NovelToon NovelToon

Terjebak Cinta Nona Arogan

1.

Sebuah mobil mewah tampak berhenti tepat di depan sebuah bangunan kafe mewah dan terkenal di kota itu. Pemilik mobil yang tak lain seorang gadis cantik itu tampak memarkirkan mobilnya di area parkir kafe.

Belum berniat turun, gadis cantik si pemilik mobil itu hanya mengedarkan pandangannya, menatap malas ke arah gedung kafe yang menurutnya sangat ramai itu.

Gadis itu mengetukkan jarinya ragu sembari menatap pada keramaian. Ia menghela pelan, dengan malas meraih tas dan mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi seseorang.

"Aku sudah sampai di depan kafenya." ujar gadis itu dengan nada ketus pada lawan bicaranya ditelepon itu. "

"Ada baiknya kau ingat baik-baik. Waktuku tak banyak untuk pertemuan tak penting ini. Aku memberimu kesempatan untuk bertemu lagi denganku. Jadi, kuharap kau tak membuat waktuku terbuang sia-sia nanti!" ujarnya lagi dengan nada mengancam.

Setelah menutup sambungan teleponnya, gadis itu segera beranjak keluar dari mobil dan memasuki gedung kafe mewah itu.

Dan, baru saja gadis itu menginjakkan kaki di area kafe, seluruh pandang mata langsung mengarah padanya, menatapnya. Entah mereka sedang terpana akan kecantikannya atau mereka memang mengenal siapa sosok gadis itu.

Gadis cantik itu menyeringai senang. Ia tahu dengan jelas jika saat ini semua orang tengah memperhatikan dirinya.

"Aku memang sangat populer. Entah dimana pun aku berada orang-orang pasti mengenalku." gumam gadis itu.

Baginya, ini merupakan salah satu kesempatan emas untuk membuat orang semakin kagum padanya. Dalam hidup ini tidak ada hal yang lebih baik dan juga membanggakan lagi baginya selain mendengar pujian dan tatapan kagum dari orang-orang.

Gadis cantik itu melirik ke sudut yang lain. Tampak orang-orang di sana juga sibuk memperhatikan dirinya. Hal itu membuatnya semakin yakin jika tidak ada orang yang tidak mengenalnya saat ini.

"Lihat saja orang-orang itu. Sudah jelas mereka mengenalku. Mereka terus memperhatikanku. Lagipula, siapa yang tak mengenal diriku?" gumamnya tersenyum miring. Ia memasang kaca mata hitamnya dan melenggang dengan gaya angkuh.

Ya, dia memang benar.

Siapa yang tidak mengenalnya? Seorang gadis cantik yang tengah menjadi pemberitaan utama di media manapun di negara ini. Seorang model terkenal yang sangat sering sekali hilir mudik entah di televisi, majalah atau di produk-produk ternama. Itu karena ia memang sering diminta menjadi model iklan dari banyak sekali brand terkenal.

Dia adalah Charlotte Clinton.

Gadis cantik berumur dua puluh satu tahun. Seorang model yang sangat terkenal di negara ini. Selain itu, ia juga dikenal sebagai anak konglomerat. Ia lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga kaya raya dan sangat berada.

Ayahnya merupakan seorang konglomerat ternama sementara ibunya adalah seorang desainer terkemuka yang sebelumnya juga dikenal sebagai seorang model ternama.

Namun sayang, kedua orang tuanya itu sudah lama tiada. Mereka meninggal dalam kecelakaan tunggal yang membuat Charlotte harus menjadi gadis yatim piatu sejak kecil.

Semenjak kejadian itu, Charlotte hidup bersama tuan Romanov Clinton, yang merupakan kakek kandung Charlotte dari pihak ayahnya. Tuan Romanov adalah orang yang merawat dan juga menjaga Charlotte sejak ia kecil hingga saat ini.

Lahir di keluarga yang berkelimpahan harta dan terpandang membuat Charlotte memiliki kehidupan yang glamor dan serba mewah. Ia dikenal sangat suka memakai barang-barang mewah dan bermerek yang akan membuat gadis manapun yang melihatnya akan menjadi iri.

Sejak kecil, Charlotte merupakan tipe gadis yang tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan semua barang-barang mewah yang diinginkan. Itu karena kakeknya akan dengan senang hati memberikan apapun padanya sekalipun ia tidak memintanya.

Ia bahkan tidak harus bekerja ataupun berurusan dengan segala kerumitan kantor untuk mendapatkan semua itu. Kakeknya bahkan tidak keberatan sedikit pun saat gadis itu mengatakan bahwa dia menolak untuk mengurus usaha milik keluarganya itu dimasa depan.

Tuan Romanov mengatakan, siapapun yang menjadi suami Charlotte kelaklah yang akan mengurus semua usaha milik keluarganya itu.

Charlotte sendiri saat ini lebih memilih untuk menggeluti dunia modeling yang menurutnya lebih sesuai dengan hobinya yang memang turunan dari sang ibu yang merupakan mantan model ternama.

Awalnya, menjadi model hanya sebatas hobi bagi Charlotte. Ia senang bisa berpose dan mendapat perhatian, itu sebabnya ia selalu tampil dihadapan orang-orang. Namun kini, sepertinya hobi itu sudah berubah menjadi sebuah profesi baginya.

