Langitnya gelap, awan abu-abu tebal yang ditelan malam, terlihat samar saat langit dihiasi kilat cahaya petir. Sesaat kemudian, gerimis berlomba untuk sampai dipermukaan bumi yang suhunya juga tidak begitu lembab.
Licin, becek, dan juga membahayakan nyawa, jika seandainya kau berdiri diatas pagar pembatas sebuah gedung bertingkat dua belas. Dibawah, terlihat mobil-mobil melewati jalur masing-masing, dan juga para manusia yang berlari-lari untuk segera berteduh.
Tapi itu tidak berlaku untuk Song Hyuji.
Gadis itu berdiri dengan tatapan kosong, melihat gedung yang berkelip Indah diantara kelam malam. Mengedarkan pandangan dari atas pagar pembatas sebuah gedung dengan tubuh kaku, tangan mengepal kuat, dan juga airmata yang ia tahan didalam dada.
"Jangan mengakhiri hidupmu disini nona!" tutur seseorang yang tiba-tiba muncul dan berdiri disamping kaki jenjang bersepatu converse merah yang dikenakan Hyuji.
Pagarnya cukup tinggi memang, sebatas dada orang dewasa.
Meskipun sempat terkejut dan mengalihkan pandangan pada sumber suara, Hyuji kembali tak mempedulikan sosok yang turut mengedarkan pandangan sambil menikmati kopi dalam gelas kertas anti bocor ditangannya.
"Siapapun orang yang berhubungan dengan dirimu akan diliput, dimintai keterangan dan juga dibuat tidak nyaman oleh para pencari berita setelah kau terjun dari sini! Kemudian, mereka akan berakhir didalam sel jika terbukti melakukan kesalahan—"
"Diamlah! Kau tidak tau apapun! Mereka bisa membebaskan diri mereka dengan uang yang mereka miliki!"
Dari sini John sedikit banyak tau permasalahan yang sedang dihadapi si gadis. John tersenyum, lantas mengulurkan telapak besarnya ke udara. "Namaku John Wilson, kau bisa memanggilku John!" ucapnya ringan memperkenalkan diri, yang mendapat reaksi tak peduli dari raut gadis berambut pendek sebahu itu.
Hyuji hanya menatap jengah pada telapak besar berkulit putih bersih disisi kaki jenjangnya yang berbalut Jeans hitam.
"Tinggalkan aku sendiri! Aku tidak butuh uluran tanganmu!"
John menarik telapaknya perlahan dalam sebuah kepalan kecewa. Bahkan senyuman ringan ia bubuhkan diantara aksi penyelamatan tersebut.
"A~h, jadi kau tidak mau ya?"
John turut naik diatas pagar pembatas. Mensejajarkan pandangan pada arah yang sama dengan Hyuji. "Kalau begitu kita terjun bersama dari sini! Agar mereka mengira kita memang pasangan sejati yang rela sehidup semati!"
Wah, Hyuji bahkan tak habis pikir. Apa yang sebenarnya ada dalam isi kepala pemuda disampingnya itu.
"Kalau perlu kita bergandengan tangan, agar terlihat lebih meyakinkan! Ayo! Dalam hitungan ketiga, kita melompat bersama!" titah John tanpa beban, kemudian menatap gadis yang kini menatap nanar kepadanya. "Kenapa? Ayo kita lakukan!"
Tiba-tiba seekor hewan mengejutkan John, hingga gelas yang ia bawa terlepas, melayang diudara dan terjun bebas kedasar bangunan dari lantai dua belas. Beruntung sedang turun hujan dan tidak ada orang berlalu lalang dibawah. Jika tidak, dia akan berurusan dengan pihak berwajib dengan tuduhan penyiraman ilegal—ah, tidak begitu juga sih alasannya.
John memejam sejenak, menggigit bibir bawah, menghela nafas lega karena bukan dirinya yang hilang keseimbangan, terjun bebas hingga mendarat diatas ubin keras itu. Wajahnya sedikit pucat.
Hyuji tertawa.
"Jika tidak niat bunuh diri, jangan dilakukan!"
"Si-siapa bilang?! Ayo kita lakukan!" tantang John dengan suara gugup.
