Dentuman keras terdengar di langit kota Jakarta, sebuah mobil yang mengangkut bahan bakar minyak tiba-tiba menabrak rumah warga, beruntungnya tidak ada korban jiwa, namun mobil tersebut meledak seperti bom.
"astagfirullah, suara apa itu?" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang melakukan transaksi jual beli di sebuah warung sembako.
"mobil, remnya blong, untung supirnya selamet buk, kasian, mobilnya Tanki penuh bensin". jawab seorang ibu-ibu yang lain.
Kala itu Raina sedang berjalan gontai mendorong sepedanya yang mengalami pecah ban, dia sama sekali tidak tertarik dengan keramaian yang tiba-tiba terbentuk setelah adanya kecelakaan.
Langkah kakinya semakin dia percepat, mengingat bahwa dia harus menyiapkan makan malam.
Raina hidup berdua dengan bapaknya setelah ibunya meninggal 2 bulan yang lalu, akibat sakit demam berdarah yang terlambat di tangani.
Mereka hidup dalam kemelaratan yang sangat menyedihkan, pak Mada bapaknya Raina hanya seorang pegawai TU di sebuah sekolahan swasta. Sekolahan tempat pak Mada berkerja memang sekolah elit, namun gaji yang ia terima hanya sedikit.
Raina terpaksa berhenti kuliah sebelum masuk ke semester dua, jurusan Kebidanan yang memakan banyak biaya, meskipun Raina mendapat beasiswa untuk masuk, tapi seterusnya dia harus membayar dengan uangnya sendiri.
Setelah berunding dengan bapaknya, Raina memutuskan untuk berhenti kuliah, meski kecewa, namun memaksa untuk tetap sekolah juga di rasa tidak mungkin, karena untuk biaya makan sehari-hari saja masih harus berhutang kesana-sini.
Kini Raina bekerja di sebuah toko alat kosmetik yang ada di pasar gajinya tidak seberapa, tapi lumayan untuk menyambung hidup, setidaknya mereka bisa makan sehari tiga kali.
Setelah hampir satu jam Raina mendorong sepedanya, dia sampai di sebuah rumah kecil di lingkungan padat penduduk, kumuh dan bau sampah menyengat seolah menyambut kepulangan Raina.
Bibirnya tersenyum kecut, ketika melihat motor bebek tua milik bapaknya, ternyata sedang ada tamu, karena ada sepatu lain di depan pintu.
"assalamualaikum". Rena memberi salam sesaat sebelum masuk kerumah.
"walaikumsalam". jawab pak Mada dan kedua orang tamunya berbarengan.
"kebetulan Rain,buatkan bapak-bapak ini minuman"
"iya pak". Raina meninggalkan mereka untuk membuat tiga gelas kopi setelah berganti baju terlebih dahulu.
Sebelum Raina keluar, dia mendengar percakapan bapaknya dan dua orang tadi, samar-samar namun jelas inti permasalahannya.
"pak, saya di fitnah, saya tidak pernah melakukan korupsi, jika saya korupsi hidup kami tidak akan hidup se-melarat ini". pak Mada membela diri.
"nanti jelaskan di Kantor saja ya pak, kami tidak bisa membantu".kata dari salah satu pria tamunya pak Mada.
Tiga gelas kopi yang dia bawa berdentingan saling bersentuhan satu sama lain, Tangan Raina gemetar hebat usai mendengar percakapan ketiga orang diluar barusan.
"rain, bapak mau ke kantor polisi dulu, doakan bapak semoga cepat pulang".
"emangnya bapak kenapa?"
"ada salah paham Rain, kamu harus percaya sama bapak". laki-laki dengan sorot mata teduh itu meyakinkan putrinya.
"bapak nanti pulang kan?"
"belum tau nak, ini buat pegangan, semoga bapak bisa cepat pulang".
"pak, kalau boleh saya tau, kenapa bapak saya di bawa?"
"ini surat perintah penangkapan nya dek, bapak adek di tuduh melakukan tindak pidana korupsi di sekolahannya".
"ko.. korupsi? bagaimana bisa?. Raina membuka lembaran kertas yang di lipan dengan lipatan khas surat-surat resmi. Dengan lambang kepolisian di kop suratnya, Raina membaca dengan seksama. "tuduhan penggelapan dana Bantuan operasional sebesar 5 milyar rupiah".
"kami hanya menjalankan tugas, semoga tuduhannya tidak terbukti, dengan melihat rumah kalian, saya sebagai manusia juga tidak yakin dengan tuduhan itu". pria tadi terlihat iba melihat raina, bibirnya bergetar ketika berpamitan untuk membawa pak Mada.
