“Selamat pagi My Prince!”
Sapaan pagi yang selalu terdengar tiap kali Erie menemui putranya. Saat itu Gevio baru menginjak usia sembilan bulan. Masih sangat kecil dan begitu lucu.
“My prince…” desah Erie sedih. Meski sudah satu bulan ia bersama dengan putranya, tetapi anak itu masih mengabaikannya. Erie masih dianggap asing oleh Gevio. Sudah banyak hal yang Erie lakukan guna mendapatkan perhatian dari anak semata wayangnya itu. Mulai dari mendekatinya secara diam-diam, memberikan makanan kesukaannya hingga mencoba bermain dengannya. Semua sudah dilakukan oleh perempuan itu. Namun, Gevio tidak sedikit pun merasa tertarik.
“Gevio, kemarilah.” Suara baritone terdengar di sebelah Erie. Itu adalah suara Elden. Pria itu setiap akhir pekan selalu mengosongkan jadwalnya agar bisa menghabiskan waktunya bersama dengan putra kecilnya dan juga istrinya. Ia sengaja menghindari kunjungan keluar kota apalagi keluar negeri. Demi keluarganya, Elden rela kehilangan proyek bernilai puluhan miliar hanya karena ia tidak ingin pergi terlalu jauh dari kedua orang yang paling ia sayangi itu.
Gevio berpaling dari mainannya. Berbeda dengan Erie, bayi kecil itu selalu memberi tanggapan atas panggilan sang ayah. Gevio melepaskan mobil-mobilannya dan membiarkannya jatuh ke atas lantai. Dengan kedua tangan dan kakinya, ia mulai merangkak ke arah Elden yang duduk tak begitu jauh darinya.
“Kau jahat sekali pada Mommy, sayang. Padahal Mommy yang memanggilmu, tapi kau malah menghampiri Daddy!” protes Erie sembari menatap Gevio yang sekarang berada di dalam dekapan Elden.
Erie bergerak sedikit mendekati keduanya. Tangannya mengamit tangan Elden dan pelan-pelan ia menyandarkan kepalanya di dada Elden. Erie menangkap mata hazel anaknya yang menatapnya dengan tajam. Perempuan itu tersenyum. Seolah menantang Gevio, ia menempelkan tangannya di dada Elden, di mana tangan putranya itu juga berada di sana.
Bibir mungil Gevio mulai mengerucut. Ia merasa kesal karena melihat sang ayah dekat dengan orang lain selain dirinya. Tangannya meremas baju putih Elden dengan erat lalu ia menengadah. Mencoba mencari pembelaan dari ayahnya sambil berharap pria itu mau mengusir perempuan yang ada di dekatnya itu. Akan tetapi bukannya membantu, Elden justru tersenyum ke arah Erie yang semakin membuat Gevio kesal.
Gevio merasa tidak tahan lagi apalagi melihat Erie yang mulai berani menyentuh tangan kecilnya. Dengan sekuat tenaga, Gevio memukul tangan sang ibu yang berada di dada ayahnya tersebut hingga membuat Erie mengaduh.
“Aw!” ucap Erie seketika seraya memegang tangannya yang cukup terasa sakit akibat perbuatan Gevio. Tak hanya Erie, Elden pun ikut terkejut melihat tingkah putranya.
“My Prince, kau tidak boleh memukul Mommy seperti itu!” geram pria itu sambil menatap wajah Gevio dengan tajam.
Beberapa detik kemudian, kedua mata hazel kecil milik Gevio mulai berair. Perlahan-lahan air matanya rebas membasahi kedua pipinya yang tumbuh bulat dan besar itu. Mulutnya terbuka lalu anak itu mulai menangis kencang.
Bukannya membujuk Gevio untuk berhenti menangis, Elden malah mengangkat tubuh anaknya dari pangkuannya dan menundukkannya di atas lantai. Sedangkan pria itu beranjak dari sana, duduk di sofa sambil berpura-pura mengabaikan tangisan putranya itu.
“Ah tidak! Tidak!” Erie mengiba. Ia mendekati Gevio. “Sayang, jangan menangis,” bujuknya. Perempuan itu mencoba menggendong Gevio, namun lagi-lagi anak laki-laki konglomerat Alvaro itu menolak.
