Hidup sebagai orang berada atau orang-orang suka menyebutnya dengan kata "orang kaya" sudah merupakan sebuah beban selama hidupku. Sudah bisa hidup pun syukur, tapi ini masih ditambah banyak aturan. Tidak pernah bebas menentukan apa pun yang aku mau.
Semua ditentukan dari awal. Baik pendidikan maupun kesenanganku ditentukan oleh kedua orangtuaku. Untungnya setelah kelulusan pasca sarjanaku, aku diizinkan memilih pekerjaan di luar perusahaan Papa. Satu-satunya hal yang aku syukuri sepanjang hidupku. Mereka tidak bisa memaksakan kehendakku.
Hari itu berlalu tidak seperti biasanya. Aku melangkahkan kaki keluar dari kantor tiga jam lebih lambat dari biasanya. Langit mulai menggelap. Sebuah mobil sedan berwarna merah menungguku di luar. Seorang pria menunggu duduk di dalamnya. Dia adalah pacarku, namanya Fandy Raihan Ardhito. Aku lalu menghampirinya.
"Sayang, maaf aku telat keluar." Aku masuk ke dalam mobil.
"Iya sayang," jawabnya dengan wajah masamnya.
"Jangan cemberut gitu dong. Tadi ada deadline," balasku sambil mengenakan sabuk pengaman.
"Iya. Kita ngopi dulu. Aku lagi gak mood," ujar Fandy kemudian menginjak gas mobilnya.
Fandy sudah mendampingiku selama enam tahun terakhir. Dia yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajahnya tampan, alisnya tebal, matanya sedikit sipit dengan iris berwarna hitam, rambutnya sedikit bergelombang, kulitnya bersih dan dia tinggi berisi. Fandy juga seorang pekerja keras. Dia selalu berusaha dan berambisi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Sepanjang perjalanan Fandy hanya diam membisu tidak mengajakku berbicara. Terlihat dari wajahnya yang tegang. Seperti banyak yang dipikirkan. Matanya fokus ke arah jalan dan tidak banyak berbicara. Aku bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan. Tapi aku tidak berani mengutarakan karena wajahnya yang sedang tidak bersahabat.
Tidak lama kemudian kami tiba di sebuah kafe. Fandy keluar dari mobil berjalan cepat meninggalkanku di belakang. Aku yang memakai high heels tidak bisa menyusulnya. Dengan pasrah aku berjalan santai.
"Cuek sekali dia," gerutuku.
Fandy terhenti. Dia menoleh ke belakang dan berbalik arah meraih tanganku dan menggandengku. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Kamu lama banget sih jalannya!"
Aku tidak membalas kata-katanya. Kepalaku menunduk ke bawah melihat jalan setapak.
"Hei tidak lihatkah ia kalau aku pakai sepatu hak tinggi? Menyebalkan sekali, padahal hari ini adalah peringatan hubungan kami yang ke enam tahun. Merusak suasana saja."
Kami duduk di sebuah meja bulat kafe tersebut. Suasana cukup ramai malam itu. Kafe ini adalah tempat favorit kami. Seorang pelayan wanita menghampiri kami. Dia menanyakan pesanan kami.
"Kamu mau pesan apa?" Fandy bertanya
"Aku Ice americano," jawabku.
"Aku coffee latte."
"Makanannya tidak sekalian, Pak?" tanya pelayan itu.
"Sementara itu dulu."
Pelayan wanita itu mengangguk kemudian berlalu meninggalkan kami. Fandy terlihat serius menatap dalam mataku.
"Bagaimana tadi di kantor?" Fandy membuka pembicaraan.
"Seperti biasa ... walaupun sebenarnya ada deadline dan jadi telat pulangnya."
Fandy menganggukkan kepalanya. Matanya kembali memandangku.
"Sheryl, aku ingin bicara penting." Fandy membuka pembicaraan.
"Bicaralah," jawabku.
Tidak lama kemudian pelayan wanita tadi datang membawa pesanan kami. Dia mengganggu momen pembicaraan yang baru saja kami mulai.
"Terima kasih, Mbak," ucap Fandy.