"rain, jaga diri baik-baik, bapak janji akan segera pulang, bapak nggak salah, insyaallah nanti malam bapak pulang".
"iya pak, bapak harus pulang, Raina nungguin bapak".
Kedua anak beranak itu menangis ketika harus melepas satu sama lain di ujung gang rumahnya.
Dari jendela mobil pak Mada masih menatap lekat pada Raina,sedangkan Raina terus menerus mengusap air mata yang menggenangi pelupuk matanya.
Pak Mada mengangguk kecil, seolah meyakinkan putrinya sekali lagi, bahwa dirinya hanyalah korban fitnah belaka.
Setelah bapaknya pergi di bawa dua orang tadi, Raina membuka gulungan uang yang ada di genggaman tangannya, dua lembar uang seratus ribuan, dan beberapa lembar uang pecahan,Rp 253.000, Air matanya mulai mengalir pedih sekali hatinya, bagaimana bisa di tuduh korupsi jika uang bapaknya hanya ini, belum lagi untuk membayar tagihan listrik dan air pasti sudah habis dan mereka harus kembali berhutang lagi.
-
Sudah melebihi tengah malam, Raina masih terjaga menunggu bapaknya pulang, matanya bengkak karena menangis tanpa henti sedari penjemputan bapak nya tadi.
Dadanya sesak, kepalanya pening bukan main, meski beberapa kali dia mencoba memejamkan mata tapi kantukpun seolah meninggalkannya sendiri, seperti orang-orang yang dia sayangi, ibu dan adiknya Awan. Jika ibunya meninggal karena sakit, maka adiknya Awan, meninggal di usia 8 tahun karena tertimbun tanah galian proyek saat bermain.
Raina menghela nafas dalam-dalam, membayangkan apa yang terjadi pada bapaknya saat ini. Tidak ada yang bisa dia harapkan selain dirinya sendiri.
Bahkan tali silaturahmi dengan sanak saudara pun sudah lama terputus, keterbatasan alat komunikasi yang menjadi kendala.
Di tengah kekacauan perasaannya, Raina bangkit, mengambil air wudhu, dua rakaat yang biasa dia lakukan mungkin bisa membantu membuatnya tenang.
Raina menggelar sajadah lusuh di atas tikar yang sama lusuhnya, mukena yang dia kenakan pun telah usang peninggalan ibunya. Bagaimana bisa mereka memfitnah bapaknya korupsi, jika peralatan yang dia gunakan untuk menghadap Tuhannya saja semenyedihkan ini.
Setelah selesai sholat Raina, menatap lantai semen yang mulai mengelupas, meninggalkan lubang-lubang yang semakin hari kian melebar, Dinding kayu lapuk, serta perabotan seadanya, jika memang bapaknya korupsi tidak akan dia tinggal di tempat seperti ini.
Malam yang begitu panjang telah terlewati sepertiganya, Raina merebahkan badan di atas sajadah masih lengkap dengan mukena. Tak lama kemudian matanya memberat, kantuk datang setelah hatinya sedikit tenang.
Mata Raina masih berat enggan terbuka, tapi langsung bangun seketika teringat dengan bapaknya, sudah jam 7, Raina segera mandi dan menyiapkan bekal untuk di antarkan ke kantor polisi tempat bapaknya berada.
Karena sepedanya pecah ban dan tidak mungkin untuk naik kendaraan umum, Raina memilih menaiki motor bebek tua milik bapaknya, motor bebek tua dengan asap mengepul dari knalpotnya, suara berisik memekakkan telinga, bau terbakar mengganggu pernafasan tidak dia hiraukan, yang dia pikirkan hanya segera bertemu dengan bapaknya.
"selamat pagi ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang polwan cantik pada Raina yang terlihat kebingungan di depan kantor polisi.
"bu, saya mau bertemu bapak saya".
"mari ikut saya ke meja saya". polisi itu menuntun Raina ke meja kerjanya.
"siapa nama bapak adek?" Tanya bu polwan ketika telah duduk di singgah sananya.
"Mada Prasetya Bu".
"oke, sebentar ya saya Carikan datanya". Bu polwan cantik tadi mengetik sesuatu di komputernya, lalu mengernyit menunjukan sesuatu yang tidak baik harus di sampaikan pada Raina.
"ehhmm.. begini dek, karena bapaknya masih dalam masa interogasi maka belum boleh di kunjungi". nada bicaranya di buat selembut mungkin agar tak menyakiti hati Raina.