“Kau ingin bersama Daddy?” Erie mencoba membujuk lagi. “Ayo kita ke sana,” ujarnya seraya menunjuk ke arah sofa di mana Elden sedang duduk di sana. Dan… berhasil! Kali ini Gevio berhasil termakan bujukan Erie. Anak berusia sembilan bulan itu merasa pasrah melayang di udara ketika Erie mengangkatnya dan menggendongnya.
Seulas senyum muncul di bibir Erie. Jantungnya berdebar kencang. Ternyata ini rasanya menggendong anaknya karena selama satu bulan pasca kepulangannya dari rumah sakit, tidak pernah sekali pun Erie mendapatkan kesempatan untuk menggendong anak kandungnya itu. Erie takut, jika terlalu dipaksakan, bukannya semakin dekat, Gevio justru akan semakin membencinya.
Kesempatan langka itu juga dilihat oleh Elden. Sungguh pemandangan di mana istrinya sedang menggendong putranya adalah pemandangan terbaik yang pernah pria itu dapatkan sepanjang hari ini. Meski Gevio masih dalam keadaan menangis sambil menatap ke arahnya, tetapi setidaknya Elden berhasil membuat Erie mendekati Gevio.
Lihatlah senyuman yang terpancar dari paras Erie. Jika diingat-ingat, walaupun Erie sering tersenyum, tetapi perempuan itu tidak pernah menunjukkan senyuman yang begitu indah seperti itu. Sebab, dari sana terpancar aura kebahagiaan seorang ibu. Dan tentu saja, senyum itu juga membuat Erie terlihat sangat cantik.
“Nah sudah. Kita sudah sampai di tempat Daddy,” kata Erie saat ia dan Gevio berada di depan Elden. Seakan-akan mengerti perkataan ibunya, Gevio mengulurkan tangannya ke arah Elden sambil berharap agar sang ayah segera menggendongnya.
Elden tak ingin berlama-lama melihat Gevio menangis. Jujur, tangisan putranya itu terdengar begitu menyakitkan baginya. “Sini, kemarilah,” ucap Elden seraya menyambut uluran tangan Gevio.
Pelan-pelan Erie meletakkan tubuh Gevio ke dalam dekapan suaminya lagi. Lalu ia duduk di samping pria itu. “Ternyata kau benar-benar menyayangi Daddy rupanya,” gumam Erie dengan pandangan mata tak lepas mengamati interaksi antara anak dan suaminya.
Elden tersentak. Ia membenarkan posisi Gevio di pangkuannya dan menoleh ke samping. “Sayang…” ucap pria itu. Sebelah tangannya bergerak ke tangan Erie. Jari-jarinya yang besar dan hangat mengusap punggung tangan istrinya itu. “Dia juga menyayangimu, sayang. Mungkin butuh waktu sedikit lagi agar dia terbiasa dengan kehadiranmu.”
Erie menyentuh tangan suaminya. “Tidak apa-apa Elden. Asalkan aku bisa melihat pertumbuhan Gevio dengan baik dan sehat, itu sudah cukup bagiku.”
Ada nada sedih yang ditangkap Elden dari kalimat yang disampaikan oleh Erie. Tetapi Elden juga tidak bisa berbuat banyak. Sejak lahir, Erie tidak ada di sisi Gevio karena mengalami koma pasca melahirkan anak itu. Erie sadar baru bulan lalu ia kembali ke rumah dan ia baru benar-benar ada di dekat Gevio selama sebulan belakangan itu.
Gevio adalah tipe anak yang tidak mudah didekati oleh orang lain. Selain Elden, Marline –sang kepala pelayan– dan juga ibu susunya yang telah diusir oleh Elden dulu, Gevio sama sekali tidak mau digendong orang lain. Para pelayan yang ada di rumah Elden sudah mencobanya. Bahkan Mario yang notabene adalah sahabat sekaligus pengawal sang ayah juga ikutan mencoba. Bukannya mendekat, Gevio justru menangis histeris seolah ketakutan dengan orang-orang itu. Aneh sekali bukan? Padahal hampir setiap hari Gevio melihat mereka.
Oh, iya. Ada satu orang lagi yang bisa mendekati Gevio meski tak sedekat yang tadi disebutkan. Orang itu adalah Diana (yang sering dipanggil sebagai Nyonya Besar), istri dari Tuan Besar atau ibu tiri dari Elden. Kedekatan ini sebenarnya terbilang sangat sederhana. Sang Nyonya Besar selalu memberikan makanan dan mainan kepada Gevio tiap kali ia berkunjung ke rumah Elden. Mungkin itulah alasannya mengapa Gevio menyukai wanita yang sudah berusia lanjut itu.
