NovelToon NovelToon

Legenda Dewa Kesetaraan Vs Dewa Roh

Perkenalan.

⚠PERINGATAN ⚠

BILA ADA KESAMAAN NAMA, KARAKTER, TEMPAT, ITU HANYALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN. TIDAK PLAGIAT DAN TIDAK UNTUK DIPLAGIAT.

*.*.*

JUDUL: Legenda Dewa Kesetaraan Vs Dewa Roh.

*Jilid Satu (Tujuh Bidadari):

[ Episode O-58].

*Jilid Dua (Nyanyian Kematian):

[Episode 59-98].

*Jilid Tiga (Deklarasi Perang Dewa-Dewi):

[Episode 99-143].

*Jilid Empat (Dewa Kesetaraan Vs Dewa-Dewi):

[Episode 144-183].

* * *

“Mula-mula dunia ini dibentuk karena penasaran ... dan karena penasaran itulah dunia bermula.”

Telah hancur galaksi Dewadewi. Dua Dewa Surgawi yang berseteru adalah pihak yang bertanggung jawab. Ras Malaikat yang dengan sukarela hendak menciptakan kembali galaksi tersebut justru ditegur oleh Lima Pengurus Alam Semesta, menjadikan galaksi tersebut hilang dalam alam semesta, sementara Dewa Roh serta Dewa Kesetaraan pun dihukum.

“Dewa Kesetaraan mampu meniru segala Dewa Dewi di alam semesta, namun malang baginya, Dewa kesetaraan tak pernah sanggup meniru sang Dewa Roh ....”

“Dan begitu pun sebaliknya, sang Dewa Roh yang mampu membuat seluruh makhluk roh tertidur atau menguasai para roh ... nyatanya sang Dewa Roh tak pernah sanggup menguasai roh Dewa Kesetaraan ....”

“Lalu, apa yang membuat mereka sampai menghancurkan galaksi?” tanya anak yang baik.

”Mereka berperang.“

”Berperang karena apa? Apa karena kekuasaan?“ tanya lagi anak yang baik.

”Tidak anakku, tidak. Sayangnya mereka berperang bukan karena kekuasaan.“

”Ahh ... mereka berperang karena ... harta? Takhta? Atau wanita? Atau ingin menjadi lebih kuat?“

”Bukan, anakku, bukan ....“

”Loh ... lalu mereka berperang karena apa?“

Sang ibu pun menjawab, ”Seekor kambing, anakku ... hanya karena seekor kambing.“

Rakyat yang baik mendongengkan legenda tersebut pada anak-anak mereka sebagai pembentukan moral. Sedangkan rakyat yang tidak sempat baik mendongengkan legenda tersebut pada anak-anak mereka sebagai kebaikan. Lalu rakyat sepakat, kalau dua Dewa dungu itu adalah kebohongan para raja yang paling manis.

-----------------------------***-------------------------------

IDENTITAS:

Nerta.

Energi: Putih.

Daya Destruktif Energi: 80%.

Klan: Sirius.

Pencapaian Ilmu: -Ilmu Cahaya.

Ciri-Ciri: Berwajah kaku seperti wajah Superman, berkarisma dan kalem.

Status: ?

Kualitas Roh: 10.

* * *

Arista.

Energi: Pingai dan Biru Langit.

Daya Destruktif Energi: 75%.

Klan: Arcturus.

Pencapaian Ilmu: -Ilmu Cahaya.

-Ilmu Keilahian Alam Semesta: Pemecah waktu.

Ciri-Ciri: Atraktif, kekanakan cekatan dan berambut merah panjang.

Status: ?

Kualitas Roh: Level 9.

* * *

Quin.

Energi: Merah.

Daya Destruktif Energi: 80%

Klan: Vega.

Pencapaian Ilmu: -Ilmu Cahaya.

Ciri-Ciri: Ambisius, petarung dan berambut warna kuning.

Status: ?

Kualitas Roh: Level 7.

* * *

Darko.

Energi: Merah.

Daya Destruktif Energi: 80 %.

Klan: Canopus.

Pencapaian Ilmu: -Ilmu Cahaya.

Ciri-Ciri: Rambut merah pendek.

Status: ?

Kualitas Roh: Level 7.

* * *

Gorah.

Energi: Merah.

Daya Destruktif Energi: 80%.

Klan: Arcturus.

Pencapaian Ilmu: -Ilmu Cahaya.

Ciri-Ciri: Berambut hitam panjang, tegas dan arogan.

