Tangisan bergema memenuhi ruangan persalinan. Bayi laki-laki tampan dengan iris mata hitam pekat lahir ke dunia, Leon Ghifari Antar. Nama yang diberikan kepada anak laki-laki Elena oleh Valerie, wanita yang telah menolongnya dari penderitaan. Artinya adalah laki-laki gagah berani yang mudah memafkan dan lembut hatinya, diberikan untuk hidup dengan mengingat doa baik seperti namanya. Agar kelak jika bertemu dengan ayahnya dia tidak akan terlalu membenci—juga kelak dia harus hidup berani seperti singa, sang raja hutan.
Dikamar Rumah sakit, Valerie meneteskan air mata. Tidak menyangka keputusan yang diambil akan memberinya perasaan luar biasa seperti sekarang. Pemandangan menakjupkan baru saja dia saksikan.
"Kakak lihat, anakku."
Elena tersenyum dibarengi isakan bahagia menatap bayi laki-laki dipelukannya, sedangkan wanita yang bernama Valerei tersenyum tulus sembari mengangguk antusiasme pada wanita di depannya.
Matanya melihat jam di tangan. Sudah pukul 10 pagi, dia harus ke kantor untuk menyelesaikan tugasnya sebelum dia meninggalkan perusahaan yang telah bersama dengannya selama 10 tahun.
Dia berjalan kearah sofa mengambil tas lalu berbalik kembali dan berdiri di sisi Elena. “Aku akan ke kantor sebentar, ada yang kau butuhkan?”
Membenarkan posisi Leon, setelahnya dia menggeleng cepat. “Tidak ada kak, terima kasih.”
“Cepat kembali mami” ucap dia lagi, menirukan suara anak kecil. Menanggapi itu Valerie tertawa pelan lalu menghilang di balik pintu.
Setelah kepergian Valerie, Elena memandang keluar jendela kamar rumah sakit. Sekelebat masa lalu melintas, mengingat bagaimana perlakuan orang-orang padanya saat itu membuat air matanya berlinang. Wanita lemah lembut ini telah melalui banyak hal yang menyakitkan.
Dia lalu beralih melihat wajah Leon. "Tumbuhlah dengan baik nak, mommy dan mami pasti melindungimu!" ujarnya pada Leon yang belum mengerti apa-apa, dia seorang bayi!
Tidak lupa dia mengingatkan dirinya sendiri. "Elena, Jangan pernah melupakan kebaikan Valerie, bagaimanapun kau dan anakmu berhutang padanya." tambah Elena menghapus air matanya.
Merasa beruntung bertemu dengan Valerie saat paling sulit dalam hidupnya, padahal dia dan Valerie tidak begitu mengenal baik dan hanya saling mengetahui dia adalah teman baik kakak temannya, Ji hyo.
...🖤...
“Kumohon dengarkan aku." Elena terjatuh dan memohon.
"Rey! wanita ini berbohong. Beraninya dia! kau sudah melihatnya!” ucap wanita berambut pirang itu dengan sinis.
"Tidak Rey, aku tidak pernah meninggalkan rumah ini! kau bisa bertanya pada pegawai dan pengawalmu."
Elena menangis menahan sakit diperutnya. Ya tuhan sakit sekali, ucapnya dalam hati.
Tidak ada satupun dari mereka yang membuka mulut, bahkan orang-orang yang Elena anggap baik padanya di rumah itu semuanya hanya diam.
"Pergilah, aku tidak ingin melihatmu lagi." langkah Rey menjauh seiring deras air mata Elena yang jatuh.
"Kau harusnya tahu dir!." Menunjuk Elena yang berurai air mata.
Wanita itu berteriak sembari tersenyum sinis memandang Elena yang duduk dilantai.
"Rey! ingat saat wanita itu (Ibu Rey) mengkhianati ayahmu. Bagaimana ayahmu berakhir menyedihkan."
"Pengawal! bawa wanita hina ini keluar." lagi-lagi dia berteriak.
Kalau aku tidak bisa bersama Rey, maka kau juga tidak. Sorak hati yang penuh iri.
Rey sama sekali tidak menghiraukan Elena. Beberapa pengawal datang dan menyeretnya keluar. Sesaat, diambang pintu samar-samar Elena melihat para pegawai yang bekerja dirumah ini menangis dan tertunduk. Apa yang sebenarnya terjadi, lirihnya dalam hati.
