“Eh elo kenapa?... tunggu, tunggu... elo Bram kan, anak 8-J?”
Anak lelaki berseragam SMP itu menoleh ke arah sumber suara. Bagaimana bisa anak perempuan itu berada di sini. Bram sangat meyakini bahwa tempat itu adalah tempat yang jauh dari jangkauan siapapun, termasuk guru sekolah. Lantas mengapa anak perempuan yang terlihat, cupu itu bisa sampai di sini. Bram menilai penampilan gadis itu, “nggak menarik.”
Bram meringkuk, menggigil. Duduk, tangannya memeluk kedua lutut. Menelungkupkan wajah diantara kedua lutut.Menjadikan lutut sebagai sandaran kepala yang terasa berat. Matanya merah.
Dia tidak mempedulikan kehadiran anak perempuan itu. Dia sibuk memikirkan diri sendiri. Tentang bagaimana mengatasi rasa yang menyerang tubuhnya. Tiba-tiba terlintas di benaknya mungkin anak perempuan itu ada gunanya.
Bram mengangkat kepala menoleh ke arah anak perempuan itu.
“Eh cewek, sini bentar.” ia memerintah.
Gadis itu berjalan menghampirinya, lebih dekat. Gadis itu meneliti wajah Bram, sangat dekat, menyisakan jarak hanya beberapa centi. Yang ditatap berubah gusar.
“Ck...elo ngapain ngeliatin gue, suka? biasa aja sih, nggak pernah lihat cowok ganteng ya lo?“
Gadis itu memutar bola matanya, kesal. Dia tahu Bram cukup tenar di sekolah. Anak lelaki itu memiliki hobi membuat onar. Tentang apapun. Mungkin buku kasus hanya berisi namanya saja. Dia merasa aneh dengan anak lelaki itu. Kalau sakit kenapa tidak ke UKS saja, kenapa malah bersembunyi di tempat seperti ini. Bagaimana kalau dia mati lalu membusuk karena tidak ada yang menemukan jasadnya?.
“Malah bengong, sini guepinjem bros elu.”
Dengan gerakan tak terduga, Bram melepaskan bros hellokitty yang terpasang di kerah baju gadis itu.
Gadis itu berusaha merebut benda miliknya. Namun dia kalah tenaga. Anak lelaki itu jauh lebih kuat dibanding dirinya.
“Gue pinjem bentar, elah pelit banget.” Bram menaikkan intonasi.
“Aneh banget sih lominjem tapi galak. Dan elo juga aneh. Udah tahu sakit malah sembunyi di sini. Kalau elo mati dan membusuk di sini nggak akan ada yang tahu. Ngerti nggak lo?“
Bram tidak mempedulikan ocehan gadis itu. Ia berbalik badan membelakangi, berusaha agar gadis itu tak bisa melihat apa yang dilakukannya. Dia menusuk bagian dalam sikunya dengan ujung jarum bros hellokitty, menghisap darahnya sendiri.
Gadis itu mendekati Bram, mencari tahu apa yang dikerjakan anak lelaki itu. Dia terkejut, sangat. Bagaimana bisa anak lelaki itu melukai dirinya sendiri lalu... menghisap... darah.
Anak perempuan yang juga berseragam SMP itu memundurkan langkahnya. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia masih menatap Bram. Gadis itu mengernyitkan dahi, bingung. Bram dengan kondisi seburuk itu sesaat berubah menjadi segar kembali.
Bagian belakang tubuh gadis itu sudah berhimpitan dengan tembok. Matanya membelalak, mulutnya terbuka lebar, tiba-tiba saja gadis itu berteriak. Dia merasa takut, sangat takut. Berdua dengan anak lelaki itu membuatnya menyesali datang ke tempat itu.
Bram bangun, buru-buru menghampiri gadis itu. Dia harus sesegera mungkin membungkam mulut gadis itu.
Tubuh Bram menempel dengan posisi berhadapan dengan gadis itu. Tangannya menutup mulutnya dengan kuat. Dia memiringkan kepala, berbisik di telinga gadis itu.
“Ssssttt tenang, gue nggak akan celakai elo asal elo bisa tutup mulut dengan apa yang elo lihat barusan.”
Sebentuk cairan bening membasahi pipi gadis itu, ia menangis. Bram semakin kesal dibuatnya. “Dasar cewek nyusahinaja.” Bram membatin.