Status: ?

Kualitas Roh: Level 10.

PERINGATAN!

—CERITA HANYA FIKSI BELAKA.

⚠Dibeberapa episode mengandung sadisme.

⚠Supaya tidak ada kesalahpahaman, diharapkan semua episode disetiap jilid dibaca.

⚠Harap bijak dalam menyikapi cerita dalam novel.

- (Bila ada saran/kritik/kesan bisa dicantumkan pada kolom komentar. Terima kasih.)

Terima kasih yang sudah baca, like, vote, atau hanya sekadar nenjo doang.

Prolog.

Cahaya api dimandatkan pada ras Peri.

Cahaya petir dimandatkan pada ras Barqo.

Cahaya angin dimandatkan pada ras Neznaz.

Cahaya roh dimandatkan pada ras Malaikat.

Cahaya jiwa dimandatkan pada ras Dewadewi.

Lalu umat jin menjadi awal, memimpin alam fana metafisik.

Dan umat manusia menjadi penutup, memimpin alam fana fisik.

Hingga mandat pun ikut turun untuk para pembelot.

Menciptakan alam Neraka demi seleksi alam.

Dan identitas menjadi bukti absolut demi menakrifkan siapa yang lebih unggul.

* * *

Dalam aroma khas alam Peri.

Kota Barata telah hancur dan rata dengan tanah. Bahkan sama sekali tak nampak sebagaimana kota adanya; terlihat seperti tumpukan serbuk kayu yang menggunung dan tersebar di mana-mana.

Sesosok entitas yang dipuja sebagai Siluman Dewa Mistik, adalah biang kerok dibalik kebinasaan masal ini.

Alasan membumihanguskan kota menyedihkan ini bukanlah sebatas dendam, bukan karena kebencian, bukanlah karena cinta dan bukan pula karena kekuasaan.

Perang besar meluluh-lantakkan seluruh tanda kehidupan di sini; hunian. Rumah yang terbuat dari mewahnya berlian bagai nampak layaknya serakan pecahan gelas. Keindahannya telah pudar, tapi kilaunya masih kentara.

Ratusan bahkan ribuan jasad telah terkapar bak taburan keju yang diparut. Mati, dingin dan tak berdaya.

Segala kenyataan mengerikan nan getir itu berlangsung 10 hari 12 jam purnawaktu.

Pasukan militer, para pendekar, para kesatria, hingga para pribadi biasa, telah menjadi korban luka-luka hingga korban jiwa.

Dia tak terhentikan, tak terkalahkan dan tak mungkin pamit pulang.

Tapi satu hal yang pasti. Lima patriot dari federasi Proletariat tengah berjibaku melawan sang Dewa.

'Trang' 'Tang' 'Klang'.

Bunyi pedang yang beradu terus bersipongang merebakkan hawa peperangan yang serasi bersama ketegangan suasana.

Hanya lima pribadi yang bertahan. Menanggung beban sakit, atau menghindarinya dengan terbang tak menentu.

Tapi pedang saja tidak cukup. Bahkan ilmu Energi pun tidak cukup. Segala beladiri pun tidak cukup. Siluman Dewa Mistik tetaplah lebih unggul.

'BOOOMMM'.

'BLEDAAR'.

'DHUUUAAAAAARSH'.

Bergema dahsyat pertempuran di udara. Ketegangan itu tergambar ngeri dari visual hingga suara. Kelima pribadi yang secara emosional terikat persahabatan tak gentar dan belum berniat untuk mengalah. Mereka melesat menerjang angin, menyerang sang lawan.

Detik dan sengitnya pertempuran berpacu dalam realitas, hingga dititik itulah, semuanya tiba-tiba terasa terhenti. Dihentikan.

Darko menjadi penyebabnya, sahabat setia mereka telah secara tragis ambruk di atas tumpukan bangunan. Kondisinya buruk; dua sayap patah berdarah, mata buta, hingga dua tangan kokohnya lenyap tak bersisa.

Mungkin dia mati, tetapi tak ada yang menginginkannya sekalipun memang telah mati.

Dua sahabat lainnya bergegas mendarat. Mereka Quin dan Arista. Dua wanita itu berlutut hanya untuk memeriksa lelaki muda sahabat mereka: Darko. Tetapi, Arista yang memaksa kehendaknya untuk memulihkan sahabatnya. Energi biru langitnya berpancar dengan percuma. Realita tetap mempersembahkan kematian.

Darko tewas. Tak ada yang bisa dilakukan, sekalipun menangis darah hingga banjir.