Aku menyeruput es kopi itu. Tenggorokanku yang kering langsung hilang sekejap.
"Baiklah langsung aja ada yang mau aku sampaikan, Sher." Fandy kembali menatapku dalam.
"Iya bicara saja sayang. Aku juga ada yang mau aku tanyakan ke kamu," kataku.
Fandy kali ini aku benar-benar akan bertanya tentang keseriusan hubungan ini. Aku sudah lelah dengan status pacaran ini. Aku butuh kepastian.
Fandy menarik nafas dalam kemudian berkata, "Aku dipercaya untuk mengontrol perusahaan cabang di Jepang untuk waktu yang belum bisa ditentukan. Ini benar-benar berita bagus bukan? Pasti karirku akan berkembang. Di sana juga aku akan mencari beasiswa untuk pendidikanku selanjutnya. Kamu pasti bangga punya pacar sepertiku."
Mata Fandy berbinar menceritakan tentang kemajuan karir dan rencana pendidikannya. Aku mendengarkan sambil menghela nafas panjang beberapa kali.
"Lalu hubungan kita?" tanyaku.
"Ya begini saja, kita jalani hubungan jarak jauh dulu. Nanti aku pasti pulang dan menikahimu." Fandy menyeruput es kopinya.
"Baru saja aku ingin menanyakan keseriusanmu tentang hubungan kita dan aku sudah tahu jawabannya," sahutku berusaha tenang.
"Maksud kamu apa?" Fandy memandang wajahku bingung.
Aku menghela nafasku lagi berusaha menahan emosi, "Sekarang kita putus saja. Aku rasa aku sama sekali tidak ada di dalam agenda hidupmu dalam waktu dekat ini. Aku capek."
Aku segera membuka tas yang kubawa dan menyerahkan sebuah kado kecil peringatan jadian kami untuknya.
"Ini untuk kamu .... Happy anniversary. Kita seharusnya gak perlu ketemu lagi di waktu yang akan datang. Cukup! Aku pamit pulang!" Aku bergegas melangkahkan kakiku keluar dari kafe tanpa melihat ekspresi wajah Fandy.
Dengan langkah cepat aku keluar dari kafe. Air mata mulai menetes tak bisa lagi kubendung. Aku menangis dalam diam. Aku berharap dia mengejarku dan meminta maaf padaku. Tetapi itu hanya ada dalam anganku. Dia tidak ada yang mengejarku.
Aku berjalan keluar memanggil taksi tepat di pinggir jalan raya.
"Sheryl!" Terdengar suara pria memanggil namaku.
Aku pun menengok ke belakang, melihat sesosok pria memakai jas biru navy dengan kemeja putih di dalamnya. Perawakannya tinggi dan tegap serta bertubuh atletis. Wajahnya tampan dengan warna kulit putih kecoklatan. Dia adalah Baruna Adrian Asyraf sahabat kakakku sekaligus pria yang sudah dijodohkan denganku. Umurnya yang sebaya dengan kakakku membuatku memanggilnya Kak Baruna.
Taksi yang baru saja berhenti di depanku langsung diperintahnya untuk berlalu. Kak Baruna memandangku heran. Aku buru-buru menyeka air mataku.
"Kamu sedang apa di sini?" tanyanya
"Sedang ada urusan Kak. Tapi sudah selesai kok."
"Lalu kenapa menangis? Ayo aku antar pulang. Tidak baik seorang gadis sendirian malam-malam begini." Kak Baruna menarik tanganku. Aku terpaksa berjalan mengikutinya.
Aku masuk ke dalam sebuah mobil sport milik Kak Baruna. Diam tanpa kata-kata. Kak Baruna pun tidak banyak bertanya. Dia segera menginjak pedal gasnya.
Sebuah telepon masuk ke dalam ponselku. Nama Fandy tertera di layar. Aku tidak ingin berbicara dengannya. Rasanya sudah cukup. Ini adalah bentuk ketegasanku untuknya yang lelah karena selama ini selalu mengikuti maunya. Tidak pernah mau tahu apa yang aku inginkan.
Kak Baruna melirik layar ponselku lalu bertanya, "Kenapa kamu gak angkat teleponnya? Kasihanlah siapa tahu penting."
