^^^Kutoarjo,^^^
^^^Purworejo, Jawa Tengah^^^
Perkenalkan,
Namaku itu Niko. Biasa aku dipanggil,
Niko.
Keretaku masih juga belum berjalan. Aku hanya bisa melihat kacaku yang dipenuhi air mengalir, padahal aku sangat ingin melihat pemandangan yang ada diluar nantinya, sampai pada akhirnya aku menatap kosong dan aku bertanya kepada diriku sendiri, kenapa suatu kepergian itu selalu memperlihatkan betapa menyedihkannya orang yang ditinggalkan? Padahal kita seharusnya juga melihat alasan kenapa orang itu meninggalkan. Aku tersenyum simpul. Hujan semakin deras beriringan dengan suara deru mesin kereta api, dan kaca disampingku itu mulai berembun, kemudian aku menopang daguku sembari memutar kembali ingatan disaat semuanya itu belum terjadi seperti waktu sekarang.
...Semakin dekat hubungan kita, maka, semakin dalam kita menyakiti...
Tidak ada suatu hal yang sepenuhnya itu benar atau salah dalam kehidupan, dan semenjak perpisahan itu aku mulai tidak peduli dengan semua yang kulakukan, lagipula, semuanya itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Aku harus jahat. Aku ingin terus merobek hatiku sampai terbuka dengan lebarnya, karena aku tidak ingin melihatnya sedih dengan kepergiannya dalam artian yang sebenarnya itu, dan sepertinya, aku memang ditakdirkan untuk selalu mengecewakan seseorang dimanapun itu keberadaannya, kemudian satu hal yang kubenci dari seluruh dunia itu hanyalah diriku sendiri. Vanila. Semenjak dari kepergiannya, dunia yang aku jalani menjadi terasa begitu membosankan, bahkan aku tidak bisa dengan mudahnya tersenyum ataupun tertawa, dan juga, aku seringkali terbersit senyuman manisnya itu dengan matanya yang teduh, sampai aku ingin sekali bertemu dengannya dalam relung hatiku.
...Biarkan potret dirimu menjadi galeri dalam hidupku...
Perlahan mataku terpejam. Aku melihat seorang perempuan cantik berdiri dihadapanku, kemudian rambutnya yang panjang serta bergelombang diujungnya itu tersapu oleh angin, tidak berapa lama air matanya itu mengalir pelan dipipinya, dan tanganku bergerak dengan sendirinya mengusap air matanya, bagiku, Vanila seperti cahaya yang menerangi gelap pekatnya kepercayaanku kepada dunia, tapi, sekarang aku hanya mempunyai setitik cahaya diantara semua kegelapan setelah kepergiannya. Terkadang. Aku tidak peduli dengan masa lalu, karena tidak ada satupun hal yang akan berubah, dan ketika melihat cerminan masa depan itu membuatku ragu dimasa sekarang, sebenarnya apa yang harus kita lakukan dalam menjalani kehidupan yang membosankan. Hidup terus berjalan.
Termenung aku merindukan semua tingkah lakunya yang membuatku tersenyum, padahal aku itu orang yang sulit tersenyum ataupun tertawa, tapi, sekarang aku harus berusaha keras untuk melakukannya, karena aku hanya tidak ingin dia yang sudah diatas sana bersedih melihatku terpuruk. Aku membuka mataku secara perlahan, dan terlihat pemandangan yang sangat indah, hamparan sawah yang luas dengan langit yang berwarna jingga, kemudian aku ingin sekali rasanya mengusap permukaan kaca yang ada diluar yang mengembun. Aku menatap jauh. Tidak peduli betapa indahnya langit senja yang kita lihat sekarang, pastinya malam tetap akan terus berlanjut, semua yang kita lihat itu sebenarnya hanyalah sekedar keindahan palsu, tapi, kita justru malah terpikat serta terbawa kepalsuan itu.
Hidup terus berjalan.
Teruntuk :
Seseorang yang pernah ada dihatiku
Salahmu? Kamu terlalu baik dengan semua orang yang ada didekatmu, dan juga, kamu berparas cantik. Makanya. Banyak orang yang menyukaimu, lalu, kamu juga terlalu dekat dengan banyak orang.
