NovelToon NovelToon

Jambret Hati

awal pertemuan

Yusuf Ahmad adalah seorang pria lulusan fakultas teknik yang mengadu nasib ke ibukota. Ia saat ini merasakan kejenuhan menunggu lamaran perkerjaan yang belum juga ada kabarnya. Ini sudah bulan ke kedua dia berada di kota tapi semua lamaran yang dimasukkannya belum juga ada jawaban, sementara  ia sudah tidak mempunyai uang lagi  untuk melanjutkan sewa kost bulan depan.

Pagi ini ia mencoba berjalan keluar rumah, rencana hatinya ingin mencari pekerjaan, dengan modal uang seratus lima puluh ribu di kantongnya. Yusuf hanya membawa tas ransel di punggungnya dengan wajah lesu ia berjalan, tetapi cacing di perutnya mulai meronta-ronta untuk segera diberi makan.

Ia hanya bernapas lelah, “Hah. Harus kemana lagi ini?” ujarnya sendiri.

 Makan pagi saja harus berhemat supaya uangnya bisa cukup sampai mendapat pekerjaan. Ia melihat ada ibu-ibu penjual nasi uduk. Dan jadilah ia sarapan pagi dengan nasi uduk yang lumayan buat ganjal perut sampai sore. Nantinya ia akan membeli air mineral saja untuk menahan rasa lapar. Ah, sungguh miris nasip perantau ini ya.

“Bu, saya mau nasi uduk satu ya. Tambahin kerupuk yang banyak,” kata Yusuf.

“Iya, mas. Mau pakai gorengan gak mas?”

“Gak usah bu, itu aja,” kata Yusuf.

Padahal matanya tidak berhenti melirik gorengan yang masih hangat itu, tapi demi berhemat ia harus menahan seleranya untuk tidak menabah gorengan. Hmm, lumayan lah makan nasi uduk dulu, pikirnya dalam hati.

Setelah itu, Yusuf duduk di kursi plastik hijau yang telah tersedia di samping meja jualan. Ia mulai makan dengan lahap. Di saat ia fokus makan, seorang wanita cantik turun dari mobilnya berjalan ke tempat penjual nasi uduk itu.

“Bu, nasi kuningnya ada?” tanya wanita itu.

“Ada mba, mau nasi kuning?” dibalas anggukkan oleh wanita itu.

Setelah itu dia duduk di sebelah Yusuf, dan mulai memakan nasi kuning pesanannya. Yusuf yang dari tadi melirik wanita di sampingnya itu jadi terpana dengan gaya makannya. Wanita itu makan seperti orang kesurupan, entah itu doyan apa lapar. Yusuf hanya menggelengkan kepala, walau pun dari kampung ia masih bisa menjaga etika saat makan. Apalagi melihat wanita itu setelah makan mengeluarkan sendawa, ia hanya mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

Si wanita yang merasa diperhatikan sedari tadi oleh Yusuf mulai merasa tidak enak.

“Eh, mas. Dari tadi kok lihatin saya terus ya?” kata wanita itu mencolek pinggang Yusuf.

“Aw!” Yusuf kaget pinggangnya dicolek oleh perempuan tadi.

“Eh. Maaf, maaf mas. Saya buat mas kaget ya?” ujar wanita itu salah tingkah, ia tidak bermaksud mencolek pinggang Yusuf. Itu hanya spontan saja untuk menegur Yusuf yang terus melirik dirinya dari tadi.

“Eh, mbak. Maaf buat mbak gak nyaman, maklum melihat orang secantik mbak membuat saya terpana. Di kampung, saya jarang melihat ada wanita secantik ini.” Jujur Yusuf.

Selama ini ia tidak berani menatap perempuan lewat dari batasnya, karena pesan orangtuanya untuk menjaga matanya dari maksiat. Berpacaran saja dia tidak pernah, makanya baru sekali ke kota ia merasa wanita-wanita di kota seperti artis di televisi.

Wanita itu segera berdiri karena ia sudah menghabiskan semua makanannya. Dikeluarkannya dompet untuk membayar, tapi wajahnya terlihat cemas seperti kehilangan sesuatu.

“Aduh. Gimana ini uang saya tidak ada.”

Wanita itu sibuk mengobarak-abrik isi tasnya, tapi tidak ditemukan dompet yang ia cari. Yusuf mendekati wanita itu.