Elden memandangi wajah menggemaskan yang ada di dalam pangkuannya. Pelan-pelan ia menghapus air mata yang membasahi kedua pipi Gevio dan mengamit tangan kecil itu. Kedua mata anaknya terlihat masih memerah akibat tangisnya tadi.
Ini juga yang menjadi alasan kuat mengapa Elden tidak bisa pergi keluar kota. Gevio terlalu dekat dengannya. Elden bisa saja mengandalkan Marline untuk menjaga Gevio. Tetapi itu hanya untuk sementara dan tidak bertahan lama. Sebab, jika anak itu tidak melihat Elden lebih dari 12 jam, ia akan menangis keras sepanjang hari.
Akibat kelelahan, mata Gevio sayup-sayup mulai terpejam. Genggaman tangannya di kaos putih Elden masih kencang, tetapi kepalanya sudah menyender di dada pria itu.
“Apa ini alasannya kenapa dia menangis sekeras itu? Hanya untuk tidur?” kata Elden sambil menggeleng-gelengkan kepalanya merasa takjub dengan tingkah putranya.
“Tadi malam dia tidak bisa tidur. Kalau aku hitung-hitung, sepertinya tadi malam dia terbangun tiga kali,” ujar Erie menimpali. Ia bernapas lega saat melihat mata Gevio yang terpejam. Erie mengusap dahi putranya hingga membuat bayi itu semakin larut dalam tidurnya.
Tanpa sadar Erie mengangkat kedua sudut bibirnya. Ia tersenyum. Dan Elden bisa melihat senyuman yang tercetak lagi dari bibir merah muda perempuan itu. Elden jadi terbayang masa lalu di mana ia pertama kali melihat senyuman Erie. Itu terjadi saat di mana Erie masih sangat kecil dan baru berusia enam tahun. Dan senyuman itu masih saja sama. Hanya sekarang, terlihat semakin cantik dan memukau yang selalu sanggup membuat Elden terpesona olehnya.
XXXX
Halo, aku hadir lagi untuk menyapa semua pembaca. Bagi yang baru bergabung, novel ini adalah sequel atau season 2 dari 'Danke, Häschen !!!'. Bagi yang belum baca, boleh silakan dibaca dulu season 1 nya. Dan buat yang sudah baca season satu, selamat menikmati babak yang baru.
Jangan lupa tinggalkan like, vote, comment, rate dan tipnya. Danke. ^^
Salam hangat dari penulis,
Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
Matahari menyinsing. Makin meninggi di langit biru yang cerah tanpa awan. Erie terbangun, sedikit mengerang karena wajahnya disinari cahaya yang begitu terik. Ia mengangkat salah satu tangannya berusaha menutupi silau sinar matahari itu sementara tangannya yang menyentuh sebelah ranjangnya.
Kosong. Erie tersentak. Sesaat perempuan itu terkejut mendapati suaminya yang tidak ada di sampingnya, kemudian ia memandangi jam yang menempel di dinding kamarnya. Rupanya sudah pukul sembilan pagi. Pantas saja Elden tidak ada, pikirnya karena pria itu sudah pergi bekerja.
Erie menggerakkan tangannya lagi, mencoba untuk merenggangkan ototnya dengan cara mengangkat keduanya ke atas. Kemudian ia memposisikan tubuhnya untuk duduk. Pelan-pelan perempuan itu menyibak selimut dan berjalan ke arah sebuah ranjang kecil dengan dikelilingi pembatas yang terbuat dari kayu. Itu adalah ranjang milik Gevio.
“Selamat pagi, My Prince,” ucap Erie menyapa putranya. Ia melihat kedua mata bayi yang sekarang berusia 11 bulan itu masih tertutup. Ini aneh. Tidak biasanya Gevio setenang itu di pagi hari. Biasanya ia akan menangis dengan kencang meminta untuk dikeluarkan dari ranjang yang seperti penjara kecil baginya itu.