Bagi Charlotte, menjadi seorang model setidaknya akan membuat dirinya bisa lebih bersantai di bandingkan harus membantu mengurus bisnis keluarga. Apalagi jika ia harus mengurus segala tumpukan dokumen yang hanya akan membuatnya sakit kepala itu.

Profesinya sebagai model ini juga membuatnya lebih bebas dan tidak terkekang dengan tumpukan kertas yang akan membuat kepalanya pecah. Lagipula pada akhirnya ia juga akan mewarisi seluruh harta kakeknya itu tanpa perlu mengurusi apapun.

Terlihat sempurna bukan?

Seorang gadis yang cantik, lahir di keluarga yang kaya raya, sukses dengan pekerjaannya dan ia juga sangat terkenal. Benar-benar gambaran gadis dengan kehidupan yang sempurna.

Dan dengan segala kelebihan yang ia miliki, Charlotte bisa dengan sangat mudah mendapatkan apa yang dia inginkan, termasuk pasangan.

Semua pria jelas akan dengan sangat mudah bertekuk lutut di hadapannya. Bahkan hanya dengan satu kali tunjuk saja ia sudah bisa mendapatkan pria manapun yang ia inginkan.

Tapi sayangnya, tidak semua pria bisa mendapat perhatian Charlotte. Ia sendiri di kenal sebagai wanita yang sangat pemilih dalam hal mencari pasangan. Charlotte tidak pernah asal-asalan dalam memilih pria yang akan menjadi pasangannya. Dalam hal ini, dia hanya menyentuh pria yang punya kuasa, seperti pria kaya raya dan terkenal.

Fakta mengejutkan lainnya tentang Charlotte adalah dia selalu mengencani para pria setidaknya hanya satu minggu setelah mereka bertemu.

Charlotte akan berkencan dengan pria itu, membuat mereka tergila-gila padanya lalu pergi esok harinya tanpa ikatan apapun. Ia mencampakan para pria kaya itu dengan sangat mudah, semudah ia membalikkan telapak tangan.

Bicara tentang mencampakkan, sama seperti saat ini Charlotte tengah duduk menyilang di salah satu kursi di kafe mewah yang barusan ia datangi tadi. Charlotte duduk berhadapan dengan sosok pria bertubuh tinggi yang mengenakan setelan jas rapi di tubuhnya, sedangkan matanya hanya menatap tajam pada pria itu.

"Kau tidak ingin pesan sesuatu?" tanya pria itu dengan ramah. "Kau pesan saja, aku yang bayar."

Charlotte hanya diam sambil terus menatap lelaki itu, masih dengan tatapan tajamnya. Ia menatap pria itu seolah sangat ingin memakan lelaki itu sekarang.

Lelaki itu tampak tersenyum, "Sebenarnya aku tadi mau pesan untukmu tapi aku tidak tahu kau suka minuman apa. Kau mau minum apa?"

"Aku tak ingin minum apapun, Brandon!"

"Begitu rupanya." Lelaki yang di panggil Brandon itu hanya bisa tersenyum kecut. "...atau kau ingin makan sesuatu? Aku tadi udah pesen makanan un-"

"Cukup Brandon!" potong Charlotte, mengangkat tangannya. "Berhenti basa-basi dan cepat katakan, untuk apalagi kau mengajakku bertemu di sini?"

Pemuda tampan itu kembali tersenyum menatap wajah Charlotte.

"Charlotte, aku kemarin baru pulang dari luar negeri." ujar Brandon dengan nada ceria. "Dan aku juga beli hadiah buatmu! Ini mahal banget dan aku yakin kau akan suka!"

Charlotte hanya melirik sekilas lalu tersenyum sinis melihat barang pemberian dari lelaki di hadapannya itu. Ia melipat kedua tangannya di dada lalu menyadarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Itu tas?"

"Benar."

"Aku sudah punya barang itu, Brandon!"

"Benarkah? Maaf Charlotte, aku tidak tahu." jawab Brandon terkejut. Ia tampak tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Bagaimana dengan yang ini?" Brandon kemudian mengeluarkan tas belanjaan yang lainnya, kemudian meletakkannya ke atas meja dan mengeluarkan isinya. "Aku dengar yang ini hanya ada tiga di negara kita, aku rasa kau pasti-"

"Yang itu juga sudah punya!" potong Charlotte.

"Punya juga?"

"Aku dapat langsung dari seorang bos sebuah brand kosmetik sebagai ucapan terima kasih karena aku sudah bersedia jadi brand ambasador produk mereka bahkan berhasil membuat produk mereka langsung sold out." jelas Charlotte dengan nada datarnya.

"Ah, begitu rupanya."

"Hanya ada tiga, kan? Bukankah aku adalah salah satu dari tiga orang pemilik barang itu di negara ini, begitu kan? Aku luar biasa sekali, ya."

Brandon hanya bisa melongo mendengarnya. Ia lalu mengeluarkan hadiah terakhirnya."Kalau yang ini, bagaimana?"

