Muhammad Alvin Firmansyah
Alvin po
Namaku sama seperti yang kutuliskan di atas. Sebagian mungkin sudah tahu siapa aku. Atau hanya aku yang merasa dikenal?
Panggil aku Alvin, seorang duda beranak 1. What duda beranak satu? Kapan Alvin menikah?
Aku sempat merencanakan pernikahan dan tak lama setelah itu aku resmi menikah. Namun, garis jodohku dengan ibu dari putriku hanya selama 2 tahun. Tak perlu ku jelaskan alasannya. Karena aku rasa jika aku menjelaskannya itu hanya sekedar membuka luka lama dan aib rumah tanggaku. Kejadian itu sudah berlalu 2 tahun lalu.
Kini aku hidup dengan putri kecilku yang bernama Ayskaa Zaina Firmansyah yang sekarang berumur 3 tahun. Gadis kecil yang 2 tahun lalu ku perjuangkan di meja hijau pengadilan agar hak asuhnya bisa jatuh ke tanganku. Ia kini tumbuh menjadi gadis kecil penyemangatku.
Tidak mudah memang menjalani kehidupan sepertiku apalagi usiaku masih relatif muda 26 tahun. Disaat lelaki seusiaku banyak yang belum sekali pun menikah, aku bahkan sudah menyandang dua status sekaligus yaitu ayah dan ibu. Walaupun tetap aku tak boleh menghilangkan sosok ibu kandung bagi Aina.
Apa lagi yang ingin kalian tau tentang ku?
Pekerjaanku?
Baiklah aku adalah seorang Direktur utama di perusahaan keluarga Firmansyah. Karena abangku selaku anak lelaki pertama memilih jalan yang lain dengan yang digeluti Ayah. Sedangkan aku, aku bergerak di bidang yang sama dengan ayah.
Tapi selain itu aku juga memiliki pekerjaan selingan selaku dosen salah satu universitas di kota ini. Walaupun aku bukanlah dosen tetap jadwalku selaku dosen hanya berlaku hari dua kali dalam seminggu.
Bagaimana setelah sekilas mengenal tentangku apakah ada yang berminat untuk ku pinang?
Tapi maaf tawaranku itu hanya bercanda yaa.
Aku bertekad pada diriku sendiri jika aku hanya akan menikah lagi jika putri kecilku yang memintanya. Untuk kali ini aku harus lebih hati hati tentunya, tugasku tak hanya sebatas mencari istri melainkan juga mencari ibu sambung bagi Aina tentu bukan pekerjaan mudah.
Beruntung aku memiliki ibu, adik dan kakak ipar yang sangat bisa kupercaya dan kuandalkan untuk membantuku menjaga dan merawat Aina hingga saat ini. Mereka selalu berusaha membuat Aina tak merasakan kehilangan sosok ibu. Walau pada kenyataannya Aina hanya terhitung jari bertemu dengan ibunya. Bukan aku melarang dan aku yakin ibunya juga bukan tak ingin bertemu. Melainkan jarak dan keadaan yang membuat keadaan seperti ini. Ibunya kini memilih tinggal di luar negeri bersama keluarga barunya.
Apalagi yang harus aku jelaskan tentang ku?
Kriteria pasangan?
Yang pasti jika Aina meminta aku untuk memberikannya ibu sambung pasti kriteria utama yang kutetapkan tidak ada yang spesifik aku hanya ingin wanita muslimah yang menyayangi anaku dengan tulus karena anaku prioritasku. Sedikit klise memang karena tulus itu sulit di definisikan dan bagi setiap orangnya definisi tulis sendiri mungkin berbeda.
Tapi untunglah untuk saat ini Aina belum meminta akan hal itu. Walau ibu selalu bilang akan ada waktunya Aina butuh sosok seorang ibu apalagi Aina adalah perempuan sedangkan ibu, kakak ipar dan Vina tidak bisa benar benar 24 jam bersama Aina. Ya biarlah aku pikirkan nanti untuk itu. Toh Aina juga masih belum meminta itu padaku.
***
Bagi Alvin kesehariannya saat ini bersama putri kecilnya sudah sangat ia syukuri. Memberikan kebahagiaan bagi putri kecilnya adalah syarat mutlak kesuksesan bagi Alvin. Walau itu tidak akan mudah pastinya.
Bagaimana pun caranya Alvin akan selalu berusaha membahagiakan sumber kebahagiaannya sampai kapanpun bahkan sampai kelak ada sosok lelaki yang menjabat tangannya lalu mengucap saya terima nikahnya.