Elena berjalan puluhan kilo entah kemana, wanita malang ini tidak punya tempat bernaung juga tidak punya uang sepersen pun untuk bertahan hidup kedepannya.
Beberapa jam kemudian Elena melihat ada halte. "Syukurlah, kita bisa beristirahat disini nak" sambil mengelus perutnya yang masih datar.
Yah, wanita itu hamil.
Tin tin, Sorot lampu mobil dan suara klakson membuat Elena menengadah. Wanita anggun memakai dress panjang berwarna pastel turun dari mobil.
"Elena?" ucapnya skeptis. Dia menajamkan penglihatannya.
Seperti halnya Elena, memicingkan matanya. "Kak Valerie?" dia berdiri berjalan kearah Valerei. Sedikit lagi, dia bisa memegang tangannya. Namun, wanita itu kaget, Elena terjatuh tidak sadarkan diri. Sigap membuka pintu mobilnya dan mengangkat pelan Elena masuk ke dalam. Wanita bernama Valerei langsung membawa Elena ke rumah sakit.
20 menit kemudian, Valerie menelepon Rey, suami Elena. Beberapa kali memanggil tapi tidak ada jawaban. Mencoba menelepon lagi sampai Seorang perawat datang dan bertanya.
"Permisi, apakah anda keluarga pasien?"
Valerei mengangguk. "Ya suster, bagaimana keadaannya?"
"Silahkan ikut saya, dokter ingin bicara." mengarahkan keruangan dokter.Perawat itu sibuk dengan berkas di tangannya sembari mengantar Valerie menemui dokter.
Tidak jauh dari sana, ruangan dokter sudah tepat didepannya.Seorang perawat dari dalam membukakan pintu dan mempersilahkan. "Silahkan duduk,"
Dokter itu menghela nafas lebih dulu lalu melihat computer, dia berhenti kemudian bertanya dengan hati-hati. "Boleh saya tau dimana suaminya?"
Jangankan dokter, saya juga ingin tahu suaminya ke mana. batin Valerei.
Valerei tersenyum. "Suaminya sedang dalam perjalanan bisnis dok. Elena baik-baik saja kan dok?" dia berbohong. Jelas dia tidak tidak tahu kemana Rey pergi.
Dokter paru baya itu kembali menghela nafas. "Saya meresepkan obat dan vitamin untuk kandungan ibu Elena, kemudian anda bisa menebusnya di apotek dan tolong sampaikan kepada suaminya—Ibu Elena perlu mendapat asupan makanan bergizi, dia perlu menambah berat badannya. Jug--"
Kalimat dokter kandungan itu menggantung, dia melihat ekspresi keluarga pasien yang aneh. Valerei yang sadar diperhatikan mengerjap. "Hamil dok?"
"Ya, anda tidak tahu? Maaf kalau boleh tahu anda siapanya pasien?" dokter itu agak curiga.
"Saudara perempuannya. Saya tidak tinggal dengannya dok—jadi maaf jika membuat anda ragu. Adik saya tidak bilang kalau dia sedang hamil, karena itu saya kaget." dokter yang tadinya merasa curiga akhirnya bernafas lega.
"Silahkan dilanjut dok" ucap Valerei mempersilahkan.
"Kami menemukan ada beberapa luka dan memar di tubuhnya, apa dia korban kekerasan dalam rumah tangga?" Hah? kekerasan dalam rumah tangga?
Lagi-lagi Valerei shock mendengar peryataan dokter yang memeriksa Elena. Tetapi sebelum bicara dengan Elena dan Rey, dia juga tidak ingin berasumsi tanpa bukti soal kekerasan dalam rumah tangga. "Saya rasa tidak dok, saya akan bertanya ke Elena soal ini."
Dokter itu mengangguk. "Ya, sebaiknya begitu. Ini obat yang harus ditebus. Tolong sampaikan pada suaminya, Ibu Elena harus menambah berat badannya." dia menghela nafas, merasa iba pada kondisi badan pasien.
Setelah berbicara dengan dokter, Valerei kembali menghubungi Rey, hingga jarinya lelah tidak juga mendapat jawaban. Tidak ingin berlama-lama, Valerei pergi menebus obat Elena dan bergegas kembali ke kamar tempat perawatan.
Diambang pintu kamar, samar-samar valerei mendengar suara tangisan.
Hiks hiks hiks
Tangis memilukan yang tertahan. Valerie tertegun, wanita yang biasanya hanya tersenyum bagaimana bisa menjadi seperti ini.