Salahku? Aku terlalu naif dengan perasaanku yang tidak ingin kuungkapkan. Aku terlalu lemah dan bodoh memendam perasaanku, karena aku sadar, mungkin aku tidak pantas untukmu, padahal aku mengerti itu hanyalah alasan orang yang penakut.
Harusnya kita bijaksana,
Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tapi aku suka melihatmu tersenyum, bahkan sekadar menatapmu aku tidak berani, aku takut terlalu dalam menyukaimu sepenuh hatiku nantinya. Tidak mudah menyembunyikan perasaanku dari lubuk hati yang paling dalam, berjuta kali aku membohongi diriku sendiri untuk mengakui, kalau, aku menaruh perasaan kepadamu.
Banyak kata yang tidak dapat dituliskan, banyak perasaan yang tidak dapat diungkapkan, dan biarkan, aku menanggung hukuman atas diriku sendiri, aku harus jahat menyakitimu untuk menjauhkanmu dariku, bahkan, orang jahat sekalipun masih tetap mempunyai alasan dalam berbuat kebaikan.
Aku membenci semua tentangmu yang membuatku peduli denganmu, tapi kamu tidak bisa aku miliki. Mungkin aku hanya takut mengungkapkan kepadamu, lalu, kamu menjauh dariku, itu jauh lebih sakit dibandingkan aku menyimpan perasaanku. Aku pikir melihatmu pergi adalah hal yang terburuk, tetapi melihatmu tidak bahagia ternyata jauh lebih buruk dari yang aku bayangkan.
...Setan jahat sepertiku dan malaikat baik sepertimu...
...Tidaklah bisa menyatu...
^^^Kiaracondong,^^^
^^^Bandung, Jawa Barat^^^
Aku menuruni gerbong.
Aku berjalan kearah jalan keluar, dan mencari angkutan mana yang menuju daerah kosanku, kemudian aku duduk tenang dalam angkutan, sembari melihat pemandangan kota yang tidak berubah seperti pertama kali aku menginjakkan kakiku. Waktu berjalan cepat. Pertemuan yang tersisa serta ujian akhir semester empat itu berada ditengah liburan, padahal seharusnya aku bisa saja mendapatkan liburan sekitar dua bulan lebih, tapi, karena bertepatan dengan adanya bulan puasa itu membuat liburannya terpotong. Aku mendorong sedikit gerbang kosanku, kemudian aku mengeluarkan kunci sembari berjalan menuju kamarku, dan hal pertama yang aku lakukan adalah menghidupkan lampu dengan susah payah, karena aku tidak bisa melihat apapun selain kegelapan yang ada dikamarku, lalu aku langsung membersihkan kamarku setelah melepas sepatuku.
Manusia tidak berjiwa. Sejak aku kecil, tidak ada satupun hal dalam kehidupan yang membuatku tertarik sepenuh hatiku, dan hanya, seorang perempuan yang sempat membuatku percaya akan indahnya dunia, tapi, disaat aku mempunyai harapan dia malah pergi meninggalkanku. Semua tinggal kenangan. Aku melihat pemandangan kota yang indah saat malam harinya dibalkon lantai paling atas, padahal kamarku terletak dilantai yang paling bawah, dan entahlah, semenjak kepergiannya aku seringkali menyempatkan diriku melihat langit malam yang dipenuhi bintang, kemudian aku pasti akan teringat saat dia menunjuk satu bintang yang paling terang, tapi, bintang itu menyendiri dengan letaknya yang cukup jauh.
"Nik" ucap Vanila
Vanila menyentuh pipiku dengan jari telunjuknya, "Sekarang kamu tunjuk satu bintang"
Terdiam aku dibuatnya,
Aku langsung saja menggenggam jarinya yang menyentuh pipiku, setelah itu menatapnya lekat, "Harus banget gitu"
"Harus" ucap Vanila
"Iya" ucapku
Awalnya jariku menunjuk kearah langit, kemudian aku mengarahkannya pelan kewajahnya yang cantik itu, dan reaksinya hanya tersenyum, lalu pipiku malah dicubit olehnya cukup keras, tapi, setelahnya dia memeluk lenganku sangat erat sampai aku tidak bisa menggerakkannya. Kenangan itu menghantuiku. Semenjak aku menuruni gerbong, aku berharap memulai hidup dan cerita yang baru nantinya, tapi, walaupun begitu aku memang selalu terbayang kecantikan dirinya, dan suara lembutnya itu seringkali terngiang dalam kepalaku. Aku hanya terdiam. Ternyata hidup itu tidak seindah waktu aku mendengarnya bernyanyi, dan juga, tidak semua langit malam itu dipenuhi oleh bintang, kemudian tidak akan pernah ada pelangi setelah hujan dimalam harinya.