Jika dilihat dari sekarang waktu itu mungkin masih lama usia Aina saja saat ini masih 3 tahun. Tapi saatnya pasti ada.
Menjadi Ayah dan Ibu bagi putrinya, jika Alvin boleh jujur itu adalah hal tersulit. Lebih sulit dari mengajar mahasiswa berbagai macam karakter dan juga lebih sulit dari menghadapi banyak karyawan. Tentunya karena Alvin selalu ingin yang terbaik untung sang putri.
***
Setiap harinya sebelum pergi ke kantor Alvin punya rutinitas untuk mengantarkan Aina sesuai dengan keinginan Aina mau ke rumah nenek atau ke rumah Abangnya.
"Anak Papa hari ini mau di antar ke mana? Ke rumah aunty Zia atau ke Rumah nenek?" tanya Alvin sambil menggendong putrinya.
Bukannya menjawab Aina malah semakin erat melingkarkan tangannya di leher Alvin sambil menggeleng.
"Ama Papa aja." jawabnya.
Beginilah gadis kecilnya jika sedang manja.
"Sayang sekarang Papa perginya bukan ke kantor tapi ke kampus jadi papa gak bisa bawa Aina."
"Ikut papa." jawab Aina.
"Papa cuma sebentar 2 jam aja. Nanti abis ini Papa pulang kita main Aina mau kemana?"
"Pay glound." jawab Aina.
"Oke tuan putri kalau gitu Papa antar ke rumah nenek ya yang deket ke kampus biar nanti cepet Papa jemput Aina nya."
Aina hanya mengangguk di leher Alvin.
10 menit saja Alvin sudah sampai di rumah Ibu.
"Ayo sayang udah sampai nih." ajak Alvin sambil membuka seatbelt nya.
Aina hanya diam sambil merentangkan tangannya.
"Aduuduh anak papa lagi manja ya ini ya hmm." kata Alvin sambil menciumi putrinya.
Alvin menggendong Aina turun dari mobil.
"Assalamualaikum." ucap Alvin saat memasuki rumah.
"Waalaikumsalam. Eh cucu nenek udah dateng. Sini sama nenek." ajak ibu tapi Aina malah semakin membelitkan tangan di leher Alvin.
"Kenapa?" tanya ibu tanpa suara?
"Mau main sama Alvin. Tapi Alvin harus ke kampus dulu."
Ibu mengangguk faham.
"Aina sama nenek dulu yuk. Papa kan cuma sebentar ke kampusnya. Atau Aina ke play ground duluan sama nenek nanti Papa nyusul mau?" tawar ibu.
Tapi rupanya tidak semudah itu membujuk anak Papa yang sedang manja.
"Sayang sama nenek dulu ya." bujuk Alvin.
"Papa." jawab Aina.
"Sayang dengerin Papa. Sekarangkan masih jam 7 play ground nya belum buka. Papa ke kampus dulu nanti Papa jemput Aina terus kita ke play ground ya."
Aina lagi lagi menggeleng. Tidak biasanya Aina semanja ini. Biasanya semanja manjanya Aina, ia masih bisa mengerti jika Alvin harus ke kantor atau ke kampus.
"Yaudah masuk dulu deh mendingan duduk dulu." kata ibu.
Alvin menurut ia duduk di ruang keluarga. Kebetulan ada ayah di situ.
"Hai cucu kakek kenapa? Kok tumben di gendong papa? Biasanya lari sendiri nyariin kakek. Sini yuk sama kakek." bujuk ayah. Tapi lagi lagi Aina tidak tertarik. Bahkan ketika duduk pun Aina masih enggan melepaskan tubuhnya dari dekapan Alvin.
"Anak Papa kenapa? Mau main di play ground? Iya nanti kita main Papa janji tapi papa ke kampus dulu ya?" Alvin mencoba membujuk lagi.
Aina menggeleng.
"Ikut Papa." jawab Aina dengan sudut bibir yang berkedut dan hendak menangis.
"Yaudah Papa gak jadi pergi di sini aja sama Aina. Tapi ini yang terakhir ya. Besok dan seterusnya Aina harus jadi anak shalehah dong." kata Alvin.
Aina hanya mengangguk. Alvin mencium gemas pipi putrinya itu.
Alvin segera mengabarkan pada mahasiswanya jika dirinya tidak bisa masuk.
"Sekarang kan udah sama Papa. Aina mau apa?" tanya Alvin.
Aina menggeleng.
"Aina kenapa sih? Dari semalam begini terus Papa salah?" tanya Alvin.
"Kenapa sih vin?" tanya Ibu.
"Gak tau Alvin juga dari semalam gak mau lepas dari Alvin. Alvin tinggal mandi aja nangis."
