NovelToon NovelToon

Hidden Love

Pagiku

Kicauan burung memenuhi pagi ketika seorang gadis baru saja membuka mata. Mentari belum menampakkan diri, waktu juga masih menunjukkan pukul 06.00 WITA. Tapi, Dyana sudah bangun untuk bersiap-siap ke sekolah.

Dyana masih bungkam seribu bahasa. Dia masih mencoba mengumpulkan kesadarannya. Bisa dibilang kebiasaannya setiap pagi menghayal. Setelah beberapa menit dia baru akan pergi mandi. Meskipun pagi ini Dyana masih merasa sangat ngantuk tapi dia memaksa dirinya untuk tetap bersemangat.

Setelah siap , Dyana yang akrab disapa Dy langsung mengayuh sepedanya menuju sekolah. Perlahan sepeda yang dinaiki Dyana menjauh dari rumah sederhana di ujung gang. Ibunya terus memandangi anaknya itu dengan tatapan heran. Bagaimana tidak, Dyana yang sudah SMA masih saja menguncir rambutnya yang pirang. Warna rambut itu diwariskan oleh Almarhum Bapaknya.

Setelah lima belas menit perjalanan, akhirnya Dyana sampai di SMA N 1 TJ. Dyana yang baru memasuki gerbang seakan disambut siswa-siswi dengan tatapan heran seperti baru kali ini ada siswa SMA yang yang datang menaiki sepeda.

Dyana tak mempedulikan itu semua. Ia langsung memarkirkan sepedanya layak seperti motor-motor lain.

Baru saja Dyana memarkirkan sepedanya, tiba-tiba sahabatnya memanggil menyuruh cepat. Mimiknya menandakan seperti mengatakan sesuatu yang mendesak. Tentunya Dyana yang penasaran langsung berlari menuju ke sumber suara.

Dewi mengisyaratkan Dyana untuk berhati-hati tapi Dyana menghiraukannnya. Saking terlalu fokus ke satu arah, Dyana tak sengaja menabrak seseorang yang baru lewat. Dy terjatuh, lututnya menghantam kerasnya tanah.

"Aduh!" pekik Dyana memejamkan matanya takut. Dulu ia pernah dengan tak sengaja menabrak orang lalu dia dipukul karena menghancurkan belanjaan wanita tersebut.

Melihat gadis yang di depannya terjatuh. Cowok yang tetap berdiri tegak berniat membantu Dyana.

"Hey, kamu tidak apa-apa? Sini aku bantu." Katanya sambil mengulurkan tangan.

Mendengar suara itu, Dyana akhirnya berani melihat melihat siapa yang ia tabrak. Dy tertegun, ternyata seorang cowok ganteng berbadan tegap dan tinggi sedang mengulurkan tangannya.

Ada rasa kagum di hati Dyana. Ternyata cowok di depannya sama sekali tidak marah justru malah menolongnya. Karena masih tidak percaya Dyana tetap diam tak bergeming berusaha meyakinkan dirinya tidak salah lihat.

Cowok itu makin heran dengan cewek yang masih diam terduduk di tanah. Sampai-sampai ia bertanya kembali untuk memastikan.

"Hello! Mau dibantu apa tidak?" katanya sambil membuyarkan lamunan Dyana dengan tangannya.

Dyana terkesiap karena cowok di depannya melambaikan tangan di depan matanya.

"Ah, iya-iya." Jawab Dyana gugup sambil meneima uluran tangan orang di depannya.

"Ganteng sekali," batin Dyana.

Dyana langsung membersihkan lutut beserta roknya. Dyana merasa sangat malu, konyol bercampur gugup melihat ketampanan cowok di depannya.

Baru saja Dyana akan meminta maaf dan berterima kasih tetapi cowok itu keburu hilang dari pandangannya.

Dyana segera mencari-cari menoleh kiri kanan, ternyata dia menghampiri seorang cewek di sana.

"Kenapa sepertinya aku merasa kecewa. Apa karena aku tak sempat meminta maaf?" Perasaan Dyana aneh ketika melihat cowok tersebut buru-buru pergi.

"Yah, sudahlah." Dyana menghempas perasaan anehnya sambil melangkah dengan gontai menuju ke tempat sahabatnya yang masih berdiri mematung melihat ke arah Dyana bergantian ke arah Sastra yang sedang berbincang dengan seorang cewek di sana.