...*********...
Aku membuka pintu,
Kulihat. Tidak ada seorangpun selain diriku sendiri, kemudian aku berjalan menuju kursi dibarisan yang paliing belakang, dan memutar kursinya menghadap kearah jendela, lalu aku duduk menopang daguku sembari menatap langit yang sedikit gelap. Sekitar dua tahun sudah berlalu. Perempuan cantik yang senyumannya itu menusuk jiwaku, dan tatapan matanya yang teduh membuatku terpaku melihatnya, tiba - tiba aku mendengar suara pintu terbuka yang membuatku langsung membalikkan badanku, lamunanku itu pun menghilang bersamaan dengan itu, kemudian aku beranjak dari tempat duduk lalu berjalan menuju kursi yang biasanya kududuki selama perkuliahan yang berada dibarisan tengah. Aku tidak suka duduk dibarisan depan dan belakang, karena aku lebih suka melihat suatu hal dengan seimbang antara baik serta buruknya, bagiku, tidak ada suatu hal yang sepenuhnya benar ataupun salah dalam kehidupan, jadi berada ditengah adalah posisi yang tepat bagiku.
Aku tidur dengan kedua tanganku sebagai alasnya,
Pikiranku langsung melayang,
Tinggi.
Tidak berapa lama, aku terbangun dari tidurku setelah lenganku ditepuk oleh temanku, kemudian aku mengeluarkan buku serta bolpoin, padahal semua temanku itu menggunakan binder untuk menulis sesuatu, bagiku, menulis dibuku itu lebih nyaman daripada binder, karena aku tidak akan kesusahan saat menulis pada bagian ujung kertas. Terdiam aku mendengarkan. Selama perkuliahan berlangsung aku menopang pipiku dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku memainkan bolpoin diatas kertas yang penutupnya sengaja tidak kulepas, dan begitulah kegiatanku dikelas, aku tidak mempunyai suatu alasan untuk tertarik dalam hal apapun dikehidupan, bahkan aku sudah tidak bisa merasakan apapun dalam hatiku. Semuanya itu kosong.
Perkuliahanku sudah berakhir. Disaat aku sedang berjalan pulang, ditrotoar aku bertemu dengan temanku yang bersama dengan seorang perempuan disampingnya, sampai pada akhirnya kita bertiga berada dikosan perempuan itu, padahal aku dan mereka itu berbeda kampus serta jurusan, kemudian temanku itu mengangkat panggilan dihandphonenya saat berada didalam kamar lalu pergi meninggalkanku. Hanya kita berdua. Aku mengamati kamarnya yang semuanya itu tersusun dengan rapi dan wangi, kemudian aku melihat bunga mawar, cokelat serta potongan kertas dimeja belajarnya yang menarik perhatianku, wajar, perempuan secantik dirinya itu pasti mempunyai banyak penggemar, tapi, dia juga pasti mempunyai banyak pembenci dalam hidupnya.
"Aku, Safira" ucapnya
"Niko" ucapku, menjabat tangannya
Aku menahan tersenyum, "Kamu itu pacarnya?"
Dia cukup terkejut,
"Bukan. Kita cuman temen sekelas yang satu kelompok" ucap Safira, memalingkan wajahnya
"Kirain" ucapku
"Udah. Temenin aku disini" ucap Safira, sembari menepuk kasur disampingnya seakan menggodaku
"Iya" ucapku
Aku mengikuti permintaannya. Aku langsung duduk tepat disampingnya, dan Safira tersenyum manis, kemudian aku mengingat saat masa awal perkuliahan, aku yang berasal dari kota yang kecil melihat secara langsung perempuan dikota besar yang merokok dengan santainya, membawa seorang laki - laki masuk kekamarnya, pergi kediskotik bersama dengan temannya, serta masih banyak lagi yang tidak ingin aku tuliskan disini, semua itu adalah pemandangan yang tidak biasa bagiku. Entahlah. Aku tidak mengerti, kenapa orang kota mengatakan kampungan untuk orang yang tidak mempunyai tata krama, padahal justru orang dari kampunglah yang mempunyai tata krama dibandingkan mereka, tapi, ada satu hal yang aku sukai dari orang kota yaitu keterbukaan dan kebebasan berekspresi mereka yang begitu adanya dan itu jarang ditemukan saat kalian berada disuatu kota yang kecil atau desa yang menjunjung tinggi adat istiadat.