"Kamu inget inget coba kenapa dia begitu?"
Alvin diam sejenak. Tak lama ia mengangguk angguk seolah sudah tahu penyebab putrinya menjadi manja seperti ini.
Alvin mengeratkan pelukan pada putrinya.
"It's okay sayang ada Papa." ucap Alvin.
Flashback on...
Semalam Abrar sekertaris Alvin datang ke rumah bersama anak dan Istrinya. Tujuannya adalah Abrar ingin bersilaturahin sekaligus mengenalkan keluarganya yang mulai kemarin menetap di kota ini.
Dan malam itu putri dari Abrar sangat lengket sekali dengan ibunya tak pernah lepas dari ibunya.
Aina yang saat itu berada di pangkuan Alvin melihat itu. Melihat bagaimana anak itu di peluk oleh ibunya, di cium, di usap, di gendong.
Sementara Aina sangat jarang merasakan itu dari sang Mama. Masih kecil bukan berarti tak berperasaan. Masih kecil bukan berarti tak merasakan.
Usai Abrar dan keluarganya pamit. Aina langsung meminta Alvin untuk menelpon mamanya. Tapi sayangnya beberapa kali usahanya tidak berhasil tak satupun telepon Alvin diangkat oleh mantan istrinya.
Dan sejak itu Aina benar benar tak mau lepas dari Alvin.
Flashback off...
"Aina tadi di rumah kan belum makan. Sekarang makan ya Papa suapin ya."
Aina hanya mengangguk. Putrinya yang biasanya cerewet itu kini menjadi pendiam. Alvin tak tau harus bagaimana. Ini baru pertama kali Aina seperti ini.
Biasanya Aina adalah putri kecil yang pengertian mungkin bisa di bilang sudah cukup mandiri untuk seusianya. Di usia Aina yang baru 3 tahun ia harus merasakan di tinggal oleh sang Papa setiap harinya. Kemudian di titipkan kepada orang orang yang berbeda. Walaupun itu keluarga, rasanya Aina masih terlalu kecil tapi ia harus bisa menyesuaikan dengan berbagai kondisi.
Pukul 11.00 Alvin baru pergi dari rumah menepati janjinya pada Aina untuk bermain di playground. Alvin berharap usahanya bisa menghapus kesedihan putrinya saat ini.
"Dah sok main banyak temenya tuh. Papa tunggu di sini ya."
Seulas senyum muncul dari bibir mungilnya. Lalu berdadah dadah pada Alvin kemudian berlari ke arena bermain.
"Be carefull sayang." teriak Alvin.
"Okay Papa." jawab Aina.
Alvin menunggu putrinya bermain sambil memeriksa tugas mahasiswa mahasiswi yang masuk ke email nya.
Alvin harus pandai pandai membagi waktu.
Sudah puas bermain Aina berlari ke arah sang Papa.
"Dol." katanya berusaha mengagetkan sang Papa.
"Eh anak papa mau ngagetin papa ya?" kata Alvin langsung memeluk dan mencium putrinya.
Aina hanya tersenyum.
"Udah mainnya?"
"Dah." jawab Aina.
"Yaudah pake lagi dong sepatunya. Mau papa bantu?"
"No. No." jawab Aina.
Alvin menuntun Aina keluar dari area bermain.
"Putrinya papa mau apa lagi sekarang?" tanya Alvin. Ia senang putrinya sudah tidak murung lagi sekarang.
"E klim Papa." jawab Aina.
"Kemarin kan udah makan es krim nanti Aina pilek. Yang lain aja ya mau apa?"
"Cokat."
"Yang lain."
"Pelmen."
"Yang lain."
"E klim Papa." rengek Aina.
"Beli es krim es kriman aja mau?"
"E klim." paksa Aina.
"Okelah tapi sedikit aja."
"Dua." kata Aina sambil menunjukan jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Satu."
"Dua."
"Papa marah deh." Alvin menghentikan langkahnya lalu melipat tangan di dadanya.
"Tatu Papa." ucap Aina sambil memeluk kaki Alvin.
"Good girl." ucap Alvin sambil menggendong Aina.
Setelah semua kemauannya di penuhi Alvin nampaknya gadis kecil itu pun jadi lelah sendiri. Alhasil sepanjang perjalanan pulang ia tertidur lelap.
Alvin memandangi wajah tenang putrinya saat tertidur. Perpaduan antara Alvin dan mantan istrinya sangat jelas pada wajah Aina.
"Maafkan Papa ya sayang. Gak bisa memberikan keluarga yang utuh dan kasih sayang yang sempurna buat kamu." ucap Alvin sambil menyusap rambut Aina.