Yang terlihat lebih aneh lagi adalah anak itu mengerang pelan dalam tidurnya. Seperti sedang mengigau. Apakah Gevio sedang bermimpi buruk? Erie penasaran. Sambil menyentuh kepala Gevio, ia berkata, “Sayang, apa kau bermimpi… GEVIO!” Erie memekik tertahan karena terkejut merasakan suhu panas di pipi Gevio. “My Prince!” panggil perempuan itu seraya menyentuh sekujur tubuh anaknya yang ternyata memang terasa panas.
Masih dalam keadaan panik, Erie bergegas menanggil Marline melalui telepon yang ada di dalam kamarnya. Suara Erie terdengar tidak jelas dalam panggilan itu, tetapi Marline sudah bisa menebak pasti ada sesuatu yang tidak baik terjadi di dalam kamar Erie. Itulah sebabnya kepala pelayan itu secepat mungkin pergi ke kamar sang majikan yang berada di lantai atas untuk langsung memastikan sendiri.
“Nyonya, saya ada di sini. Apakah saya boleh masuk?” seru Marline saat ia sudah tiba di depan kamar Erie. Ia tidak datang sendiri. Ada dua orang pelayan lain yang ikut menemaninya.
“Ma… masuk saja!” ujar Erie dengan suara paniknya.
Marline membuka pintu dan ia langsung terkejut melihat Nyonyanya tengah berdiri di dekat ranjang sang Tuan Muda dengan kondisi tubuh yang gemetar. “Ada apa Nyonya?” tanya Marline mendekat.
“Ge.. Gevio.” Erie terbata-bata. “Ba.. badannya panas. Dia sakit. Aku harus melakukan apa?” katanya. Ia terlihat kebingungan menghadapi kondisi ini. Apa pun yang menyangkut kesehatan anaknya selalu membuat Erie gelagapan.
Berbeda dengan Erie, Marline justru terlihat tenang. Ia pernah melahirkan sekali. Ia juga sudah mengurus Elden dan Daniel –adik laki-laki Elden. Sekarang, Marline pun merawat Gevio sejak bayi. Itu artinya wanita lanjut usia itu sudah menjadi pengasuh dua generasi dari keluarga sang konglomerat Alvaro.
“Anda tenang dulu, Nyonya. Biar saya memeriksanya.” Marline menyentuh tubuh Gevio. Sama seperti Erie, ia juga merasa suhu tubuh sang tuan muda yang meninggi. “Sepertinya kita harus membawa Tuan Muda ke rumah sakit Nyonya,” tuturnya kepada Erie.
“Benar, rumah sakit!” kata Erie menimpali. Ia langsung mengambil ponselnya yang berada di atas nakas lalu berjalan menuju pintu. “Kenapa kau diam saja? Ayo pergi!” sambungnya setelah mendapati Marline yang masih berdiri mematung sembari menatapnya.
“Nyonya, apakah Anda akan pergi dengan baju seperti itu?”
Erie memperhatikan bajunya. Ah, benar! Ia sedang memakai gaun tidurnya. Tidak mungkinkan ia pergi ke rumah sakit dengan pakaian setipis itu? Erie menepuk keningnya. Saat ini ia begitu kalut hingga tidak memperhatikan pakaiannya.
“Tenanglah, Nyonya. Sebaiknya Anda mengganti pakaian Anda terlebih dahulu. Saya akan meminta pengawal untuk menyiapkan mobil,” ujar Marline yang langsung disetujui dengan anggukan kepala oleh Erie.
Ini bukan pertama kalinya Gevio sakit. Anak semata wayang Erie itu pernah sakit ketika ia alegi terhadap susu formula di usianya yang baru menginjak dua bulan. Ketika gigi susu pertama bayi itu tumbuh, Gevio juga demam tinggi. Hanya saja dalam kedua kasus itu, Erie tidak ada. Perempuan itu masih terbaring koma di ranjang rumah sakit.
Dengan sigap Marline mengatur segalanya. Ia meminta seorang untuk menyiapkan mobil Erie. Orang itu adalah anggota organisasi berinisial A7, di mana organisasi itu diketuai oleh Elden. Kebetulan hari ini A7 merupakan pengawal yang ditugaskan untuk berjaga di rumah itu karena setiap harinya, Elden akan meminta minimal satu anggota organisasi untuk mengawal Erie dan Gevio di samping para penjaga yang telah Elden pekerjakan di sekitar rumahnya.