"Elena?" panggil Valerie
Elena terperanjat sambil menghapus air matanya. "Iya?" suara parau, dibuat senormal mungkin.
Valerie berdiri di sisi ranjang, dia mencoba mencari tahu apa yang terjadi kepada Elena, bagaimana dengan suaminya yang tidak bisa dihubungi.
“Elena, aku tahu ini bukan urusanku tapi boleh aku tahu apa yang terjadi? Dimana Rey dan kenapa kau di halte tadi?" ucap Valerie langsung dengan pelan dan hati- hati
Beberapa detik, Elena masih diam. Valerie mencoba mengerti, mungkin dia belum ingin menceritakan apa yang terjadi. "Kalau kau tidak ingin cerit--" Belum sempat Valerie menyelesaikan perkataannya, Elena memegang tangannya membuatnya berhenti bicara.
Elena terdiam beberapa saat, lalu mengalir lah cerita dari bibir tipisnya. Valerei mendengar dalam diam sambil mengepalkan tangannya. Pria itu!
"Lalu kau tahu diaman Rey sekarang? Mungkin dia khawatir, kau harus pulang.”
Bagaimanapun sulitnya, mereka adalah suami dan istri. Sesuatu tidak bisa dia campuri hanya karena mereka saling mengenal.
Elena menggeleng, jawaban itu bukanlah yang terbaik. Setidaknya bagi Valerie.
“Jadi, kau butuh solusi seperti apa?”
“Aku tidak ingin pulang, Rey tidak ingin melihatku lagi. Dalam keadaan seperti ini aku takut anakku dalam bahaya" ucapnya dengan parau, Valerei mengelus rambut lembutnya
“Aku akan menelepon Rey. Jika dia menjawabnya dan memintamu pulang, maka aku akan membawamu pulang tapi jika sebaliknya, kau bisa ikut denganku. Kau bisa memilih.”
Emosi itu terkadang meluap seperti air yang mendidih tetapi bisa tenang jika kompornya di matikan. Jika Rey tidak menginginkannya lagi, maka Valerei bersedia membantunya. Toh, Elena bukan orang luar, dia anak yang dikenalnya, sahabat Ji Hyo. Dia tidak bisa meninggalkan Elena sendiri dalam keadaan hamil. Sebagai sesame wanita yang sudah menikah.
Ponselnya berdering, Rey menelepon.
Nah, belum juga ditelepon, dia sudah lebih dulu. Valerie menjauh dari Elena, dia membuka pintu dan berdiri di koridor.
“Kau sibuk?”
Hal pertama yang dikatakan Rey saat teleponnya tersambung.
“Tidak, ada apa?”
“Bisa kau memberikanku nomer telepon pengacara Jeong?”
“Pengacara Jeong? Untuk apa? Buka—“
Valerie terdiam, dia tidak melanjutkan perkataannya karena mendengar suara wanita. Suara yang membuatnya merinding juga jijik. Dia tidak salah dengar, ******* wanita.
“Rey!?” panggil Valerie dengan suara keras. Untung saja koridor sepi.
“Oh, bisa kau kirimka- ****!”
Dia tidak ingin mendengar apa yang dilakukan pria itu, Valerie langsung menutup teleponnya.
Ponselnya diremas. Dia menutup matanya dan bernafas pelan. Saat dia membuka mata seorang perawat membuatnya kaget.
“Anda baik-baik saja?” katanya ketika melihat wajah wanita itu pucat.
“Ya, terima kasih.”
Dia masuk kembali ke dalam kamar, saat itu ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk. Pesan yang tidak ingin di baca. Rey mengatakan dia ingin bercerai dan dia harus menemui pengacara Jeong sebab pengacara pribadinya sudah di pecat.
Valerie tidak membalas, diabaikan pesan itu dan dia menelepon Frederick.
"Frederick?"
"Ada apa Valerie?"
Pria itu selalu menjawabnya dengan cepat.
"Bisa kau membantuku?"
"Sesuatu terjadi?"
"Ya, sesuatu terjadi, bantu aku mengurus passpord untuk seseorang.”
Dia melihat Elena dan mengakhiri panggilan itu. "Kau akan baik-baik saja, berdoalah kepada tuhanmu.”
...🖤...
Kembali, Valerei datang dengan se-kantong buah. Dia tersenyum memandang wajah cantik milik wanita yang terbaring di ranjang. "Tulat kamu sudah bisa pulang kata suster." ucapnya kepada Elena langsung dibalas anggukan.