***To Be Continued...
See You Next Part***...
Malah hari seperti biasa Alvin membacakan cerita pengantar tidur untuk Aina. Kebetulan malam ini cerita yang di bacakan Alvin adalah cerita tentang nabi yusuf As.
"Papa Nabi Yusuf kok gak malah dibuang ke sumul?" tanya Aina.
"Enggak karena nabi Yusuf tau sesama manusia kita enggak boleh saling marah, enggak boleh saling dendam, enggak boleh iri hati. Begitu sayang."
"Papa Ngantuk." ucap Aina sambil mengucek mata.
"Yaudah sekarang Aina baca do'a dulu ya. Coba papa mau dengar."
"Bismika Allaahuma ahyaa wa bismika amuutu."
Artinya: "Dengan menyebut nama-Mu, Ya Allah, aku hidup dan dengan menyebut nama-Mu aku mati"
Ucap Aina
"Pinter yaudah sekarang bobo ya." ucap Alvin sambil memeluk dan mencium putrinya.
Alvin memastikan dulu apa Aina sudah benar benar tidur. Setelah itu barulah Alvin pergi ke kamarnya sendiri dan kembali mengerjakan pekerjaan yang seharian tertunda karena Aina yang selalu menempel dengan dirinya.
Tak terasa sudah berjam jam Alvin duduk di meja kerjanya. Ternyata sudah tengah malam. Sebelum dirinya tidur Alvin kembali ke kamar Aina untuk mengeceknya.
Alvin duduk di samping tempat tidur Aina sambil mengelus rambut putrinya kemudian membacakan do'a :
(Robbiy habliy mil ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka sami’ud du’a’)
“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa"
(Robbij’alniy muqimash sholati wa min dzurriyyati robbana wa taqobbal du’a’)
“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku"
Setelah itu Alvin mencium kening dan rambut Aina lalu membaringkan tubuhnya di samping Aina. Entahlah Alvin ingin bersama putrinya malam ini.
Membesarkan seorang anak sendiri tentu bukan hal mudah apalagi Alvin masih tergolong muda. Untunglah banyak yang selalu mendukungnya. Tapi sudahlah takdir bukan untuk diratapi.
Pagi sekali bahkan sebelum waktunya bangun Aina sudah bangun lebih dulu kemudian memeluk Alvin yang masih berbaring di sebelahnya.
"Assalamualaikum. Putri Papa udah bangun ya."
Aina yang baru membuka mata belum mau menanggapi. Ia malah kembali memeluk Alvin.
"Ikut Papa shalat subuh ke masjid gak?"
Aina menggeleng.
"Aunty Zia tadi ngajakin Aina ikut ke sekolahnya Abang Azzam loh. Aina mau ikut gak?"
"Papa?"
"Papa kan harus ke kantor sayang. Kemarin kan udah main sama Aina. Aina ikut aunty Zia mau?"
Aina mengangguk.
Pukul 06.00 Alvin sudah selesai mengurus Aina. Aina sudah rapi sekarang giliran Alvin sendiri yang bersiap.
"Nah Aina udah siap. Aina tunggu Papa siap siap ya."
"Iya Papa."
Seperti anak kecil pada umumnya, Aina yang belum lama menunggu sudah merasa bosan. Ia keluar dari kamarnya lalu menuju kamar Alvin.
"Papa. Papa." panggilnya sambil memukul pintu dengan kedua telapak tangan kecilnya.
"Iya sayang kenapa? Papa kan udah ajarin sama Aina, kalau masuk rumah, masuk ruangan atau masuk kamar itu harus apa?" tanya Alvin setelah membuka pintu dan berjongkok si depan Aina.
"Salam ikum Papa." (Note : Ini bukan berniat melecehkan salam ya kawan. Hanya mengikuti sudut anak usia 3 tahun yang belum sempurna dalam pengucapan salam.)
Alvin mengusap kepala Aina.
"Ayo Papa Aina mau temu abang kembal."
"Oke sayang yuk berangkat. Mau bawa susu gak?" tanya Alvin.
"Beli aja ama aty Zia."
"Yaudah kita berangkat."
"Ndong." kata Aina sambil merentang tangannya.
"Gak ah berat Aina endut." kata Alvin lalu berdiri. Terlihat Aina sudah cemberut dan bibirnya bergetar.
"Hahaha Papa becanda sayang. Hmm gemes banget si anak shalehah nya Papa." kata Alvin lalu menciumi Aina.
"Nakal." jawab Aina sambil cemberut.