Tangis gadis itu semakin kencang, dia terisak. Bram menjadi semakin bingung. Isi kepalanya mendadak kosong. Yang dia pikirkan hanya bila ada yang memergoki, tamatlah riwayatnya. Sudah pasti pihak sekolah akan memanggil orang tuanya. Di situ ia merasa hidupnya akan berakhir. Ia membayangkan dirinya berada di tiang gantungan berhadapan dengan papa yang memegang pisau, menguliti hidup-hidup. Lalu jasadnya dilemparke dalam kandang serigala. Baru membayangkan saja sudah membuat akal sehatnya menguap. Satu-satunya harapan hanyalah gadis cupu di depannya.
Bram merasakan tubuh gadis itu meronta minta dilepaskan. Seketika tubuh Bram meluruh ke tanah. Ia bersimpuh di hadapan gadis yang ia tidak tahu namanya. Rambutnya dikuncir kuda dengan poni menutup dahi. Kacamata lebar, lebih tepatnya kacamuka.
Dengan kedua tangan yang memegang kedua gadis itu, memastikan agar tidak kabur, ia mengucapkan permohonan yang terdengar memilukan. Bayangkan, seorang idola sekolah, murid paling tampan dan... tajir kini seperti pesakitan.
“Please,,,gue minta tolong sama lo jaga baik-baik rahasia gue ini. Hidup mati gue sekarang ada di tangan lo jadi gue mohon berbaik hatilah sedikit.”
Tangis gadis itu mereda. Masih sesunggukan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
“Elo...elo ngapain sih sebenarnya? gue sama sekali nggak ngerti dengan apa yang terjadi dengan diri elo. Yang gue pikirkan sekarang, apa ini yang dinamakan sakau? Aaah... Apakah elo nge-drugs Bram?”. Bibir gadis itu bergetar hebat. Sekuat tenaga ia mengumpulkan kekuatan. Gadis itu tidak pernah mengerti dengan pergaulan kelam seperti itu. Yang ia tahu hanyalah belajar, berusaha sekuat tenaga agar nilainya tidak turun dan mempertahankan beasiswa sekolah. Tanpa beasiswa itu mungkin sekarang ia tidak akan merasakan nikmatnya duduk di bangku sekolah.
Sejak kecil ia sudah berjuang untuk hidupnya. Bahkan orang tua pun entah dimana. Apakah ia masih memiliki orang tua, entahlah. Yang ia tahu semenjak bayi dia diasuh ibu panti setelah sang ibu panti menemukan keranjang berisi bayi, dirinya. Hidupnya bergantung dari belas kasihan orang. Bagaimana mungkin ia mampus mengecewakan orang yang sukarela berbaik hati sementara orang tuanya sendiri bahkan tak mengharap kehadirannya.
“Gue bakal cerita semuanya tapi nggak sekarang. Gue akan lakukan apapun yang elo mau asalkan tutup rapat rahasia ini, please...mau ya... mau.”
“Gue nggak bisa menjanjikan apapun Bram. Kalau elo tahu salah kenapa masih dilakuin sih? Harusnya elo mikir sekarang bukan anak kecil lagi kan?”
Bram tersenyum getir, “Iya gue ngaku salah.”
Triiiing...
Bel berbunyi nyaring pertanda jam istirahat selesai. Gadis itu berlari menuju kelas. Bram tinggal seorang diri. Ia menjambak rambutnya frustrasi.
“Ck aaah elah bego banget sih gue sampek ketahuan begini. Shiiiitt...siapa namanya tuh cewek tadi. Hah... “
Dobel shit untuk hari ini. Bram tak henti mengumpati kebodohannya.
Ia masih menggenggam bros bentuk hellokitty milik gadis cupu tadi. Perlahan senyumnya mengembang penuh kemenangan. Anak lelaki bertubuh tinggi besar itu melangkah memasuki kelas. Ia menyusun siasat untuk mengendalikan gadis itu. Seorang Bramasta tidak akan mampu dikalahkan, apalagi oleh seorang perempuan. Selama ini apapun bisa ia dapatkan dengan mudah, apapun. Ooh tidak, ia melupakan satu hal, perhatian kedua orangtuanya yang tidak pernah ia dapatkan. Mereka terlalu sibuk bila hanya sekedar memikirkan anaknya.
Bramasta
Gue memikirkan seribu cara demi membungkam mulut cewek itu, yang gue nggak tahu namanya. Sebelum menjalankan satu persatu siasat itu, gue harus lebih dulu cari tahu namanya. Masa iya gue menyebutnya ‘Mawar’, itu terdengar seperti nama samaran tokoh wanita di acara-acara kriminal yang ditayangkan di teve.