"Leon,” sapanya.
"Kak." Elena memanggil
"Hemm" tanpa berbalik, dia asik dengan Leon. Pipi mungilnya adalah target empuk Valerei tapi karena Leon masih kecil jadi dia tidak menyentuh sembarang.
"Maaf merepotkanmu. Sudah hampir setahun kita disini, apa kamu ingin pulang?" tanya dia dengan hati-hati
Valerie langsung berbalik menatap Elena, dengan dahi yang mengerut, Valerei menjawab.
"Pulang? ke indonesia maksudmu? yah, nanti aku pulang saat hari raya."
Dia masih diam bahkan setelah mendengar perkataan Valerei, masih ada yang mengganjal.
"Kenapa? ini pertama kali kau bertanya,"
"Bukan pulang ke Indonesia, maksudku ke Korea." jawab Elena memandang Valerei lalu tertunduk.
"Rindu Suamimu?" tebak Valerei.
Elena langsung menjawabnya. "Bukan begitu, Aku hanya takut merepotkan mu terlalu lama. Kau tahu ini sudah hampir setahun"
"Kau ini bilang apa? kita keluarga, apanya yang merepotkan! lagi pula, aku disini juga kerja, mau ini 1 tahun bahkan lebih, jangan merasa kau merepotkan. Aku berterima kasih karena ada kau dan Leon, aku juga tidak sendiri di negara orang."
"Ini terakhir kalinya kau bilang kalian merepotkan, oke!? Aku tidak pernah berpikir seperti itu!" tandasnya, mengingatkan Elena bahwa tidak ada kata saling merepotkan bagi keluarga.
Sebelum berbicara dengan Valerie. Elena berpikir, wanita itu akan merasa tidak nyaman setelah hampir 1 tahun mereka di negari asing tanpa keluarga dan teman. Tapi setelah berbicara dengan Valerie dan mendengar sendiri perkataannya, hati Elena menjadi lega. Malam itu dan malam-malam setelahnya mereka melewati dengan gembira bersama Leon yang bahkan belum mengerti apa-apa.
...🖤...
Selama bertahun-tahun di negara orang, tidaklah mudah. Elena banyak mengalami kesulitan, mulai dari perinteraksi dengan tetangga karena perbedaan Bahasa dan kultur yang berbeda. Mengingat Elena tidak pernah keluar dari tanah kelahirannya sejak dia kecil. Berbeda halnya dengan Valerie, seringnya dia berpindah-pindah tempat tinggal karena dinas membuatnya sudah terbiasa, dia cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Untuk membuatnya nyaman di negara asing, Valerie banyak menemani Elena melihat-lihat daerah tempat mereka tinggal, termaksud mengajarkan bahasa negara asing dan kebiasaan orang disana. Anak mereka juga tumbuh menjadi anak cerdas. Sebentar lagi usia Leon menginjak 4 tahun, tepatnya, bulan depan. Bayi kecil yang dulu hanya bisa menangis kini sudah mengerti banyak hal, dia benar-benar mirip ayahnya. Mulai dari wajahnya hingga hal yang dia suka dan tidak. Leon adalah fotocopy Rey, versi mini.
Terkadang Elena menjadi khawatir anaknya lebih suka membaca dari pada bermain bersama teman-temannya. Jika melihat anaknya bergulat dengan buku, elena akan memintanya pergi bermain. Kekhawatiran seorang ibu bisa dimaklumi, mengingat Leon masih cukup kecil. Catat! umurnya baru 4 tahun. Dia hanya ingin anaknya lebih banyak bersosialisasi dengan banyak orang, tapi lagi-lagi anak ini lebih suka sendiri.
"Hei, apa yang kau baca nak?" ucap Valerei tertarik. Dia baru saya turun dari kamarnya, melihat Leon sibuk dengan dunianya.
Jika Elena melihatnya, dia akan segera berlari memintanya pergi ke taman bermain bersama teman-temannya. Namun, Leon bukan anak yang suka menghabiskan waktu bermain.
"Uncle Fed memberiku buku baru." sambil memperlihatkan buku.
"Mami mau membacanya?" tambahnya pada mami kesayangannya.
"Bacalah lebih dulu,” ujar Valerie.
Dia ingat beberapa hari yang lalu teman-teman Leon di playgroup memamerkan sepatu baru kepadanya. Eksperesi anak itu tidak terlalu terganggu tetapi hati seorang ibu mau bagaimana lagi.