Hyuji berbalik, kemudian melompat turun dari pijakan awalnya. Lantas menatap John yang masih betah berdiri diatas pagar pembatas.
"Turunlah, atau satu hewan jadi-jadian terbang lalu dengan sengaja menabrakmu hingga kau terjatuh!"
John bergidik ngeri, dia bahkan belum menikah dan merasakan surga dunia. Jadi dia tidak mau mati perjaka. Dia turun menyusul Hyuji.
"Kau itu pemuda aneh!"
John mengerut dahi kesal. "Atas dasar apa kau mengatai aku demikian! Aku selalu mendapat juara dikelas saat sekolah dulu!"
"Aku tidak percaya!"
"Sebutkan namamu!" pinta John memaksa.
"Untuk apa?"
"Untuk aku bawa kecenayang dan mengirim kutukan untukmu!" jawab John kesal. Dia bahkan tak menyangka jika gadis dihadapannya itu sungguh cerewet, pandai mengintimidasi dan mengesalkan.
"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau mati karena kutukan!"
Hyuji berniat pergi, akan tetapi telapak besar itu kini melingkar pada pergelangan tangannya yang ringkih dan kurus.
"Siapa namamu!"
Hyuji memutar bola mata jengah. "Tuan, kau sudah menggagalkan hasratku untuk mengakhiri hidup hari ini, jadi untuk apa aku—"
"Aku tertarik padamu!"
Seketika Hyuji tercengang. Waktu seolah berhenti bergerak. Bibir ranumnya ternganga, dia bahkan sudah basah kuyup, tapi mengapa pemuda itu menahannya lebih lama disini.
Hyuji terbahak.
"Baiklah, katakan dulu berapa usiamu tuan John Wilson yang tampan!"
Benar, Hyuji akui jika pemuda John itu sangat-sangat tampan.
John bahkan ingin sekali mendaratkan satu kecupan pada bibir ranum yang kini menjadi pusat perhatiannya.
"Dua puluh enam!"
"Kau masih terlalu muda untukku! Lupakan! Aku tidak tertarik dengan pria yang lebih muda dariku!" Hyuji meronta, berusaha menarik lengannya dari kungkungan John.
John semakin menarik tubuh Hyuji dan memeluknya erat. "Kau bisa melupakan pertemuan kita setelah ini, tapi aku mohon... Jangan berusaha mengakhiri hidupmu lagi!" pinta John dengan suara madunya, "—dan tolong, beritau padaku, siapa namamu!"
Hyuji mengerjap dalam kejut. Dada pemuda itu keras sekali. Bahkan harum maskulin itu bisa Hyuji rasakan dengan jelas, mendebarkan.
"S-song Hyuji!"
John tersenyum lembut, mengusap sekilas surai Gadis dalam dekapan kemudian melepaskannya kembali.
John tersenyum tipis dengan tatapan tajam mendominasi. "Suatu hari nanti, kita akan bertemu kembali, Nona Song Hyuji! Dan kita lihat, apa kau masih sama menyebalkannya seperti hari ini?!" John bergerak menjauh, hendak pergi. Namun langkahnya kembali terhenti dan berbalik guna mendapati kembali wajah cantik gadis bernama Hyuji itu. " Dan satu hal lagi! Kau harus menjadi milikku!"[]
-Adagio-
Story By Vizca Vida.
©2020
♡
Disclaimer.
-Cerita ini murni imajinasi dan karya original penulis.
-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidak sengajaan.
-Semua karakter didalam cerita tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata.
-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan.
-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain.
•
Selamat membaca dunia cerita dengan Cast John Wilson dan Song Hyuji.
Vi's.
Penat, lesu, dan juga malas. Hal itulah yang dirasakan Hyuji saat melihat rumah, ah, lebih tepatnya neraka dunia. Bermukim bersama kedua orang tua dan juga kedua kakaknya tidaklah cukup menyenangkan bagi Hyuji.
"Aku pulang... " sapa Hyuji saat berhasil melewati bentangan pintu utama yang terbuat dari kayu besar polos berwarna cokelat tua. Dinding ruang tamu rumah mewah itu berornamen classic dengan tatanan yang elegan. Ya, Hyuji hidup dalam lingkup yang bisa dikatakan mewah.