Sekarang ini gue lebih terlihat seperti detektif Conan. Yang jelas gue harus memastikan dia nggak akan buka mulut.
Gue buru-buru membereskan tas. Ketika bel berbunyi gue harus langsung tancap gas membuntuti cewek itu. Sejujurnya di kelas pun terasa nggak berfaedah. Nggak ada sedikitpun pelajaran yang nyangkut ke otak tumpul
gue yang udah oleng karena obat-obatan laknat itu. Tapi mau bagaimana lagi tubuh gue udah terlanjur nagih.
Satu menit…
Satu menit terasa sangat lama ketika seseorang diharuskan menunggu. Bel itu belum terdengar lagi sejak berdering terakhir ketika Bram berada di tempat rahasia itu. Mata Bu Nilam menatapku penuh selidik. Mata itu selalu mampu menembus jantung siapapun yang ditatapnya, sangat membunuh. Beliau menilai gelagatku.
“Bram! Coba jelaskan tentang perang Diponegoro!”
Pertanyaan Bu Nilam bak granat yang dilempar tiba-tiba, meledakkan terpuruk kepala tanpa isi. Bayangan gue berada di dalam peperangan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro seolah nyata. Gue berlarian mencari tempat persembunyian, menyelamatkan diri dari lemparan-lemparan bom. Suara mesiu menusuk tajam di telinga. Kalau udah begini gue merasa sangat bersalah, bahkan sekedar berdiri beberapa menit ketika upacara bendera gue selalu bikin onar.
“Bramasta…!”
Suara mesiu berdesing kembali. Ooh salah, itu suara Bu Nilam, delapan oktaf. Telinga gue berdenging, Bu Nilam berteriak tepat di sisi kiri telinga gue.
“Kriiiing… “
Bel berdering pertanda pelajaran usai. “Yes!” gue bersorak kegirangan. Artinya gue nggak perlu menjawab pertanyaan itu, sekarang. Gue bebas. Bu Nilam menjewer telinga gue, wajahnya tampak sangat kesal. Telinga
gue sepertinya akan panjang sebelah, Bu Nilam menariknya meluapkan emosi. Tubuh gue ikut terbawa mengikuti arah jalan wanita cantik itu. Gue meringis minta ampun, beneran ini sakit banget. Sepertinya Bu Nilam menggunakan kekuatan matahari, bahkan hanya sekedar untuk memberi pelajaran bocah seperti gue. Rintihan
minta ampun dari mulut gue memang nggak pernah mendapat respon. Semua guru di sekolah ini sudah tidak menggunakan perasaan jika itu berhubungan dengan gue.
Segala sesuatu ada masanya, sama seperti cengkeraman tangan Bu Nilam pada telinga gue. Gue nggak mau membuang waktu, segera berlari lebih baik, menunggu di depan gerbang sekolah. Hal pertama yang harus dilakukan adalah: mencari tempat persembunyian. Misi pertama ini adalah membuntuti anak perempuan itu sampai rumahnya.
Lima belas menit berselang belum juga ada tanda-tanda kemunculan cewek itu. Keramaian ketika bubar sekolah sangat kentara dari tempat tersembunyi ini, tepat di sebelah kanan gerbang sekolah. Dari sini gue bisa melihat dengan jelas siapapun yang berlalu lelang keluar masuk gerbang sekolah. Isssh kaki gue menjadi santapan semut merah lapar, sakit, panas dan sekarang gatal. Gue menghentak-hentakkan kaki bergantian, berusaha mengusir kerumunan semut itu. Berhasil. Tapi tidak dengan leher, gantian leher gue kena gigit.
Shiiiitt!!
Tak terhitung sudah berapa kali gue mengumpat hari ini. Kesiapan demi kesialan selalu saja membuntuti hidup gue sepanjang hari ini.
“Ck aaaah elah kemana sih nih cewek lama amat. Jangan bilang dia ke ruang BK.” Bayangan gadis itu melapor seketika memenuhi ruang otak gue.
Rasanya pengen keluar dari sini, mencari tahu apa saja yang dikerjakan cewek itu hingga membutuhkan waktu sebegitu lama. Tapi itu akan merusak misi pertama gue. Ah ya sudah lebih baik menunggu, sebentar lagi mungkin.
Gue sangat bahagia ketika harapan itu terkabul. Sesosok gadis cupu berkuncir kuda dengan poni ala gorden jendela dan kacamuka. Gue pantas bersorak dalam hati. “Yes!”