Aku langsung berwajah masam saat itu juga. Malas sekali aku mengangkat telepon orang yang sudah mengabaikanku.
"Ya - ya - ya oke aku ngerti. Aku tidak akan banyak komentar." Kak Baruna mengangkat sebelah tangannya mengerti raut wajah masamku.
"Aku baru putus Kak." Sebuah kalimat meluncur begitu saja dari mulutku.
"Sama pacarmu yang dulu itu?"
"Iya Kak."
"Kenapa?"
"Capek," jawabku.
"Sini kalau capek, kamu bisa bersandar di bahuku. Tapi nanti saja ya, aku sedang menyetir. Hahaha." Kak Baruna terkekeh.
"Huu .... Kakak mengambil kesempatan dalam kesempitan," protesku.
Kak Baruna tersenyum dan berkata, "Sher meskipun kita sudah dijodohkan dari empat tahun yang lalu, aku tidak rela sih kalau kamu menangis karena pacarmu di hadapanku. Tapi berhubung kamu sudah putus, sepertinya akan jadi kesempatan untukku."
"Mulai deh ambil kesempatan. Kenapa Kakak tidak pacaran sama cewek lain saja sih? Secara fisik oke, secara finansial apalagi. Pasti banyak ceweklah yang mau sama Kakak," jawabku.
"Kalau bisa sudah dari dulu aku melakukannya."
Aku terdiam tidak membalas kata-katanya. Aku tahu ini pasti akan menjurus ke curahan hatinya yang sudah lama mengejar cintaku.
"Maaf kalau kata-kataku mengganggumu," ujar Kak Baruna.
Aku mengangguk menangapi kata-katanya. Sungguh aku belum bisa mencerna informasi lain selain pikiranku dipenuhi oleh Fandy.
Malam semakin larut. Mobil yang dikemudikan Kak Baruna baru saja berhenti di halaman rumahku. Aku melangkahkan kaki keluar dari mobil. Kak Baruna berjalan mengikutiku dari belakang.
"Kakak mau mampir?" tanyaku.
"Iya sebentar saja. Kamu senyum dong jangan sedih lagi. Nanti orang rumah khawatir," katanya sembari menyunggingkan senyum kecil di hadapanku.
Aku pun ikut larut terbawa perasaan lalu tersenyum. Hatiku sudah jauh membaik.
Aku melirik ponsel dalam genggaman, sebuah notifikasi dua panggilan tidak terjawab dari Fandy menarik pandanganku. Mungkin nanti aku akan block nomornya agar dia tidak bisa menghubungiku.
Kak Reza membuka pintu ruang tamu. Dia begitu terkejut melihatku berdua dengan Kak Baruna.
"Kok bisa bareng?" tanyanya.
"Gak sengaja ketemu Za," jawab Kak Baruna.
"Hei Bar ... gimana kabar lo? Bukannya kemarin masih di Jepang?" Kak Reza menyambut sahabatnya dan memeluknya.
"Baik, lo gimana? Baru sampai tadi sore terus meeting dulu di kafe. Terus enggak sengaja ketemu Sheryl."
Kak Reza menoleh ke arahku, "Pergi ke kafe sama siapa kamu, Dek?"
"Mau tahu saja. Kalian ngobrol saja berdua. Aku mau ke kamar." Aku pamit dan berlalu meninggalkan mereka.
"Langsung istirahat ya. Jangan begadang!" perintah Kak Reza.
"Iya ka. Sudah ya." Aku bergegas meninggalkan mereka.
Baru saja aku selesai mandi saat ponselku tiba-tiba berdering. Tertera nama Fandy di layarnya. Kemudian aku menjawab panggilan itu.
"Ada apa lagi?"
"Apa kamu serius dengan perkataanmu tadi?"
"Menurutmu?"
"Apa kamu masih mencintaiku?"
"Apa artinya cintaku jika dibandingkan dengan segala mimpi yang kamu miliki?" Aku mulai emosi. Air mata mulai luruh turun ke kedua belah pipi.
"Aku pikir kamu akan mendukung semua cita-citaku. Ternyata aku salah. Kamu sama sekali tidak mendukungnya."