***

Dyana's POV

Aku memang mencintaimu tapi aku tak ingin menyampaikannya.

Bahkan memandang wajahmu saja aku takut.

Aku tahu yang bisa ku lakukan hanyalah mencintaimu dalam diam.

Karena ku tahu hatimu milik orang lain. Biarlah rasa ini tetap sama sejak tiga tahun lalu.

Hatinya seperti berpuisi saat mengingat kejadian memalukan tiga tahun lalu yang telah membuatnya jatuh cinta. Meskipun dalam diam.

Sekarang ini Dy dan sahabatnya duduk di depan kelas. Mereka biasa melakukan ini setiap hari saat jam istirahat

"Sayang, kamu kok kemarin ga balas chat aku? Harusnya kamu tuh setiap detik ada untuk aku. Kamu harus prioritasin aku dong!gimana sih." Dewi langsung mengintrogasi pacarnya yang baru saja ikut duduk

Dewi adalah sahabat Dy yang over protective terhadap pasangannya. Setiap hari ia akan menanyai pacarnya hanya gara-gara chat yang tidak dibalas.

"Aku kan juga punya kesibukan, kamu tolong ngerti ya? Nanti aku ajak jalan deh." Rony, pacar Dewi mencoba untuk merayu agar pacarnya berhenti bertanya hal sepele.

"Tumben. Jalan kemana?" tanya Dewi girang sekaligus penasaran.

"Jalan pulang lah." Cowok yang akrab disapa Ony langsung pergi berlari sambil terbahak-bahak. Dia kabur karena Dewi selalu mengintrogasinya. Padahal dia sengaja tidak membalas pesan Dewi karena jika dibalas ia tidak bisa diajak berhenti mengobrol. Apalagi Rony sangat suka main game di handphonenya.

Dyana yang berada di sampingnya hanya cuek memainkan handphone tanpa peduli dengan sahabatnya. Dyana sudah terbiasa hingga tak peduli dengan rengekan sahabatnya yang memanggil-manggil Rony yang sudah menjauh. Namun, fokus Dyana terganggu ketika seseorang lewat disambut riuh cewek-cewek berteriak.

Sastra lewat di samping kelasnya.

"Sudah ku duga, dia lewat ke sini." Dy bergumam sendiri.

Dewi yang menyadari kemudian bertanya,

"Kenapa kok ngomong sendiri, sih?" Dewi menepuk bahu Dyana keheranan.

Dy lagi-lagi menghiraukan ocehan sahabatnya. Karena orang yang dilihatnya sejak tadi, malah berbelok menuju arahnya. Itu membuat Dyana semakin deg-degan.

Sastra makin dekat terus mendekat, hingga jantung Dy seakan mau lepas dari peradabannya. Dia lalu masuk kelas Dy dan menemui pacarnya yang sedang melancong ke kelasnya. Dy lagi-lagi merasa tersayat saat melihat gebetannya menemui Sekar. Padahal tadi Dy merasa Sastra tersenyum padanya. Tapi, senyum itu sudah membuat Dyana berharap dan terus merasa bawa perasaan setiap kali Sastra lewat di hadapannya.

"Selalu saja seperti ini bertahun-tahun lamanya. Aku hampir tak sanggup." Dyana mengelus dadanya sendiri untuk menguatkan hatinya.

Dewi yang melihat itu langsung peka mengetahui sahabatnya sedang menyukai Sastra. Tapi Dewi memilih diam agar tidak menyakiti perasaan Dyana.

"Ke kantin, yuk!" Dewi menepuk bahu Dyana agar berhenti melamun.

"Yuk!" Jawab Dyana refleks padahal tidak mendengar apa yang Dewi katakan.

Dyana berjalan menuju kantin dengan masih memikirkan apa yang ia rasakan.

"Kenapa kamu harus mencintai orang yang sudah punya pacar. Memangnya tidak ada cowok selain dia?" Tanya Dyana pada dirinya sendiri.

Dyana tak sadar kalau sedari tadi Dewi terus memerhatikannya dengan heran.

"Dy, kamu mikirin apa dari tadi?" Tanya Dewi memecah keheningan.

"Ngga. Cuma mikirin ulangan tadi." Dyana menjawab dengan santai agar Dewi tidak mengetahui Dyana sedang sakit diam-diam menyukai orang yang sudah punya pacar.