“Mbak kenapa?” kata Yusuf.

“Uang saya tidak ada di dalam tas sama dompetnya juga mas.”

Wajah wanita itu berubah panik. Yusuf juga mau membayar makanannya, tetapi melihat wanita itu kesusahan tidak punya uang , ia berniat untuk membayarkan saja. Walau uangnya akan berkurang dua puluh ribu tidak apa, asalkan bisa membantu orang. Hitung-hitung beramal di pagi hari, mudah-mudahan ada jalan rejeki setelah ini, pikirnya dalam hati.

“Sudah biar saya yang bayarkan mbak.”

“Aduh, maaf merepotkan mas. Saya benar-benar berterima kasih kalau begitu,” kata wanita itu, menjabat tangan Yusuf. Tapi langsung dilepas oleh Yusuf, ia tidak nyaman bersentuhan kulit dengan wanita baru dikenal.

“Maaf, mas. Saya cuma berterima kasih saja,” kata wanita itu dengan senyum kikuk.

Setelah itu Yusuf memberikan uang kepada penjual. Yusuf mulai berpikir, apa yang harus dilakukannya setelah ini, sementara uangnya sudah semakin menipis. Tetapi, pikirannya terhenti melihat wanita itu masih berada di sampingnya dengan tatapan seperti ingin bertanya.

“Ada apalagi ya mbak?” tanya Yusuf heran, karena wanita tadi masih diam menatapnya.

“Mas boleh minta nomor teleponnya. Saya gak enak sudah dibayarin, mungkin nanti-nanti kita bisa bertemu lagi.”

Ya ampun Yusuf semakin aneh dengan wanita itu walau bayar nasi kuning tadi hanya enam ribu, tetapi wanita itu tidak enak hati pula.

“Boleh,” Yusuf memberikan nomornya.

“Mas kerja?” tanya wanita itu.

“Belum mbak, masih cari kerja.”

Pikiran  Yusuf sudah simpang siur seperti jalanan ibukota. Pengangguran, tidak punya uang, tidak punya tempat untuk ditinggali. Rasanya dia mau menangis saja untuk segera balik ke kampungnya.

“Pengangguran ya? …. Hmmm,” kata wanita itu tampak berpikir.

“Ijazah ada?”

“Ada mbak. Saya lulusan teknik,” jawab Yusuf, merasa sedikit bingung dengan wanita di hadapannya itu.

“Mas sarjana? Saya kira tamatan SMP.”

Ya ampun ini wanita jahat sekali, masak Yusuf yang ganteng dan selalu cinta ibu bapak ini dibilang tamatan SMP. Mau dikemanakan waktu yang telah terpakai selama tujuh tahun ini, katanya dalam hati.

“Ikut saya mau?”

Yusuf seperti mendapat durian runtuh pagi ini, bertemu wanita cantik ditambah bantuan pekerjaan untuknya. Apakah ini balasan dari sedikit amalnya tadi, dia sangat bersyukur.

“Mau mbak. Saya kebetulan butuh pekerjaan,” serunya senang.

“Tapi sebagai asisten saya mau?”

“Mau mba, asalkan itu halal saya mau sekali.”

“Baiklah kalau begitu. Bisa sekarang? Karena saya butuh saat ini, kebetulan saya tadi juga mau cari orang di kantor.”

“Iya. Boleh mbak,” Yusuf senang sekali. Biar jadi asisten pun tidak masalah yang penting ia mendapat pekerjaan dan tidak perlu memikirkan bagaimana mencari lowongan kerja lagi.

“Oke. Setelah ini saya akan membawa mas ke kantor saya. Tapi mas harus bisa jadi asisten saya di kantor dan di rumah. Saya sibuk mengurusi semuanya sendiri,” kata Lidya, menjelaskan kepada Yusuf.

“Baik mbak,” jawab Yusuf.

Inilah yang paling diinginkannya, bisa mendapat kerjaan dan tempat tinggal sekaligus. Sesayang inikah Tuhan kepadanya karena telah dipertemukan dengan wanita cantik itu.

“Oh ya. Saya Lidya,” kata Lidya berjabat tangan memperkenalkan diri, dia juga tidak menyangka akan bertemu dengan Yusuf. Tadinya dia mau pergi ke kantor untuk membuka lowongan kerja sebagai asisten pribadinya, karena saat ini ayahnya sudah tidak bisa menjabat lagi jadi pimpinan di perusahaan sehingga ialah yang bertugas mengantikan.