“Aku sudah siap Marline. Apalagi yang kau tunggu? Cepat gendong Gevio!” protes Erie saat melihat Marline yang bukannya membawa Gevio tetapi justru bergeming.
“Saya sedang kurang sehat Nyonya. Sebaiknya Anda saja yang menggendong Tuan Muda,” kata Marline.
“APA?!” Erie tersentak. Ia bukannya tidak mau menggendong Gevio. Demi apa pun, Erie bersungguh-sungguh ingin sekali menggendong putranya. Akan tetapi sampai saat ini, Gevio masih tidak bisa menerima keberadaannya. Padahal sudah tiga bulan lamanya Erie berkeliaran di sekitarnya.
Erie memandang Marline kemudian ia memandang ke arah Gevio. Sudah tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau Erie harus menggendong anaknya bagaimana pun caranya.
Dengan tekad kuat Erie melangkah ke ranjang kecil Gevio. Ia mengangkat putranya dan membawanya ke dalam pelukannya. Akibat perbuatan Erie itu, Gevio terbangun. Ia menangis keras dan meronta-ronta.
Erie berusaha menulikan telinganya terhadap tangisan itu. Ia berusaha mengabaikannya. Kemudian ia membawa anaknya itu ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke rumah sakit.
“My Prince, Mommy ada di sini. Mommy ada di sini,” ujar Erie sambil mengelus-elus kepala Gevio mencoba untuk meredakan tangis anak itu. “Sebentar sayang, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit,” lanjutnya.
Di tengah usahanya menghentikan rengekan sang anak, Erie teringat akan Elden. Ia mengambil ponselnya dan langsung menghubungi sang suami. Hanya tiga kali berdering, terdengar suara dari ujung telepon.
“Ya, sayang?”
XXXXXX
Kala itu Elden sedang berada di dalam ruangan pertemuan di sebuah hotel. Ia tengah berbincang-bincang dengan lima orang klien mengenai sebuah tender. Rencananya Alvaro Group yang berkecimpung dalam dunia furniture, akan melakukan kerja sama mengenai proyek desain interior tiga bangunan hotel yang akan dibangun di salah satu daerah di negara bagian barat. Jika kerja sama ini berhasil, maka perusahaan Elden akan memperoleh keuntungan yang cukup besar.
Namun di tengah-tengah perbincangang, Elden merasakan ponselnya yang bergetar. Ia sengaja mengaktifkan mode getar dan bukannya mematikan ponselnya karena ia selalu bersikap waspada. Sejak kejadian penculikan Erie, tidak pernah sedetik pun Elden menjauhkan ponselnya darinya, kecuali saat ia sedang bersama dengan perempuan itu dan juga anaknya.
“Mohon maaf, Tuan. Sebenar,” kata Elden menyela obrolan salah satu pengusaha yang ada di depannya dengan Mario. Pria itu merogoh saku jasnya dan mengambil ponselnya. Ia melihat nama sang istri tertera di layar gadget itu.
“Istri saya sedang menelepon. Saya minta izin sebentar untuk mengangkatnya,” sambung Elden meminta izin.
“Silakan Tuan Alvaro,” ucap kelima laki-laki yang ada di sana merasa tidak keberatan.
“Terima kasih.”
Elden segera mengangkat telepon Erie. “Ya, sayang?” ucap pria itu tanpa merasa canggung sedikit pun walau ia sadar bahwa ia tidak berada sendirian saja di tempat itu.
“Elden, Gevio… Gevio!”
Ucapan Erie tidak jelas di telinga Elden. Selain karena Erie yang berbicara sambil panik, suara tangisan Gevio juga membuat suasana di sana semakin berisik.
“Vallerie, ada apa? Kenapa dengan Gevio?” tanya Elden yang ikutan panik. Ia menjadi takut sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.
“Gevio sa… Tut tut tut!”
“Hallo! Vallerie!” Tidak terdengar lagi suara dari seberang. Sambungannya terputus. Elden menggenggam ponselnya dengan erat. Ia harus menyusul Erie sekarang juga. Ya. Ini tidak bisa ditunda meski ia harus kehilangan jutaan dolar dari pembatalan pertemuan hari ini.
“Maafkan saya tuan-tuan. Sepertinya perbincangan kita harus berhenti sekarang,” kata Elden kepada para lelaki paruh baya yang ada di ruangan itu.