"Uduu jadi malah nih tuan putli?" kata Alvin dengan meniru gaya anak kecil.
"Papa nakal."
"Haha iya sayang maaf ya. Papa cuma bercanda maaf oke." kata Alvin sambil mengusap pipi tembam Aina.
Aina mengangguk masih sambil cemberut.
"Senyum dong kalau Papanya udah di maafin."
Aina masih enggan tersenyum. Alvin mengangkat Aina lalu menciuminya semuka muka sampai ke perut hingga Aina tertawa karena kegelian.
"Haha dah Papa dah Papa." kata Aina di tengah kegeliannya.
"Nah gitu dong ketawa. Kiss dulu Papa nya." kata Alvin.
Aina menurut ia mencium pipi Alvin.
"Oke sekarang kita berangkat." kata Alvin sambil memindahkan Aina ke pundaknya.
"Yeee tinggi." kata Aina yang memang kesenangannya digendong di pundak.
Alvin tersenyum, tekadnya selalu sama hal sekecil apapun yang membahagiakan Aina dan baik untuk Aina maka itu yang akan Alvin lakukan.
Sampai di rumah Arvan dan Zia, setelah salam pada uncle dan auntynya Aina langsung mencari abang abang nya.
"Aty Zia, bang Zam tama bang kembal mana?"
"Ada di kamar Aina ke kamar aja."
Aina langsung berlari ke kamar.
"Jangan lari sayang." kata Zia mengingatkan. Tapi Aina sudah jauh berlari.
"Nitip ya kak, bang. Nanti Alvin pulang kantor langsung jemput."
"Iya udah tenang aja."
"Abang gak ke Rumah Sakit?"
"Nanti siangan. Azzam pengen di temenin sama dua duanya."
"Alvin udah sarapan belum? Sarapan bareng aja di sini sama abang." kata Zia.
"Ah ide bagus tuh kak. Alvin belum sarapan kebetulan."
"Dek pake di tawarin kesenengan dia mah."
"Ya Allah bang sama adeknya juga masa gitu."
"Nah bener tuh marahin kak." ucap Alvin.
"Alvin diem." tegur Arvan.
"Udah ah kenapa sih. Ini bapak bapak udah pada beranak juga masih aja suka ribut."
"Sana sarapan. Kalau gak mau yaudah." kata Zia sambil meninggalkan keduanya.
"Gak di temenin dek?" tanya Arvan.
"Nggak udah berdua aja sama Alvin."
"Ya tapi..."
"Udah bang jangan manjalah. Alvin aja biasa makan sendiri biasa aja."
"Ya kau emang sendiri."
"Sembarangan Alvin emang sendiri tapi jangan salah yang ngantri banyak kalau niat mah cari buat nemenin makan aja sih banyak yang mau."
"Suka suka kau Vin." kata Arvan meninggalkan Alvin.
Aina bersama Arzia sekeluarga sedang dalam perjalanan ke sekolah Azzam. Aina tampak senang bercerita bersama Azzam di sepanjang perjalanan.
"Adek nanti adek sekolahnya di sekolah abang aja ya."
"Kenapa?"
"Iya biar abang bisa jaga adek nanti. Adek kan perempuan, perempuan kan harus di jaga. Iya kan yah?" kata Azzam meminta persetujuan Ayahnya.
"Iya sayang." jawab Arvan sambil mengemudi.
"Aina mau cekolah." celetuk Aina.
"Emang usia Aina sekarang berapa tahun?" tanya Zia.
"Tli." jawab Aina.
"Boleh kok kalau Aina mau sekolah. Aina tinggal bilang aja sama Papa. Nanti Aina sekolahnya di sekolahan Abang Azzam aja biar sekalian uncle anterin." kata Arvan.
"Yee Adek sekolah sama Abang." kata Azzam.
"Yee cekolah." kata Aina mengikuti Azzam.
Sampai di sekolah Azzam, Azzam langsung masukbke kelas dan persiapan untuk perform sedangkan Arvan, Zia dan Aina duduk di tempat yang di sediakan untuk tamu.
"Bang mana?" tanya Aina.
"Abangnya masih siap siap dulu sayang nanti sebentar lagi." kata Arvan.
Selesai dengan perform nya Azzam menghampiri Aina.
"Adek ikut abang yuk."
"Mau kemana bang?" tanya Zia.
"Beli es krim bunda."
"Beli e klim. Ayo bang." saut Aina.
"Boleh ya bun." buju Azzam.
"Yaudah tapi hati hati. Dijaga adeknya."
Aina pergi bersama Azzam untuk membeli es krim, tidak jauh dan masih dapat terpantau oleh Arvan dan Zia mangkanya mereka membiarkan anak anak pergi sendiri.