“Saya Yusuf mbak,” balas Yusuf.

“Oke, ayo langsung saja sekarang ikut saya ke kantor.”

“Siap mbak!”

Dengan cepat Yusuf berjalan mengikuti langkah Lidya ke mobilnya. Hatinya dilanda bahagia setelah mendapat tawaran kerja, ia mulai berpikir untuk bekerja dengan giat supaya bisa membantu orang tuanya di kampung yang sebagai petani. ia harus bisa menjadi lelaki sukses dan bertanggung jawab dalam bekerja. Itu lah tekadnya saat ini.

  

bos galak

Pekerjaan yang akan dilakukan oleh Yusuf telah ditetapkan oleh Lidya selaku bosnya. Kemarin ia telah mentandatangani kontrak kerja sebagai asisten pribadi Lidya.

Isi kontrak itu menyebutkan, Yusuf akan  melakukan pekerjaan yang berhubungan di kantor dan di rumah Lidya. Seperti; mengantar wanita itu bekerja,  menyiapkan semua keperluan kerja, termasuk memasak makanan untuk wanita itu di rumah.

Yang lebih memalukan lagi menyiapkan pakaian setiap paginya. Itu lah yang membuat Yusuf pusing jika sudah berurusan dengan pakaian wanita itu.

Yang lebih membuatnya heran lagi adalah, perbedaan sikap Lidya yang  berubah drastis setelah mengetahui umur mereka hanya beda setahun saja. Katanya tidak perlu memanggil Yusuf dengan sebutan ‘mas’ itu sangat tidak enak didengar katanya. Ah, ada-ada saja.

Menghadapi sikap wanita itu yang otoriter dan mudah meledak-ledak membuat Yusuf pusing tujuh keliling agar tetap terlihat rapi dalam bekerja. Salah sedikit saja itu akan membahayakan telinganya yang ditempa dengan celotehan Lidya yang tidak berkesudahan.

“Yusuuuuuuuf!” teriak Lidya dari kamarnya di lantai atas.

Nah kan! Baru juga diomongin orangnya sudah menampakkan tanda-tandanya. Yusuf segera berlari ke atas menghadap sang majikan yang galaknya seperti nenek sihir jika sudah berang. Telat sedikit potong gaji.

Bisa mati Yusuf kalau gajinya hanya habis dipotong setiap harinya. Haha, becanda. Tidak setega itu bos cantiknya melakukan itu.

“Iya mbak! Aku meluncur! …. I’m comiiiiiing.”

Dengan kecepatan langkah seribu Yusuf berlari ke atas hingga sampai di pintu kamar wanita itu.

“Mbak! Aku di sini,” kata Yusuf di depan pintu kamar Lidya.

Ia tidak berani asal membuka pintu saja. Asal_asalan buka pintu, bisa dilempar pakai ****** ***** oleh wanita itu kerena, pernah kejadian di awal tinggal di rumah itu.

Saat itu Lidya memanggilnya, dan Yusuf langsung membuka pintu kamar. Dan yang didapatnya adalah lemparan bra yang langsung mendarat tepat di matanya. Bisa dibayangkan bagaimana Yusuf saat itu, berkacamatakan benda keramat wanita itu.

“Kamu masuk saja. Saya di kamar mandi,” teriak Lidya dari dalam.

Akhirnya Yusuf membuka pintu dan segera melangkah masuk. Didapatinya kamar wanita itu sangat berantakan seperti selesai bergelut. Aha. Jangan bayangkan bergelut dengan pria di ranjang ya.

Itu tidak akan pernah terjadi, karena Lidya orangnya kaku sama seperti dirinya. Tidak pernah berpacaran, hanya sibuk dengan buku-buku setiap harinya.

“Yusuuuf! Kamu dengarkan, aku?” teriak Lidya lagi

Ini orang doyan banget teriak-teriak ya.  Udah seperti kucing kawin saja itu suara saking lengkingnya, kata Yusuf mengurut dada.

“Iya, mbak! Aku dengar. Kenapa?” kata Yusuf, mendekat ke depan pintu kamar mandi.

“Kamu tolong siapkan pakaian saya. Coba buka pintu di samping kanan , di sana tempat khusus lemari baju semua,” kata Lidya.