"Yaudah. Gausah dipikirin, kamu pasti tetap juara kok." Dewi mencoba menghibur meski tahu Dyana berbohong padanya.

Flashback Terganggu

BAB 2 

"Dik! Kaos kakak yang kemarin mana? Ini udah siang banget." Dyana semakin emosi, sejak tadi barang yang dicari tak ditemukan.

"Paling masih di jemuran. Kan katanya mau dipakai sekarang buat pawai." Lia, gadis kecil yang lucu dan perhatian dengan kakaknya menghampiri sambil membawakan properti yang akan dibawa pawai.

"Terimakasih.  Nanti kaosnya kakak ambil sendiri. Kamu kalau jadi bareng cepetan, ya?" Sambil masih mengepang rambutnya. 

"Iya, aku jadi nebeng." Jawab Lia sambil tersenyum lalu cepat-cepat memakai seragamnya.

"Ehmm... ngomong-ngomong kamu tidak malu kan gandengan pakai sepeda? Apalagi teman-teman kamu nanti mengejek kita." Tanya Dyana saat akan membonceng adik kesayangannya itu. Hatinya sedikit sedih mengingat ia tidak bisa memberikan yang terbaik pada adiknya.

"Kak, kalau aku malu mana mungkin aku ikut. Jadi, jangan pikirkan itu ya, Kak?" Lagi-lagi  senyum Lia makin melebar, meyakinkan kakaknya bahwa dia sama sekali tidak malu. Justru ia kagum terhadap kakaknya yang tidak gengsi naik sepeda ke sekolah.

Tanpa jawaban Dy memeluk adiknya. Setelah beberapa detik menahan pelukan sayangnya ia baru berucap, "Kakak akan berjuang untuk kamu, untuk Ibu, untuk kita. Janji." Sembari menautkan kelingking mereka berdua.

"Yaudah kita berangkat sekarang, Kak. Aku mau piket." Ucap Lia mengingatkan.

Pemandangan hangat di pagi hari. Seorang kakak yang mengayuh sepeda memboceng adiknya melewati jalanan yang ramai. Dengan busana ala waitress dan properti yang dibawakan adiknya. 

"Kak, aku mau nanya boleh?" Kali ini Lia ingin menanyakan sesuatu yang lama dipendamnya.

"Nanya apa,sayang?" Dyana terus mengayuh sepedanya meski Lia sangat berat.

"Emm, Apa kakak tidak malu pergi ke sekolah yang besar memakai sepeda? Di sana muridnya kan jauh lebih keren-keren, Kak." Tanya Lia dengan wajah yang memperlihatkan kekagumannya.

"Kalau kakak malu, kakak ngga akan bawa sepeda ini. Iya kan?" Jawabnya sambil tersenyum tapi dadanya sedikit sesak saat ditanya begitu.

"Apasih kakak, itu kan dialog aku. Main contek aja." Lia pura-pura cemberut tapi senang mendengar jawaban kakaknya. 

"Sudah sampai. Turun gih, katanya mau piket." Pintanya lalu mengambil alih properti yang dibawakan Lia. 

"Iya,ini juga sudah mau turun. Dada-dada kakak. Hati-hati ya! Jangan sampai nabrak lagi." Teriak Lia kencang sembari masuk ke sekolah. Tidak lupa ia selalu mengecup pipi kakaknya sebelum memasuki gerbang.

"Daa…" Dyana melambaikan tangannya lalu bergegas mengayuh sepedanya kembali.

Dyana tidak tahu bahwa sejak tadi ada mobil mengikutinya. Mobil tersebut baru menyalip ketika Dy menuju sekolah adiknya. Mahluk di dalamnya hanya tersenyum melihat gadis itu. Dia sangat kagum sekaligus tersentuh melihat keduanya.

Mobil Sastra kemudian berhenti di mini market depan SD N 3 TJ. Ia mampir hanya sekedar membeli air mineral.

Baru beberapa meter Dyana merasakan kejanggalan dengan sepedanya.

"Aiss, kenapa sepedanya kok aneh? Apa karena udah tidak isi muatan. Tapi, kok malah makin berat?" Dyana sangat tidak nyaman, stang sepedanya terasa makin berat dibelokkan. Akhirnya, Dy turun dari sepeda untuk memastikan. Setelah dilihat ternyata ban sepedanya kempes. 

