan Maya menemui Karin. Mereka meyakinkan Karin bahwa Vega tidak bersalah, dan Gavin berbohong karena diancam.
" Tante Karin, tolong temui Vega, dia sangat sedih karena Tante Karin tidak percaya padanya," bujuk Luna dan Maya.
" Baiklah Luna dan Maya, trimakasih kalian masih mau membantu Vega, akan tante Pikirkan," jawab Karin
Malam itu Karin dan anak keduanya Vani berkunjung ke kantor polisi. Ia mengintip dari balik pintu yang terbuka di ruangan Raka. Ia mendengar Vega mencurahkan isi hatinya pada Raka dan Yasmin yang segera datang dari luar kota.
Karin berdiri menyandarkan diri pada tembok, hatinya bergumam,
Maafkan mama nak, bukannya mama tidak percaya padamu, mungkin dengan cara ini membuatmu menjadi lebih baik dan berhenti berkelahi.
Karin meminta Vani mengantarkan baju ke dalam ruangan. Meminta menyampaikan kepada Vega bila ingin mamanya memaafkan, ia harus berjanji menghindari perkelahian kecuali sangat terpaksa.Vanipun mengikuti perintah mamanya.
Raka menemui Karin diruang berbeda.
" Raka saya titip Vega, biarkan malam ini dia menginap disini. Aku ingin dia sadar bahwa tidak semua masalah bisa di selesaikan dengan adu fisik dan kekerasan," pinta Karin.
" Jangan terlalu keras padanya Kak, temui lah dia, dia hanya butuh Kakak percaya padanya. Meskipun orang di dunia ini tidak percaya padanya ia hanya butuh kepercayaan dari mu."
Akhirnya Karinpun luluh hatinya, ia segera menemui Vega.
" Vega,"
" Mama,"
" Maafkan mama nak yang tidak percaya padamu,"
" Tidak apa-apa Mama, aku hanya butuh Mama percaya padaku,"
Merekapun menangis, membuat mata yang melihat ikut terharu.
" Tapi Maaf Nak, aku tidak bisa membawamu pulang sekarang, sebelum kamu terbukti tidak bersalah,"
" Tidak apa-apa Ma," senyum mengembang dari bibir Vega.
" Kita akan melalui ini bersama sayang," ucap Karin menguatkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!