"Ck, itu produk level dua! Semua barang milikku jelas adalah produk level satu. Itu juga bukan merek yang kusuka, bukan gayaku!" Charlotte mengibaskan tangannya. "Lagi pula motifnya juga terlalu norak. Aku tak suka!"

Pria itu kembali menghela nafasnya pelan. "Oke, jadi apa yang kau mau? Apa yang belum kau punya? Sebut! Beritahu aku."

"Sebentar, Brandon!" Charlotte menegakkan posisi duduknya, menatap Brandon datar.

"Harusnya di sini aku yang bertanya padamu. Kenapa kau meminta bertemu denganku? Bisa kita langsung keintinya, biar cepat!"

"Jadi begini." Brandon berdehem sebentar. "Aku mengajakmu ke sini karena aku ingin kita balikan."

Charlotte menaikkan sebelah alisnya.

"Hah?"

***

✔ Note :

▪Author peduli dengan kesehatan mata kalian, jadi, kalau kalian kurang suka sama ceritanya, Author sarankan kalian untuk mencari cerita yang lain saja, karena cerita ini bisa menyebabkan sakit mata akut.

2.

"Charlotte, aku tidak bisa putus denganmu! Aku tak mau."

Charlotte menatap Brandon beberapa saat dengan sebelah alisnya yang terangkat.

"Apa hanya itu yang ingin kau katakan?"

"Iya, itu yang ingin aku katakan!"

"Hanya itu?" Charlotte bertanya sekali lagi, memastikan.

"Benar, aku tak ingin putus denganmu." tegas Brandon.

"Tunggu dulu!" Charlotte terkekeh sinis. "Jadi, alasan kau memintaku kemari dan membuatku sampai harus menyetir sejauh sepuluh kilometer, hanya karena kau ingin mengatakan itu?"

Brandon mengangguk ragu.

"Ya ampun, Brandon!?" sentak Charlotte menggebrak meja. Saat ini ia sudah benar-benar kehilangan kesabarannya. "Bodoh sekali diriku sudah mau datang kemari. Aku baru saja membuang waktu untuk menemuimu hanya untuk mendengar semua omong kosong itu!" omel Charlotte.

"Charlotte, aku tak ingin berpisah denganmu. Jangan memutuskan hubungan kita seperti ini. Kumohon padamu. Aku ingin kita kembali."

"Tapi kita ini sudah putus, Brandon. Aku yang sudah memutuskanmu, ingat? Dan kau tahu apa?" Charlotte menjeda kalimatnya, "...pantang buatku untuk bisa balikan dengan mantan."

"Tapi aku tak mau putus denganmu. Aku ingin kita kembali." Brandon bersikeras memegang kedua tangan Charlotte.

"Kau sudah gila ya, Brandon?" Charlotte menarik tangannya dari Brandon, menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan kelakuan lelaki di hadapannya ini.

"Lottie, kalau kita kembali, aku janji akan jadi yang terbaik untukmu." Brandon menangkupkan kedua tangannya memohon pada Charlotte.

Charlotte mengibaskan tangannya acuh.

"Lupakan saja janjimu itu. Kau tau, janjimu itu tak berguna sama sekali untukku! Karena mau bagaimana pun aku juga tak akan bersedia kembali denganmu!"

Diam-diam Charlotte tersenyum puas melihat wajah putus asa Brandon. Jelas sekali lelaki di hadapannya ini sudah benar-benar kehilangan wibawa dan reputasinya.

"Memangnya berapa yang kau mau supaya kita bisa balikan lagi?" tanya Brandon tiba-tiba.

"Apa?"

"Aku akan berikan semua yang kau minta padaku, sebutkan saja berapa?"

Charlotte memutar bola matanya malas. "Ya ampun Brandon, memangnya kau pikir aku ini wanita miskin?"

"Bukan begitu-"

"Ah, kau pasti sedang mengejekku, kan? Kau berpikir kalau aku ini gadis matre, ya kan?" tuduh Charlotte tajam.

Brandon sontak kelabakan.

"Bukan begitu, aku cuma-" Brandon hendak bicara namun ucapannya langsung di potong oleh Charlotte.

"Kau pikir aku ini adalah gadis murahan yang akan menuruti apapun ucapanmu setelah di berikan ini dan itu?"

Brandon kini hanya bisa meruntuki mulutnya yang sudah salah bicara itu. Ucapannya hanya semakin memperkeruh suasana dan merusak momen yang ada. Dia yakin, karena kebodohannya ini dia pasti akan semakin sulit mendapatkan hati wanita ini.

"Charlotte, aku tidak-"

"Sudahlah!" Charlotte mengangkat tangannya, menghentikkan ucapan Brandon. "Lebih baik berhenti membahas hal ini. Tak penting. Semua kalimat yang keluar dari mulutmu itu hanya bisa membuat telingaku semakin sakit saja!"

"Oke, maafkan aku!" Brandon berujar pelan. "Aku sungguh tak bermaksud membuatmu tak nyaman. Dan aku tau kalau barusan aku sudah salah bicara dan membuatmu tersinggung!"

"Apa sudah selesai?" tanya Charlotte. "Apa sudah selesai urusannya atau ada hal lain lagi yang perlu kau bicarakan padaku?"