Kendati demikian. Mereka —Quin dan Arista— telah menjatuhkan bulir-bulir bening nan berkilau. Itu dari mata mereka. Dari kesedihan dan kehilangan. Dari usaha yang faktanya mempersembahkan kegagalan.

Menangisi kalau tak terimanya mereka melihat takdir merenggut nyawa sang sahabat.

Quin bahkan mencetuskan argumentasi menohok dan berupaya memaksa suatu kehendak: “GUNAKAN PIL PEMULIH! KITA HARUS CARI ...! KITA HARUS CARI ...!”

Kendati rengekan itu diiringi senguk-sengak kepiluan. Arista menggeleng pasrah layaknya pencuri dungu yang ketahuan mencuri tapi berkata 'tidak' dan dengan berani membeberkan kenyataan: “Udah abis ... udah abis ... udah nggak ada lagi ....”

Memang telah tewas Darko, sekalipun pil ditemukan, itu sia-sia.

Tetapi tak peduli Quin di sana. Dirinya dalam getir nan nelangsa, terbang ke sana kemari, hanya demi mencari sebuah pil. Berharap, takdir dapat disangkal.

'BUUFF'.

'BUAF'.

'Shriing'.

'Swriing'.

Selama kenyataan ironi itu terpampang. Dua sahabat lainnya masih sengit bertarung di udara. Hingga seper-sekian detik berlalu, dua figur pria itu pun turut mendarat pada tempat sahabatnya. Untuk memastikan, atau kalau boleh mencari jalan kabur.

“Darko udah tewas ... hiks ... dia udah tewas ... semuanya sia-sia ... kita pasti mati ... hiks ....”

Argumen putus asa yang lahir dari mulut Arista berhasil menyentuh hati dan sisi kejiwaan dua sahabatnya —Nerta serta Gorah— yang seketika kesepuluh jemari berdarah mereka mengepal erat, laksana menahan beban kehilangan, lalu kepiluan menyeruak setelahnya.

Meski ke dua pria yang memiliki dua mata tegas itu tak mengucurkan air mata merana. Entah mungkin karena mereka berdua seorang pria, sehingga gengsi untuk menjatuhkan tetes air mata. Namun nyatanya sikap sekaligus mimik wajah mereka sudah dipastikan merepresentasikan betapa menyedihkannya kematian sahabat.

Hanya sang Siluman Dewa Mistik yang tetap melayang asyik di udara dalam datar tanpa terpampang ekspresinya. Terdiam, siap, tetapi menunggu diserang.

Quin dengan angan-angan harapannya, terus terbang mencari pil dari korban-korban yang tergeletak mati. Itu pun dipastikan sia-sia.

Gorah dan Nerta memiliki satu pandangan yang terfokus tajam, tepat pada lawan. Berang, pilu, dendam atau bahkan benci, segenap emosi itu berpadu harmoni dalam diri. Khususnya bagi Nerta.

Napasnya tetap stabil, tidak untuk jantung. Nerta telah bergigit dan rahangnya mengeras karena dirinya enggan menerima realita.

Maka tanpa sungkan dengan murka, tangan kanan kokohnya memanifestasikan sebuah tongkat kujang berbahan berlian.

Pikirannya telah gelap. Sahabatnya sudah mati dan itu memacu jiwanya untuk bertarung pula sampai mati.

Tak peduli lagi status sang lawan, malahan tak merisaukan dirinya yang sebatas peri biasa.

Namun, dalam rumpang krusial, Gorah mengomentari sikap Nerta kali ini: “Bodoh ... apa kau kira dengan tongkat kujangmu itu dapat mengalahkan seorang Dewa?”

Bukan itu saja. Arista yang kini bersimpuh kuyu nan ganar, berani menimpali, “Kita nggak mungkin ngelawan sesosok Dewa! Kita pasti mati ...!”

Kalimat keputusasaan itu telah diterima pendengaran Nerta baik-baik. Dia paham, dia juga tahu. Tetapi paling penting, dia masa bodoh.

“HHYAAAAAAAAAAAAT ...!”

Sebuah teriakan gairah yang melebur satu dalam kemurkaannya, lantas mendorong sisi kejiwaannya untuk bergerak, dan 'Woush', dia melesat cepat pada sang lawan. Terbang mengepak sayap kuat-kuat.

Sementara Arista menangisi kematian sahabatnya, layaknya menangisi cinta pertamanya yang dirampas sahabat dekatnya. “Hiks ... hiks ... hiks ....”