Malam sudah merengkuh sepenuhnya. Akan tetapi keadaan rumah cukup sepi, hanya ada dua orang pengurus rumah yang tersenyum menyambut kedatangan Hyuji. Namun sedikit panik saat mendapati Putri bungsu majikan mereka pulang dengan keadaan yang cukup berantakan.
"Nona, apa yang terjadi dengan anda?"
Hyuji hanya tersenyum dan memberi isyarat agar keduanya tidak perlu panik dan juga khawatir pada dirinya. Hyuji benar-benar lelah, dan tidak ingin berbicara demi menjelaskan apapun.
Hyuji menaiki anak tangga yang akan menghubungkan dengan lantai atas, dimana kamar pribadinya ada disana. Sesaat sebelum langkahnya kembali menapak, Hyuji mendongak dengan manik terpejam, berusaha untuk menenangkan diri.
Namun apa yang dilihatnya setelah pintu tersebut terbuka tidak lah menyenangkan. Kakak keduanya sedang melihat-lihat album yang sebenarnya ia simpan ditempat yang cukup pribadi.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Hyuji dengan ekspresi datar.
Jangan salahkan Hyuji jika dia berkata kasar kepada orang yang lebih tua darinya. Hyuji benar-benar sudah lelah, bahkan muak.
"Tidak ada! Hanya melihat-lihat album yang kau simpan di lemari pakaianmu"
Hyuji meremat jemarinya yang sudah kedinginan dan bergetar. Demi apapun, Hyuji ingin sekali meneriaki kakaknya dengan kata umpatan terburuk yang ia miliki.
"Bukankah itu sudah keterlaluan?" Lanjut Hyuji mencoba tenang.
Sang kakak menghentikan kaki yang sebelumnya memukul-mukul sisi ranjang, kemudian menyalangkan pandangan pada sosok Hyuji.
"Bukannya kau harus menghormati kakakmu? Song Hyuji?"
"Aku akan melakukannya jika kau bisa menjaga sikapmu padaku, Song NaMi?!"
Dingin, suasana kembali menjadi hal yang sama sekali tak diinginkan Hyuji.
NaMi jengah, dia bahkan menuruni ranjang dengan kasar, kemudian melayangkan satu pukulan keras pada pipi Hyuji.
"Kau pantas mendapatkan itu! Atau, kau lebih pantas pergi saja dari dunia ini! Tidak ada yang mengharapkan dirimu disini! Dasar rubah kecil licik!" jawabnya sarkas dengan senyuman diujung bibir, kemudian menendang bahu Hyuji dengan bahu miliknya dan menghilang dibalik pintu kamar yang berdebum cukup keras.
Hyuji menghela nafas lemah, bahkan dirinya tidak pernah melakukan apapun untuk mengusik ketenangan sang kakak. Mereka begitu gigih membuat Hyuji terpuruk didalam rumah sendiri.
Memutar tubuh untuk mengamati setiap sudut ruangan pribadinya, Hyuji mendapati beberapa tempat terbuka dan tidak pada posisi seharusnya.
Tiba-tiba saja Hyuji terbelalak saat mendapati satu lemari yang ia kunci terbuka. Seketika Hyuji berlari, dan rahangnya semakin mengerat saat mendapati foto masa kecilnya bersama seorang pria kecil yang menjadi teman pertamanya ketika berlibur di pantai Haeundae tidak ada ditempat Hyuji meletakkannya.
Tubuh Hyuji lemas tak memiliki tenaga saat melihat foto monokrom itu robek menjadi kepingan dan berserahkan di atas lantai, disisi lemari. Menahan airmata dalam tangkupan emosi yang ingin meledak seperti sebuah ranjau. Langkah Hyuji berjalan sebaliknya. Kaki itu terarah mundur hingga sampai ditepian ranjang dan tubuhnya jatuh terpantul disana dengan pakaian basah yang masih membalut tubuh bergetarnya.
Tatapan Hyuji kembali kosong, foto yang selama ini menjadi penyemangatnya musnah. Pria kecil itu sudah tak lagi bisa menemani kesendirian dalam rengkuh batin yang terburai.
Tanpa terasa, satu tetes airmata lolos dari pelupuk mata.
"Mengapa dia melakukan semua ini padaku?" gumam Hyuji pelan. Merutuk pada dirinya sendiri.