"Aku ingin mengajakmu kembali bersama. Hanya itu. Aku tak bermaksud apa-apa lagi selain itu, apalagi membuatmu tersinggung."

Charlotte menghela napasnya pelan. Menatap malas pada lelaki di hadapannya itu. Sebenarnya baginya hal seperti ini adalah hal biasa. Ia sudah sering melihat pria memohon padanya untuk kembali seperti ini.

"Kumohon padamu. Beri aku satu kesempatan untuk bisa kembali lagi denganmu. Aku cinta padamu." ujar Brandon lirih, terdapat nada putus asa pada kalimatnya itu.

"Kita bahkan baru bertemu beberapa kali, tapi kau sudah bicara tentang cinta?"

"Aku memang mencintaimu."

Charlotte menghela kasar. Ingin sekali rasanya ia memasukan tubuh Brandon ke dalam karung dan membuangnya jauh-jauh dari hadapannya.

"Dengar, kau tau pasti kalau aku ini wanita pemilih." Charlotte tersenyum tipis. "Dan aku juga sudah merasakan milikmu, termasuk yang di bawah itu! Karena seperti yang kau ingat, kita sudah pernah tidur bersama."

Charlotte mendekatkan dirinya pada Brandon, melirik celana milik Brandon, tepatnya di area tonjolan yang berada di tengah paha pria itu, kemudian tersenyum sinis.

"Bukankah sebelum kita putus aku sempat bilang padamu kalau aku tak mendapat kepuasan apapun darimu. Karena sejauh yang ku ingat, milikmu itu terlalu kecil untukku!" Charlotte bicara terus terang.

"Tapi Charlotte, aku-"

"Stop Brandon! Jangan bicara apapun lagi! Intinya, aku sudah tak ingin melanjutkan apapun lagi denganmu."

"Tapi aku tidak bisa berpisah, Charlotte!"

Ya, jelas Brandon tidak bisa. Dia tidak akan pernah bisa melepaskan gadis di hadapannya ini. Menurut Brandon, Charlotte adalah gadis sempurna dari sekian banyak gadis diluaran sana.

Kau tidak akan bisa menemukan wanita sepertinya lagi sekeras apapun kau mencari. Wajah yang sangat cantik, cerdas, kekayaan melimpah, kaki jenjang dan tubuh yang indah dan satu hal lagi yang akan membuat Brandon sangat tergila-gila padanya, Charlotte, dia wanita yang sangat hebat di ranjáng.

Ya, semua itu adalah alasan kenapa Brandon sampai rela meminta kesempatan agar mereka bisa kembali bersama. Tentu saja karena kesempurnaan yang Charlotte miliki tidak akan bisa Brandon dapatkan lagi jika bersama gadis yang lain.

"Charlotte, aku sungguh tak bisa putus denganmu!"

"Aku tak peduli! Itu masalahmu, bukan masalahku!" ujar Charlotte acuh.

Brandon menatap Charlotte dengan pandangan mengiba. "Aku mohon padamu. Satu kali ini saja. Beri satu lagi kesempatan untukku!"

Charlotte mendengus sebal dan menatap Brandon risih. Seseorang, tolong katakan pada pemuda ini betapa muaknya Charlotte padanya. Ia sama sekali tak menyangka jika Brandon benar-benar pantang menyerah.

"Ini mulai menyebalkan!" gumam Charlotte. "Kau tahu, Brandon? Aku baru saja menyadari kalau ternyata kau benar-benar memuakkan!"

"Charlotte, kita bahkan baru menjalani hubungan selama-"

"Cukup Brandon! Sebaiknya kau pergi dari hadapanku sekarang!" bentak Charlotte menghentikan ucapan kekasihnya itu, ah ralat, mantan kekasihnya itu.

"Tapi-"

"Kenapa? Kau tak mau?" potong Charlotte.

Raut wajah Brandon berubah gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa pada kalimat gadis itu. Dia tidak mungkin pergi karena dia masih mengharapkan Charlotte untuk menerimanya lagi.

"Jadi kau tak mau pergi dari sini?" tambah Charlotte dengan nada kesal.

"Charlotte, aku hanya-"

"Oke!" potong Charlotte lagi. "Kalau kau tidak mau pergi dari sini, ya sudah, gampang…" Charlotte menghela nafasnya kasar, kemudian bangkit dari posisinya. "...kalau begitu biar aku saja yang pergi!"

Charlotte kini sudah hendak melangkah pergi namun tiba-tiba saja sebelah tangannya di tahan. Itu Brandon, yang tengah menahan lengannya.

"Tunggu, Charlotte!"

"Jangan pegang-pegang. Lepaskan tanganmu!" pekik Charlotte sembari menepis kasar tangan Brandon.

Brandon sendiri tampak pasrah diperlakukan seperti itu oleh Charlotte. Ia bahkan tidak peduli pada orang-orang yang mulai melihat ke arah meja mereka.

Dan hal mengejutkan yang terjadi selanjutnya adalah Brandon tiba-tiba saja berlutut di hadapan Charlotte. Itu membuat pengunjung kafe memandang mereka dengan pandangan aneh.

"Apa yang kau lakukan!" ujar Charlotte gelagapan. Ini benar-benar memalukan baginya.