Gorah yang berdiri dengan bersedekap menyilang tangan, yang terlihat jemawa, malah nyeletuk, ”Belagu ... ujung-ujungnya ... mati juga ....“

Sikap solid pada sahabat, atau mungkin adanya sisi emosional familisme adalah alasan terkuat Nerta berani bertarung dengan sesosok Siluman Dewa Mistik.

Fakta kalau Nerta tengah melesat mungkin terlihat keren, apalagi dengan bumbu solidaritas, tetapi nyatanya mentalnya sangat terguncang. Dia bahkan tak ingin terlihat keren.

Hingga 'Boom' tebasan dalam energi merah tongkat kujang Nerta beradu dengan tinjuan tangan kanan energi kelabu sang entitas Dewa.

Efeknya berdaya kejut nan kuat. Angin mendesau. Pecahan energi terbebar. Hawa memanas dan emosional bergelegak.

Namun hanya Nerta yang terpental ke belakang. Tidak bagi sang Dewa. Dia kuat, santai, dan baik-baik saja.

Dari sepuluh meteran itu, Nerta menggunakan kemampuan spesial tongkat kujangnya. Tiga energi utama digunakan; Merah, Hijau, pingai.

'Swoush' sekujur tubuhnya diliputi tiga energi yang berputar menyelaraskan dengan dirinya.

Kemudian, 'Siuw' melesat dengan mencengangkan menuju sang Dewa.

Sang Dewa seketika memanifestasikan sebilah pedang berapi. Dia meremehkan Nerta dan terlampau yakin bila Nerta pasti mati.

'Trang' 'Tang' 'Trang' beradu ngeri pedang dan kujang itu. Menimbulkan efek bunyi pertarungan dan menghempaskan angin ke sekitar.

Ditebas dari kanan, 'Trang' sang Dewa menepisnya.

Ditebas dari kiri, 'Tang', sang Dewa menangkisnya.

Dari atas, bawah, menusuk atau bahkan dari segala arah kujang tongkat itu melayang, masih sanggup ditangkis oleh sang Dewa. 'Klang' 'Tang' 'Trang'.

Irama pertempuran dalam emosi dan tujuan yang berbeda itu nyatanya hanya jadi bahan tontonan oleh sahabat Nerta lainnya. Mereka sudah pasrah. Menanti waktu menyuguhkan kematian.

Udara disekitar mendesir. Awan kelabu terparkir di atas sana, menutupi kulminasi baskara seolah marah dan sebagian langit cerah seolah ceria.

Sebuah ingatan janji pun ikut tercetus dalam kepala mereka. Pasalnya, sebuah sumpah telah diperasat, kalau solidaritas serta loyalitas perlu diprioritaskan.

”Jika satu mati ... maka semuanya mesti mati ....“

Kalimat imperatif itu mengekang emosi mereka, membentuk deduksi tersendiri; sudah waktunya mati di sini.

Toh, mati di medan pertempuran bukanlah hal yang memalukan. Pikir Gorah.

Di sana, bulir bening yang berkilau terbebar ke seluruh penjuru, laksana rintik hujan untuk ladang yang suram. Pada akhirnya dalam pergulatan di udara, Nerta menangis. Tak dapat disangkal kalau laki-laki juga punya hati.

Diselingi teriakan kemurkaan, Nerta bertarung semaksimal mungkin dalam lirih tangis merana.

Kehilangan sahabat yang sama-sama berjuang. Sahabat yang menghiasi hidup dan menjadi bagian dari arti hidup. Untuk saat ini jelaslah menjadi moto pertarungannya.

Tapi detik mencekam itu pun diisi oleh fakta mengherankan. Para penyihir level Langit Tujuh mengurung mereka dalam segel akuarium. Memenjarakan mereka bersama Dewa sinting itu.

Arista yang keheranan, pun mempertanyakan keganjilan itu dalam pandangan mengedar dan gentar.

Quin yang telah bersimpuh pasrah nan lelah di dekat Arista, berani berkomentar: ”Mungkin ... karena kita adalah lima sosok yang termashyur ....“

Tapi sang lelaki arogan, yakni Gorah, justru menampik asumsi tersebut. "Tidak, bukan karena itu ....“

Sontak dua wanita itu merespons dengan terkejut. ”Eh?“

”Kita di sini bukan karena termasyhur ... kita di sini karena ditumbalkan ....“ Sebuah argumentasi Gorah yang lugas dan memiliki spekulasi lain —bukan— memiliki premis berbeda.