“Leon ingin dibelikan sepatu baru?" mengelus kepala Leon dengan lembut membuat Leon tersenyum lebar.
Anak pria itu menggeleng setelah Valerie bertanya. "Tidak mami, sepatu Leon masih bagus-yang kemarin juga belum di pakai, sayang uangnya." tolak sopan anak kesayangan Valerei.
Valerei mengangguk, dia selalu diajarkan untuk berhemat. "Leon tidak ingin yang lain?"
Leon berpikir sejenak. "Emm? kalau begitu doakan saja aku supaya jadi anak baik."
"Tentu nak, setiap saat."
Dia kembali melihat kemiripan itu
Saat Leon tersenyum, dia sangat mirip dengan Rey. Apa yang dia lakukan saat anaknya sudah tumbuh sebesar ini, batin Valerei
Melihat wanita di depannya terdiam, membuatnya gemas. "Mami" panggil Leon
"Ya nak?" jawabnya memfokuskan pandangan pada Leon.
"Leon tidak masalah tidak punya Ayah, kalian saja sudah cukup untukku!" katanya dengan memamerkan senyum manis khasnya.
Mendengar perkataan Leon, Valerei memeluknya dengan erat. Ini bukan pertama kali Leon berkata seperti ini. Sebelumnya dia juga pernah menyampaikan hal serupa yang membuat Elena menangis tersedu-sedu.
...🖤...
"Leon belajar apa tadi di kindergarten?" tanya Elena
"Ya mommy? Oh, tadi belajar menggambar wajah, ini sudah selesai. Walaupun tidak juara tapi guru dan teman memuji." tangkasnya dan memberikan selembar gambar yang telah dia selesaikan.
Saat menerima lembar itu Elena tertegun, entah sejak kapan air matanya jatuh berderai. Leon memang tidak pernah menanyakan dimana ayahnya, siapa dan kenapa orang itu tidak pernah hadir dalam hidupnya sejak dia lahir. Dia juga tahu Leon sangat cerdas dan cepat paham akan sesuatu tapi Elena tidak pernah mengira Leon akan menjadi sangat mengerti keadaannya.
‘Aku diminta untuk menggambar rupa ayahku saat perayaan hari ayah, tapi itu tidak mungkin kulakukan mengingat aku tidak pernah melihatnya. Juga tidak pernah terfikir olehku akan menanyakan kepada mommy ku soal bagaimana rupanya, aku takut pertanyaanku akan menyakitinya. Dari pada bertanya soal hal yang akan menyakitinya, aku lebih baik ditertawakan karena tidak punya ayah. Aku akan menjadi anak yang baik walau tanpa ayah.’
...🖤...
Waktu itu Valerei tidak yakin, apakah anak 3 tahun bisa berbicara dan berpikir layaknya orang dewasa, dia juga tidak tahu. Leon mungkin diberikan kecerdasan karena kesabaran ibunya mengurus serta menjaga dia dengan baik bahkan setelah apa yang terjadi. Berkah yang turun dari langit selalu tidak terduga. Leon adalah salah satunya.
Elena masuk kedalam rumah melihat dua orang yang disayanginya saling berpelukan. "Aku tidak diajak?" tanya Elena mengerucutkan bibirnya lucu. Pemandangan itu membuat Valerie dan Leon tertawa.
Valerie menepuk sofa disebelahnya, Elena duduk. Valerie ingat dia harus memberitahu Elena sesuatu. Ragu pada awalnya, dia tahu bagaimana kabar itu akan berpengaruh pada wanita di sampingnya.
"Aku akan ke Korea,"
Setelah Valerie mengucapkan kalimat, suasana menjadi sunyi. Elena bahkan tidak bergerak hanya memandang lurus tanpa bicara. Bukannya mendapat jawaban dari Elena, malah Leon yang bersuara.
"Mami ada kegiatan disana?" Leon penasaran.
Tersenyum dan mengelus kepala Leon. "Iya nak, mami dapat panggilan ke Korea. Leon mau berjanji sama mami?" ucap Valerie
"Apapun mami." jawab Leon.
"Selama mami pergi keluar, akan ada aunty dan uncle yang menjaga kalian disini. Mereka orang-orang yang bekerja untuk Uncle Fed, kalau ada apa-apa langsung telfon mami, oke?"
Anak laki-laki itu mengangguk.