Gue mengambil jarak sekitar sepuluh meter di belakang, mengikuti dan mengamati. Jika dilihat dari belakang gadis itu tampak kurus, tubuhnya tidak terlalu tinggi paling sekitar 155cm. Semoga dia nggak sadar dibuntuti.
Gadis itu terus berjalan. Gue mulai merasa kelelahan. Demi apa, ini rasanya sudah sekitar 3 km gue berjalan membuntuti dia. Sejauh ini rumahnya dan dia berjalan kaki?. Apakah dia juga setiap hari berjalan kaki seperti ini berangkat dan pulang sekolah. Iiiisshhh anak yang aneh.
Bukan tidak ada kendaraan umum yang bisa ia tumpangi, sungguh sangat banyak. Bahkan sebagian besar hanya berisi beberapa penumpang. Lalu kenapa gadis itu memilih berjalan kaki?. Pertanyaan demi pertanyaan berkeliaran di otak gue. Sungguh nggak habis pikir. Dimana gue yang selalu hidup enak ternyata teman gue ada yang seperti ini. Yang gue tahu selama ini sekolah gue itu sekolah favorit. Siswa siswi berasal dari keluarga yang berada kalaupun tidak bisa dikatakan kaya raya. Tapi kenyataan di depan mataku ini seketika menghantam jantung gue. Betapa nggak bersyukur gue selama ini.
Keringat bercucuran membasahi kening dan leher gue. Baju seragam yang gue kenakan pun rasanya sudah basah. Udara hari ini sangat terik, terlebih di jam seperti ini, jam 2 siang.
Gadis itu mempercepat langkahnya, begitu juga gue. Gue nggak mau kehilangan jejak. Dia setengah berlari meninggalkan gue. Tampaknya dia sudah menyadari ada yang membuntuti.
Di saat gue ikut berlari mengejar tiba-tiba dia berbalik badan dan gue menabrak dia.
“Brak”
Gue terjatuh menimpa tubuh gadis itu. “Shit! Kenapa bisa seceroboh ini sih, sudah tertangkap basah membuntuti masih ditambah adegan jatuh menabrak. Gue yakin setelah ini bakal mendapat bonus tamparan.” Ucap gue lirih.
“Kenapa sih elo hobi banget mengumpat. Mulut lo kotor banget. Dan ngapain lo ngebuntutin gue? kalau gue nggak kenal sudah pasti gue akan mengira elo berniat menculik gue.” Ucapan sinis khas ibu-ibu tersakiti.
“Fiuh… elo pikir gue sudi ngikutin elo sejauh ini. Shit! Gue capek banget gara-gara elo.” Gue berusaha menyalahkan dia dengan harapan membuat kesal. Tapi kenyataan yang gue dapati berbanding terbalik. Dia
berjalan menuju warung. Berapa menit dia muncul kembali membawa sebotol minuman dingin. Tangannya mengulurkan botol minuman itu ke arah gue. Gue meneliti dinding botol, titik-titik embun bergantian mengalir membuat tenggorokan gue seolah berteriak. Bagaimana tidak, berjalan sejauh 3 km di bawah terik matahari
di jam 2 siang rasanya sangat menyiksa. Tapi jiwa kelaki-lakian gue mendadak berontak. Dia hanya membeli satu botol dan itu diberikan ke gue, sementara dia pun sama, berjalan seperti gue. Gue lelaki yang nggak bisa terima kekalahan apalagi jika itu datangnya dari seorang perempuan. Big No!
“Elo laki-laki tapi mulut kayak perempuan. Elo sendiri yang membuntuti gue tapi elo menyalahkan gue. Aneh!" Dia menatap sinis. Melemparkan botol minuman dingin itu tepat di depan muka gue, beruntung gue bisa menangkap botol itu. Jika tidak, wajah tampan gue pasti sudah tak berbentuk.
“Minum! Kalau elo beneran mati nanti arwah lo pasti akan menuntut balas. Orang model elo itu hanya bisa menyalahkan orang lain.”
Setelah mengucapkan itu dia berlari memasuki gerbang sebuah bangunan bertuliskan “Panti Asuhan Kasih Ssjati”.
“Woy cewek tunggu! Ini punya lo kan?“ Gue berteriak memanggil seraya memamerkan bros hello kitty miliknya. Dia tampak terkejut dan berlari ke arah gue.