"tapi bapak saya kan tidak bersalah bu". Raina mulai merasakan sesak di hatinya
"jika memang tidak bersalah, paling lambat besok sudah pulang dek, kamu pulang saja dulu, besok kemari lagi kalo memang bapak kamu belum pulang". polwan itu tersenyum tulus pada Raina.
"tapi saya boleh tau kabar bapak saya kan Bu?"
"sayang sekali dek, tapi beliau di larang berkomunikasi dengan siapapun saat ini".
Raina menangis, mencoba menyembunyikan air matanya dari sang polwan, tapi tak berhasil, dia sesegukan karena meredam suara tangisnya.
"begini saja, saya coba hubungi teman saya yang bertugas menangani kasus ini ya dek".
"terima kasih Bu". Raina menunggu polwan tadi menelpon seseorang.
"halo, mas Bram, ini ada yang mencari pak Mada, bagaimana keadaan pak Mada? apa baik-baik saja?"
'iya, pak Mada baik, beliau bekerja sama dengan sangat baik, suasana kondusif, nanti kalau tidak ada bukti beliau akan di pulangkan'
"terima kasih mas Bram". polwan itu menutup telpon, Raina bisa mendengar semuanya, karena tadi Bu polwan menekan tombol speaker saat telepon.
"saya tidak bisa membantu lagi dek, kamu pulang saja ya?"
"ini? saya titip buat bapak ya buk".Raina mengulurkan rantang dan satu termos kecil berisi teh tawar kesukaan bapaknya.
"nggak bisa dek, makanan dari luar juga tidak di ijinkan untuk orang yang masih di interogasi lagi pula di sini pak Mada di jamin kesehatannya dek kamu tenang saja". sekali lagi, senyum ramah nan menenangkan di berikan polwan cantik itu pada Raina.
"terima kasih Bu, kalau begitu saya permisi".
Raina pulang dengan mengendarai motor tua bapaknya lagi,dengan hati kecewa karena tidak bisa bertemu dengan pak Mada, walaupun dia sudah mendengar sendiri bahwa keadaan pak Mada baik-baik saja.
-
karena jarak yang di tempuh lumayan jauh, Raina mengendarai kendaran bapaknya dengan kecepatan penuh, berharap segera sampai ke rumahnya, tapi keadaan di luar kendali, seolah dunia mendukung kesengsaraan Raina, motor bapaknya tiba-tiba mati ketika hampir sampai pada gerbang desanya.
Raina mendorong motor bapaknya yang berat dengan peluh bercucuran di pelipisnya, dia menyerah, berhenti sejenak meneguk teh tawar yang tadi dia bawakan untuk bapaknya.
Pahitnya teh tawar masih bisa di telan dengan mudah oleh kerongkongan Raina, tapi pahitnya kehidupan seolah mencekik Raina tiada henti.
Dengan berat hati Raina bangkit dan kembali mendorong motor yang tadi mengantarnya ke kantor polisi itu, panas terik matahari menambah derita Raina, melengkapi cobaan yang Tuhan berikan padanya.
Terlihat dari jauh seorang bapak-bapak yang telah berumur berdiri di pinggir jalan melambai kepada setiap orang yang lewat tapi tak ada satupun yang memperdulikannya.
"dek, bantu saya dek". Kata bapak tua itu kepada Raina saat Raina sampai di dekatnya.
"bapak kenapa?"
"saya di rampok dek, mobil dan semua benda berharga saya di ambil sama perampoknya, sekarang saya nggak tau jalan pulang".
"memangnya bapak mau pulang kemana?"
"Situbondo dek, bisakah adek mengantar saya ke kantor polisi terdekat? saya akan meminta bantuan dari sana".
Kruyyukk
Terdengar bunyi perut bapak tua yang ada di depan Raina, wajahnya putih bersih khas orang kaya, rambutnya hitam seperti baru di semir, namun bapak tua itu hanya mengenakan kaus kutang dan celana pendek warna putih, membuat Raina iba. Raina teringat pada nasib bapaknya saat ini.
"bapak duduk dulu disini, makan ini dulu pak, saya pulang dulu ambil baju buat bapak, nanti saya kesini lagi, saya antar bapak pos polisi yang ada di ujung jalan ini". Raina segera menyerahkan tantang yang tadi dia bawa, isinya adalah nasi, tumis kacang panjang, tempe dan telur goreng.
"terima kasih dek"
Beberapa saat kemudian, Raina telah kembali menghampiri bapak tua itu beliau sudah selesai makan, rantang yang tadi di bawa Raina telah kosong, isinya habis tak tersisa.