Perlahan kenangan bahagia saat dirinya membangun istana pasir bersama pria kecil itu kembali merayap pada setiap inci ingatan Hyuji. Bagaimana suara madu nya saat berbicara, rambut hitamnya yang lebat, tawa dengan gigi kelinci yang lucu, dan juga tubuh yang lebih kurus dari Hyuji, semua masih terekam jelas.
Hatinya mendadak ngilu, Hyuji meremat pakaian tepat didada, menahan segala sakit yang timbul. Dia masih ingat dalam memori lain dikepala, bagaimana sang ibu melarangnya menangis. Hyuji memejam rapat sekali.
Sial!!
Hyuji mengumpat sendiri. Mengapa dia tidak melompat saja dan semuanya berakhir hari ini. Akan tetapi, ucapan pemuda yang ia temui dibalkon lantai dua belas itu kembali menyeruak, terngiang menyerupai sebuah bisikan, membuat Hyuji membuka manik lebar.
Jangan berusaha mengakhiri hidupmu lagi.
Benar, Hyuji harus bertahan. Akan tetapi, tidak ada hal yang lebih menyenangkan dimata Hyuji selain menyiksa dan menyakiti dirinya sendiri.
Kita akan bertemu lagi. Kau akan menjadi milikku.
Sebuah janjikah? Haruskah Hyuji berharap?
Hyuji tertawa getir, bagaimana dia bisa berharap pada pria yang bahkan tidak pernah ia kenal. Bodoh! tidak ada yang perlu ia harapkan.
Hyuji berdiri, memungut kepingan kertas yang sudah hancur dan membawanya keatas meja kayu berukuran sedang yang biasa ia pergunakan untuk belajar. Menyusun kembali diatas sebuah perekat.
"Kita akan selalu bersama bukan?" tuturnya pada sebuah foto yang hampir tersusun. "Kau dulu pernah bilang kepadaku akan selalu menemani ku bermain," lanjut hyuji dengan senyuman lembut.
"Maaf tidak bisa menjagamu dengan baik! Tapi aku harap kau tidak marah saat tau foto kita sudah berantakan seperti ini!"
Hyuji menggantung senyuman, dengan luka batin yang terasa perih diatas sebuah harap, Hyuji melanjutkan ucapannya. "Aku juga berharap kau tidak melupakan diriku!" []
"Aiiissh, sial!! Mengapa semua menolak lamaran pekerjaanku?"
Tutur seorang pria dalam balutan jas hitam rapi dan juga sepatu pantofel menyerupai seorang pengusaha, yang sedang berjalan terhuyung. Ia bahkan tak sadar sudah menjatuhkan sesuatu dari dalam tas yang ia tenteng. Pria itu dibawah pengaruh alkohol.
Seseorang yang berjalan dibelakang memungutnya, menatap pria dengan langkah terseok itu sekali lagi. Kemudian menyimpan pada saku jaket yang ia kenakan.
***
Pagi ini, John melewati gang rumahnya dengan badan terasa remuk. Bagaimana tidak, ibunya sudah memukulkan gagang sapu sebanyak lima kali ke arah punggung, lengan, kaki, lalu naik ke punggung lagi. Ditambah kepalan tangan besar sang ibu yang melayang pada tengkuk lehernya yang terasa berat, membuat John hampir pingsan ditempat.
"Ah, kenapa ibu kasar sekali pada putranya sendiri!" gumam John sambil memijat tengkuk leher kekarnya karena linu.
Bahkan John sudah bekerja keras mencari pekerjaan seperti yang ibunya inginkan. Tapi mau bagaimana lagi, ijazah yang ia punya nyatanya tidak begitu dibutuhkan. John menyesal sudah menolak bea siswa untuk melanjutkan ke universitas dan memilih ikut dengan kedua teman yang katanya ingin membangun usaha dengan iming-iming penghasilan tinggi. Mengingat hal itu, John ingin sekali mengumpat.
"Aih... sial sekali hidupku! Ibu juga kenapa berubah menjadi seperti monster begitu? Aku sampai takut pulang kerumah!"