Saat sudah mendapatkan es krimnya Aina nampak asik dengan es krimnya hingga berjalan tidak melihat lihat. Alhasil ia harus rela kehilangan es krimnya yang mendarat ke tanah. Tapi bukan hanya itu sebelum jatuh es krim yang di pegangnya terlebih dahulu mengotori pakaian orang lain yang tidak sengaja tertabrak oleh Aina.
"Eh aunty maafin adek ya." ucap Azzam.
"Eh iya gak apa apa sayang. Aunty gak apa kok. Adek juga gak apa apa kan?" tanya wanita itu sambil berjongkok menyamakan posisinya dengan Aina.
Didekati seperti itu Aina malah menangis.
"Loh kok nangis." kata wanita itu sambil mengusap pipi Aina.
"Maaf Aty." kata Aina sambil menangis. Wanita itu merasa gemas sendiri ia langsung memeluk Aina.
"Oke sayang. Aunty juga minta maaf ya. Oh iya adek namanya siapa?"
"Aina."
"Kalau ini abang, namanya Azzam ya." kata wanita itu sambil melihat Azzam. Wanita itu tahu karena iya membaca name tag pada seragam yang Azzam kenakan.
"Iya." jawab Azzam.
Dari kejauhan Arvan yang melihat anak anak berinteraksi dengan orang langsung menghampiri mereka.
"Assalamu'alaikum." sapa Zia.
"Wa'alaikumsalam bunda." jawab Azzam.
Wanita itu langsung melepaskan pelukannya dari Aina.
"Adek nya kenapa bang?" tanya Arvan.
"Eh maaf pak bu. Saya tadi tidak sengaja bertabrakan dengan adek ini. Es krimnya jadi jatuh dia nangis." jelas wanita itu."
"Oh iya maaf perkenalkan saya Haifa." kata wanita itu lagi sambil mengulurkan tangan pada Zia.
"Zia." sambil menerima uliran tangan wanita itu.
Sedangkan pada Arvan, wanita itu hanya menangkupkan tangan di dadanya.
"Iya bunda adek tadi nabrak aunty ini. Terus es krim adek kena baju aunty terus jatuh. Tapi adek udah minta maaf kok sama aunty. Iya kan aunty?"
"Iya bu. Maaf saya juga lancang peluk adeknya soalnya saya terlalu gemas. Adeknya cantik dan baik sekali. Jarang anak seusia ini berani meminta maaf." jelas Haifa.
Sementara itu Aina masih menangis. Entah karena es krimnya yang jatuh atau karena merasa bersalah mengotori pakaian orang lain. Entahlah hanya Aina yang faham dengan tangisannya.
"Sayang sini." kata Zia lalu menggendong Aina.
"Aina udah minta maafkan sama aunty nya?"
Aina mengangguk.
"Terus kenapa Aina masih nangis?" tanya Zia.
"Aina nakal. Nanti Papa malah tama Aina. Kalau Papa malah Aina tama tapa?"
**To Be Continued...
See You Next Part**...
Seketika orang dewasa yang ada di sana terdiam mendengar ucapan Aina.
Ternyata ucapan Alvin sangat diingat Aina. Setiap kali hendak mengantar Aina ke rumah abangnya atau ke rumah ibu Alvin selalu berpesan.
'Aina harus baik ya sama nenek atau aunty Zia. Harus jadi anak baik, Papa tau loh Aina ngapain aja. Kalau Aina baik jadi tambah banyak orang yang sayang.' begitu kira kira yang selalu Alvin pesankan pada putri kecilnya. Jadi Aina selalu merasa apapun yang ia lakukan Papanya pasti tau.
Termasuk saat ini.
"Aina nakal. Nanti Papa malah tama Aina. Kalau Papa malah Aina tama tapa?"
"Kalau Papa marah nanti uncle marahin papa. Nanti Aina sama uncle aja." kata Arvan sambil menggendong Aina.
"No. Akel Alvan." kata Aina sambil memeluk leher Arvan.
"Yaudah jangan nangis dong."
Pukul 17.30 Alvin baru sampai di rumah Abangnya untuk menjemput Aina.
"Assalamualaikum." ucap Alvin.
Aina yang sudah tidak asing dengan suara itu pun langsung berlari ke arah Alvin dan memeluk kaki Alvin.
"Tolly Papa." kata yang Aina ucapkan saat memeluk Alvin. Alvin langsung berjongkok di hadapan Aina.
"Kenapa? Kok Aina langsung minta maaf sama papa?"