" Aduh. Aku pasti akan terlambat. Gimana, nih?" Dyana menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ditengah kepanikannya bahkan terasa ingin buang air kecil. Tiba-tiba ada mobil berhenti di sampingnya. Pemiliknya lalu keluar menampakkan wajahnya yang sangat segar pagi itu. 

"Kamu? Ada apa dengan sepedanya?" Tanyanya heran melihat Dyana yang melirik-lirik ban sepeda. 

"Hey?" Orang tersebut melambaikan tangannya di depan wajah Dyana karena cewek yang ditanyai malah bengong.

Dyana terus melongo sampai orang disebelah menepuknya. 

"I-iya ini sepedaku bannya kempes. Jadi, ga bisa ke sekolah." Dyana menyahut lambat sekali dengan kegugupan tingkat dewa sampai-sampai wajahnya pucat. Karena yang menawarkan bantuan adalah orang yang ditabrak waktu hari pertama sekolah. 

"Yaudah bareng kita saja di sini." Sambil menunjukkan ke arah mobilnya.

"Ma-makasi. Sepedanya aku titip disini aja." Dyana masih saja gemetar sampai refleks menitip sedanya di warung langganannya. Dyana tidak bisa menolak meskipun ia sangat malu. Mau bagaimana lagi, ini sudah sangat siang. Dia bisa terlambat kalau tidak segera menerima bantuan tersebut.

Dyana pun masuk dibukakan pintu oleh Sastra. Alangkah terkejutnya di sana sudah ada seorang cewek. Dyana merasa ada sesuatu aneh menjalar di hatinya. Apa mungkin cemburu? Tapi dia bahkan tak mengenal betul orang yang menolong, ia hanya tahu namanya saja.

Perjalanan pun begitu menyesakkan di mobil ber-AC dan mewah. Dua insan di depannya terus bermesraan. Tapi, Dy merasa sedikit lega sebab yang cowok agak dingin saat ceweknya terus ingin pamer kemesraan. Padahal ada seseorang juga di dalam mobil mereka. Dyana merasa sangat sakek selama perjalanan terasa sangat lama.

Khayalan kenangan Dy tiba-tiba harus terputus. Sahabatnya tiba-tiba langsung menarik tangan Dyana dan langsung menarik membawa entah kemana.

"Kita mau kemana?"

Hening.

"Dewi! Kita mau kemana?" Dyana semakin tidak mengerti.

Hening tidak ada jawaban sama sekali. Dewi terus memegang erat tangan Dy sambil berlari.

Rasa penasaran Dy semakin memuncak lalu menghempas tangan Dewi.

"Dewi! Sebenarnya kita mau kemana?" Tanya Dyana lagi.

"Itu ada ribut-ribut hot couple di depan perpustakaan."

Benar saja Dyana bisa melihat rimbunan orang. Sekarang malah Dy yang meninggalkan kawannya. Rasa penasarannya membawanya kesana. Setelah didekati ia pun tahu hot couple itu adalah Sastra dan Sekar.

"Dasar cewek murahan! Kamu bisa-bisanya deketin cowok orang! Gak tau apa berhadapan dengan siapa?" Dyana mendengar percakapan itu sebelum ia meninggalkan kerimunan. 

"Heh! Boneka plastik! Aku ini cuma kerja kelompok sama cowok yang kamu bilang pacar."

"Aslinya mah?" Viona melanjutkan perkataannya dalam hati. Ia tersenyum miring ke arah Sekar hingga kembali menyulut emosi lawannya.

"Apaan kamu, hah?" Sekar mulai menjambak rambut Viona hingga bak gembel di jalanan."

Viona tak mau kalah, ia menendang kaki Sekar hingga tak bisa lagi menjambak rambutnya.

Sastra terus melerai keduanya menyuruh berhenti. Tapi, Viona dan Sekar tidak peduli ucapan cowok yang direbutkan.

Karena Sastra sudah geram melihat tingkah mereka setiap kali bertemu. Akhirnya ia meninggalkan keduanya. Dari tadi ia melerai sudah tak mendapatkan hasil. Lagi pula ia sangat muak dengan sikap Sekar yang selalu membuat gara-gara.

