Usaha orang tua kalian sudah lama mengalami ke bangkrutan, dan rumah ini menjadi jaminannya, karena tidak ada yang membayar ansurannya, jadi rumah ini akan di sita oleh Bank" kata Pak Hutomo pengacara Papa ku.
Deeg!
Jantung sudah tidak karuan lagi, kalau rumah ini di sita, bagai mana dengan adik-adik ku, aku masih duduk di bangku SMA dan kedua adik kembar ku masih duduk di bangku SD, oh TUHAN cobaan apa lagi ini.
Orang tua ku baru satu bulan yang lalu engkau panggil, dan kini aku harus mendapatkan ujian seberat ini, aku rasanya tidak sanggup.
Kecelakaan yang menimpa orang tua ku saja masih ku ingat jelas di kepala ku, lalu apa sekarang, lalu bagai mana nasip adik-adik ku.
"Tapi Pak, kami harus ke mana" tanya ku pada Pak Hutomo.
"Maaf saya tidak bisa membantu" kata Pak Hutomo.
Disinilah sekarang aku di depan sebuah rumah kontrakan yang sangat kecil, dengan membawa kedua adik laki-laki ku, aku sebenarnya tidak terlalu takut kalau harus hidup susah aku bisa saja meminta teman ku untuk menampungku,.
Tapi bagai mana dengan adik ku tidak mungkin aku pergi meninggalkannya, hanya aku yang mereka miliki dan hanya aku harapan mereka.
Dengan tabungan uang saku yang dulu pernah di berikan orang tuaku, aku mulai mengontrak rumah, aku yakin dua bulan kedepan masih cukup untuk kehidupan kami.
Kehidupan kami yang sekarang tentunya, bukan kehidupan kami yang dulu, sekarang kami harus sebisa mungkin menghemat agar kami bisa makan esok hari.
Aku tidak pernah mengetahui apa-apa tentang permasalahan orang tua ku, mereka pun tidak pernah melibatkan ku, yang aku tau setiap yang aku inginkan selalu aku dapatkan, jangan kan untuk memasak sayur masak air saja aku bingung bagai mana caranya.
Kehidupan kami yang dulu panuh dengan kemewahan, kini sudah berubah dalam sekejap, aku tidak mengerti cobaan datang dengan bertubi-tubi.
Di sini lah awal perjuanganku, aku harus menjadi orang tua sekaligus tulang punggung, demi menghidupi kedua adik ku yang masih berusia sepuluh tahun itu.
"Daffa, Daffi, sekarang kan udah malam, kalian tidur ya " ucap ku pada kedua adik ku.
"Kakak kenapa kita sekarang tinggal di sini" tanya Daffi.
"Ya Kak, kenapa rumah ini jelek sekali" kata Daffa.
Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan kasar, aku sudah berjanji di depan makan ke dua orang tua ku, kalau aku akan menggantikan peran orang tua ku, jadi aku harus menjadi orang tua di usia ku yang masih tujuh belas tahun ini.
"Sayang, mulai sekarang kita bertiga tinggal di rumah ini ya, nanti kalau Kakak punya uang Kakak bakalan beli rumah yang besar buat kalin"
Aku berusaha menjawab pertanyaan kedua adik ku, padahal aku saja bingung, buat cari kerja dimana supaya adik ku masih bisa bersekolah.
Kedua adik ku kini sudah tertidur, sepertinya mereka mulai mengerti keadaan kami saat ini, ya memang sejak orang tua ku meninggal aku selalu memberikan penjelasan pada mereka, kalau mereka harus terbiasa, tanpa orang tua, dan belajar mandiri dalam mengerjakan sesuatu.
Kalau yang biasanya Mama yang mengerjakan, seperti mengganti baju, kini mereka mulai terbiasa melakukan nya sendiri.
"Kakak Nita" panggil ku pada tetangga sebelah kontrakan ku, kontrakan kami berdekatan hanya dinding saja yang memisahkan bahkan pintu nya saja berdekatan.