“Kamu dengar, tidak!”

 Nah kan! Inilah yang ditakutkan Yusuf kalau sudah berurusan dengan pakaian wanita itu. Bukan takut tertangkap basah mengambil pakaian wanita, tetapi ia tidak berani melihat benda keramat Lidya yang pernah meyang tepat di mukanya itu.

Dengan suara lemah Yusuf menjawab, “Baik mbak.”

Hanya itu yang dikatakannya. Setelah itu ia melangkah membuka pintu yang telah dikatakan wanita itu. Tangannya menarik ganggang pintu dan tiba lah ia di ruangan yang akan menodai kesucian matanya sebentar lagi.

Secara Yusuf yang sayang ibu-bapak, dan tidak sombong, tidak terbiasa dengan hal- hal yang berbau wanita. Cukup ibunya saja. Dengan berat hati dibukanya lemari besar itu.

Dan jeng! Jeng! … semua pakaian wanita itu tersusun rapi berjejer sesuai warna dan pasangannya. Jantung Yusuf dag dig dug seer melihat benda keramat yang berbentuk gunung kembar itu.

Dan di sebelahnya terpampang jelas benda segitiga yang bisa dijadikan layang-layangan siap untuk terbang.

“Ini kok mirip gambar yang sering ucup lukis ya?” kata Yusuf, memperhatikan bra berwarna hijau lumut di laci-laci kaca.

Setelah itu, ia beralih menatap ke ****** ***** berenda-renda, “Nah, satu ini kok mirip layangan?” ujarnya lagi.

Hidung Yusuf mengeluarkan darah. Darah! Haha, Yusuf mimisan ternyata. Ini masih dalam tahap melihat-lihat, bagaimana kalau sudah dipengangnya.

Bisa-bisa keluar kedua bola matanya menahan rasa malu. Saat ini wajahnya jangan ditanya lagi, sudah seperti kepiting rebus saking merahnya.

Dipejamkannya mata rapat-rapat. Setelah itu diambilnya sapu tangan di saku untuk dilapiskan ketangan, mengambil benda keramat Lidya yang sudah siap terbang bersama pemikiran nakalnya.

Bibirnya komat-kamit merapalkan doa yang diyakininya bisa menolak bala……. Bala? karena semua ini musibah bagi keperjakaannya yang selama ini dijaganya dengan sesuci-sucinya. Ampun deh sama tingkah lelaki itu.

“Yusuuuf! Udahan? Saya mau keluar nih!” Lidya sudah tidak sabar ingin keluar kamar mandi.

“Iya! Iya.”

Yusuf bergegas meletakkan semua pakaian Lidya di atas meja yang telah di khususkan untuk pakaian yang akan dikenakan wanita itu setiap harinya.

“Sudah, mbak!” teriak Yusuf dan bergegas keluar kamar.

Setelah selesai mengurus pakaian. Sekarang lanjut menyiapkan sarapan, karena di rumah sebesar dan semewah itu tidak ada pembantu, jadi lah Yusuf yang mengurus semuanya.

Ini tidak bisa dibiarkan nih! Bisa peyot duluan Yusuf, sebelum merasakan gunung kembar Lidya. Nah kan? Hayoo, Yusuf sudah dirasuki setan mesum nih. Harus dirukiyahkan segera!

Tidak ingin berlama-lama, Yusuf telah menyiapkan semua makanan untuk dihidangkan kepada Lidya yang sebentar lagi akan landing dari menara Eiffel. Bukan menara sungguhan ya. Maksudnya mendarat dari kamarnya di lantai atas.

“Selamat pagi bos!” sapa Yusuf berdiri di samping meja makan dengan posisi hormat ala prajurit.

Karena terlalu menghayati peran seperti prajurit siap tempur, tidak terasa perutnya bergemuruh.

Bruuuut ….

Bruuuut …

Bruuuut … put.

Bunyi meriam sudah mulai mendakan tang perut Yusuf masuk angin.

“Yusuuuuuf! Ya ampun! Jorooook … uweeek!” Lidya muntah mencium bau kentut Yusuf yang seperti telur ayam busuk.

Muka Yusuf memerah malu. Di depan wanita cantik yang menjadi bosnya itu, ia terkentut. Dan parahnya, kentutnya tidak mau direm seperti roda sepeda. Dengan setengah berlari ia segera ke belangkang.