Tiba-tiba ponsel bututnya bergetar. Dia bergegas merogohnya dari saku celana. Apalagi yang diharapkan seorang tuna wisma selain mengharapkan panggilan dari salah satu perusahaan yang sudah ia titipi data diri untuk mendapat sebuah pekerjaan.
John berdecak kecewa saat tau siapa yang menghubunginya. YoonKi. Kakak seperguruan yang sama-sama menganggur, yang dulu pernah mengajaknya menjadi pengusaha sukses.
"Ada apa kak Yoon?"
"Kau sedang dimana John? Ayo ke cafe internet! Kita menangkan duel kita melawan—"
Belum selesai bicara, John sudah menyela. "Kak! Aku tidak bisa! Ibuku tidak memberiku uang, dan memukuliku dengan gagang sapu hingga punggungku rasanya mau patah! Jadi kakak bermain berdua saja dengan kak Hoby!"
"Apa kau terpergok ibumu?"
"Eummm!" sahut John cepat diiringi sebuah anggukan mantap.
"Waah, kasihan sekali!"
John tercengang. Bahkan dirinya sudah terlihat menyedihkan dimata orang lain.
"Apa kau juga tidak diberi jatah makan oleh ibumu?"
"Eung! Dia tidak memberiku makan! Dia bilang tidak ada uang, dan sekarang rasanya aku hampir mati kelaparan!" tutur John dengan nada memelas dan mengerucutkan bibir gemas.
"Datanglah ke cafe internet! Aku akan membelikanmu makanan!"
"Benarkah?" tanya John berbinar.
Sesaat kemudian berlari penuh semangat saat panggilan itu benar-benar berakhir. Usianya memang tidak bisa dibilang muda untuk seorang tuna wisma, tapi John memiliki teman satu profesi yang lebih tua empat tahun, dan tiga tahun darinya. Mereka berdua berasal dari keluarga yang cukup berada, kecuali John. Hidupnya pas-pasan karena sang ibu harus bekerja seorang diri untuk membesarkan John setelah sang ayah meninggalkan keduanya.
Sesampainya,
John bersemangat membawa segelas besar pepsi, dan juga sekantong hamburger ukuran jumbo yang dijanjikan YoonKi. Dia juga ditraktir untuk bermain game hari ini oleh YoonKi. Tidak heran, YoonKi setidaknya masih memegang kartu kredit meskipun menganggur. Ayahnya seorang pegawai negeri, dan memiliki sebuah toko serba ada yang lumayan besar.
"Terima kasih kak! Aku akan membalas kebaikan kakak jika sudah sukses nanti!"
"Ah, sudahlah! Kita harus segera login untuk melanjutkan duel kita kemarin!"
Kedua presensi dihadapan YoonKi mengangguk penuh antusias. Berharap pada pertandingan game kali ini mereka menang dan mendapat banyak uang.
Suara tawa, pukulan kecewa dimeja, bahkan umpatan keras tak tanggung-tanggung mereka lakukan dihadapan monitor besar dengan tampilan gambar bergerak menyerupai sebuah lahan peperangan. John memang memiliki fokus yang cukup baik terhadap sesuatu, jadi dia akan selalu memperjuangkan apa yang sudah dilaluinya. Termasuk game yang menyita waktu itu.
***
Hyuji tak ingin bergabung dimeja makan malam ini. Dia lebih memilih mengunci rapat pintu kamar dan tak bersuara. Membaca novel kesukaannya dengan earphone bervolume penuh agar tak mendengar siapapun yang menyebut namanya dari luar.
Sang pangeran akhirnya berhasil menemukan Putri yang selama ini ia cari—
Tanpa Hyuji inginkan, musik berhenti, ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari mama. Hyuji bergegas menjawab panggilan tersebut.
"Eummm.. "
"Kalau kau tidak mau makan, setidaknya jangan buat orang lain kelaparan! Buka pintumu dan turun kebawah!"
"Aku tidak lapar mam! Kalian bisa mulai makan—"
"Bibi Lee akan mengantar makanan ke kamarmu! Buka pintumu!"
"Baiklah!" jawab Hyuji, malas sekali.
Dengan langkah gontai, Hyuji berjalan untuk membuka pintu seperti yang di titahkan sang mama. Hyuji sama sekali tidak berani melawan ucapan mamanya. Akan tetapi apa yang ia lihat bukan hanya presensi bibi Lee, melainkan mamanya juga turut berdiri diluar. Hyuji terbelalak.