"Hey " jawab Kk Nita.
"Kakak, mau kemana?" tanya ku bingung ini sudah pukul sembilan malam kenapa dia keluar dengan memakai baju terbuka malam malam begini, jiwa kepo ku mulai meronta ronta.
"Sekarang Kakak buru-buru nanti kapan-kapan kakak cerita ya" kata Kak Nita, lalu ia berlalu begitu saja, tapi aku melihat kearah mana ia jalan, ya di depan jalan sana aku melihat mobil mewah terparkir dan Kak Nita masuk kedalam mobil itu.
Aku makin bingung ah mungkin pacarnya pikirku, Kak Nita memang seorang janda, ia tinggal di kontrakannya bersama Ibu dan Anaknya yang masih TK.
***
Satu minggu sudah berlalu, kami mulai terbiasa hidup di kontrakan kecil itu, adik ku pun kini sudah mulai mengerti dengan keadaan kami, pagi kami berangkat sekolah, siangnya adik ku di rumah keduanya selalu membantu ku membereskan rumah, mereka belajar tanpa ku suruh, sepertinya mereka memang mulai mengerti hidup kami yang sekarang.
Sedangkan aku, sepulang sekolah berkerja menjadi pelayan di Restaurant tidak jauh dari kontrakan ku, sepuluh menit berjalan saja sudah sampai, dan begitu sampai seterusnya.
🏵🏵🏵
Tidak terasa waktu begitu cepat dua bulan sudah berlalu, kami sudah terbiasa dengan lingkungan kami yang sederhana ini, akan tetapi adik ku Daffa selalu mengeluh sakit di kepalanya, aku selalu memberikannya obat di warung namun bukan bertambah sembuh malah semakin parah.
Di sinilah sekarang kami berada, di rumah sakit memeriksakan ke adaan adik ku, sebenarnya aku tidak memiliki uang untuk mebayar biaya rumah sakit. Namun Kak Nita memaksa ku agar membawa adik ku untuk di perika di rumah sakit. Dan Kak Nita yang akan membayar pengobatannya.
Awalnya aku menolak, namun Kak Nita memaksa ku, dan akhirnya aku mau membawa adik ku ke rumah sakit, aku berjanji kalau aku sudah punya uang aku akan mengembalikan uang Kak Nita, padahal ia tidak meminta uangnya untuk di ganti.
Namun sudah sering kali Kak Nita membantu aku dan kedua adik ku, aku terkadang menjadi tidak enak sendiri, Ibu Kak Nita juga sering kali memasak untuk adik-adik ku ketika keduanya ku tinggal di rumah dan aku berkerja.
"Apa Dok, Tumor" tanya ku yang terkejut, aku tidak percaya adik ku ternyata mengalami penyakit separah ini.
"Ini masih tergolong tumor jinak, namun sebaiknya sebelum tumor itu menjadi ganas, kita harus segere mengangkatnya"
Kata Dokter itu berusa menjelaskan pada ku tentang penyakit adik ku Daffa, aku tidak mengerti dengan penyakit ini,.
Maka dari itu aku meminta Dokter menjelaskannya dengan yang mudah ku mengerti saja, dan Dokter hanya menjelaskan garis besarnya saja.
"Dan apa Oprasi" pikir ku.
"Lalu berapa biaya Oprasi untuk adik saya, bisa mengangkat Tumor itu Dok" tanya ku pada Dokter tersebut.
"Untuk masalah biaya itu silahkan kamu datangi ke bagian Administrasi " kata Dokter itu.
"Tapi Dok kira-kira berapa ya Dok " tanya ku lagi.
"Kira-kira sekitar 30 juta" kata Dokter itu.
Apa tiga puluh juta, aku tertawa tapi mata ku menagis aku seperti orang gila saat ini, aku tidak tau harus mencari uang ke mana, dulu waktu orang tua ku masih hidup, banyak sekali saudara.