"Maaf, ini adalah bentuk dukunganku. Aku tidak mau bersamamu lagi. Aku pikir kita akan menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius dalam waktu dekat tapi ternyata aku juga salah menilaimu. Tidak ada diriku di dalam agenda cita-citamu. Ah ... sudahlah lupakan saja!"
"Sheryl, mengertilah kamu juga ada di dalam agenda hidupku. Aku mohon untuk bersabar. Kita pasti akan menikah. Jangan kamu jadikan umur sebagai patokan hidupmu untuk menikah. Saat aku sudah siap semua pasti aku akan menikahimu. Bersabarlah."
"Aku sudah sabar selama ini Fan. Mungkin kamu tidak bisa merasakan. Aku ini wanita yang butuh kepastian."
"Kamu ingin apa? Apa aku harus melamarmu untuk meyakinkanmu?!" Terdengar suara Fandy dengan intonasi yang meninggi.
"Apa aku harus mengulang kata-kataku lagi?!" Suaraku ikut meninggi. Hanya emosi yang tersisa dan pastinya akan membuat kami bertengkar lagi.
"Sudahlah besok aku akan menghubungi kamu lagi saat kepala kita sama-sama dingin dan dapat berpikir sehat."
Fandy memutus teleponnya sepihak. Aku menghela nafas panjang. Masih ingin memakinya.
Apa semua laki-laki tidak bisa menangkap sinyal yang diberikan perempuan kalau sedang marah? Aku hanya ingin jawaban 'ayo kita menikah', itu saja. Sesulit itu kah?
Tidak lama sebuah panggilan telepon muncul kembali. Kali ini Kak Baruna menelepon. Aku menyeka air mataku dan menjawab teleponnya.
"Sher sudah tidur?"
"Belum Kak." Aku menjawab dengan suara serak.
"Kamu masih menangis?"
"Tidak Kak. Kakak ada apa telepon?"
"Aku pamit pulang ya. Tadi habis berbincang-bincang dengan Reza dan papamu. Kamu jangan sedih berkepanjangan. Seperti yang aku katakan tadi, kalau kamu butuh bahu untuk bersandar aku siap berada di sampingmu."
"Terima kasih Kak. Malam ini Kakak sudah sangat baik padaku. Aku tidak tahu bagimana cara membalasnya."
"Hmm ... apa ya? Oh iya kebetulan sekali ada film yang ingin aku tonton. Kamu harus temani aku ya," pintanya.
"Ehm ... boleh deh."
"Sip. Besok aku jemput pulang kantor."
"Iya Kak."
Aku menutup telepon, terdiam merenung.
Mungkin saja menonton dapat menghiburku kembali.
Empat tahun lalu aku baru tahu kalau aku dijodohkan dengan Kak Baruna. Ayah Kak Baruna yang aku panggil Om Anton adalah teman karib sekaligus teman bisnis papa. Mereka merencanakan perjodohan ini dengan harapan perusahaan mereka bisa bersatu dan menambah keakraban antar keluarga.
Bukannya aku tidak suka dengan Kak Baruna. Dia adalah tipe pria yang diidam-idamkan banyak wanita. Wajahnya tampan, tubuhnya pun gagah dan atletis. Perangainya baik dan sopan. Pekerjaannya mapan sekali. Sekelas direktur sebuah perusahaan yang sudah mendunia, pasti banyak wanita yang ingin mendekatinya.
Anehnya saat dia tahu dijodohkan denganku dia tidak menolak. Dia mengikuti saja apa kata orang tuanya. Tapi aku tidak bisa seperti itu. Aku tidak punya hati untuknya. Aku mencintai kekasihku. Dia pun mengetahuinya dan tetap baik padaku. Aku tidak boleh terlalu percaya diri, mungkin saja dia seperti itu karena aku adik sahabatnya.
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Rasa lelah menyelimuti tubuhku. Wangi semerbak yang berasal dari lilin beraromaterapi di kamar menemani malam yang sunyi. Aku masih teringat kata-kata Fandy kemudian mulai menangis lagi hingga akhirnya tidak sadar dan terlelap tidur.
Paginya ....