Brandon menatap Charlotte dengan raut memohon,

"Aku mohon, Charlotte! Aku akan melakukan apapun untukmu, apapun untukmu! Asal kita kembali" mohon Brandon.

Charlotte menaikan sebelah alisnya dan tersenyum sinis.

"Melakukan apapun? Ck, sepertinya kau lupa tentang satu hal. Kakekku, tuan Romanov yang kaya raya itu sudah melakukan itu bahkan sejak aku masih kecil."

"Jadi kau..." Charlotte menepuk-nepuk sebelah pipi Brandon. "Biar aku beri saran untukmu. Kau tak perlu repot-repot melakukan apapun untukku karena aku punya segalanya dan tak butuh pengorbanan apapun dari orang lain. Catat itu!"

Mendengar semua kalimat dari mulut Charlotte itu, Brandon hanya bisa menundukkan kepalanya.

"Sepertinya semua kalimatku barusan sudah jelas untukmu. Kalau begitu aku mau pergi dari sini sekarang!" ujar Charlotte.

Charlotte hendak melangkah pergi dari tempat itu namun Brandon kembali memegang lengannya, menahan gadis itu agar tidak pergi.

"Tunggu dulu!" ujar Brandon pelan.

Charlotte menghela nafas kasar. Pemuda dihadapannya ini benar-benar sudah berhasil menguji kesabarannya. "Mau apalagi sih. Lepaskan!"

"Tidak!" tolak Brandon masih menahan lengan Charlotte. "Kau harus mendengarkan aku dulu!"

"Sialán Brandon, aku bilang lepas!" Charlotte memekik kesal.

Namun bukannya menurut dan melepaskan tangan Charlotte, pemuda itu justru semakin mengeratkan pegangannya pada lengan Charlotte dan membuat emosi Charlotte semakin tersulut.

Pada akhirnya, dengan sekali gerakan, Charlotte langsung mengambil gelas minuman milik Brandon dari atas meja dan…

Byurr!

Charlotte menyiramkannya tepat ke wajah pemuda itu, hingga membasahi seluruh kemeja dan jas mahal milik Brandon.

Charlotte tertawa kecil.

"Oops, maaf! Tapi kurasa inilah cara yang bisa membuatmu mengerti. Aku sudah muak sekali padamu." ujar Charlotte menatap tajam Brandon.

Charlotte menatap Brandon dengan ekspresi remeh lalu berniat meninggalkan pemuda itu. Namun begitu berbalik, saat itu juga Charlotte langsung tersadar kalau beberapa pengunjung lainnya tengah menatap ke arahnya.

'Sial!' batin Charlotte. Ia buru-buru mengambil kacamata hitam miliknya dan memakainya dengan raut wajah yang kaku.

"Sial, orang-orang itu melihatku! Ini pasti karena aku menyiram air ke wajah si bodóh itu. Aku harusnya menjaga image kalem dan anggunku di depan orang-orang itu." bisik Charlotte pada dirinya sendiri.

"Mereka harus terus menganggap kalau aku ini model yang sempurna dengan sikap dan attitude yang baik." lanjutnya masih terus bergumam pada dirinya.

Charlotte menatap para pengunjung kafe yang menatapnya.

"Maaf sudah mengganggu ketenangan kalian. Tapi pemuda ini sungguh sangat pemaksa." Charlotte lalu menunjukkan lengannya yang memerah karena cengkraman Brandon tadi. "Lihatlah, tanganku bahkan sampai merah begini!"

Para pengunjung kafe tampak percaya. Beberapa dari mereka menatap Brandon dengan tatapan aneh. Setelah mengatakan itu Charlotte melangkah menuju pintu keluar kafe dengan senyum yang di buat-buat agar imagenya selalu baik di depan orang-orang.

Charlotte mengambil langkah cepat keluar dari kafe mewah itu. Ia terus menggerutu dalam hati atas kejadian yang baru saja ia alami. Seumur hidup baru kali ini ia bertemu dengan pria keras kepala seperti Brandon. Ya, meskipun faktanya dia jauh lebih keras kepala dari pria bodoh itu.

"Ya, setidaknya aku ini Charlotte Clinton. Jadi aku bebas melakukan apa pun yang aku mau." Sambungnya.

Charlotte terus berjalan menuju parkiran, kemudian menghentikan langkahnya tepat di dekat mobil mewahnya. Ia mencoba mengatur napasnya yang masih memburu, sisa emosi setelah kejadian menyebalkan tadi.

***

✔ Note :

▪Author peduli dengan kesehatan mata kalian, jadi, kalau kalian kurang suka sama ceritanya, Author sarankan kalian untuk mencari cerita yang lain saja, karena cerita ini bisa menyebabkan sakit mata akut.

3.

Di tempat lain, tampak seorang pemuda tampan tengah memasuki sebuah kafe dengan langkah canggung. Belum juga ia masuk ke dalam kafe, langkahnya terhenti karena ragu. Ia menghela napasnya perlahan saat melihat kafe itu ternyata sudah ramai oleh pengunjung.

Satu fakta, ia tak suka keramaian. Berada di keramaian seperti ini hanya bisa membuat kepalanya pusing.