Tapi sekaran orang tua Papa ku yang masih hidup saja tidak mau menampung kami, miris sekali nasip ku dan kedua adik ku saat ini.
Aku benar-benar bingung kemana aku harus mencari uang sebanyak itu, kalau dulu sih senyum juga aku dapat uang segitu, barang barang mahal ku saja tidak ada yang boleh ku bawa, aku benar-benar bingung.
Sekarang aku dan Kak Nita sedang duduk di kursi taman Rumah sakit di mana adik ku dirawat, kami duduk dalam diam, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
"Zii kakak punya uang 10 juta kamu boleh pakek, kapan kamu punya uang nanti kamu bayar, Kakak engga akan nagih" Kata Nita.
"Kakak aku minta maaf aku engga bisa terus-terusan ngerepotin Kakak" ucap kata Ziva
"Engga ngerepotin sama sekali" kata Nita.
"Makasih ya Kak, Kakak udah baik sama aku, udah mau jadi keluarga aku" Zipa memeluk tubuh Nita.
Mereka pun saling berpelukan, Ziva bersukur karena masih ada orang yang peduli padanya, di saat keluarga besarnya saja sudah tidak menganggap mereka.
"Kak aku kerja ikut Kakak " kata Ziva.
Ya Kak Nita adalah wanita yang bekerja di Club malam di kota itu, dulu ia hanya menjadi pelayan pengantar minuman, tapi karena paktor Ekonomi ia juga merangkap menjadi wanita pemuas napsu lelaki hidung belang.
"Ziva kamu bicara apa, kamu itu masih sekolah, kamu engga boleh seperti Kakak" kata Nita.
"Engga Kak. Aku engga mau lagi ngebebanin Kakak terus, aku mohon Kak" kata Ziva dengan wajah yang memohon.
"Engga Ziva, Kamu jangan gila" Nita mulai emosi mendengar permohonan Ziva.
"Nanti Kakak bantu cari pinjem sama teman Kakak lainnya buat biaya oprasi Daffa" kata Nita lagi.
"Engga Kak udah cukup selama ini Kakak bantu aku, jangan biarkan aku terbeban karena terus menerima bantuan Kakak" ucap Zivq dengan lembut.
"Ziva masa depan kamu masih panjang jangan hancurkan hidup mu" kata Nita sambil menangis dan memeluk Ziva.
"Aku hancur Kak, aku sudah hancur, saat ini Kak. Aku tidak mau semakin hancur karena terlambat menolong adik ku Kak, aku mohon kak" Ziva memohon pada Nita agar Nita mau membantunya.
"Kak aku berterima kasih kalau Kakak mau membantu aku, tapi meminjam uang dari orang sebanyak itu butuh waktu belum tentu orang mau memberikanya, sementara Daffa terus menangis Kak, menahan sakit, lalu apa gunanya aku ada di sini Kak," kata Zipa sambil menangis.
"Baik lah Ziva kalau itu memang keputusan kamu, Kakak akan membantu kamu " kata Nita.
"Sekarang kamu ikut Kakak kita ketemu Mami" kata Nita.
***
Keduanya pergi, menaiki Taxi menuju sebuah Club malam. Ziva merasa kepalanya pusing karena musik yang kencang dan lampu yang remang-remang itu membuatnya ingin muntah, di tambah lagi dengan asap rokok. ZiVa benar-benar benci hal ini, namun demi adiknya apa pun akan ia lakukan.
"Siapa nama kamu" tanya seorang wanita dengan usia cukup tua namun, masih tampak segar hanya sedikit keriput di bagian matanya, tapi tetap wajahnya masih sangat cantik.
"Saya Vanya" kata Ziva ia memakai nama tengahnya, agar orang tidak memgenali Identitas aslinya itu lah yang di ajarkan oleh Nita.
"Oh panggil saya Mami" kata wanita itu.
Mereka sedang berada di ruangan wanita yang di panggil Mami itu, dia memandang Ziva dari atas sampai ujung kaki lalu menganguk.