Malam tidak terasa berlalu begitu cepat. Bunyi alarm ponsel membangunkanku. Aku melihat jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Aku tersentak kaget, mataku terbuka dengan sekali kejapan mata. Aku menyadari keterlambatanku pagi ini. Segera aku mengambil handuk dan mandi secepat kilat.
Mata yang membengkak menghiasi wajahku sehingga membuat mood-ku hilang saat bercermin. Suara Kak Reza terdengar memanggilku dari balik pintu kamar.
"Dek cepetan! Kamu mau bareng Kakak tidak? Kakak dan Papa sudah telat banget nih mau meeting."
"Iya Kak, duluan saja. Aku bisa berangkat sendiri," sahutku.
Kami memang selalu berangkat bersama. Kak Reza, aku, dan Papa. Perusahaan Papa memang tidak jauh dari kantorku. Kak Reza pun bekerja di perusahaan Papa. Sedikit banyak masih belajar bisnis dan membantu Papa di perusahaannya.
Aku menata rambutku lalu meraih tas coklat yang tergantung di sebuah gantungan tas, bergegas keluar kamar terburu-buru hingga sampai di ruang makan menemui mama yang sudah ada di sana.
"Sher, sarapan dulu," Mama memanggilku.
"Maaf Ma, aku sudah telat," kataku sambil meraih segelas susu putih hangat dan meminumnya.
"Ya sudah, ini mama buatkan bekal saja. Nanti dimakan di kantor ya. Oh iya ada Nak Fandy nunggu kamu di teras."
"Dia sedang apa, Ma?"
"Ya jemput kamu lah. Kasian dia sudah menunggu lama."
"Ya sudah Ma, aku berangkat ya." Aku memeluk Mama dan mencium kedua belah pipinya dan pamit.
Mau apa dia datang ke rumah? Hubungan kami baru saja putus semalam. Aku belum siap bertemu dengan Fandy lagi. Bagaimana ini? Menghindar pun rasanya percuma. Jadi apa pun yang terjadi aku harus menghadapinya.
"Pagi sayang," sapa Fandy dengan senyum kecil tersungging di bibirnya.
Aku meyeringai sinis, "Maaf aku buru-buru. Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu."
Aku menelepon supir pribadiku dan memintanya mengantarku.
"Pak Erwin di mana? Tolong antarkan saya ke kantor sekarang," perintahku.
"Siap Mbak Sher."
Aku menutup telepon kemudian menunggu Pak Erwin datang. Fandy menghampiriku masih dengan wajah memelasnya.
"Kamu harus ikut aku." Fandy meraih tanganku menariknya erat.
Pak Erwin kemudian muncul dengan mobilku tapi Fandy memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Merekatkan sabuk pengaman secara paksa. Fandy menginjak pedal gasnya. Mobil matic itu berjalan kencang.
Ponselku berdering, Pak Erwin meneleponku. Aku lalu menjawab panggilan teleponnya.
"Mbak, bagaimana ini? Apa saya harus kejar Mbak?"
"Tidak usah Pak. Saya baik-baik saja."
Mobil berjalan kencang. Fandy mencengkeram setirnya sambil menaikkan kecepatan laju kendaraan. Aku memejamkan kedua mataku dengan kedua tangan sibuk menggenggam erat sabuk pengaman. Aku takut kami celaka.
Kerasukan setan apa dia sampai harus mengebut seperti ini?
Setengah berteriak aku mencoba menghentikannya, "Gila kamu ya?! Mau mati?!"
"Biar aja kita mati sama-sama. Aku mau tahu seserius apa kamu dengan kata-katamu semalam?" katanya dengan nada kesal.
"Aku serius, kita sudah putus Fan."
Fandy menghentikan mobilnya dengan rem mendadak membuat dadaku sakit terkena tarikan sabuk pengaman.
"Aku tidak mau dengar!" Nada suara Fandy mulai meninggi.
Aku membuka sabuk pengamanku dan membuka pintu tapi tidak bisa karena dihalangi Fandy.
"Kamu mau kemana? Kamu harus dengar dulu penjelasanku."
Aku terdiam mengangguk. Aku akan mendengarkan apa yang akan Fandy katakan.