Pemuda itu akhirnya masuk ke dalam kafe setelah meyakinkan dirinya sendiri. Ia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe untuk mencari seseorang.

Beberapa saat lalu ia di telepon oleh salah satu teman lama. Dia adalah seseorang yang ia kenal semasa masih SMA. Hari ini, tiba-tiba saja temannya itu menghubunginya dan mengatakan ingin mengatakan sesuatu hal penting padanya.

"Justin, sebelah sini!" seru seorang gadis cantik, melambaikan tangan padanya dengan senyum cerah.

Pemuda yang dipanggil Justin itu menoleh dan saat itu juga dia bisa melihat dengan jelas gadis yang dia cari sejak tadi, gadis itu tengah duduk dengan santai di sudut kafe itu.

Pemuda bernama Justin itu balas melambai kemudian dengan cepat melangkahkan kakinya menuju gadis itu.

"Maaf aku terlambat, Alicia." ujar Justin sembari mendudukkan dirinya di kursi yang ada di hadapan gadis itu. "Pekerjaanku tadi agak-"

"Tidak masalah, aku juga baru datang." potong gadis bernama Alicia itu dengan cepat, sembari mengibas-ngibaskan tangannya. "Aku tau kalau kau ini gila kerja."

"Ya, tapi tetap saja, aku merasa tidak enak."

"Ayolah Justin. Kita ini teman. Teman SMA. Hal seperti terlambat bukanlah hal besar. Jadi, jangan bertingkah seolah kita ini orang lain, oke."

Justin akhirnya mengangguk sembari tersenyum canggung, "Jadi, ada masalah apa? Kenapa meminta untuk bertemu denganku di sini?" tanya Justin.

Mendengar pertanyaan dari Justin itu senyum cerah di wajah Alicia langsung memudar. Pemuda ini tidak berubah bahkan sejak beberapa lama mereka tak bertemu. Justin tak suka basa basi dan selalu bicara langsung ke intinya.

"Kenapa buru-buru sekali, sih?"

"Ya, sebenarnya pekerjaanku masih banyak." jawab Justin melirik layar ponselnya, mengecek jam. "Aku masih harus mengantar pesanan lagi setelah ini."

"Kau ini memang anak yang tekun."

"Bukan tekun, Alicia. Aku bekerja dengan orang lain, jadi aku harus bekerja dengan baik, bukan?"

"Ya, benar. Kau ini memang tak ada kurangnya. Kau tampan, manis, sopan, dan tekun." puji Alicia, tampak begitu terkesan dengan Justin.

"Aku ini biasa saja, Alicia." Justin tampak bingung harus menanggapi apa pada pujian itu. Ia lalu menatap Alicia dengan serius, "Jadi, bisa aku tau ada masalah apa sehingga ingin bertemu denganku?"

Alicia tersenyum.

"Aku akan mengatakan maksudku memanggilmu kemari," ujar Alicia, "…tapi kita makan dulu."

"Makan?"

Alicia mengangguk, "ya."

"Kita?"

"Ya, kita. Kau dan aku makan di sini. Sekarang." ujar Alicia. Ia lalu terkekeh saat melihat Justin menunjukkan ekspresi kaget.

"Kau memanggilku kemari untuk makan?" tanya Justin.

"Tentu saja bukan."

"Lalu?

"Sudah ku bilang kalau ada yang ingin aku katakan padamu. Tapi aku mau kita makan dulu."

Justin menatap Alicia bingung, "Alicia, aku rasa aku tak punya waktu untuk makan denganmu disini." tolak Justin. "Sudah kubilang padamu bukan kalau aku harus bekerja."

"Justin, aku bisa membayarmu untuk ganti rugi kalau menurutmu percakapan ini membuang waktu." ujar Alicia. "Yang penting kau mau menunggu disini dulu, hanya sebentar, oke?"

Justin menggaruk belakang kepalanya, canggung. "Ah, maaf sebelumnya, Alicia. Sebenarnya masalahnya bukan uang. Tapi-"

"Tapi apa?"

"Tapi tanggung jawab. Maksudku, aku ini kurir. Aku bahkan sudah mencuri waktu agar kita bisa bertemu sekarang. Pekerjaanku bukan sesuatu yang bisa di ganti dengan uang. Ini masalah tanggung jawab."

Alicia menghela, "Tapi-"

"Lagipula aku datang kemari kan bukan untuk makan, melainkan untuk bicara. Kau bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting padaku, kan?"

"Ya, memang benar. Tapi kurasa akan lebih baik kalau kita bicara sambil makan. Itu sebabnya aku memintamu pesan makan dulu."

Justin diam. Jujur, ia merasa kurang nyaman dengan hal ini.

"Ayolah Justin, kau ini sungguh pelit waktu sekali." protes Alicia. "Kita ini sudah lama tak bertemu. Aku juga sudah susah-susah menghubungi dirimu untuk bertemu, tapi malah kau perlakukan seperti ini."

"Baiklah, baiklah." Justin akhirnya menyerah. Ia merasa tak enak karena membuat teman masa SMA-nya itu tersinggung. "Aku akan menunggu sebentar di sini."