Leon anak yang mengerti. Pekerjaan Valerie akan menuntut mereka berpisah beberapa saat, apalagi jika sudah menginjak pertengahan tahun. Dia bisa menghabiskan waktunya di luar selama 1 bulan.
"Jangan buka pintu untuk sembarang orang, jangan mengikuti orang asing, oke?" wejangan yang selalu Valerei sampaikan.
Mengangkat tangannya hormat. "Siap mami, jadi kapan mami pulang?" tanya Leon lagi. Valerei juga belum tahu kapan dia akan pulang. "Setelah urusan mami selesai, mami pasti langsung pulang." dia ingin menenangkan hati keduanya.
Valerei beralih memandang Elena dan memegang tangannya kemudian berkata. "Elena, hanya sebentar, oke?" mendengar perkataan Valerei, Elena hanya mengangguk.
"Minggu depan Fed akan kesini. Besok pengawal Fed sudah tiba, jadi jangan khawatir. Aku juga akan baik-baik saja disana. Jangan terlalu banyak berfikir. Semua baik-baik saja, berdoalah pada maha pencipta untuk keselamatan kita. " Valerei berusaha menenangkan Elena.
"Jadi kapan kamu berangkat?" tanya Elena
"Besok pagi, Fred sudah meminta seseorang untuk menjemputku"
Valerie juga berat meninggalkan mereka, dia selalu dihantui ketakutan seseorang menculik keduanya.
"Aku akan sering menelfon" Valerei memeluk wanita yang sudah dia anggap sebagai adik. Di dalam hati Valerei khawatir pasti ada, apalagi dia harus meninggalkan Elena dan Leon cukup lama. Melihat respon Elena dia harus menyelesaikan urusan di Korea sesegera mungkin.
...🖤...
Keesokan hari, walau Elena khawatir tapi semalam dialah yang heboh mempersiapkan perlengkapan Valerei, mulai dari baju, sepatu, tas dan beberapa lagi perlengkapan yang dia pikir akan dibutuhkan.
"Nona anda sudah siap?" tanya pengawal Fed, dia Gustoni.
"Ya, mari" jawab Valerei, sebelum masuk ke mobil, wanita itu berbalik dan memeluk Leon dan Elena
"Aku akan menelfon saat tiba." ucapnya dan masuk ke dalam mobil.
Selama hampir 5 tahun mereka di sini, Valerei hanya meninggalkan Elena dan Leon jika ada dinas, tetapi dinas sudah punya waktu yang ditentukan jadi dia tahu kapan harus pulang. Berbeda dengan kali ini. Kekhawatiran yang dia rasakan adalah hal yang wajar.
Pandangan mata Elena pada mobil di depan semakin buram, Dia menjadi penasaran, apakah Valerie akan bertemu dengan Rey?
"Mommy?" panggil Leon menarik-narik dress milik Elena pelan.
"Ya nak?" walau dia menjawab tapi pandangan matanya masih tetap sama.
"Mommy?" lagi, Leon memanggil.
Kali ini, dia melihat Leon. "Kenapa nak?"
"Kata Uncle Fed, kita harus berusaha agar tidak terlihat sedih walau sedih, agar orang itu tidak ikut sedih."
Elena memiringkan wajahnya. "Uncle mu berkata seperti itu?"
Leon mengangguk tegas. "Kadang, kita juga harus mengungkapkan kesedihan agar orang itu tahu."
Dia beruntung memiliki Leon, Valerie dan Frederick. Sesuatu mengisi hatinya yang terluka sempat kabur oleh masa kelam.
Leon tahu ibunya memandang masa lalu, dia lalu menarik tangan Elena untuk mengikutinya, hari-hari tanpa Valerei dimulai dari sekarang.
...^^^...^^^🖤^^^...^^^...
"Tuan, pesawatnya akan berangkat sebentar lagi." pengawal itu masuk, membungkuk melaporkan tugasnya.
"Kau tahu harus apa" singkat
Pria itu berdiri dari singgasana yang megah, memakai jas dan berjalan menuju pintu besar ruangan kerja miliknya.
"Pastikan tidak ada yang tahu kedatangannya kali ini!"
"Dimengerti"
...🖤...
Incheon Internasional Airport (ICN) / Bandar Udara Internasional Incheon
Seorang wanita dengan balutan dress berwarna biru muda memancarkan aura menyegarkan dan ramah. Dia berjalan keluar sembari melihat-lihat sekitar. Sudah lama tidak menginjakkan kaki di Korea akhirnya kembali juga waktu itu. Dia duduk di kursi tunggu untuk mengaktifkan ponselnya. Baru saja aktif, bunyi pesan masuk tidak terkendali hingga dia harus mengheningkan aturan ponselnya.