Safira menatapku lekat, lalu beranjak dari tempatnya. Dia berjalan keluar dari kamarnya, dan aku mengambil novel yang ada dimeja belajarnya, beberapa saat kemudian dia kembali dengan membawa dua cokelat hangat ditangannya lalu meletakkannya dimeja kecil didepanku. Setelah lama menunggu. Akhirnya temanku datang, rasanya aku mulai paham dengan semua yang terjadi, dan aku menyimpulkan bahwa temanku itu tidak ingin bersama Safira dikamarnya, karena aku mengenal pacar temanku itu yang terlalu cemburuan terhadap siapapun, apalagi dengan Safira yang merupakan perempuan yang mempunyai paras cantik. Aku hanya terdiam sembari membaca novel. Mereka terlihat serius mengerjakan tugas, kemudian aku menutup dan meletakkan novel yang aku baca dimeja belajar, lalu aku ikut membaca soal dari tugas mereka yang tidak kupahami, karena aku memang tidak diajarkan materi pengantar dan lain sebagainya yang mereka pelajari dijurusannya.
Safira tertidur pulas. Ditengah aku membuat kerangka presentasi, aku mengambil selimut yang terlipat rapi disamping bantalnya, sembari memindahkan tangannya yang tertekan oleh tubuhnya sendiri, setelahnya aku menyelimutinya dari pundak sampai kakinya. Temanku hanya terdiam. Aku melanjutkan kembali dalam mengerjakan kerangka presentasi tersebut, dan aku hanya menurutinya, karena aku tidak paham bagian mana yang ingin dimasukkannya kedalam presentasi, sampai akhirnya kita selesai mengerjakan tugas itu lalu menyimpannya keflashdisk, kemudian aku bersama temanku menutup pintu kamar dengan pelannya, agar perempuan itu tidak terbangun dari tidur nyenyaknya. Aku menutup gerbang kosannya dengan rapat.
"Maaf" ucap Ferdi
Aku menahan tersenyum, "Gakpapa. Safira itu cantik"
Ferdi tertawa pelan,
"Safira emang cantik. Tapi. Kamu masih belum ngerti dia kayak gimana aslinya" ucap Ferdi, merangkul pundakku
"Maksudnya?" ucapku, menoleh kearahnya
"Kamu udah makan? Aku yang bayar" ucap Ferdi, seakan mengalihkan perhatian
"Aku ngikut aja" ucapku
"Oke" ucap Ferdi
Tidak jauh dari kosan Safira. Temanku itu mengajakku makan nasi goreng, dan aku memang tidak mempunyai keinginan harus makanan tertentu dalam hidupku disetiap harinya, bagiku, setiap makanan adalah anugerah dari tuhan, lagipula, memang orang yang mempunyai uanglah yang bisa dengan mudah berkuasa. Selesai makan disana. Aku berjalan melewati trotoar sendirian, karena arah pulangku dan temanku itu tidak searah, sesekali aku mengamati jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan tidak peduli itu disiang atau malam harinya selalu padat, sudah hampir dua tahun aku berada dikota besar, suara yang paling aku benci adalah deru mesin serta klakson yang ada dijalanan, maksudnya, dikota asalku jarang sekali aku mendapati adanya kemacetan apalagi sampai jauh membentang. Sejauh aku melihat.
Aku duduk termenung seperti biasanya dibalkon.