"Kamu ini anak perempuan satu-satunya dari bapak Agung Praja Kusuma orang terkaya nomor sepuluh di negara ini. Aku tidak mungkin melamar kamu dengan kondisiku sekarang."
"Aku tidak peduli statusku apa. Aku cuma ingin mencari kebahagiaanku sendiri," Aku menyahut dengan suara berubah sedikit parau menahan tangis.
"Enam tahun berhubungan dan kamu mau mencampakkanku begitu saja?"
"Justru karena enam tahun kamu harusnya berpikir mau dibawa ke mana hubungan ini!"
Fandy menghela nafas panjang. Ada kekecewaan yang nampak di wajah tampannya. Kemudian suasana mulai hening tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami.
"Aku mau keluar. Aku mau kerja. Aku sudah telat Fan." Aku memecah keheningan.
"Sekali ini temani aku. Kamu ijin saja."
"Kenapa jadi kamu yang mengatur? Hubungan kita sudah beda visi dan misi. Mesti aku ulang berapa kali sih?!" Aku bertambah emosi.
"Tapi aku masih cinta kamu Sher. Jangan seperti ini. Kita bisa jalani hubungan jarak jauh nantinya. Gak perlu putus." Fandy memelas.
"Carilah wanita yang mengerti jalan pikiranmu. Sudah buka pintunya!" perintahku.
"Tidak mau!"
Fandy lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia menyentuh dan memberikan sebuah sentuhan di bibirku dengan belaian lembut bibirnya. Seketika aku terbawa suasana menikmati dan membalasnya.
Tidak lama kemudian aku tersadar ini adalah hal yang tidak benar. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengannya. Air mataku pun jatuh berlinang mengingat dia yang tidak bisa memperjuangkan hubungan kami. Aku lalu mendorong tubuhnya sekuat tenaga.
"Kenapa berhenti? Kamu terlihat menikmati ciumanku bahkan kamu membalasnya?"
"Maaf aku terbawa suasana. Hubungan kita sudah berakhir. Sudah lupakan saja. Anggap hal itu tidak pernah terjadi."
"Tapi kamu menangis. Itu tanda kamu menderita meminta putus denganku."
"Biarlah aku menderita. Karena derita ini yang nantinya akan menjadikanku kuat. Sekarang aku minta kamu buka pintunya."
Fandy menarik nafas dalam-dalam. Dia terlihat memikirkan sesuatu kemudian dia berkata, "Aku akan antar kamu ke kantor. Anggap saja ini pertolongan seorang teman."
"Baiklah," jawabku.
Setengah jam kemudian aku telah tiba di kantor. Datang telat yang dibumbui dengan tatapan sinis dari para karyawan lain. Aku melewatkan meeting penting dengan bagian tim marketing dan direktur. Aku hanya bisa diam dan menghela nafas panjang berkali-kali.
Seorang wanita cantik dengan tinggi semampai menghampiriku. Namanya Irene Putri. Dia sahabatku di kantor.
"Sher, ke toilet yuk," ajaknya.
Aku mengangguk dan mengambil pouch make up dari dalam tas karena wajahku kusut membuatku ingin berdandan sedikit agar terlihat lebih segar. Kami melangkah keluar menuju toilet.
"Tumben lo telat. Mana muka kusut. Mata bengkak. Lo abis ngapain sih?" tanya Irene di depan cermin toilet.
"Panjanglah ceritanya. Nanti gue ceritain pas istirahat."
"Oke deh. Sini bawah mata lo gue pakein concealer biar gak kelihatan bengkaknya." Irene meraih concealer dari dalam pouch make up ku.
Irene mulai merias wajahku yang kusut itu. Dia yang paling mengerti saat-saat seperti ini. Saat aku sedang berada di titik terburukku. Dia yang menghiburku dan siap membantuku seperti ini walaupun merupakan hal kecil. MUA lepas ini memang sangat bisa aku andalkan sekarang.
"Lo tadi dicariin sama Pak Renaldy. Kelihatannya meeting nya gak berjalan lancar karena gak ada lo."