Bruuuut ..

Bruuuut …

Bunyi kentut Yusuf tidak bisa ditahan sampai ia berlari ke belakang. Lidya sudah tidak berselera makan lagi. Perutnya sudah kenyang dengan bau kentut Yusuf.

Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan asisten ajaibnya itu. Setahunya Yusuf adalah lulusan sarjana, tetapi kenapa tidak mencerminkan tingkah lakunya seperti orang berpendidikan, dan malah sebaliknya.

“Mbak, maaf ya. Semalam aku telat makan, jadi pagi ini aku sakit perut.”

Yusuf datang dengan wajah tertuduk malu. Tidak berani menatap wajah Lidya untuk saat ini.

“Kamu gimana sih! Saya kan sudah kasih uang buat belanja, kenapa tidak dipakai?” kata Lidya setengah kesal.

“Sekarang kita berangkat ke kantor. Saya sudah telah nih!” kata Lidya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan.

“Baik mbak.”

Yusuf segera mengambil kunci mobil yang tergantung di patung kuda di atas meja. Ia segera melangkah menuju bagasi di samping rumah mengeluarkan mobil Toyota Supra merah yang sering digunakan Lidya untuk bekerja. Melihat mobil semahal itu  membuatnya beristigfar berulang kali, karena sayang dengan harganya.

Untung Yusuf pernah belajar mengendari mobil sport bersama temannya dulu, jadi ia tidak takut mobil itu akan lecet. Melihat warna mobil merah itu,  mengingatkannya pada warna lipstik Lidya yang sering berwarna serupa. Apa Lidya penyuka warna merah ya, katanya menimbang-nimbang sendiri.

“Aduh! Apa yang kupikirkan? Kok jadi ingat bibir merah mbak Lidya,” ujarnya menggelengkan kepala.

“Hey, ngapain kamu, buruan!” bentak Lidya yang tiba-tiba menepuk pundaknya.

Yusuf tersadar dan  buru-buru masuk mobil. Setelah itu ia melajukan mobil menyusuri jalan raya menuju kantor wanita itu.

Pagi ini cukup membuat wajah gantengnya tercoreng dengan ulah kentutnya yang kurang dihajar. Hahaha hajar saja induknya. Yusuf menoleh ke arah Lidya berada di sampingnya.

“Apa kamu lihat-lihat,” kata Lidya dengan membulatkan separuh matanya.

Yusuf buru-buru mengalihkan pandangannya ke depan melihat jalanan yang cukup ramai. Dia sudah kehilangan muka pagi ini, setelah ini dia berdoa agar selamat dari hal yang memalukan lagi. Semoga saja aman ujarnya dalam hati.

 

dicemoohkan

Yusuf telah sampai di sebuah gedung pencakar langit. Kalau dilihat-lihat gedung ini dindingnya dilapisi cermin dari luar, jadi kalau siang hari akan terlihat mengkilat terkena pantulan cahaya matahari.

Diparkirkannya mobil cantik itu tepat di depan pintu masuk biar memudahkan si bos cantiknya keluar. Dengan secepat kilat Yusuf keluar, membukakan pintu untuk wanita itu.

Ceklek!

“Silahkan mbak,” kata yusuf sesopan mungkin.

Lidya mulai menurunkan sebelah kakinya, tampak lah sepatu berwarna merah dengan ujung tumitnya yang sangat runcing seperti ujung tombak penangkap ikan.

Ah, hilang sudah kesan wibawa Lidya, gara-gara pikiran Yusuf yang salah tangkap. Masa sepatu secantik dan semahal itu disamakan dengan ujung tombak penangkap ikan? Memang ini zaman purbakala? Di mana-mana semuanya dari perunggu.

“Biar saya saja yang membawakan tasnya mbak,” kata Yusuf menawarkan.

“Huh,” dengan lagak songongnya Lidya memberikan tasnya kepada Yusuf.

Setelah itu Lidya berjalan memasuki kantor, di dalamnya semua karyawan sudah siap berbaris rapi memberi hormat dan mengucapkan selamat kepada wanita itu. Mereka menunduk sambil memberikan senyuman menyapa.

“Selamat pagi bu,” kata mereka serempak.

Lidya hanya memberikan sekilas senyuman untuk membalas sapaan tersebut, ia terus berjalan melewati karyawan-karyawan itu sampai ke pintu lift.