Membisu. Tercenung dan berpikir hal buruk. Firasat menyatakan kalau ini adalah hasil dari persengkongkolan; konspirasi.

”Jadi ... pemerintah menjebak kita?“ lirih Arista dengan pikirannya yang menerka-nerka, antara malapetaka atau hadiah idaman yang tengah diterimanya.

”Tidak ....“ Lagi-lagi Gorah menampik. Pandangan tajamnya terkunci pada pertarungan sahabatnya dan dia punya estimasi sendiri perihal perkara ini.

Dua wanita muda itu lagi-lagi memampang ekspresi terkaget dan selebihnya termangu.

”Bukan pemerintah ... tetapi ... masyarakat ...,“ pungkas Gorah nan ambigu. Menimbulkan puluhan asumsi dan seolah-olah memvonis mutlak nasib hari ini, bila perkara yang diterima lebih buruk dari asumsi semata.

Kemahiran Nerta meliukan tongkat kujangnya belum sepadan dengan kesaktian sang Dewa yang sanggup menahan segala serangan.

Kemampuan khusus dari energi merah, Hijau, pingai, telah diimplementasikan, tapi gagal juga. Waktu dan jarak atau apapun yang disebut serangan sama sekali nihil. Sang Dewa tetap unggul.

Hingga waktu yang terus berpacu yang tak pernah rehat. Menunjukkan kejadian tak terduga.

Tongkat kujang kepunyaan Nerta patah. Siluman Dewa Mistik mulai menyerang secara beringas. Tubuh tegap Nerta, dua sayap elegannya, paras karismatiknya, menjadi bahan pelampiasan kesaktian sang Dewa.

Siluman Dewa Mistik ini tak mungkin dikalahkan kalau kewajibannya belum terimplementasi. Meski Dia tak memiliki perasaan, atau tak pernah memasang suatu ekspresi tanda adanya emosi, sang Dewa tetap tahu caranya bertarung secara artistik.

'Buak' 'Buk' 'Dhuk' 'Boom'.

Cecaran serangan menghebohkan itu masih sebatas tontonan semata bagi ketiga sahabatnya. Seperti menyaksikan pertandingan sepak bola, tapi dengan tim kebanggaan yang telah pasti kalah.

Lalu 'Boom' Nerta dihantam dengan satu tinjuan telak yang langsung meremukan roman kakunya.

Tapi walau dua sayapnya kini patah, tangan kanannya putus, patut disyukuri ke dua kakinya masih kuat menopang bobot tubuh luka-lukanya. Berdiri di atas tanah dengan membungkuk tumungkul masih berderai bulir air mata kepedihan.

”Haah-haah-haah-haah ....“ Napasnya sudah berat, tubuhnya lunglai, akan tetapi, Nerta kukuh untuk membalas nasib kematian sahabatnya.

Semua sahabatnya tak merespons, kecuali menyerah ingin mati. Terlebih para penyihir pun tak membantu dan penderitaan itu diperparah oleh keengganan wali kota kota Barata mengirim pasukannya ke tempat kejadian perkara.

'DHUUUUAAAAAARS'. Tanah berdebam. Kepul. Pengap dan udara bersiur.

Serangan dahsyat kembali ditanggung oleh Nerta seorang diri. Arista yang tak tega refleks menutup wajah dalam rengek sendunya. Quin tertunduk pilu putus asa dan Gorah bersedekap memalingkan wajah berharap cepat mati.

'Duak' pukulan telak meremukan tulang rusuk Nerta, hingga sesudahnya, 'Cleb' sebilah pedang tertusuk ngeri pada leher Nerta. Lehernya setengah putus. Mencurahkan banyak darah keemasan.

Kemudian 'Bruk' Nerta terkapar sekarat —bukan— bagi Siluman Dewa Mistik Nerta terbaring tewas.

Alih-alih, justru Siluman Dewa Mistik yang baru tujuh langkah berpaling pergi, dirinya tercengang akan kebangkitan Nerta.

Telah kembali bangkit peri biasa itu, tanpa rambang, pedang yang tertancap ngeri dicabut sendiri oleh tangan kirinya. Tulang yang remuk utuh kembali, kulit yang robek tersambung lagi, tangan kanan yang putus beregenerasi kembali, pun detak jantung yang terhenti kembali berpacu.

Hingga pancaran sinar nuansa jingga di belakang kepala Nerta terbit. Sinar kedewaan itu merekah menakjubkan. Kendati matanya terkatup rapat. Tapi jiwanya waspada.