“Ada apa Tuan Alvaro?” tanya seseorang dari mereka.
“Saya harus pergi ke suatu tempat sekarang dan ini penting.”
“Apakah ada yang lebih penting dari kerja sama ini Tuan Alvaro?” ujar laki-laki lain. Ia melemparkan tatapan tidak suka pada Elden.
“Ada. Ini bahkan lebih penting dari nyawa saya," tekan Elden.
Elden memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya. “Jika tuan-tuan ingin melanjutkan kerja sama ini, Mario akan mengatur jadwal ulangnya. Tetapi jika kalian tidak ingin, saya akan mencukupkan sampai di sini saja.” Kemudian pria itu mengalihkan pandangannya kepada Mario yang duduk di sebelahnya. “Kau urus semuanya, Mario,” perintahnya.
Dengan wajah datar Mario menjawab patuh, “Ya, Tuan.”
XXXX
Jangan lupa tinggalkan jejak untuk menyemangatiku. Danke ^^
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
Usaha Elden untuk tiba di rumah sakit dalam waktu secepat mungkin akhirnya terbayarkan. Bagaimana pria itu tahu tentang posisi Erie dan Gevio yang sedang di rumah sakit? Tentu saja dari A7 yang menjadi pengawal Erie. Di saat Erie tidak bisa dihubungi, satu-satunya cara agar Elden dapat mengetahui keadaan istri dan anaknya adalah melalui anak buahnya itu.
Sesampainya di rumah sakit, Elden tidak lagi bingung ke mana ia harus mencari Erie. Pria itu sudah tahu ruangan yang pasti dituju oleh istrinya dalam kondisi yang melibatkan Gevio, yakni ruang rawat anak.
Benar saja, begitu Elden masuk ke dalam ruangan itu, ia melihat Gevio yang terbaring di atas ranjang dengan sang dokter beserta seorang perawat dan juga istrinya sedang berdiri di samping ranjang.
Elden mendekat. Ia menghampiri Erie dan bersuara pelan memanggil istrinya. Kemudian pria itu membelai punggung tangan Erie dengan ibu jarinya. Perlahan dan menenangkan yang menandakan seberapa besar rasa sayang pria itu terhadap sang istri.
Dokter mulai memeriksa bayi kecil Erie dan Elden. Demamnya cukup tinggi, mencapai suhu 39 derajat. Kemudian dokter itu membuka mulut Gevio dan memeriksa di dalamnya. Semuanya baik-baik saja. Tidak ada radang di tenggorokan anak itu, begitu pula pada lidahnya yang terlihat baik. Hanya saja, ia menemukan sesuatu lain yang janggal di dalam sana. Ternyata permukaan gusi bagian bawah anak itu terlihat bergelombang. Ini dia penyebabnya. Gigi bawah Gevio akan segera tumbuh, menemani gigi atasnya yang sudah terlebih dahulu muncul.
“Tidak masalah. Ini hanya masalah gigi bawahnya yang akan tumbuh,” ujar dokter itu menjelaskan kepada kedua orang tua Gevio yang senantiasa berada di dalam ruangan itu.
“Lagi? Apakah dia akan terus begini kalau giginya mau tumbuh?” tanya Elden kepada sang dokter yang juga merupakan temannya.
Dokter itu menggeleng. “Tidak seterusnya. Setelah gigi seri di bagian atas dan bawah sudah muncul semua, Gevio tidak akan sakit lagi. Kalian tidak perlu cemas. Ini adalah respons yang wajar yang diberikan oleh bayi.”
“Bagaimana dengan demamnya?” sambung Elden lagi.
“Karena demamnya cukup tinggi, nanti aku akan menyuntikkan obat penurun panas kepadanya.”
Sang dokter bergerak untuk memberikan obat melalui suntikan kepada Gevio. Namun, baru mengambil jarum suntik, Gevio langsung menangis keras. Sepertinya ia sadar akan disuntik, padahal sang dokter sudah berusaha mengambil peralatannya di titik buta sang bayi.
“Elden, kau gendong dulu Gevio,” ucap dokter itu. Tidak ada pilihan lain. Gevio harus segera ditangani dan diberikan obat karena anak itu termasuk anak yang rentan terhadap penyakit. Imunitasnya tidak cukup baik. Mungkin ini akan berubah jika Gevio mendapatkan imunisasi yang akan diberikan ketika usianya genap satu tahun.