Di belakangnya Yusuf memangut-mangut menyapa satu per satu karyawan yang masih berdiri menunggu kepergian Lidya.

Yusuf merasa canggung berjalan di hadapan karyawan-karyawan yang tampak memperhatikan dirinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Membuat kaki Yusuf terasa berat untuk dilangkahkan.

Penampilannya saat ini bisa dikatakan sangat pas-pasan atau sangat sederhana. Hanya memakai baju kemeja putih polos, dan celana bahan berwana hitam yang sudah agak pudar warnanya, ditambah sepatu kulit andalannya ketika masih berkuliah di kampung.

Semuanya hanya memandang remeh pada penampilan Yusuf yang bisa disamakan mirip OB di kantor itu. Mendingan seragam OB, mereka di sana memakai pakaian seragam lengkap, bersih dan rapi.

Mereka tidak menyangka kenapa Yusuf bisa bekerja dengan Lidya yang serba perfect dalam segala bidang termasuk penampilan. Apakah nilai plus dari Yusuf? Apa mata Lidya bermasalah telah memperkerjakan lelaki itu untuknya, pikir mereka.

“Yusuuuuuf buruan! Ngapaian kamu celingak-celinguk kaya sapi bodoh gitu!” teriak Lidya mau masuk lift.

Astaga mulut Lidya ini pedas sekali seperti cabe ulekan. Harus segera diberi lem cap kambing itu mulut ya. Haha kamu kira itu sepatu? Bisa-bisa kena senggol bacok sama yang punya mulut, tau-tau bibirnya mau dilem.

“Iya mbak,” Yusuf setengah berlari mengejar langkah Lidya yang akan hilang ditelan pintu lift.

“Kamu harus berlajar lagi sama Sarah. Biar gak norak dan malu-maluin!”

Yusuf hanya diam dan menunduk saja mendengar ocehan Lidya. Ia memang berasal dari kampung, makanya ia merasa aneh dengan dunia kerja yang baru ditempatinya itu. Tapi apa pun kata Lidya adalah titah ratu yang harus segera dikerjakannya, demi kelangsungan kerja.

“Kamu dengar tidak? Jangan mangut-mangut gak jelas!” bentak Lidya.

“Saya dengar mbak, dengar kok.”

“Sini handphone saya,” kata Lidya menengadahkan tangan.

Yusuf segera mengambil handphone wanita itu dari dalam tas. Dilihatnya isi dalam tas itu, ada suatu benda yang seperti bantalan roti berbungkus plastik berwarna merah muda. Ini apa ya, katanya dalam hati.

Sebelumnya ia pernah melihat iklan-iklan di televisi menampilkan benda itu punya sayap yang bisa terbang-terbang dari siang hingga malam. Apakah mbak Lidya akan terbang jika memakai ini ya, pikirnya lagi.

“Buruaan! Lelet banget sih kamu.”

“Ini mbak,” Yusuf memberikan handphone itu segera.

Setelah itu Yusuf diam menunggu lift bergerak sampai lantai 22. Dilihatnya Lidya yang tengah asik memainkan handphonenya sambil sesekali tersenyum.

“Nanti jam sebelas kamu ke ruangan saya,” kata Lidya.

“Baik mbak,” sahut Yusuf.

Yusuf tidak berani bertanya alasanya. Ia lebih baik diam menurut, karena pagi ini dirinya sudah banyak mendapat masalah dengan wanita cantik itu. Untuk mencari jalan aman biar lah dirinya mengalah dan menuruti semua permintaan Lidya.

Ting!

Pintu lift terbuka tepat di lantai 22. Di sini adalah lantai tempat ruangan Lidya berkerja, dengan desain yang mewah di setiap dindingnya, terpampang lukisan-lukisan klasik yang harganya mencapai puluhan juta rupiah.

Di sini hanya tersedia dua ruangan yang di khususkan untuk petinggi perusahaan seperti ruangan Lidya, dan ruangan ayahnya.

Tidak sembarangan orang yang boleh memasuki ruangan ini, hanya staf khusus pengantar laporan, dan Yusuf sebagai asisten pribadi Lidya yang boleh memasuki itu.