Beberapa pesan itu ditujukan pada masalah kerjaan dan beberapa untuk urusan pribadi. Salah satu yang paling mencolok adalah pesan dari temannya yang berada di Indonesia. Dia mengatakan bahwa pernikahannya akan diadakan sebentar lagi dan dia berusaha mengundang Valerei tapi sayang, undangan itu tidak sampai kepadanya. Jadi, dia bermaksud untuk mengirimkan undangan lewat WhatsApp.
Valerei tersenyum, dia membalas pesannya dengan mendoakan kebahagiaan kedua orang itu dan meminta nomor rekening, karena tidak bisa menghadiri acara teman baiknya saat kuliah. Lalu pesan lainnya yang tidak kalah heboh adalah pesan dari temannya yang tinggal di negara yang sama. Di sana, dia menulis ulang tahunnya sebentar lagi, kalau-kalau Valerei berniat menghadiahi lebih baik dia dikenalkan pada teman pria yang jomblo.
Banyak sekali tingkah lucu teman-teman Sekolahnya. Saat dia sedang dalam keadaan kacau karena pekerjaan, Valerei kembali membaca pesan yang dianggap lucu untuk memulihkan kembali moodnya yang baru saja rusak. Saat dia akan mematikan kembali ponselnya, sebuah pesan masuk.
Tring
^^^Frederick^^^
^^^- Aku akan berangkat lebih cepat, pekerjaanku sudah beres disini.^^^
Setelah membaca pesan yang di kirim Frederick, wanita itu berdiri dan berjalan cukup lama. Saat dia akan memanggil taksi, beberapa pria berjas hitam menghalangi pandangan matanya.
"Nyonya?” panggil salah satu pengawal itu. Dua dari belakang mendekat.
Wanita itu berbalik. "Ya?" matanya menyelidik, memperhatikan tiga pria sedang berjalan ke arahnya.
"Tuan meminta anda pulang ke mansion" jawabnya dia tidak tersenyum, kaku.
Valerei diam, tidak tahu bagaimana dia harus bereaksi. Sikap pengawal ini mirip sekali dengan seseorang. Dia mengikuti saja, toh bukan orang jahat kata Valerei dalam hati.
"Mari Nyonya" pengawal bernama Are mengarahkan Valerei untuk naik ke mobil.
...🖤...
Dalam mobil, Valerei memandang keluar jendela. Sudah hampir 5 tahun dia meninggalkan Korea, rasanya baru kemarin dia pergi. Beberapa menit telah berlalu, mobil itu melewati daerah apartemennya. Teringat harus mengambil sesuatu, dia menepuk belakang jok Han. "Saya ingin ke apartemen mengambil barang, bisa kalian berhenti sebentar?"
Dua orang berbaju hitam di depan saling bertukar pandang lalu seorang yang bernama Han menoleh memberikan kode kepada Are yang duduk di samping Valerei untuk menjawab.
"Maaf Nyonya tapi sepertinya kita tidak bisa kesana." tangkasnya
"Hanya sebentar juga tidak bisa? saya hanya ingin mengambil barang, hanya sebentar." jawab Valerei dengan tegas
Han kebingungan, tidak mungkin dia melanggar perintah bosnya. Jadi dia berbohong supaya Valerei tidak pergi ke apartemennya. "Tapi Nyonya, apartemen itu sudah dijual!" Dia berpikir Valerei bisa dibodohi dengan muda.
"Oh ya? Apartemen itu dibeli atas nama saya loh, aneh bukan kalau Darren jual apartemen saya tanpa berdiskusi!" Sahut Valerei.
Are menatap ke depan, alasan Han benar-benar tidak masuk akal.
"Ayo ke apartemen" Ujar dia semangat. Valerei ragu suaminya akan menjual barang ataupun properti miliknya.
"Tapi Nyonya, Tuan pasti marah kalau kami tidak mengantar anda langsung ke mansion" ucap Han
"Tidak perlu khawatir, dia tidak akan marah. Ayo" Varelie santai, menunjuk salah satu apartemen.
"Kalian mau ikut keatas atau tunggu di mobil?" tanya Valerei saat membuka pintu dan turun dari mobil
"Kami ikut ke atas, Nyonya" jawab mereka lucu.