"Alvin masuk dulu aja duduk dulu." ajak Zia karena Alvin posisinya masih di depan pintu.
Alvin menggendong Aina dan membawanya masuk.
"Kenapa? Putli nya Papa kok mulung hmm?" tanya Alvin memirukan Aina yang masih cadel.
Bibir Aina bergetar dan air mata nya kembali tumpah.
"Loh Papa tanya kok malah nangis sayang?" tanya Alvin sambil mengusap air mata Aina.
"Aina nakal papa. Tolly papa."
Alvin mengerutkan keningnya.
"Nakal kenapa? Jangan nangis dong, Aina cerita dulu sama papa."
"Adek gak nakal kok om. Adek cuman gak sengaja aja." kata Azzam.
"Hmm emang adek kenapa?" tanya Alvin.
"Azzam tadi ajak Adek beli es krim di sekolah. Terus adek gak sengaja nabrak orang, es krim ade jatuh kena baju aunty nya. Tapi ada udah minta maaf sama aunty nya. Aunty nya juga gak marah sama adek." jelas Azzam.
Zia yang ada di sana hanya tersenyum, melihat Azzam menjelaskan agar adiknya tak di marahi Alvin. Padahal Zia juga yakin Alvin tak akan marah pada Aina. Alvin bukan laki laki tempramen, malah sebelumnya Alvin adalah sosok lelaki yang humoris. Namun keadaan sekarang membuat Alvin berubah.
"Oh gitu ceritanya. Kalau gitu putli papa ini anak baik dong. Putli papa kan udah minta maaf." kata Alvin sambil mengusap Aina.
"Papa malah?" tanya Aina.
"Nggak dong Aina kan udah minta maaf sama aunty nya. Jangan nangis dong nanti putli papa ini gak cantik lagi." Alvin mengusap air mata Aina.
"Aina tantik. Papa nakal." rengek Aina.
"Adek cantik kok. Om Alvin yang jelek." kata Azzam membela adiknya.
"Haha iya iya putli papa ini cantik dan ponakan om ini ganteng." kata Alvin sambil mengusap rambut Azzam.
Zia hanya geleng geleng melihat interaksi mereka.
"Oh iya kak. Abang belum pulang?"
"Belum. Tadi kan perginya siang."
"Oh gitu. Yaudah kak kalau gitu Alvin sama Aina pamit ya. Makasih udah bantu Alvin jagain Aina."
"Kamu ini Vin. Aku mah seneng di titipin Aina. Azzam juga seneng ada temen main."
"Oh iya makasih juga ya buat Abang Azzam udah ajak main dan jagain adeknya." kata Alvin pada Azzam.
Azzam hanya mengangguk.
"Alvin sama Aina pamit kak."
"Iya hati hati ya."
"Aina pamit dulu sama Aunty salam dulu." perintah Alvin.
Aina mencium tangan Zia.
"Sama abang." perintah Alvin lagi.
Aina mencium tangan Azzam.
"Dadah Adek." ucap Azzam sambil melambaikan tangan.
"Dah Abang." balas Aina.
Alvin dan Zia tersenyum melihat interaksi keduanya yang sangat dekat itu.
"Pamit ya kak. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Di perjalanan pulang Aina yang duduk di samping Alvin nampak anteng dengan mainannya tidak murung seperti tadi.
"Aina udah makan belum sayang?" tanya Alvin.
"Dah papa. Di lumah aty Zia."
"Makan sama apa?"
"Con tup."
"Hah con tup?"
"Con tup papa. Con tup." keukeuh Aina.
Alvin berpikir sejenak.
"Oh corn sup? Sup jagung."
Aina mengangguk.
"Banyak gak makannya?"
"Banak. Enak makan na."
"Pinter deh kalau banyak makannya."
"Oh iya Aina mau telepon mama gak?" tawar Alvin karena sudah sejak beberapa hari Aina belum berkomunikasi lagi dengan mamanya.
Aina mengangguk antusias. Sambil menyetir Alvin mencari kontak mamanya Aina kemudian meneleponnya dan menyerahkan hp pada Aina.
Sekian lama belum ada jawaban, hanya terdengar suara operator kemudian terputus.
"Lagi papa."
Alvin menelponnya lagi hingga berkali kali tapi selalu sama. Alvin melihat Aina, putrinya itu sudah tidak seantusias tadi. Alvin merasa bersalah karena dirinya yang menawarkan menelpon mamanya pada Aina.
"Maaf sayang." ucap Alvin.
Aina hanya mengangguk.