"Mi dia adik aku jadi tolong, berikan dia laki-laki bukan dari kalangan biasa dan dia masih per*wan Mi" kata Nita.
"Oh ya"
"Karena Kakak mu Nita ini berkerja dengan bagus di sini jadi aku akan mengabulkan ke inginannya" kata Mami, Nita memang sangat dekat dengan Germo itu, bahkan entah mengapa mau mengikuti permintaan Nita.
"Baiklah kamu antarkan dia kemarnya, kebetulan ada pelanggan yang mencari gadis bening dan masi bersegel" kata Mami pada Nita dan Ziva.
"Vanya kamu ikut Nita. Dia akan antarkan kamu ke kamar mu, dan saya minta berikan servis terbaik pada pelanggan kita ini, kamu jangan buat dia kecewa, dia adalah pelanggan yang sangat royal di sini" kata Mami pada Ziva.
"Ya Mi" jawab Ziva.
"Ah tunggu dulu Vanya sayang, tadi di telpon Nita bilang kamu butuh uang, kamu butuh berapa?" tanya Mami.
Ya wanita itu memang seorang Germo tapi tidak ada yang di paksa berkerja di sana, siapa yang mau, itu yang di perkerjakan oleh Mami, bila Club lainnya suka menculik gadis Perw*n namun tidak dengan Mami, bersama Mami tidak ada yang namanya kerja paksa semua merdeka, dan berkeja suka rela,.
"Iya Mi. Vanya butuh 30 juta, buat adik Vanya yang harus di Oprasi" kata Ziva.
"Mana cukup uang segitu, Vanya itu hanya untuk Iprasi, mana untuk nebus obat, belum lagi untuk di rawar dan untuk biaya kontrol selanjutnya" kata Mami.
Aku berpikir apa yang di katakan Mami memang benar, aku tidak habis pikir aku kira semua Germo itu jahat dan kejam tapi aku melihat Mami sangat baik.
"Mami benar juga, aku engga mikir sampai disitu" kata Ziva.
"Kalau kamu kasih servis yang bagus pada pelanggan Mami. Mami kasih kamu seratu juta" kata Mami.
"Iya Mi makasih" jawab Ziva bahagia karena sebentar lagi adiknya akan di Oprasi.
Tidak ada lagi yang di pikirkan Ziva, kecuali kedua adiknya, ia sudah kehilangan kedua orang tuanya, jangan sampai ia kehilangan adiknya.
Zivanya tidak perduli lagi dengan apa yang akan terjadi nantinya, saat ini ia merasa bahagia di balik dosa yang akan ia masuki. Pikirannya sudah tidak lagi berpungsi, Nenek dan juga Tantenya pun tidak ada yang mau membantunya.
Jadi percuma saja kalau sekarang harus emohon pada mereka, itu hanya akan membuang-buang waktu saja, sementara adiknya terus menagis menahan sakit, sakitnya akan hilang bila Dokter menyuntikan obat pengurang nyeri tapi setelah obat itu hilang, sakitnya kembali lagi, ia sudah tidak tahan melihat penderitaan adiknya.
Saat ini Ziva suda duduk di samping ranjang, ia sudah berdandan di bantu Nita, bajunya sangat transparan bahkan rasanya sudah tidak ada gunanya lagi memakai baju.
Zipa meneteskan air matanya namun dengan segera ia menghapusnya dengan kasar.
"Ziva kalau kamu engga siap kita pulang ya" kata Nita, yang melihat kesedihan di wajah Ziva.
"Engga Kak aku udah siap, mulai sekarang aku harus kuat, aku adalah orang tua bagi kedua adik ku, aku tidak perduli dengan hidup ku asal adik ku bisa bahagia" kata Ziva dengan yakin tapi tetap ia dengan kuat menahan air matanya.
Seumur hidup ia tidak pernah bermimpi akan hidup seperti ini, tapi sepertinya ini bukan pilihan tapi takdir.