"Ternyata semua cowok sama saja. Kalau bukan dia yang tebar pesona, mana mungkin cewek-cewek sampai bertengkar seperti itu. Memalukan!" Dyana melemparkan tanggapan begitu di dalam hatinya sambil menjauhi kerumunan.

"Kalau bukan karena ayah, aku ngga mau pacaran sama Sekar. Kenapa hidup aku gini banget!" Sastra memilih duduk di bawah pohon mangga untuk meredakan emosinya.

Hari-harinya seakan memuakkan. Dia selalu diatur oleh ayahnya agar bersama Sekar. Padahal jelas-jelas Sastra sangat tidak menyukai cewek itu. 

Sastra benar-benar malu hari ini. Semua siswa menjadikannya tontonan gratis. Tuduhan Sekar sangat tidak masuk akal. Sastra dan Viona adalah satu kelompok, jadi wajar mereka mengerjakan tugas bareng.

Dyana berlari menuju ke kelasnya. Sejujurnya ia tak ingin memperlihatkan kekesalannya tapi kakinya seperti otomatis membawanya menjauh. 

Dewi yang mengoceh sedari tadi akhirnya menyadari jika di sampingnya sudah tidak ada Dyana. 

"Sial. Ternyata dari tadi aku ngomong sama siapa?" Katanya lalu menyusul Dyana menuju ke kelas. 

Pertemuan Tak Sengaja

Bel istirahat baru berbunyi, padahal sedari tadi perut Dyana dan Dewi sudah keroncongan. Mereka berdua cuma mengeluh kecil saling tengok. 

"Yeay. Akhirnya bel berbunyi juga. Aku hampir mati rasanya menahan lapar." Kata Dewi kegirangan sambil bergegas memasukkan bukunya ke dalam tas.

"Yuk cepetan, aku sudah tidak tahan lagi. Rasanya pengen muntah." Dyana juga bergegas memasukkan bukunya ke dalam bangku.

"Hey. Aku nitip beli snack, boleh?" Ronny menyetop Dyana dan Dewi saat baru keluar kelas.

"Huh! Kebiasaan." Keluh Dy sambil menatap wajah Dewi, tapi Dewi tetap senang-senang saja menanggapi setiap permintaan pacarnya itu. Apalagi hanya menitip beli makanan.

***

"Buk, saya duluan. Dari tadi belum dapat-dapat." Kata salah seorang siswi.

"Gimana sih aku udah lapar banget." Kesal seorang siswi di samping Dyana.

Baru saja sampai kantin, sudah banyak sekali siswa mengantri. Semua nampak tidak sabaran. Dan seperti biasa, Dyana harus merelakan rasa laparnya hilang baru mendapat giliran lalu makan tergesa-gesa karena waktu istirahat yang minim. 

"Nihh...aku suapin, aa?" Sekar terus menyodorkan makanan ke mulut Sastra yang nampak menolak untuk disuapi.

Sekar nampak cekatan menyuapi Sastra di ujung meja sana. Padahal kemarin sampai jambak-jambakan ga karuan. Tapi sekarang sudah roman-romanan seperti tidak ada masalah sama sekali.

"Ih. Gitu banget tuh cewek. Lihat deh! Cowoknya tidak nafsu gitu disuapin, dipaksa juga!" Kesal Dewi yang melihat adegan mereka. Padahal sedari tadi Dyana sudah melihat mereka. 

"Kamu ngga boleh kaya gitu, Dewi. Kamu juga gitu kan sama Ony." Setelah berkata Dy memilih membeli pop mie, hatinya merasa perih melihat pemandangan seperti itu. Ditambah perutnya sudah sangat lapar. 

"Kamu tidak jadi beli soto? Labil banget sih!" Tanya Dewi cemberut melihat sahabatnya malah berjalan sendiri memilih makanan.

"Udah. Aku duluan ya! See u di kelas, Dewi."

Dyana meninggalkan Dewi begitu saja menuju ke kelas. Perut yang keroncongan membuatnya memlilih yang lebih praktis.

"Hey, Dewi mana? Kok kau sendiri?" Tanya Rony saat Dyana berjalan ke kelas.

"Oh ya, nih titipan dari Dewi." Dy memberikan sekantung plastik makanan tanpa menjawab pertanyaan Rony.

"Thanks." Ucap Rony yang melihat anehnya Dyana.