"pak, pakai ini dulu pak". Raina mengulurkan sebuah celana panjang, kaos dan jaket hadiah sepeda motor milik bapaknya."maaf ya pak, pakaian ini milik bapak saya, setidaknya masih layak". Raina menunduk malu memberikan pakaian lusuh itu kepadanya.
"nama adek siapa?"
"saya Raina pak, bapak namanya siapa?"
"saya William, William Sebastian". pak William telah selesai memakai pakaian yang tadi di bawa Raina. "kenapa adek mau menolong saya?"
"saya hanya melakukan hal kecil pak".
"bisa saja saya adalah orang jahat yang sedang menyamar, kamu tidak takut?"
"Lillahi Ta'ala. pak, jika bapak orang jahat semoga bapak berubah suatu hari nanti".
Raina membimbing langkah pak William, hingga akhirnya mereka sampai ke sebuah pos polisi, hanya ada 2 polisi yang berjaga disana.
"ternyata dekat ya dek, saya kira jauh".
"iya pak kalo kantor polisi memang jauh, saya juga tadi dari sana".
"ngapain?"
"mau jenguk bapak saya tapi ternyata di ijinkan pak". Raina kembali teringat pada bapaknya, air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya.
"selamat pagi pak". Raina memberanikan diri menyapa seorang polisi yang terlihat garang.
"ada apa?" jawab polisi gendut dengan ketus.
"ini pak, pak William kemarin di rampok terus sekarang kesasar sampai sini".
"di rampok?" polisi gendut tadi melihat pak William dari ujung kepala sampai kaki, melihat pakaiannya yang mengenaskan.
"iya pak, tolong bantu pak, beliau ingin pulang ke Situbondo". Raina memohon pada ke dua polisi tadi.
"bantu saya pak, tolong sambungkan saya pada Polda Jatim".
"Polda? ngapain telpon Polda? ngga usah aneh-aneh lah pak". kata polisi tinggi kurus teman si polisi gendut.
"tolong hubungkan saja, bilang bahwa William Sebastian ada di sini". kata pak William dengan nada tegas, berbeda saat berbicara dengan Raina.
Ke dua polisi tadi mengacuhkan Raina dan pak william, malah tertawa sembari melihat Cewek ABG pamer **.
"pak, permisi, bisa bantu pak William?"
"apa sih, udah sana pulang, orang gila kaya dia nggak usah di ladenin, nanti kamu ketularan". polisi gendut menggerakkan dagunya ke arah pak William.
"pak, saya buat iklan di Instagram aja ya, siapa tau keluarga bapak nyariin". ucap Raina memberi saran.
"jangan rain, nanti banyak kekacauan kalo semua orang tau bapak di rampok". jawab pak William yang khawatir.
"kenapa pak?"
"nanti bapak jelaskan rain". Raina hanya mengangguk."pak, bapak hafal nomer keluarga bapak nggak?" lanjut Raina lagi.
"bapak cuma hafal nomer anak bapak rain, tapi bapak nggak yakin dia mau ngangkat telpon orang asing". pak William terlihat putus asa.
"kita coba saja dulu pak, berapa nomornya".
"0813 6245 xxx"
Tut Tut Tut
"nyambung pak, tapi belum di angkat".
Tut Tut tut
Percobaan ke dua masih sama.
"nama anak nya pak William siapa pak?"
"Allan, Allan Sebastian".
mas Allan, saya sedang bersama pak William, beliau di rampok lalu sekarang sedang bersama saya.
Raina mengirim pesan tadi kepada Allan tak lupa melampirkan foto pak William, namun tetap tidak ada balasan.
sekali lagi, Raina menghubungi nomor yang pak William berikan.
Tut..
"halo ..". Raina segera memberikan telpon ke pak William ketika di jawab oleh Allan.
"hallo Allan, ini papa, papa sekarang ada di.. rain ini dimana?"
"di kampung rawa Jakarta pak".
"kampung rawa Jakarta Al, kamu jemput papa kesini, sekarang, biar Raina mengirim lokasi kami"
"baik pa".
Pak William mematikan telpon dan meminta Raina mengirim lokasi mereka ke Allan melalui aplikasi WA.
-
Raina mengajak pak William untuk beristirahat di rumahnya, sembari menunggu Allan menjemputnya.
"silahkan pak di minum dulu, atau bapak kalau mau mandi silahkan ke belakang, nanti saya pinjami pakaian bapak saya".
"bapak mandi dulu Rain sudah 3 hari nggak mandi".