“My Prince, Daddy ada di sini!” kata Elden mendekati ranjang. Ia merendahkan tubuhnya dan membawa bayinya ke dalam dekapannya. Kemudian ia duduk di kursi yang tadi digunakan oleh sang dokter.
“Kenapa? Apa kau takut?” ucap Elden menenangkan anaknya. “Tidak apa-apa. Daddy ada di sini.” Pria itu menyeka air mata yang berjatuhan dari bola mata Gevio. “Sudah, sudah. Jangan menangis lagi,” sambungnya.
Gevio memang selalu mendengarkan perkataan Elden. Entah bagaimana caranya. Yang pasti saat Elden memintanya untuk berhenti menangis, anak itu akan segera berhenti. Begitu pula dengan hal lainnya. Jika sang ayah sudah berkata tegas, Gevio akan menurutinya.
Yah walaupun sebenarnya Elden jarang sekali berkata keras kepada anaknya. Terakhir kali pria itu marah adalah ketika Gevio menjatuhkan salah satu guci yang ada di ruang tamu rumah mereka. Kala itu Gevio yang sedang aktif ingin belajar berdiri, menggunakan guci itu sebagai pegangannya. Alhasil, guci itu oleng, terjatuh ke atas lantai dan pecah begitu saja.
Perlu dicatat, saat itu Elden tidak marah karena salah satu guci koleksinya yang mahal dipecahkan. Ia marah karena panik kalau-kalau anaknya terkena pecahan guci dan terluka. Tetapi tentu saja Gevio tidak mengerti. Rasa takutnya membuatnya menangis dan menjauhi Elden selama tiga hari penuh.
“Kau takut My Prince?” tanya Erie mendekati suami dan anaknya. Erie berjongkok. Ia memegangi tangan Gevio saat Elden membalikkan tubuh bayi itu agar bisa tengkurap. “Setelah ini Mommy akan mengajakmu main lagi. Nanti Mommy akan membuatkan pudding untukmu.”
Erie terus berkata-kata untuk mengalihkan perhatian Gevio, sementara sang dokter sudah siap dengan jarum suntiknya. Pelan-pelan jarum di tangan dokter itu menancap jelas di bokong Gevio hingga membuat tangis anak itu kembali pecah. Ia menatap Erie dengan matanya yang berair, berharap sang ibu bisa menghentikan rasa sakit di tubuh bagian bawahnya itu. Bahkan tangis anak itu semakin menjadi-jadi ketika sang dokter menekan cairan yang ada di pipa suntikan agar masuk ke pembuluh darahnya.
“Sudah selesai,” seru dokter itu seraya menempelkan kapas berisi cairan antiseptik ke bekas suntikannya. “Wah, Tuan Muda memang luar biasa!” lanjutnya sambil menepuk pelan kepala Gevio.
Gevio tidak terpengaruh dengan pujian dokter itu. Selalu saja begini. Setelah memberikan rasa sakit di tubuhnya, sang dokter akan memujinya. Seolah-olah anak itu harus menanggung rasa sakit dahulu agar bisa mendapatkan pujian.
“Tidak apa-apa kan, My Prince? Daddy bilang juga tidak apa-apa. Sudah, sudah jangan menangis.” Elden membenarkan posisi Gevio di pangkuannya sambil berusaha menenangkan lagi putranya. Anehnya kali ini perkataan Elden tidak mempan. Bahkan malah semakin membuat Gevio menangis sejadi-jadinya.
Akan tetapi Elden punya seribu satu cara untuk menaklukkan tangis putranya. Pria itu mengenal Gevio sejak lahir. Ia adalah orang pertama yang menyentuh kulit anak itu –tentu saja selain para perawat dan dokter yang menangani proses melahirkan Gevio. Sebelum ranjang kecil yang sekarang menjadi tempat tidur Gevio dibuat, Elden jugalah yang menemani sang anak tidur. Jadi boleh dikatakan, seumur hidup Gevio yakni 11 bulan, Elden adalah orang yang paling dekat dengannya.
Cukup lima menit waktu yang dibutuhkan Elden untuk mendiamkan tangis Gevio. Usai menangis, Gevio selalu punya kebiasaan lain, yaitu tertidur. Mungkin karena bayi itu merasa kelelahan akibat menangis. Jangan sangka menangis itu tidak mengeluarkan tenaga. Orang dewasa saja sering merasa sakit kepala pasca mereka menangis, apalagi bayi yang masih rentan.