"Takut hilang saya pak?" ucap Valerei bercanda.
“Ayo!" mengangkat tangan kode untuk mengikutinya.
Di Apartemen
"Apa lagi yah?" dia berbicara pada diri sendiri dengan pelan. "Hhmm, Ah bantal!” jawabnya menjentikkan jari. Valerei berlari pelan menuju kamar mengambil bantal kesayangannya.
"Kenapa Nyonya mengambil bantal? Memang di mansion tidak ada?" supir yang mengantar itu tertawa tipis. Valerei mendengar Han bicara, Samar-samar. "Soalnya bantal disana beda, tidak ada seperti ini." dia memperlihatkan bantal beruang dan panda tengkurap miliknya.
"Oh iya yah, Tuan tidak mungkin punya bantal lucu seperti itu, Tuan kan seram." sadar akan perkataannya han menutup mulutnya rapat. Semua orang di apartemen itu terdiam lalu tertawa dengan keras mendengar kejujuran yang terpendam dari Han.
"Kau sepertinya harus siap-siap menganggur Han!" jelas supir itu dengan wajah yang dibuat-buat kasihan.
Han yang sadar akan itu langsung melihat Valerei dengan wajah yang melas. "Nyonya, bisakah kau membiarkan ini berlalu? Sekali saja?" Han dengan wajah suram menggoyangkan telunjuknya ke atas sambil memohon agar tidak diadukan pada Bosnya itu.
Valerei yang tadinya tertawa kini berhenti, merasa iba juga lucu. Yah, dia tahu suaminya itu tegas, tapi tidak mungkin hanya karena perkataan Han yang ada benarnya dia akan dipecat. Tentu saja bagi seorang pegawai ada kalanya bos terlihat seram. Itu wajar.
"Baiklah. Ayo nanti suamiku yang Seram marah" Valerei kembali tertawa dan berjalan keluar apartemen, para pengawal dibelakangnya hanya menggeleng melihat tingkah istri dari bosnya ini.
...🖤...
...🎶🎶hanado duldo ani urin sesirame, hanado duldo anin hanado duldo anin 🎶🎶...
Varelie terkejut, mencari sumber suara. Siapa yang menyetel lagu sangat keras di dalam mobil. Valerei melirik radio mobil yang tidak menyala. Dia tetap mencarinya sampai lagu itu berhenti dan berganti dengan suara Han sedang berbicara dengan seseorang lewat Telepon. Valerei menoleh berbicara kepada Are. "Barusan itu, ringtone Han?" tanya valerei penasaran.
Are mengangguk kecil, dia melihat ada senyum yang samar, sangat samar. "Iya, Nyonya."
Varelie mengangguk mengerti, lagu ini mengingatkannya akan Variety show korea yang berjudul "The Return Of Superman, Triplets" tiga anak kembar benar-benar menggemaskan. Aku juga ingin anak kembar, batin Valerei bersuara.
...🖤...
Rumah mewah berdiri kokoh dihadapannya. Wanita itu turun dari mobil dan memandang sekitar mansion. "Banyak yang telah berubah!" katanya, dia berjalan memasuki rumah tapi langkahnya terhenti saat seseorang dengan riang bersenandung sambil merangkai bunga.
Tidak terlalu jelas melihat wajahnya. Valerei bertanya. "Siapa wanita itu?"
"Dia seorang pengawal sama seperti kami, Nyonya." jawab Are.
Dia melihat sekeliling mansion banyak pengawal yang berdiri berjaga. Valerei bingung bukan karena seorang pengawal wanita tidak boleh merangkai bunga. Bahkan ada pengawal wanita yang sedang berjaga juga, tapi anehnya satu dari mereka ada disana dengan riang merangkai bunga.
"Bukankah dia tampak seperti Nyonya rumah?" ucapnya pelan tanpa terdengar.
Bahkan beberapa pengawal wanita melihatnya dengan aneh, seperti mengatakan 'seharusnya dia sama seperti kami!' Rasa-rasanya ada yang aneh, dia bisa merasakan nuansanya.
Valerei ingin bertanya lebih lanjut tapi Are lebih dulu memintanya untuk masuk "Silahkan Nyonya, Tuan sudah menunggu anda." ucapnya mempersilahkan, wanita ini mengikuti Are tapi pikirannya masih tertuju pada pengawal wanita di taman tadi.
...🖤...
Siapakah wanita itu?
Apa hubungannya dengan Tuan rumah?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!