Mata Alicia melebar, "Benarkah. Kau mau?"

"Ya, tapi hanya sebentar. Aku sungguh tak bisa lama-lama. Aku bisa dipecat atasanku nanti."

"Baik. Hanya sebentar. Seperti yang kau mau, tak masalah." Alicia menganggukkan kepalanya setuju. Ia lalu mulai membuka buku menu yang berada di atas meja dan membacanya satu per satu. "Ngomong-ngomong kau mau pesan apa?"

"Ah, itu…"Justin buru-buru menggeleng. "…sebenarnya aku belum lapar, jadi aku tidak ingin pesan apa-apa. Kau saja yang makan."

Alicia meletakkan kembali buku menu di tangannya dengan kecewa. "Apa maksudmu tidak ingin pesan apapun?"

"Aku rasa aku belum lapar. Tapi aku akan menunggu lebih lama di sini."

"Ah, begitu rupanya? Padahal aku sangat ingin mengajakmu makan bersama." gadis itu memasang raut sedihnya.

Justin yang melihat ekspresi sedih di wajah Alicia kembali merasa tak enak. Selama ini ia tak pernah ingin seseorang tersinggung atas ucapan dan perbuatanya, apalagi sampai harus merasa kecewa karena dirinya begini.

"Aku sungguh masih kenyang. Tapi aku masih bisa minum dan makan camilan. Apa tidak masalah?"

"Kau mau?" Alicia kembali tersenyum. "Tidak masalah, tentu saja. Kalau begitu biar aku yang bayar."

"Jangan, aku bisa bayar sendiri. Saat masih sekolah kau juga sering mentraktirku di kantin."

"Ayolah, Justin. Sering darimana. Aku justru sangat jarang mentraktirmu jika di bandingkan dengan Charlie, kan?" ujar Alicia ia membuka kembali buku menu di tangannya.

Alicia lalu memanggil pelayan. Setelah memesan menu untuknya sendiri, Alicia lalu menatap Justin.

"Kau mau pesan apa?"

"Aku terserah saja."

"Bagaimana kalau aku pesankan kau kopi, sama denganku."

Justin mengangguk canggung. "Kopi boleh juga."

"Baiklah," Alicia tersenyum senang. Ia lalu turut memesankan menu untuk Justin.

Setelah beberapa lama menunggu, makanan yang dipesan akhirnya datang. Alicia langsung menikmati makanannya dengan riang, sementara Justin masih tampak canggung. Sejujurnya, Justin tidak nyaman berada di kafe di jam kerja-nya seperti ini.

Pada awalnya, Justin bersedia datang kemari karena Alicia mengatakan ingin membicarakan sesuatu hal yang dengannya.

"Mau makan ini?" Alicia menatap Justin yang tampak melamun sambil mengangkat sendok berisi makanan dan langsung dibalas dengan gelengan oleh Justin.

"Tidak, terima kasih."

"Dan kenapa kau hanya diam. Camilan di depanmu sudah menunggu untuk di makan, tuh!"

"Ah, iya." Justin menusuk makanan di depannya dengan sendok garpu.

"Enak?" tanya Alicia.

"Enak."

"Pelayan bilang ini adalah camilan nomor satu di kafe ini."

Justin hanya manggut-manggut sambil menikmati makanannya. Alicia meletakkan sendoknya dan menatap Justin.

"Ngomong-ngomong terima kasih sudah mau datang ya."

"Tidak masalah. Aku senang bisa bertemu teman sekolahku lagi."

Alicia mengangguk.

"Aku beruntung bisa mengenalmu, Justin."

"Aku juga sama, Alicia. Selama sekolah kau banyak membantuku saat aku butuh sesuatu."

"Ya, bantuanku tidak ada apa-apanya. Kau yang banyak membantuku sehingga aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan."

"Masalah itu… aku tidak merasa terlalu berguna. Aku hanya membantu sebisaku."

"Kau ini hobi sekali merendah." Alicia tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, "Ngomong-ngomong. Bagaimana kehidupanmu selama ini? Sudah lama sekali kita tak bertemu."

Justin meneguk minumannya. "Aku biasa-biasa saja. Aku kuliah, juga bekerja."

"Sama seperti dulu. Sekolah dan bekerja adalah hidupmu."

"Benar, aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku." ungkap Justin.

Alicia menatap Justin lekat-lekat. Sejujurnya sejak sekolah dahulu ia sudah merasa simpati dengan Justin. Ia ingin sekali membantu pemuda itu dengan kemampuannya tapi Justin selalu saja menolak.

Selama ini diam-diam Alicia juga menyimpan perasaan pada Justin namun tak bisa mengutarakan apapun mengingat Justin adalah orang yang tertutup. Namun sekarang, setelah mereka lulus dan berpisah kampus, Alicia tak ingin membuang waktu lagi untuk mengutarakan perasaannya.

Jika Justin menerimanya, ia akan membuat hidup pemuda itu senang. Justin tak perlu bekerja lagi karena setelah ini dirinya yang akan membantu menghidupi Justin.

Alicia berdehem sebentar sebelum kemudian mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Justin.

"Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu hal padamu, Justin."

"Ya? Ingin mengatakan apa?"