***

"Sas! Ngapain kau bengong disini aja? Tumben engga sama Sekar?" Glad, sahabat Sastrabertanya. Karena tidak biasanya Sastra duduk sendiri di bangku perpustakaan. 

"Kamu ngapain di sini?" Sastra balik tanya tak menghiraukan pertanyaan sahabatnya.

"Biasa lah nyari wifi. Aku pura-pura belajar disini. Males banget di kelas, cewek-cewek pada teriak-teriak ga jelas. Kau ngapain di sini?" Tanya Glad lagi.

"Glad, kau sudah makan? Kantin, yuk!" Sastra balik tanya lagi dan tak menjawab pertanyaan Rony yang sederhana itu.

"Hey! Aku nanya sama kau dari tadi kok malah balik nanya. Kalau gini sih, tandanya ada yang kau sembunyikan dari aku!" Selidik Rony memicingkan matanya agar melihat tanda kebohongan pada wajah sahabatnya.

"Sok tau!" Jawab Sastra lalu duduk di sebelah Rony.

"Buktinya kau sendiri di sini. Sedangkan yang lain pada di kelas. Kalau aku mah sudah jadi langganan disini. Jadi, wajar dong!

"Sok kau." Cuek Sastra sambil memainkan gawainya.

"Udah deh, kau cerita saja sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu. Oh ya, kalau Si Viona nelpon, terus nanyain aku jangan bilang di sini ya!" Glad memelankan suaranya dengan megatupkan kedua tangannya seakan mengatakan, please.

"Nah! Itu masalahnya." Sastra berteriak hingga menaiki bangku seakan-akan dia mengeluarkan isi pikirannya sedari tadi.

Pegawai perpustakaan yang melihatnya sampai tersentak karena bunyi bangku yang tersentak keras.

"Aduh! Soal yang ini sulit banget, gimana caranya?" Glad pura-pura menjawab soal agar tidak dimarahi petugas perpustakaan.

"Maaf ya, Bu. Ehehe, ini soalnya susah banget." Sastra kelepasan sampai refleks ikut berbohong. 

"Hem." Pegawai perpus yang dikenal galak dan dingin hanya berdehem saja. Coba kalau orang selain Sastra mungkin sudah diterkamnya. 

"Eh, kau ngapain sih?" Glad memelankan suaranya, sangat pelan hampir tak terdengar.

"Tadi kau ngomong apa?" Sastra balik bertanya.

"Viona? Kenapa dengan Viona? Dia disini? Oh tidak!" Glad tiba-tiba langsung menuju bawah meja. Kali ini Rony panik.

"Ngga,sama sekali ngga ada. Cepat balik. Balik ngga!" Seru Sastra sambil mendelik tapi tetap memelankan suaranya.

"Terus kenapa?" Tanya Rony sambil duduk kembali dari kolong bangku.

"Masalah kau sama Sekar dan Viona? Lupain aja, aku juga dikejar-kejar sama cewek itu. Tapi, aku cuek!" Glad menjelaskan tanpa mendengar jawaban masalah Sastra yang sebenarnya.

"Heh. Cuek kau bilang? Tadi saja sampai ngumpat! Hu!" Sastra balik mengejek sahabatnya yang selalu kepedean. Sastra menjitak kepala Rony berharap orangnya sadar dengan apa yang diucapkan.

"Yaudah. Terus masalah kau apa?" Rony mengelus kepalanya yang sedikit sakit.

"Ini bukan masalah Viona dan Sekar." Sastra mulai membuka curhatannya.

"Trus, masalah apa? Uang? Kayanya bentukan kaya kau ga ada masalah sama duit deh." Lagi-lagi Rony menebak masalah Sastra yang jelas-jelas bukan itu.

"Makanya dengerin dulu." Kesal Sastra terhadap Glad.

"Sebenarnya terpaksa menjalin hubungan sama Sekar. Aku ga suka sama sikap Sekar yang terlalu melebih-lebihkan. Hubungan kita cuma karena paksaan. Dan dia juga bukan tipe aku." Jelas Sastra.

Glad terkesiap mendengar pernyataan sahabatnya. Dia baru tahu. Lalu, Sastra melanjutkan bicaranya membiarkan Glad yang masih membisu.

"Jujur! Aku sudah ga kuat menahan ini semua. Berhubungan sama cewek yang ngga aku suka sangat tidak nyaman. Tapi, aku sayang sama bokap. Jadi,mau ga mau harus terima." Sastra mencoba menahan luapan kekecewaannya.