Semua orang mungkin sudah tertidur. Suara deru mesin seringkali terdengar, padahal seharusnya tidak ada lagi kegiatan disepertiga malam dan juga, kebanyakan orang pasti sudah tertidur nyenyak, tapi, kota besar memang sangat berbeda kehidupannya dengan pedesaan, bahkan aku tidak jarang melihat serta mendengar tim patroli yang berlalu - lalang dengan membawa senjatanya itu dijalanan. Masih aku terdiam. Sebenarnya apa yang selama ini aku sedang cari didunia, lalu, kenapa batas dalam kehidupan itu semakin tidak bisa dibedakan setiap harinya, dan sampai sekarang aku masih belum menemukan jawaban dari semua pertanyaanku itu, kemudian aku harus bagaimana untuk mencari jawaban tersebut.
...Seindah apapun bintang dilangit malam. Mereka pasti akan jatuh nantinya...
Vanila Citra Purbasari. Dialah yang terlalu baik untukku, dan akulah yang terlalu buruk untuknya, padahal waktu sudah berlalu, tapi, aku masih saja menyalahkan diriku sendiri yang jarang sekali membuatnya tersenyum ataupun tertawa. Kupikir. Tidak ada yang akan berubah seberapa banyaknya aku kembali dimasa lalu, dan bagiku, gambaran dimasa yang akan datang masih terlihat kabur, sedangkan dimasa sekarang aku tidak mengerti harus melangkah kearah mana, terlebih aku dibayangi oleh rasa bersalah yang tidak bisa membahagiakannya diwaktu terakhir kepergiannya. Begitulah. Penyesalan memang akan selalu terlambat, apalagi disaat kita tidak mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya, dan perasaan itu akan terus melekat direlung hati yang paling dalam, kemudian nantinya kalian akan dipaksa dua pilihan yaitu memaafkan atau dimaafkan atas kesalahan tersebut.
Panggilan masuk dihandphoneku.
"Halo" ucapku
"Hai ini aku"
"Safira"
"Darimana tahu nomerku?" ucapku, mengernyitkan dahi
"Siapa lagi coba" ucap Safira
"Ferdi?" ucapku
"Katanya. Jam segini kamu belum tidur jadi aku telpon" ucap Safira
"Maaf aku ganggu" ucap Safira
"Enggak" ucapku
"Beneran?" ucap Safira
"Iya" ucapku
Belum pernah ada orang yang menelponku disepertiga malam terlebih itu perempuan, lalu mengobrol hampir selama dua jam, dan aku tidak sekalipun menanyakan alasan mengapa harus aku yang ditelponnya, karena itu akan menimbulkan bahwa aku sedang tidak ingin diganggu, padahal aku hanya sekedar penasaran tentang maksud serta tujuannya menelponku. Entahlah. Aku malah seakan merasakan ada kesedihan dibalik tertawa yang dipaksanya itu, dan kupikir, Safira hanya berniat mencari seseorang yang bisa mendengarkannya, kemudian temanku itu mengatakan aku yang pasti belum tidur ditengah malam yang dingin, lalu terjadilah semua yang diarahkan oleh temanku itu kepadanya. Mungkin ceritanya begitu.
Sejujurnya. Aku tidak bisa melihat kecantikan seorang perempuan yang sesungguhnya, dan senyuman yang ditunjukannya itu terkadang membuatku bertanya dalam hatiku, apakah itu bentuk dari riasan alami wajahnya, suatu bentuk dari sebuah penghinaannya terhadap dunia, atau kepalsuan terhadap dirinya sendiri. Aku begitu penasaran. Bagaimana caranya kalian menilai seorang perempuan itu cantik atau tidaknya dengan mudahnya? Sewaktu aku kecil, aku hanya mengenal dua tipe perempuan yaitu cantik atau tidaknya dari parasnya, dan setelah beranjak dewasa, menilai kecantikan seorang perempuan itu terdapat berbagai macam aspek didalamnya, bahkan, seorang perempuan yang terkesan lugu sekalipun bisa mempunyai tato ditubuhnya yang disembunyikan, semuanya yang aku lihat didunia membuatku semakin ragu dalam mengambil suatu keputusan.
"Makasih" ucap Safira
"Buat?" ucapku
"Makasih buat semuanya" ucap Safira
Aku hanya terdiam,
"Tiga"
"Dua"
"Satu"
Panggilan itu ditutupnya.
...*********...