"Begini…" Alicia menghela napasnya gugup, lalu mengulurkan tangannya menyentuh tangan Justin.

Justin melihat tangan Alicia yang tengah menyentuhnya dan menatap wajah gadis itu. "Ada apa Alicia?"

"Justin… aku ingin kau… jadi pacarku!" ungkap Alicia, matanya menatap Justin penuh tekat.

Justin yang mendengar ungkapan itu mengerjapkan kedua matanya.

"Apa?" tanya Justin seolah tak mendengar ucapan Alicia barusan.

"Jadi pacarku." ulang gadis itu lagi.

Justin tersenyum canggung.

"Jangan bercanda, Alicia. Apa yang kau katakan?"

"Aku tidak bercanda. Aku serius. Aku menyukaimu. Dan aku tak suka melihatmu menyiksa diri dengan bekerja keras seperti ini. Jadilah pacarku dan berhentilah bekerja. Aku akan membiayai hidupmu."

Justin menarik pegangan tangan Alicia dari tangannya. "Alicia, kau-"

"Kumohon Justin, sudah lama aku menyukaimu. Selama itu juga hatiku sedih melihatmu kelelahan karena bekerja. Jadilah pacarku, dan kita akan hidup bahagia bersama."

"Alicia, kita ini teman baik. Kau dan aku tak bisa menjadi pasangan."

"Kenapa tak bisa Justin?"

"Karena aku tak menyukaimu."

"Apa aku kurang cantik untukmu?"

"Kau sempurna, Alicia. Tapi aku yang tak bisa menganggapmu lebih dari teman. Aku tak menyukaimu lebih dari teman."

Alicia memundurkan tubuhnya dan menatap Alvin lekat. "Aku tahu kau akan menolakku. Selama ini kau selalu menolak semua orang."

Justin menunduk, "maafkan aku Alice,"

"Tidak. Jangan minta maaf, kau tak membuat kesalahan. Dan aku juga tak menganggap apa yang aku lakukan ini salah. Aku memang menyukaimu dan aku senang bisa menyatakan perasaanku. Tapi Justin…"

"Ya?"

"Bekerjalah di kantor ayahku. Aku bisa membantumu mendapatkan posisi yang tinggi. Lagipula ayahku juga menyukaimu, dia pasti tak akan keberatan."

"Tidak perlu, Alice. Aku senang dengan pekerjaanku saat ini. Gajinya juga cukup untuk kebutuhanku."

"Tapi kau pasti kelelahan bekerja sebagai kurir."

"Itu hal wajar, Alicia. Setiap orang harus merasakan apa itu kelelahan."

Alicia mendengus. "Setelah menolakku, sekarang kau malah menyindirku manja, hah?"

Ucapan Alicia membuat Justin terkekeh.

"Tapi, apa ungkapan perasaanku mengganggu dirimu?" tanya Alicia.

"Ya, sejujurnya itu cukup membuatku terkejut. Tapi aku sama sekali tidak masalah dengan hal itu."

Alicia mengangguk paham. Semua orang memang akan terkejut jika ada teman baiknya yang tiba-tiba malah menyatakan perasaannya.

"Em, Justin. Setelah ini bisakah kita bersikap biasa saja? Seolah tak terjadi apapun?"

"Tentu saja."

"Aku senang kau tidak marah."

"Justru aku yang senang kau tidak marah padaku karena menolak untuk menerima dirimu."

"Niatku hanya ingin mengutarakan perasaan. Tak diterima tak masalah. Asalkan kau bisa tahu segala yang aku rasakan. Kita akan berbeda kampus. Aku hanya tak ingin kita berpisah tanpa memberitahu apapun padamu."

Justin mengangguk.

"Sekarang aku sudah tau. Aku hanya bisa mengatakan terima kasih padamu." ujar Justin. "Kita masih bisa bertemu setelah ini."

"Aku malah merasa kalau kita pasti akan jarang bertemu. Kau akan sibuk dengan kuliah dan perkerjaanmu. Dan aku akan sibuk dengan kuliahku."

"Benar juga." Justin mengangguk. "Ngomong-ngomong sepertinya aku harus pergi sekarang. Pekerjaanku menunggu."

Alicia mengangguk paham. "Semangat, oke!"

Justin mengangguk kemudian bangkit dan langsung melangkah pergi meninggalkan Alicia. Alicia tersenyum menatap kepergian pemuda itu. Sejak sekolah dulu, Justin memang bukan orang yang mudah. Ia jarang dekat dengan wanita. Hanya Alicia seorang wanita yang berhasil menjadi sahabatnya.

Sebenarnya saat masih SMA, banyak sekali wanita yang menyukai Justin tapi pemuda itu selalu menolak mereka. Dan sekarang Alicia juga masuk daftar yang di tolak.

Sembari menggelengkan kepalanya, Alicia tersenyum singkat. "Siapa kiranya yang akan berhasil menaklukannya dan menjadi kekasihnya nanti."

***

✔ Note :

▪Author peduli dengan kesehatan mata kalian, jadi, kalau kalian kurang suka sama ceritanya, Author sarankan kalian untuk mencari cerita yang lain saja, karena cerita ini bisa menyebabkan sakit mata akut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!