Nerta hidup kembali dan itu tetap disertai jatuhnya tetesan air mata kehilangan.

Sosok pemanggil di dalam entitas Siluman Dewa Mistik mengenalnya. Dia bahkan mengerti siapa yang ada di dalam diri Nerta. ”Ohh ... sang Dewa Kesetaraan ... rupanya ... inilah perwujudan yang ketiga belasmu ....“

Di balik dimensi yang tersembunyi, keindahan dan keagungan sang Dewa terpancar benderang. Duduk bersila di atas dipan berlian, begitu proksimal dengan Nerta, namun tidak bersentuhan.

Tak ada kata dari sang Dewa Kesetaraan, hanya tersenyum tenang, romannya begitu damai dan pandangannya sangat teduh.

Pancaran sinar kedewaan di belakang kepala Nerta, menjadikan anugrah sang Dewa Kesetaraan pun terkoneksi.

Sang Dewa Kesetaraan: [Menyortir Dewa Dewi yang hendak ditiru; 

-Zeteus sang Dewa Iklim. 

-Harius sang Dewi Karunia.

-Paseideus sang Dewa Es.

-Areus sang Dewa Nyawa.

-Harmeus sang Dewa Mantra. 

-Hafesteus sang Dewa Suhu.

-Afrodius sang Dewi Ilusi.

-Athius sang Dewi Inteligensi.

-Damatius sang Dewi Aroma.

-Hastius sang Dewi Psikologis.

-Dan lain-lain ....]

Lalu Nerta pun memilih ....

—————————————————————————

✅Demi mendukung /menghargai kinerja Author, cukup dengan hanya memberikan Like/Vote poin/koin.

(Bila ada kritik/kesan enggak perlu sungkan untuk menuliskannya dalam kolom komentar. Terima kasih.)

Episode 1: Representasi Ambiguitas. (Part 1.)

Berabad-abad kemudian ....

Terdapat mimpi. Bayang-bayang visual yang menghantui sisa hidup Nerta. Menelanjangi pikiran peliknya untuk mengakui kalau dirinya adalah perwujudan sang Dewa Kesetaraan. Di sanalah, iya, di alam pra sadarnya.

Visual lelaki yang tak begitu tampan, namun karismanya benderang. Tubuh tegap dan sekujur anggota badannya yang terlihat kokoh mencuar dari kegelapan pada cahaya.

Sosok itu mirip Nerta. Terlihat kalem, namun berbahaya. Wajahnya datar tanpa ada emosi. Tanpa senyuman. Tanpa ada keseriusan. Nampak hampa tetapi seraya mentransfer aura penuh pengharapan.

Singkat kata, Nerta diberikan segenap alasan kehadiran sang Dewa.

Aura itu ....

Hawanya ....

Rasanya ....

Nerta mendapatkan 'sesuatu' yang menarik. Entah bagaimana, kata-kata terlahir dari mulutnya yang terkatup rapat. Sosok itu menyampaikan kalimat secara lisan dengan tedas tanpa menggerakkan bibir; bicara secara batiniah.

Tiga belas perwujudan untuk menerangi dunia yang kelam.

Dengarlah baik-baik ....

Dalam perwujudanku yang ketiga belas ini ... aku hendak persembahkan kebenaran dibalik bayangan itu ... demi satu tujuan ....

Demi kebahagiaan ....

Lalu ketika realitas merampas lagi keajaiban itu, segalanya kembali tersembunyi dalam ambiguitas. Entah untuk dikuak, atau semata nampak sebagai humor yang tak mengundang tawa.

Dan takdir cukup kontan memberikan kepastian, walau didapatkan hanyalah kepedihan atau kematian, setidaknya bisa membawa pada hal lebih baik—mungkin.

Memikirkan kenangan yang menyakitkan dan memalukan, barangkali itulah alasan terkuat Nerta berada di hutan ini.

Pria berumur 25.000 tahun lebih —25 tahun dalam estimasi ras Manusia— yang dulu seorang pejuang dan petarung tengah duduk-duduk malas menikmati sepinya hutan Barat. Menyilangkan tangan ke belakang kepala sekaligus menyandarkan tubuh tegapnya pada akar pohon.

Dia pensiun muda dan sejak wafatnya Darko, semuanya memang berubah. Tidak lebih baik, namun cukup untuk dikatakan 'lebih baik bersembunyi ketimbang hidup dalam kesedihan'.