Kuliah sudah berakhir. Aku masih berada dilobby kampus, dan sedikit mengantuk dikursi yang mempunyai sandaran, karena aku tidak ingin berjalan saat matahari berada diatas kepala, kemudian aku terbawa dalam kegelapan secara perlahan, lalu bertahap menuju kegelapan yang paling dalam. Aku mulai terbangun. Aku berjalan pulang dan langit senja sebentar lagi akan berubah menjadi gelap, kemudian aku seakan mendengar seseorang yang memanggilku ditengah perjalananku, aku menghentikan langkahku saat itu juga, lalu, membalikkan badanku kearah sumber dari suara tersebut. Safira tersenyum manis. Safira menurut penilaianku adalah seorang yang periang, suka bercanda dan murah senyum kepada semua orang, tapi, entah mengapa aku selalu merasakan kesedihan saat melihat senyumannya itu, terkadang, suaranya itu terdengar parau seakan kemarin menangis semalaman.
Temanku pernah bercerita. Safira itu merupakan primadona dijurusan, atau malah difakultasnya, dan begitulah, akupun juga mengagumi kecantikan wajahnya itu, tapi, aku tidak mengerti kenapa dia selalu mengatakan dirinya itu jelek kepadaku. Safira berjalan mendekatiku. Tidak peduli apapun pakaian yang dikenakannya, perempuan yang cantik pasti akan tetap memancarkan pesonanya, dan saat itu juga, beberapa orang terlihat mencuri pandang kearahnya, sampai aku menyadari bahwa kota dengan julukan kembang itu memang benar adanya, lalu, itu bukanlah hanya sekedar rumor yang beredar semata.
"Kamu mau kemana?" ucap Safira
"Balik" ucapku
"Ikut" ucap Safira
"Yuk" ucapku, bercanda
Safira menatapku lekat, "Aku lagi serius"
"Beneran?" ucapku
"Iya" ucap Safira
Sesampainya kita dikosanku,
Ketika aku membalikkan badanku setelah menutup gerbang, Safira duduk tenang dipinggiran teras dan akupun mengikuti seperti yang sedang dilakukannya itu, kemudian telunjuknya itu mengarah kepada bintang paling terang yang ada dilangit. Aku terdiam bisu. Apa yang dilakukannya itu mengingatkanku kepada seseorang yang pernah memberiku warna kehidupan, dan bedanya, aku hanya tidak diminta untuk melakukan hal yang sama dengannya, aku terus memperhatikannya sampai wajahnya itu berubah menjadi sepertinya. Safira itu Vanila. Aku masih bingung untuk bersikap kepada orang lain, karena aku tidak ingin menyakiti orang lain dengan sikap ketidakpedulianku, juga, aku tidak ingin disakiti orang lain dengan sikap kepedulianku itu, dunia memang penuh tanya sampai aku dibingungkan bagaimana caranya menjalani kehidupan yang baik dan benar.
Terkadang aku bertanya, seberapa gelapkah dunia tanpa adanya bulan serta bintang dimalam harinya? Aku menoleh kearah perempuan yang ada disampingku, dan kulihat, Safira menatap kosong kearah langit seakan memikirkan sesuatu, lalu, senyuman tipis merekah dibibirnya yang aku tidak mengerti penyebabnya. Suasana begitu heningnya. Aku masih terdiam, dan entahlah, sampai kapan aku harus menemaninya, sedangkan udara yang berhembus membuatku sedikit menggigil, apalagi dia yang hanya memakai baju yang bahannya itu terbilang cukup tipis. Malam yang dingin.
"Nik" ucap Safira
Safira menatap kebawah,
"Sekarang. Kamu pasti mikir ngapain aku ikut kekosanmu? Aku sendiri aja juga gak tahu motivasinya" ucap Safira, tertawa kecil
"Enggak sama sekali" ucapku
"Terus?" ucap Safira
Aku memainkan kunci ditanganku, "Aku cuman mikir. Kamu mau sampai kapan ada disini?" ucapku, tersenyum simpul
"Jadi. Kamu ngusir aku?" ucap Safira, melirikku
"Iyalah" ucapku, tertawa
"Aku gak pulang. Aku mau nginep" ucap Safira, menatapku lekat
"Makasih atas informasinya" ucapku
"Iya" ucap Safira
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!