“Gue akan kembalikan bros ini setelah elo bisa menjamin keselamatan gue”. Setelah melemparkan ancaman gue bergegas berlari meninggalkan tempat itu. Dari ekspresi yang ditunjukkan jelas dia mengkhawatirkan bros itu. Oke itu senjata utama gue.
Keiyona
Bel berdenting tiga kali pertanda sekolah usai. Aku bergegas merapikan tas. Ingin segera menemui Shanti meminjam catatan. Kemarin aku tidak pergi sekolah, Ibu Panti sakit. Aku harus menggantikan beliau mengurus adik-adikku.
Khawatir Shanti keburu pulang, aku setengah berlari menyusuri lorong menuju kelas 8-C, kelas Shanti. Ruang kelas kami hanya berjarak dua ruang, aku di kelas 8-A. Di sekolah ini aku tidak banyak memiliki teman. Aku hanyalah makhluk tak kasat mata bagi mereka. Tidak ada yang menyadari keberadaanku. Mungkin karena status sosial. Hanya Shanti yang mau peduli. Anak itu dikaruniai jiwa sosial yang cukup baik.
Kelas 8-C kosong, hanya satu buah tas di atas meja Shanti. Aku lega mendapati pertanda Shanti belum pulang. Aku duduk menunggu Shanti. Cukup lama.
Kepala Shanti menyembul dari balik pintu. Senyumnya mengembang mendapati diriku duduk di kursinya. Gadis itu cukup menawan meskipun bukan idola sekolah. Shanti termasuk siswa berprestasi. Dia lebih beruntung dariku, memiliki keluarga yang utuh. Penuh kasih sayang.
“Hai, Kei ada apa?“ sapanya.
“Aku pinjam catatan kemarin Shanti.” Shanti membuka tas mengambil buku yang aku minta. Dia memberikan buku itu padaku.
“Besok balikin ya, lusa aku ada ulangan.”
“Iya.” Aku menerima buku pemberian Shanti, memasukkan ke dalam tas sekolahku.
Shanti merangkul bahuku berjalan bersisian keluar menuju gerbang sekolah.
“Tadi kamu kemana Shan kok lama?“ tanyaku.
“Toilet. Perutku mulas, biasa sedang haid.” Shanti menjelaskan.
Kami berpisah di depan gerbang, dia berjalan ke arah kiri sedangkan aku ke arah kanan.
Aku terbiasa berjalan kaki ketika pergi ke sekolah, begitu pula sepulang sekolah. Menghemat uang saku. Jarak sekolah dengan panti tempat aku tinggal cukup jauh, sekitar 3km. Tidak apa, aku sudah terbiasa. Aku tidak ingin menambah beban, bisa bersekolah saja aku sudah sangat bersyukur.
Menurut ibu panti, aku ditemukan beliau ketika menjelang pagi. Menangis di dalam keranjang, masih merah. Mungkin baru beberapa hari dilahirkan. Ibu panti memberiku nama Keiyona. Bicara kasih sayang, aku tidak pernah kekurangan kasih sayang. Ibu panti sangat menyayangiku, sama halnya dengan suami ibu panti, Pak Muslih. Pasangan yang belum dikaruniai keturunan hingga kini, adalah orang pertama aku kenal, memiliki ketulusan yang
tak bisa diragukan lagi. Sejak saat itulah mereka menjadi orangtuaku. Ketika ada orang tua yang ingin mengambil kami dari panti, ibu tak pernah memberikanku. Entah alasan apa. Suatu hari ibu pernah menanyaiku perihal orang
tua kandungku, apakah aku berniat mencari mereka. Namun aku tidak pernah berkeinginan mencari mereka. Aku telah dibuang. Jika mungkin terbersit penyesalan di hati mereka, tentu mereka akan mencarikan ke tempat di mana
mereka menaruhku. Aku akan menunggu.
Hari ini matahari sangat terik. Aku mempercepat langkah demi mempersingkat waktu agar tidak terlalu lama tersengat matahari.
Setengah perjalanan sudah kulalui. Hatiku tidak enak. Seperti ada yang mengikuti. Aku takut dia berniat jahat padaku. Buru-buru aku mengenyahkan pikiran buruk itu. Apa gunanya berniat jahat padaku, aku tidak punya uang. Tidak ada satupun barang berharga yang aku bawa, aku tidak punya. Aku hanya khawatir orang jahat itu, membunuhku. Aku bergidik ngeri membayangkan yang tidak-tidak.
Aku menoleh ke belakang, kosong. Mempercepat langkah lebih baik, pikirku. Sebentar lagi sampai, tenanglah. Aku berusaha menghibur diri di tengah kerisauan.