Gelar pahlawan dulunya bersenandung indah sebagai arti hidup. Diagungkan dan dijalani sebagai esensi alasan hidup. Namun itu dulu. Dulu sekali sebelum semua sahabatnya tidak sinting oleh provokasi dunia.

Ingatan manis saat seluruh sahabatnya tak berubah. Nerta hafal betul kata-kata dan visualnya.

“Kalau satu mati ... semuanya mati ....” Darko bicara dalam ambisius dan percaya diri, seolah dia dapat mengubah dunia hanya dengan kata-kata—kalimatnya punya interpretasi tersendiri dan tidak seharfiah itu.

Tak hanya Darko yang mencetuskan gagasan tersebut, Quin, Arista serta Gorah dengan sepakat mengagungkannya.

Tentu saja antinominya muncul. Menjadi bagian memalukannya. Tiga sahabatnya yang masih bernapas lega dengan kompak berargumentasi: “Kita bukan lagi anak-anak ... lihatlah kenyataan ... kita mesti melanjutkan hidup dan itu lebih baik ketimbang mengikuti idealisme yang dungu ....”

“Tak ada gunanya melawan dunia yang putus asa ini ....“

”Hadapilah kenyataan, impianmu itu seperti kaum utopis yang tinggi dan naif, tapi hanya ada dikhayalan semata.“

Seperti pepatah bijak para nenek; kata-kata itu setajam silet yang diasah, dapat melukai kalau mau, atau bermanfaat kalau dipakai untuk mencukur.

Nerta adalah pria idealis dan terlihat bagai orang bodoh diantara para individu pengejar realistis.

Dan iya, kata-kata telah membuat luka menganga, membuat mental berubah dan pengalaman menjadi legalisasi kalau pria idealis itu berubah apatis dan pemalas. Bahkan barangkali lebih buruk lagi; Nerta mendekati gila.

Angin siang mendesau kala kepala hangatnya mengingat kenangan memalukan itu, seolah mengirim pesan kalau mati di hutan ini bagai merengkuh kehormatan.

Dedaunan bergerak, bergemerisik seperti tengah berembuk memutuskan siapa yang hendak gugur.

Suasana benar-benar damai dan tenang. Ke dua kaki Nerta berselonjor di atas dedaunan nuansa pingai yang gugur. Dingin, lembap dan beraroma unik; seperti aroma teh bercampur kopi. Tapi menggugah jiwanya larut bersama suasana.

Hutan Barat ini memang sepi. Ras Peri adalah makhluk paling setia, jadi kalau galau dan patah hati tempat ini sangat estetik untuk bunuh diri.

Disela-sela waktu berputar. Suara pria asing memecah suasana sepi, tetapi belum mampu membuat Nerta terkaget; dirinya telah sadar.

”Apakah ada seorang Dewa yang pensiun dan menjadi pengangguran yang menunggu mati ... dan itu hanya gegara teman-temannya tidak mau mati bareng? Heh ... tolol ....“

“Ya ... kau baru menemukannya di sini,” balas Nerta begitu santai. “Jadi selamat ....”

Telah hadir dalam kenyataan, seorang pria eksentrik. Parasnya tertutup topeng cermin, matanya hitam menerawang dan akan berubah ungu bila tersorot cahaya.

Segala yang dipandang terefleksikan dengan baik pada topeng cermin itu, seolah struktur topeng yang tak rata sama sekali tak mengganggu benda-benda untuk terefleksi, rambutnya hitam klimis nan legam, rapi dan wangi bunga mawar.

Dia pria tinggi, tapi tak setinggi Nerta, tubuhnya dibalut setelan jas nuansa hitam formal dan semakin nyentrik dengan ke dua tangan yang terbungkus sarung tangan hitam.

Pria bertopeng cermin itu telah beranjak dari atas akar pohon di belakang Nerta menjadi berdiri di depan Nerta dalam jarak 3 meteran. Seakan ingin diperhatikan.

Entah siapa pria nyentrik itu. Bahkan tak ada senyum kesopanan dari Nerta, tak ada tatapan menyambut baik, atau bahkan tak ada jabat tangan perkenalan.

Nerta bersikap dingin tanpa ekspresi. Selebihnya telinganya dipasang baik-baik demi mengetahui hal bodoh apa lagi yang hendak dunia ini gaungkan.

“Dengar sobat, aku ....” Pria bertopeng tersendat ucapannya.