20menit kemudian, pak William dan Raina duduk di ruang tamu, pak William teringat cerita Raina yang tadi bilang bahwa dia ke kantor polisi.
"oh iya rain, kamu bilang tadi kamu ke kantor polisi, ada urusan apa?"
"Bapak saya di tangkap polisi pak, tuduhannya karena bapak saya di fitnah korupsi"
"korupsi?" pak William mengedarkan pandangan ke dalam rumah Raina, mencari adanya tanda-tanda korupsi.
"jika bapak saya memang korupsi apa mungkin kami tinggal di rumah seperti ini pak?" Raina mulai ingin menangis lagi.
"rain, bapak janji nanti setelah Allan jemput bapak, bapak akan menyelidiki kasus bapak kamu".
"benar pak?" mata Raina berbinar-binar, seolah baru saja ada keajaiban datang kepadanya.
"iya, bapak akan berusaha sekuat tenaga membebaskan bapak kamu, dan jika memang bapak kamu di fitnah, bapak sendiri yang akan menjebloskan pelakunya ke penjara". tangan pak William mengepal kuat.
"bapak sendiri bagaimana bisa sampai ke sini?"
"saat itu bapak sedang dalam perjalanan dinas ke Semarang, tiba-tiba mobil yang bapak naiki bersama ajudan bapak di rampok, bapak di buang di tengah alas Roban dalam keadaan pingsan, hanya tinggal mengenakan pakaian dalam seperti yang kamu lihat tadi, lalu bapak menumpang sebuah mobil truk hingga ke Jakarta, karena menurut bapak, di Jakarta akan lebih banyak orang, jadi lebih mudah meminta bantuan, tapi ternyata disini lebih sulit menemukan orang baik daripada di alas Roban".
"yang sabar ya pak, tapi kenapa bapak nggak dicari sama keluarga bapak".
"perkejaan bapak memang sering pergi tanpa memberi tahu keluarga rain, semacam melakukan misi rahasia".
"ah, begitu pak, resikonya ngga di cari ya pak kalo ilang". Raina sedikit tertawa, mencairkan suasana dan remuk redam di hatinya.
"iya rain, berkat kamu saya nggak jadi hilang sekarang, terima kasih rain". pak William juga ikut tertawa.
"sama-sama pak".
-
"assalamualaikum"
"walaikumsalam". Raina membuka pintu, terdapat tiga orang pria berperawakan tinggi gagah di hadapannya.
"Anda anak pak William?" tanya Raina menerka-nerka.
"iya, saya Allan, dimana bapak saya?"
"sedang istirahat di dalam, mari masuk" Raina membimbing Allan masuk ke dalam tempat bapaknya berbaring di ranjang bambu depan televisi.
"pah, papa bangun pa". Allan menggoyang pelan tubuh pak William.
"ah, Al kau sudah sampai?"
"iya pa, papa baik-baik saja?"
"papa baik Al, kenalin ini Raina yang bantu papa".
"Raina"
"Allan" mereka berjabat tangan.
Setelah mengobrol beberapa saat, Allan mengajak pak William pulang, pak William juga setuju, tubuhnya sudah terlalu lelah.
"simpan nomor saya, telpon jika aja hal penting, kasus bapak kamu, biar papa yang tangani, tenang saja". Raina mengangguk.
"rain, selama bapak kamu belum pulang, gunakan ini untuk pegangan". pak William memberikan sejumlah uang untuk rain, tapi Raina menolaknya.
"jangan pak, nggak usah, Raina ikhlas bantu bapak".
Pak William yang tidak ingin menyinggung hati Raina hanya menarik kembali tangannya. Ke iklasan Raina menyentuh hati pak William, tapi tidak dengan Allan, dalam hatinya dia berkata 'udah miskin, belagu lagi' .
"rain, bapak pulang dulu, nanti kalo ada apa-apa telpon Allan ya, semoga kita ketemu dalam keadaan baik tidak ada hal mendesak atau apapun".
"amin, hati-hati pak".
"iya rain, kamu juga hati-hati di rumah sendiri".
-
Sepulangnya pak William dan Allan, rain sedikit lebih tenang, setidaknya kini ada orang lain yang akan menyelesaikan kasus bapaknya, tapi pikiran Raina justru melenceng jauh dari masalahnya, yaitu pada Allan, laki-laki dewasa dengan umur sekitar 35an yang tampan, dewasa, namun tdrlihat dingin.
Raina menutup wajahnya, memarahi dirinya sendiri yang bisa-bisanya memikirkan laki-laki dalam keadaan seperti ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!