"Iya nanti gw ke ruangannya Ren. Gue tahu gue salah," jawabku.
"Tadi dia kelihatan cemas banget tahu nungguin lo dateng gara-gara teleponnya gak diangkat sama lo."
"Iya nanti gue minta maaf sama dia."
"Sip. Udah tuh gue dandanin. Nah gini kan bagus kelihatannya lebih cantik. Pantes si Fandy betah sama lo lama-lama."
Aku terdiam tidak membalas kata-kata Irene. Kami lalu melangkahkan kaki keluar dari toilet. Di tengah jalan aku bertemu muka dengan bapak Renaldy atasanku.
"Sher ikut saya ke ruangan. Saya mau bicara."
"I-iya pak," jawabku gugup.
Kemudian aku mengikutinya menuju ruang kerjanya. Sungguh cemas rasanya takut dia memarahiku habis-habisan.
"Kamu tahu kamu salah apa?" Pak Renaldy membuka pembicaraan.
"Iya pak saya telat. Gak ikut meeting sama tim marketing dan direktur."
"Kamu ini adalah karyawan saya yang paling saya percaya tapi kamu mengecewakan saya kali ini. Maaf kali ini kamu saya beri surat peringatan pertama," jelasnya sambil menulis surat peringatan buatku.
"Tanda tangan di bawahnya," katanya lagi.
"Iya pak," sahutku
Pagi yang sangat menyebalkan berlalu begitu saja berganti dengan waktu istirahat yang telah tiba. Aku dan Irene duduk di kantin kantor menikmati makan siang kami.
"Pak bos tadi ngomong apa Sher?"
"Gue dikasih surat peringatan pertama Ren."
"Gila .... Anak kesayangan dikasih surat peringatan? Belom tahu dia kalo lo ngambek bisa pindah kerja ke perusahaan bokap lo." Irene terkekeh.
"Enggak usah ngeledek deh. Gue kalo mau ke perusahaan bokap mah gampang. Tapi gue kerja di sini mau mandiri. Lo kan tahu."
"Iya deh. Non Sheryl memang selalu benar. By the way itu tadi pagi kenapa sih?"
Aku pun menjawab pertanyaan Irene dengan sejelas-jelasnya. Irene mendengarkan dengan seksama. Sesekali dia terlihat terkejut dan mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Gue enggak menyangka Fandy akan seperti itu sama lo Sher. Tapi masuk akal sih sama alasannya dia," kata Irene.
"Lo malah belain dia ya bukannya gue sahabat lo. Gue ini ceweknya tapi gak ada gue di prioritas hidupnya!" sahutku berapi-api.
Irene tersenyum mendengar pembelaanku lalu berkata, "Kita balik yuk. Udah kenyang nih gue."
Aku mengangguk mengiyakan kemudian melangkah meninggalkan kantin kantor. Kami berjalan melewati meja resepsionis. Mbak Maya salah seorang resepsionis memanggilku.
"Mbak Sheryl, ini loh tadi ada titipan buat mbak dari abang ojek online." Mbak Maya mengeluarkan sebuah dua kotak besar loyang pizza dan dua botol besar cola.
"Saya gak pesen pizza loh Mbak." Aku mengernyitkan dahiku heran mendapati dua makanan dan minuman itu.
"Tapi bener kok ini untuk Mbak Sheryl tim marketing. Ada suratnya pula ditempel di atas kotaknya."
Aku melihat sebuah amplop surat bertuliskan namaku di atasnya. Aku pun membuka amplop itu dan membaca sebuah pesan singkat yang menghiburku siang ini sehingga membuatku tersenyum-senyum sendiri.
"Bagaimana makan siangnya? Kalau belum kenyang aku bawakan seloyang pizza lagi untuk kamu yang cantik. Boleh juga kamu bagikan ke teman-temanmu yang baik hatinya. Salam manis dari seseorang yang memperhatikanmu."
"Dari siapa Sher? Kok lo senyum-senyum sendiri?" tanya Irene penasaran.
Aku memberikan surat yang baru saja aku baca kepada Irene. Dia lalu membacanya. Aku sangat penasaran dengan pengirim pizza tersebut. Siapa orang yang memperhatikanku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!