POV ZIVANYA SABILLA
Saat ini aku sedang duduk di ranjang kamar di sebuah Club malam. Aku sudah tidak memikirkan harga diri, harga diriku sudah ku jual dengan nominal rupiah, yang akan ku gunakan untuk pengobatan adikku.
Bagiku adik ku adalah segalanya, mereka harta ku yang paling berharga, kalau aku harus mengorbankan nyawa ku. Aku bersedia asal mereka tetap bahagia.
Aku sudah cukup merasakan kasih sayang orang tua ku. Tapi mereka, mereka masih butuh kasih sayang orang tua.
Maka dari itu aku harus membuat mereka seperti masih memiliki orang tua. Aku ingin adik ku begantung pada ku, menceritakan keluh kesahnya pada ku. Aku tidak ingin mereka merasa sendiri, dengan hidup yang tertekan karena kehidupan kami yang bahagia berubah menjadi penuh duka.
Aku pun sudah bertekat akan mebuat adik ku menjadi orang sukses, selama aku masih bernapas aku akan berusaha sampai tetes keringat terakhirku. Demi adik kembar ku kelak memiliki hidup yang lebih layak dari yang kami jalani sekarang.
Aku memandangi diriku, aku benar-benar seperti wanita bayaran. Apa??.. Bukan sepertinya!!. Aku memang sekarang sudah menjadi wanita bayaran. Aku tertawa seolah aku bahagia, tapi anehnya kenapa air mata ku menetes dengan sendirinya. Ah, sepertinya aku sedikit gila, mungkin juga bukan sepertinya tapi memang benar aku sudah gila.
Clek!..
Tap tap tap tap.
Pintu terbuka aku mendengar suara langkah kaki yang terdengar mulai mendekati ku. Aku tidak melihat wajahnya karena posisi ku duduk dengan membelakanginya.
Dia terus mendekat pada ku. Sampai akhirnya dia berdiri di hadapan ku, ya aku tertunduk aku tidak berani memandang wajah laki-laki itu.
Kurasakan dia memegang dagu ku, dan menggakat sedikit agar dia dapat melihat wajah ku, kini aku melihat wajahnya begitu pun dengannya, sesaat pandangan kami saling bertemu.
Tapi aneh tadinya ku pikir aku akan tidur dengan Om-om yang sudah tua. Seperti sebutan bandot tua. Tapi ini tampan sekali, buat apa cari wanita bayaran aku yakin tidak usah di bayar pun orang rela tidur dengannya.
Tapi itu orang aku tidak, aku merasa aneh dengan diri ku jantung ku seperti berdetak kencang, apa iya melihat om-om hidung belang ini jantung ku jadi dak dik duk.
"Kamu sudah siap?" tanya Om itu pada ku.
"He'um" aku mengangguk.
Jantung ku benar-benar tidak dapat lagi ku kondisikan, aku takut. Aku ingin berhenti tapi tiba-tiba wajah adik ku datang membayangiku, aku kembali menguatkan tekat ku.
"Ayo" kata Om itu.
"Ke mana Om" tanya ku bingung.
"Ke Hotel" jawabnya.
"Om tidak bisakah di sini saja" tanyaku memberi penawaran, karena lebih cepat lebih baik. Daffi pasti menunggu ku di rumah Kak Nita bersama Ibu Mirna. Sedangkan Daffa aku titipkan pada Perawat yang menjaganya.
"Em sepertinya kau sudah tidak sabar ya" kata Om itu.
"Siapa nama mu??" tanya nya padaku.
"Vanya Om" jawab ku singkat, dia hanya menganguk.
"Ayo cepat" kata Om itu padaku.
"Kemana Om??" tanya ku dengan polosnya. Padahal sudah jelas apa tujuannya di kamar ini bersama ku, bertapa bodohnya aku.
Sejenak ia terdiam memandang wajah ku, aku tidak mengerti apa yang ia pikirkan. Wajahnya sungguh tidak bisa di tebak, mungkin saja dia tengah menertawakan ku.