Benar saja, gerbang bertuliskan “Panti Asuhan Kasih Sejati” sudah bisa aku jangkau dengan pandanganku. Aku berlari kencang lalu berhenti seketika. Aku yakin penguntit itu akan mengikuti berlari. Dan akan menabrakku
ketika aku tiba-tiba menghentikan langkah. Dalam hitungan detik, aku sudah bisa menangkap basah si penguntit.
“Brak”
Betapa terkejut ketika aku mendapati si penguntit itu adalah… Bram. Bramasta si idola sekolah sekaligus si pembuat onar. Mau apa dia?. Dia terjatuh menimpa tubuhku. “Shit! Kenapa bisa seceroboh ini sih, sudahn tertangkap basah membuntuti masih ditambah adegan jatuh menabrak. Gue yakin setelah ini bakal mendapat bonus tamparan.”. Bram berucap lirih, masih tertangkap pendengaranku.
“Kenapa sih elo hobi banget mengumpat. Mulut lo kotor banget. Dan ngapain lo ngebuntutin gue? Kalau gue nggak kenal sudah pasti gue akan mengira elo berniat menculik gue.” Aku semakin gemas.
“Fiuh… elo pikir gue sudi ngikutin elo sejauh ini. Shit! Gue capek banget gara-gara elo.” Dia berusaha menyalahkan aku. Aku berusaha sekuat tenaga tidak tersulut emosi. Aku berjalan menuju warung demi menyembunyikan ekspresi wajahku. Berapa menit kemudian aku kembali membawa sebotol minuman dingin. Aku mengulurkan botol minuman itu ke arahnya. Dia hanya meneliti botol yang kutawarkan padanya. Aku tahu air liurnya sebentar lagi menetes. Tidak mudah berjalan sejauh ini jika tidak terbiasa, aku maklum.
“Elo laki-laki tapi mulut kayak perempuan. Elo sendiri yang membuntuti gue tapi elo menyalahkan gue. Aneh!”. Aku menatap sinis. Melemparkan botol minuman dingin itu tepat ke depan muka bocah tengil itu, beruntung dia bisa menangkap botol itu. Jika tidak, wajahnya pasti sudah tak berbentuk.
“Minum! Kalau elo beneran mati nanti arwah lo pasti akan menuntut balas. Orang model elo itu hanya bisa menyalahkan orang lain”.
Setelah mengucapkan itu aku berlari memasuki gerbang sebuah bangunan bertuliskan “Panti Asuhan Kasih Ssjati”.
“Woy cewek tunggu! Ini punya lo kan?“ Dia berteriak memanggil seraya memamerkan bros hello kitty milikku. Peristiwa nahas itu nyaris membuatku lupa pada benda yang selama ini kujaga sepenuh jiwa, benda peninggalan orang tuaku satu-satunya.
“Gue akan kembalikan bros ini setelah elo bisa menjamin keselamatan gue.” Setelah melemparkan ancaman dia bergegas berlari meninggalkan tempat itu.
Tubuhku lemas bak tak bertulang. Rasanya tak sanggup lagi untuk sekedar berjalan. Sejujurnya aku ingin sekali berteriak meluapkan emosi. Urung kulakukan. Tak ingin membuat seisi panti menjadi gaduh.
Bersembunyi di kamar mandi adalah pilihan terbaik saat ini. Tempat paling aman menumpahkan segala gundah. Tak perlu orang lain tahu. Lagipula aku tidak ingin membuat Ibu panti mengkhawatirkan keadaanku. Ibu terbaikku itu tidak akan membiarkan airmataku mengalir. Beliau adalah orang pertama yang akan maju ketika ada yang berani menyakitiku.
Salah satu alasanku tidak ingin mencari orang tua kandungku adalah beliau. Aku tidak ingin membuat ibu panti merasa sedih. Beliau seringkali mengatakan bagaimana jika suatu saat aku bertemu orang tua kandungku. Akankah aku meninggalkan panti ini. Atau bila suatu saat aku telah mandiri. Sejak saat itu aku menutup rapat mulutku jika itu berkaitan dengan orang tua kandungku.
Setiap kali ada yang datang bermaksud mengambil salah satu dari kami, ibu selalu menyembunyikan aku. Kalaupun terdesak ibu selalu mengatakan bahwa aku adalah anaknya. Aku yakin ibu memiliki harapan terhadapku.
Hanya aku yang beliau rawat sejak bayi merah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!