Memang, sejak kejadian kakaknya merobek foto tempo hari, Hyuji jadi malas untuk berkumpul bersama. Apalagi melihat NaMi.
"Letakkan makanan itu dimeja dan tinggalkan kami berdua!" titah sang mama pada bibi Lee.
Sang bibi hanya menatap sendu dalam iba, sudah pasti nyonya Song tidak akan membiarkan putrinya itu begitu saja setelah berbuat hal yang tidak ia suka—menunggu.
Pintu sudah kembali mengatup rapat, Hyuji menatap takut kedua manik sang mama yang terlihat penuh emosi.
Telapak itu terulur guna menarik earphone yang masih tersemat diantara kedua telinga Hyuji. Gadis itu menunduk takut, meremat jemari di depan perut. Takut sekali.
"Kenapa kau bersikap kekanakan seperti itu?"
"Mam, Hyu kesal dengan kak NaMi! Dia sudah merusak sesuatu yang berharga milik Hyu!" tuturnya dengan suara parau—syarat takut.
"Kakakmu sudah cerita pada mama!"
Hyuji mengangguk paham. "Syukurlah kalau mama mendengar itu!"
"Dan kau marah kepada kakakmu hanya karena sebuah foto laki-laki kecil yang bahkan tidak kau kenal?"
"Hyu berteman dengannya!" kekeh Hyuji mempertahankan pendapatnya.
Mamanya tersenyum sarkas, mengurung Hyuji dalam sebuah perasaan intimidasi.
"Konyol!"
Hyuji tak bisa terima, bahkan foto tersebut lebih baik dari seluruh penghuni rumah yang tak lain adalah keluarga sedarah.
"Hyuji tau, itu konyol menurut mama!" Hyuji menjeda ucapan dengan pupil bergetar. "Akan tetapi, Hyu tenang saat melihat pria kecil dalam foto tersebut dari pada saudara Hyuji sendiri!"
Lagi.
Hyuji menerimanya lagi.
Sebuah pukulan keras mendarat sempurna diwajah cantik Hyuji. Terasa menyakitkan. Hyuji mengusapnya, berharap rasa panas yang menjalar akan sirna.
"Pergi dan cari laki-laki itu jika kau merasa dia lebih baik dari keluargamu sendiri!"
Sungguh, Hyuji hanya ingin sebuah ketenangan. Tidak, lebih tepatnya kasih sayang, kebahagiaan, kehangatan rangkulan seorang ibu, dan juga sebuah makna keluarga.
Hyuji hanya diam tak berkutik, menundukkan kepala tak berani menatap sosok ibu yang sedang murka.
"Mintalah maaf pada kakakmu!"
Untuk apa?
Bahkan Hyuji tak melakukan kesalahan apapun. Dia hanya berkata apa adanya, seperti yang ia rasakan.
"Tidak!" sahut Hyuji tegas. Mencoba membangun benteng pertahanan, berupa sebuah keberanian, meskipun mungkin dia akan kembali menerima sebuah pukulan. "Hyu tidak akan meminta maaf pada orang yang bersalah! Seharusnya kak NaMi yang meminta maaf pada Hyuji!"
Kedua manik itu bersirobok. Hyuji masih berusaha tegar, hingga sebuah bisikan ia dengar dari mama. "Menikah saja dan ikut dengan suamimu jika kau ingin keluar dari rumah mama!"
Jantung Hyuji serasa mau lepas saat mendengar kalimat sadis sang ibu. "Mama juga tau, kau itu tidak sebaik kedua Putri mama yang lain! Kelebihanmu hanya wajahmu saja yang cantik! Dan mama tidak akan menyesal melepasmu!"[]
•
•
Karakter John Wilson dan juga Song Hyuji berbeda disini.
Simak kelanjutan cerita mereka, yang pastinya akan semakin seru. Semoga Vi's bisa menyuguhkan cerita yang bukan hanya menghibur ya, akan tetapi bisa dipetik sisi positifnya juga.
Tinggalkan jejak jika berkenan...
Salam Hati Warna Ungu,
💜💜💜
Vizca.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!