Yusuf segera keluar mengikuti langkah Lidya sampai ke dalam ruangannya. Setelah itu ia membereskan meja wanita itu yang penuh dengan berkas-berkas laporan kerja yang akan segera diperiksanya selaku pimpinan baru perusahaan.

“Kamu pisahkan berkas-berkas itu sesuai tanggalnya, setelah itu letakkan di meja itu,” Lidya memberikan insruksi untuk pekerjaan baru Yusuf.

“Baik mbak,” jawab Yusuf.

Lidya segera melepas blazer yang dipakainya, lalu digantung di tempat gantungan khusus pakaian yang telah tersedia di belakang kursinya.

Setelah itu ia menduduki kursi empuk berwarna hitam dan siap berkutat dengan berkas-berkas laporan yang telah dipisahkan oleh Yusuf.

“Yusuf, tolong kamu buatkan saya kopi ya.”

“Baik mbak,” sahut Yusuf.

Yusuf meletakkan berkas-berkas tadi di meja setelah itu ia berjalan ke luar ruangan untuk membuatkan kopi. Ketika ia hendak membuka pintu dapur khusus karyawan, terdengar suara orang dari dalam membicarakan dirinya.

“Aku heran deh sama bu Lidya. Kenapa bisa pria udik itu jadi asistennya ya? Melihat penampilannya saja sudah membuat kita gak berselera.”

“Iya, aneh kan? Aku juga mikir gitu. Padahal kita-kita yang sudah lama di sini juga pengen menjadi asistennya.”

“Aku aja nih ya .... selama ini, aku betah di sini karena ingin melihat bu Lidya setiap hari saja. Kalau gak, udah lama aku keluar dari kantor ini.”

“Haha, kau menghayal terus sih! Mana mau bu Lidya sama kamu ini, dompet aja kempos, apalagi pantatmu yang tepos. Gak ada cakep-capkepnya, berlagak pula mendapatkan bu Lidya yang super cantik itu. Hahaha .... ada-ada saja kau ini Jon, Jon!”

“Biarin, dari pada pria udik itu. Jauhan aku lah ganteng nya,” sahut orang yang bernama Jon itu.

Kreak!

Pintu dibuka dari dalam menampakkan dua orang pria dengan wajah terkejutnya melihat Yusuf yang berdiri di depan pintu.

Mereka ketahuan membicarakan Yusuf di belakangnya, sekarang tertangkap basah langsung sama orang yang telah mereka bicarakan tadi.

“Eh, ada Yusuf toh hehe. Mau buat kopi juga Suf?” tanya pria yang bernama Jon, dengan wajah kikuknya.

“Iya,” sahut Yusuf datar.

“Mari, silahkan. Kita sudah selesai,” katanya mempersilahkan Yusuf masuk.

Yusuf segera masuk untuk membuat kopi. Saat ini hanya ada dirinya sendiri di ruangan itu, ditutupnya pintu itu rapat-rapat. Setelah itu, dipegangnya dadanya kuat.

Terlihat dari raut wajanya sedih mendengar ucapan dua orang karyawan tadi membicarakan dirinya di belakang. Walau ia berasal dari kampung dan terlihat udik, ia merasa tidak pernah menyinggung orang-orang di kantor ini. Tapi kenapa mereka tidak menyukai kehadirannya?

“Kenapa orang-orang itu tidak suka dengankuTuhan,” kata Yusuf lirih.

Ia jadi teringat sebelum pergi merantau ke kota ini, orang-orang kampung selalu mencemooh dirinya yang akan pergi merantau ke kota.

“Si Yusuf, mau ke kota? Haha .... apa yang bisa dikerjakan anak itu? Tidur saja masih sama emaknya, malah lagu-laguan pergi merantau.”

Itu lah kata-kata orang mengejek dirinya. Sekarang setelah ia bekerja di kantor ini dengan Lidya, ia juga mendapatkan hal yang sama dari karyawan-karyawan lain.

Apa kesahalan Yusuf, sehingga mereka tidak menyukai kehadirannya. Apakah mereka iri? Atau mereka dengki? Entahlah! Yusuf hanya berdoa kepada Tuhan, agar dirinya kuat menghadapi cemoohan orang-orang itu kepadanya.

"Ya Tuhan, berilah hamba kekuatan agar bisa berhasil dengan semua usaha hamba ini. Tabahkan lah hati hamba selalu," itu lah doa Yusuf di sela-sela kesedihannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!