Nerta tak suka basa-basi, sehingga berani berketus: ”Keintinya bung ... keintinya ....“

Maka sang pria bertopeng cermin itu memamerkan sepintas lencana anggota kemiliteran, departemen penyidik dan penangkap, divisi penyihir, isyarat bila dirinya adalah aparatur negara yang layak dicap sebagai patriotik.

Tetapi bagi Nerta sendiri, lelaki itu tak ubahnya hanya sebatas bagian dari boneka para penguasa.

”Sobat ... kau sudah banyak menolak kerja sama dengan pemerintah kota ... atau dengan kerajaan, semestinya kau mau ...,“ tutur pria bertopeng dengan impresi menyalahkan, tapi berazamnya masih samar.

Ajakan untuk bergabung pada pemerintah, sekte, organisasi atau sebangsanya yang terhimpun warga budiman, sering Nerta dapatkan. Sudah biasa dengan itu dan semuanya ditolak mentah-mentah.

Manisnya imbalan, atau merdunya ajakan para pribadi itu hanya memunculkan penilaian tersendiri baginya; mereka hanya ingin berkuasa dan menjadi yang diakui paling hebat.

Nerta bahkan tak pernah ingin menjadi seorang Dewa. Tak ingin berkuasa. Karena satu impiannya yang telah pudar bersama wafatnya Darko; mempersembahkan perdamaian bagi masyarakat.

Namun, pria bertopeng cermin ini baru pertama kali muncul, dan sayangnya belum membuat Nerta interesan pada presensinya. Terlepas dari wajahnya yang ditutupi, yang mungkin dibalik topeng itu wajah jelek telah terpasang manyun. Pria itu seperti sama idealisnya dengan Nerta.

Lalu tangan kanan pria bertopeng menyodorkan sekotak pil Energi. ”Atau ... kuak rahasia perang dunia ini, lalu sebarkan pada publik dan bangsa lain ... lakukan demi satu tujuan, yaitu ... kebenaran wajib tegak demi sebuah perdamaian ....“

Begitu blak-blakan pria bertopeng cermin membeberkan azamnya. Seolah punya dendam kesumat pada perang dunia, tapi menyuruh orang lain hanya karena tangannya tak mau kotor.

Pertanyaan sempat hendak Nerta ajukan, sebelum akhirnya terjawab pria bertopeng cermin itu, seolah sudah membaca pikiran Nerta sebelumnya.

“Harus Anda yang melakukannya ... saya memiliki sumpah kerja yang bila rahasia tersebut diucapkan, akan seketika meledakan tubuh saya dan menghancurkan tubuh keluarga saya ... jangan takut ... bila Anda terendus, atau tertangkap ... maka para penyihir siap berperang bersama Anda ....”

Terdengar manis kata-kata itu membuai, bagaikan nyanyian ibu untuk bayinya agar mudah lelap. Tetapi, seorang plegmatis seperti Nerta hanya sengap, tak tahu mesti berbuat apa.

Entah harus diiya-iyakan, atau mesti menolak sesantun mungkin. Namun, sang pria bertopeng kembali membaca pikiran Nerta. Lagi?

”Saya memilih Anda bukan tanpa sebab ... bukan sebatas Anda seorang Dewa ... melainkan ... Anda adalah seorang pahlawan sejati. Anda tidak tergiur oleh harta, takhta, wanita, atau pujian ....“ Pria bertopeng bicara begitu persuasif.

'Pahlawan sejati', dua kata itu hampir menjadi alasan Nerta tertawa terpingkal-pingkal. Dirinya begitu merasa semakin sinting mendengar seseorang berani menjustifikasi tanpa mengenal Nerta sebelumnya.

Untung baginya, sedikit akal sehat menahan luapan kegilaannya.

Bukan itu saja, pria aneh bertopeng itu kembali membaca pikiran Nerta.

”Tidak perlu risau perihal bagaimana caranya menguak rahasia, kami telah menyusunnya serapi mungkin ....“ Lantas sang pria bertopeng menaruh sekotak pil di dekat kaki Nerta serta dua lensa kontak mata ditaruh pula di atas kotak tersebut. ”Saya membawa sedikit rahasia ....“

Nerta masih apatis, pandangannya jatuh pada rerumputan jauh di depannya.

Nyatanya Nerta memahami arah tujuan pria bertopeng ini. Pria itu memberikan misi urgensi pada Nerta demi menyelamatkan masyarakat —bukan— demi menyelamatkan bangsa Barat.

______________________________________________________

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

⚠ Episode ini telah direvisi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!