Agar tidak mengganggu bayinya, Elden membaringkan lagi Gevio di atas ranjang rumah sakit. Ia mendekati Erie untuk mendengarkan penjelasan sang dokter mengenai berbagai hal yang menyangkut perkembangan Gevio, termasuk pola makan dan jenis makanan apa yang harus mereka berikan kepada sang anak yang mulai memiliki beberapa gigi.
Berbeda dengan laki-laki lain yang merasa hal-hal seperti ini sangat merepotkan, Elden justru merasa senang. Ia juga harus menyimak setiap perkataan dokter karena ada kalanya Erie akan lupa dengan hal itu. Maklum saja, usia perempuan itu masih tergolong muda. Ia cenderung melibatkan emosinya dibandingkan dengan pikirannya. Itulah sebabnya jika terjadi hal-hal buruk pada Gevio –contohnya hari ini, Erie akan jauh lebih panik dibandingkan Elden.
XXXX
“Mom!”
Satu suara itu berhasil menghentikan Erie saat ia hendak mengeluarkan dompet dari tasnya. Tadi itu suara Gevio. Erie dapat mendengar suara bayinya dengan jelas dan jernih. Ya. Barusan Gevio memanggil Erie dengan sebutan ‘Mom’. Ini bagus. Tidak hanya mau berinteraksi –berhubung beberapa waktu belakangan Gevio sudah mau berdekatan dengan Erie, sekarang Gevio bahkan memanggil ibunya. Ini adalah petanda bahwa putra semata wayang perempuan itu sudah mulai berbicara kepadanya.
Tanpa sadar kedua sudut bibir Erie terangkat dan membentuk senyuman. Ia terlalu senang dengan perkembangan bayinya sampai-sampai ia tidak bisa mengatakan apa pun. Perempuan itu hanya menatap anaknya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan tatapan tidak percaya.
Elden ikut bahagia. Ia melihat wajah kalut istrinya yang kembali ceria. Sambil menyentuh tangan Erie, pria itu berkata, “Iya sayang. Kau tidak salah dengar. Dia sedang memanggilmu.” Ucapan yang seolah bisa menjawab pertanyaan di benak sang istri.
Erie mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. “Benarkan? Tadi Gevio benar-benar memanggilku kan?”
“Benar. Aku juga mendengarnya,” timpal Elden membenarkan.
Mendapatkan kepastian dari suaminya membuat Erie semakin bahagia. Ia sontak memeluk Elden yang langsung disambut oleh pria itu dengan hangat.
Usai kebahagiaan itu, kebahagiaan yang lain muncul karena beberapa saat kemudian, Gevio sudah diperbolehkan pulang. Fiuh! Akhirnya. Elden sudah cukup trauma dengan suasana rumah sakit. Ia muak mencium aroma antiseptik yang begitu menyengat hingga membuatnya mengingat masa-masa kelam di mana pria itu harus melihat istrinya terbaring koma selama berbulan-bulan lamanya.
“Elden, kau saja yang menggendong Gevio,” ujar Erie yang masih takut kalau-kalau anaknya tidak mau digendong olehnya. Tadi Gevio memang berhasil Erie gendong. Namun itu terpaksa. Meski menangis dan meronta pun Erie akan tetap memaksa bayinya ke dalam gendongannya untuk dibawa ke rumah sakit. Untuk saat itu, Erie bahkan mengabaikan jeritan Gevio.
“Baiklah.” Elden mengangguk. Ia berjalan dan mendekati ranjang Gevio. Dipeluknya bayi itu ke dalam dekapannya yang besar dan hangat. “My Prince, ayo kita pulang,” ucap Elden seraya mengangkat anaknya.
XXXXX
Orang bilang, suara paling indah adalah suara yang muncul dari mulut seorang penyanyi. Tetapi bagi seorang ibu, suara paling indah adalah suara yang muncul dari mulut anaknya ketika memanggilnya dengan sebutan ibu untuk pertama kalinya. ---Mei Shin Manalu
Jangan lupa tinggalkan jejak teman-teman. Danke ^^
By: Mei Shin Manalu (ig: meishinmanalu)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!