Dia semakin mendekat pada ku, aku mulai gemetar, tubuh ku mulai membeku, aku takut. Ibu tolong aku, jangan biarkan pengorbanan ku ini sia-sia. Walau pun aku sadar tujuan ku benar, namun cara ku yang salah.
"Kenapa" tanya nya pada ku.
"Tidak Om, ayo lanjutkan" kata ku.
Om itu mengangkat sebelah alisnya mendengarkan jawaban ku. Terserah padanya apa saja dia pikir tentang aku, yang penting, cepat dapat uang cepat pulang, batin ku.
"Sepertinya kau benar-benar sudah tidak sabar ya" katanya dengan sensual di telingaku, aku merinding, karena dia menggigit pelan telingga ku.
Aku berbaring di sana, aku menagis ketika ia memasuki ku, aku benar-benar tidak bisa lagi membendung kesedihan ku. Tidak ku sangka aku benar'benar menjadi wanita bayaran.
Setelah kurang lebih dua jam pertarungan antara jantan dan betina di atas ranjang itu. Akhirnya selesai juga, ia terkulai lemas dan tertidur di ranjang itu,.
Dengan tubuh lemas dan badan gemetar, aku turun dari ranjang, dan memakai pakaian ku yang berserakan di lantai.
Setelah semua ku kenakan aku mulai berjalan ke arah pintu. Sebenarnya aku tidak sanggup berjalan namun aku harus menemui adi ku di rumah sakit untuk melihat keadaannya.
Dan aku juga harus menghubunggi Daffi yang di rumah Buk Mirna, memastikan dia tidak usah menunggu ku pulang karena aku akan menginap di rumah sakit.
"Mi " aku melihat Mami yang melintas di depan kamar yang tadinya aku tempati.
"Ya sayang " jawab Mami
"Mi Vanya pulang ya" kata ku
"Iya tapi kamu pulang biar di antar supir Mami ini udah pukul dua malam, kamu mau kerumah sakit kan jenguk adik kamu" kata Mami.
"Iya Mi" jawab ku.
Kini aku sudah berada di dalam mobil, aku menahan sakit di bawah sana, tapi aku tetap berusaha kalau aku baik-baik saja.
Aku merasa aneh dengan sopir itu, ia selalu memandangku lewat kaca spion itu, aku merasa ada sesuatu.
"Ehem" aku berdehem sepertinya ia mengetahui aku tau kalau dia memandangi ku.
"Berapa tarip mu semalam" tanya nya pada ku.
Huuf! Aku menarik napas kasar.
Aku mendengar pertanyaan itu, akhirnya aku benar-benar menjadi wanita bayaran. Aku tidak mau terlihat lemah di matanya. Aku takut, kalau aku menujukan rasa takut ku, dia akan berbuat hal yang merugikanku.
"Em satu malam 50 juta Mas" jawab ku
"Waw mahal juga ya" katanya
Aku tersenyum getir, aku harus kuat, aku harus berusaha menjadi kuat dan tidak menunjukan rasa takut ku.
"Kan punya harga diri Mas " jawab ku enteng.
"Punya harga diri?" tanya sopir itu?.. Kembali pada ku sepertinya ia tidak mengerti maksud ku.
"Ya siapa bilang wanita malam itu tidak punya harga diri" ucap ku.
"Maksud mu" dia masih bingung ingin aku memperjelas ucapanku.
"Siapa bilang wanita malam itu tidak punya harga diri, buktinya satu malam di bayar 50 juta, dari pada yang ngaku punya harga diri tapi udah banyak yang tidurin di kasih gratis, abis di tidurin di tinggalin pula" aku menjelaskan sejelas jelasnya pada supir itu.
Sopir itu diam dan sepertinya ia sedang memikirkan ucapan ku, itu lebih baik dari pada dia terus berbicara dengan ku. Apalagi sampai melakukan perbuatan tak senonoh padaku, lebih baik aku memberinya pikiran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!