"Wait-wait. Sebenarnya hubungan bokap kau sama orang tua Sekar apa?" Glad makin penasaran setiap kali Sastra menyampaikan kebenaran.

"Mereka sudah berteman sejak SMA. Dan katanya Sekar suka sama aku. Tapi, aku sukanya sama cewek lain."

Glad terkejut karena ia tak tahu jika sahabatnya diam-diam menyukai cewek lain. Hingga Glad spontan bertanya.

"Siapa?"

"Kepo! Yang itu rahasia! Udah, aku mau ke kelas." Sastra langsung pergi tanpa memperdulikan sahabtanya yang masih menyimpan beribu pertanyaan dalam hatinya.

Glad melongo melihat Sastra yang berjalan tegap mau keluar dari perpustakaan.

"Hey, kau ga mau ikut? Bel udah bunyi." Glad sampai tak mendengar bel sudah berbunyi.

"Iya. Gue ikut." Kata Glad yang masih mencerna curhatan Sastra.

***

Ada rasa, ada cinta, ada sakit. Menyatu menjadi jalan kehidupan. Bila cinta hanya milik sepihak.

Ada rasa, ada sakit, tidak ada cinta, ada sakit.

Berharap adalah menunggu sesuatu yang tak pasti. Tapi aku memutuskan untuk tetap mencintaimu. Aku tak akan menyerah. Meski aku terus kecewa.

Cinta…

Dyana menulis curhatan hatinya yang seperti puisi dalam buku hariannya. Lia, adiknya juga berada di sampingnya.

"Dik, apakah kakak salah jika mencintai seseorang?" Tanya Dyana tiba-tiba setelah menutup bukunya rapat-rapat.

"Salah? Bukankah mencintai adalah hal yang mulia, setau aku sih." Adiknya berbicara dengan nada lucu dengan senyuman yang mengembang tahu kalau kakaknya sedang jatuh cinta.

"Bagaimana jika orang itu tidak mencintai kakak?" Dyana bertanya lagi.

"Ya, yang penting kan kita tidak menyakitinya. Yang kakak lakukan kan mencintai. Jadi, kakak ngga salah. Kalau kakak membenci baru salah." Jelas Lia sambil menggulingkan badannya santai ke kasur milik Dyana.

"Dia memang tidak tersakiti, Dek. Tapi, hati kakak yang lemah ini yang harus tersakiti." Tutur Dyana yang menahan linangan air matanya. Penjelasan adiknya membuat hatinya tak tentu arah.

"Berarti itu salah hati kakak yang terlalu lemah." Pekik Lia lagi.

"Kamu ga tau rasanya gimana. Ah,sudahlah.

Kamu mah masih kecil belum tahu gituan. Mending kamu bantuin ibu buat jajan sana." Dyana membangunkan adiknya paksa agar mau membantu ibunya.

"Iya-iya." Kesal Lia yang dipaksa bangun.

Dyana memilih untuk bersepeda mengelilingi kampung. Sambil menghilangkan penat, sejak pulang sekolah Dyana membantu ibunya membuat jajan. Sekarang Lia sudah pulang dari bermain, jadi bisa ditinggal sebentar untuk refreshing.

"Dya!" 

Seorang cowok tiba-tiba memanggilnya. Dan ternyata setelah ditengok ia adalah cowok yang selama ini disukai Dyana.

"Kamu? Ee, kamu kok bisa di daerah sini? Nyari pacar kamu ya?" Tebak Dyana asal.

Ia tak menyangka akan bertemu Sastra di sini. Pas lagi mukanya acak-acakan. Dan Dyana belum mandi. 

"Ngga kok. Ayahku punya rumah dekat sini."

"Oh…" Sahut Dyana singkat. 

"Aku boleh mampir ngga?" Tanya Sastra tiba-tiba.

"Apa mampir?" Batin Dyana.

"Hah?" Dy terkejut bukan main mendengar ucapan Sastra. Dia masih mencerna pertanyaan Sastra barusan.

"Kenapa? Tidak boleh, ya?" Sastra bertanya lagi dengan senyuman khasnya.

"Emm,  iya boleh kok." Jawab Dyana gugup.

Baru tadi ia menulis keluh kesahnya dalam buku dan sekarang malah bertemu orangnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!