Jika ditanya apa pemicu Alvin berpisah dengan istrinya? Sebenarnya Alvin enggan menjelaskan karena baginya itu hanya membuka aib rumah tangganya di masalalu. Tapi salah satunya ya begini setelah menikah istri Alvin memilih melanjutkan pendidikan S2 nya. Alvin sangat menyupport istrinya. Namun saat berhasil menyelesaikan pendidikannya istri Alvin menjadi wanita karier yang super sibuk. Bahkan saat mengandung Aina pun istrinya sering pergi ke luar negeri untuk mengurusi pekerjaan. Alvin akui mantan istrinya memang wanita yang berpotensi.
Situasi semakin berbeda setelah istrinya melahirkan Aina. Jika biasanya wanita setelah melahirkan akan lebih memprioritaskan anak dan keluarga. Lain halnya dengan mantan istri Alvin yang merasa setelah melahirkan dirinya semakin bebas untuk berkegiatan. Bahkan Aina bayi pun tidak di berikan ASI oleh mamanya hanya sesekali saja jika mamanya ada di rumah. Sisanya Aina di susui oleh Zia. Jadi Azzam dan Aina itu bukan hanya saudara sepupu melainkan sodara sepersusuan. Bahkan kadang Vina juga ikut menyusui Aina.
Sebagai suami Alvin sudah mencoba berbicara secara lembut, serius bahkan sampai adu argumen. Tapi permintaan Alvin hanya di dengar. Alvin mencoba mengalah demi Aina.
Namun Alvin juga tetap manusia biasa, sampai di satu titik Alvin merasa sudah tidak di hargai sebagai suami. Titahnya sudah tidak diindahkan, perintahnya dilanggar, kedudukannya dilangkahi dan kehormatannya diabaikan.
Keputusan pun terpaksa harus Alvin ambil. Bukan keputusan yang indah, saat itu Alvin masih berharap pada proses mediasi berharap masalahnya masih bisa di atasi sebelum sampai di meja hijau. Tapi sayang lagi lagi Alvin merasa sudah tidak ada harganya.
Hingga palu hakim pun di ketuk, keputuskan di tetapkan. Tapi perjuangan Alvin belum selesai, ia masih harus memperjuangkan putrinya. Alvin sadar putrinya yang masih di bawah umur maka hak asuhnya akan jatuh pada mantan istrinya. Alvin tak mau kalau ia harus usaha lebih agar Aina tetap bersama dirinya. Tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Usaha Alvin terbayar dengan proses yang cukup panjang akhirnya hak asuh atas Aina jatuh ke tangannya.
Alvin tak pernah menutup akses bagi mamanya Aina untuk bertemu Aina. Tapi sayangnya setelah usia Aina 3 tahun pun bis di hitung jari berapa kali mamanya menemui Aina. Apalagi saat ini mantan istrinya memilih tinggal dan bekerja di luar negeri bersama keluarga barunya.
Jika mau egois Alvin juga bisa saja langsung mencari istri lagi. Tapi Alvin masih memikirkan Aina tentu bukan hal mudah mencari wanita yang benar benar bisa menerima Aina dan dirinya.
Hingga akhirnya Alvin bertekad ia hanya akan menikah jika Aina sendiri yang berkata.
'Papa Aina mau dia menjadi mama bagi Aina.'
"Alhamdulillah sampai sayang." ucap Alvin saat mereka sampai di rumah.
"Papa ndong." ucap Aina.
Alvin menggendong Aina dan membawanya masuk.
Malamnya hari ini teras beda karena bukan Alvin yang bercerita sebagai pengangantar tidur bagi Aina. Tapi Aina yang bercerita tentang kegiatannya hari ini. Aina juga berkata ingin sekolah. Aina juga menceritakan kejadian yang dianggapnya sebagai hal yang nakal.
"Tapi aty nya baik papa. Gak malah tama Aina. Aty na peuk Aina telus aty juga minta maaf tama Aina." ucapnya.
"Oh gitu. Aunty nya cantik gak sayang?"
"Tantik. Aty na pake keludung tama baduna kaya aty Zia." jawab Aina.
"Tapi badu aty na kotol tama Aina."
"Haha its okay sayang auntynya pasti bisa cuci sendiri bajunya."
"Aina mau temu Aty itu lagi papa."
"Haha udah ah udah malam Aina bobo ya."
"Tama papa ya."
"Iya sayang Ayo baca do'a dulu."
Alvin merenung. Sepertinya sinyal sinyal Aina meminta sosok seorang bunda sudah semakin terlihat. Apalagi melihat Aina sangat antusias menceritakan sosok aunty cantik yang baru ia temui.
**To Be Continued...
See You Next Part**...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!