Seorang remaja, tengah bergelung nyaman dengan selimutnya pagi ini. Suara kicauan burung dan bisikan angin yang begitu merdu, membuatnya seolah enggan untuk beranjak dari peraduannya. Di tambah lagi dengan udara yang terasa sejuk, membuat gadis ini semakin nyaman mengeratkan selimutnya.
Gadis remaja berusia delapan belas tahun ini, Jelita namanya. Jelita Ayudya Nugraha. Parasnya yang ayu membuat ia banyak di minati oleh kaum lelaki. Namun sayang, kenyataan dan takdir seolah memperoloknya bak seonggok sampah yang ternistakan.
Semua berawal dari sini. Berawal dari usianya yang menginjak angka delapan belas tahun.
Pagi itu, Jelita sayup-sayup mendengar suara-suara yang saling teriak di iringi isak tangis yang begitu histeris. Dengan penasaran, Jelita beranjak dan keluar kamar berjalan menuju lantai satu. Karena letak kamar Jelita berada di lantai dua, tepat di samping kamar utama.
Semakin dekat, semakin jelas perdebatan mereka. Jelita semakin menajamkan pendengaran untuk mencari tau apa yang mereka debatkan.
"Kau tega, mas. Selama ini, Aku mengurus rumah dan mengurusmu dengan baik. Apa kurangnya aku sampai kau berpaling dan memiliki wanita simpanan? Dan kau bilang apa? Kau punya anak dengan wanita busuk itu? Dan kau akan membawa mereka kerumah ini? Kau gila, mas. Kau gila".
plakk
Satu tamparan mendarat di pipi mulus Ambar Sayu, mama Jelita.
Jelita membelalakkan mata dan menutup mulutnya tak percaya. Papa yang selama ini selalu bersikap hangat di depan Jelita, nyatanya kini telah berani melakukan kekerasan pada sang mama.
"Jaga ucapanmu, Ambar Sayu. Kau pikir siapa dirimu? Kau hanya wanita lemah dan jauh dari kata pantas untuk di sandingkan denganku. Jangan lupakan asal usulmu. Kau tak lebih dari sekedar wanita yang di jodohkan ayah denganku".
"Meski hubungan kita berawal dari pernikahan, tapi ingat, mas. Ada Jelita di antara kita. Kau menyakitinya juga, mas. Kau...."
"Aku hanya memperjuangkan cinta ku, Ambar. Sukma Wati adalah cinta ku semenjak kami duduk di bangku SMA. Kau hanya wanita bodoh yang mau-mau saja di nikahkan denganku. Aku menikahimu dan memberimu nafkah lahir batin, harusnya kau bersyukur. Aku tidak mencintaimu, dan sudah berusaha untuk menerimamu. Jadi jangan melunjak dan menuntut hal lebih lagi, Ambar".
Sumpah demi apapun juga, Jelita tidak pernah melihat perangai papanya yang demikian kasar terhadap sang Mama. Jelita meneguk ludahnya dengan kepahitan yang kian terasa.
Fakta demi fakta telah tersuguhkan di depan mata. Jelita terpukul dengan sangat keras.
Baru seminggu yang lalu Jelita selesai melakukan ujian akhir sekolahnya, Jelita merasa lega karena ia tinggal memikirkan untuk mendaftar di universitas yang ia inginkan.
"Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar bagiku menerima kenyataan kalau kamu harus membagi kasih dan waktu untuk Sukma mu itu. Aku juga mau di perhatikan, mas. Jelita juga butuh waktu kamu. Kamu selalu melakukan alasan pekerjaan di luar kota demi menghabiskan waktu dengan wanita itu".
"Diam, Ambar! Sekali lagi kau teriak, akan ku buat kau meraung setelah ku ceraikan!".
"Tidak. Aku tidak akan Sudi kau ceraikan. Wanita jalangmu itu akan bersorak menang jika aku mundur dan melepaskan mu. Ayah dan ibumu pasti menangis di surga melihatmu begitu busuk karena tidak adil memperlakukan Jelita dan anak mu dengan jalang itu!".
Tanpa kata, ayah Jelita, Yusman Nugroho membalikkan badan. Alangkah terkejutnya Yusman karena mendapati Jelita sudah berada di ujung anak tangga dengan air mata yang sudah mengucur deras.
"Lita?". Yusman bergumam lirih. Yusman tidak mampu lagi menahan rasa keterkejutannya itu. Disusul sang mama Jelita yang juga mengalihkan tatapannya pada Jelita.
"Lita?", Ambar hanya bisa meneguk ludahnya kasar.
Dengan menguatkan langkah kaki yang terasa gemetar, Lita berjalan menghampiri dua paruh baya yang mematung itu.
"Sejak kapan papa punya simpanan? Jadi benar papa tidak mencintai mama?". Jelita bertanya dengan suara bergetar. "Jawab pa" Jelita bertanya dengan suara lirih.
Ambar, mama Jelita adalah wanita yang lemah lembut. Tutur katanya juga sopan. Wajah ayunya menjadi pelengkap yang membuktikan bahwa Ambar adalah wanita yang nyaris sempurna.
Tapi sayang sungguh sayang, Semua kebaikan dan kecantikan itu tidaklah terlihat oleh mata Yusman. Bagi Yusman, tidak ada wanita yang lebih sempurna dari Sukma. Cinta pertamanya semenjak Yusman masih di bangku SMA.
"Papa......".
"Sebelum mama hadir dan dijodohkan oleh eyang Kakung mu, Lita".
"Ambar....."
"Jika kau tidak mampu menjawab, biar aku yang menjawabnya, mas. Lita sudah dewasa, sudah waktunya dia tau kebenaran tentang kenyataan ini. Kenyataan yang kamu buat sendiri", Jawab Ambar dengan tangisan yang mengucur deras
"Jelaskan dari awal, ma. Jelita ingin tau semuanya". Jelita berjalan menuju sofa ruang tengah di ikuti oleh orang tuanya.
Saat ini, mereka tengah duduk di sofa. Suasana tegang dan mencekam. Jelita menatap tajam sang papa yang hanya diam seribu kata. Entah mengapa, Jelita tak percaya dengan kebenaran tentang simpanan sang papa.
"Mama dan papa menikah atas dasar perjodohan Lita, Mama........"
"Teruskan, ma. Lita rasa, papa tidak akan mengatakan apa pun pada Lita", Lanjut Jelita dengan tatapan yang tak pernah lepas dari sang papa.
"Mama tahu dari awal kalau papa mu tidak pernah bisa lepas dan tidak bersedia lepas dari Sukma, cinta pertama papa semenjak mereka duduk di bangku SMA. Dan papamu telah menikahi Sukma setahun setelah papamu menikahi mama, namun mereka menikah sebatas nikah siri".
Tatapan Ambar nampak jauh menerawang. Meski menyampaikan itu dengan tenang, namun tak dapat menyembunyikan rona luka yang selama ini di pendam-nya.
"Mama mencoba mengerti dan berusaha menerima. Hingga mama mendengar terlahir ya seorang putri dari pernikahan siri mereka, mama tetap berusaha tegar, Lita. Tapi siapa sangka, dua puluh tahun lalu mama mencoba menerima kenyataan, tapi mama menyerah hingga di titik ini".
"Rumah tangga macam apa yang di jalani dengan ke egoisan sesaat? Mama mencoba memahami perasaan papa mu. Tapi papamu bahkan.... tanyakan pada papa mu, Apakah dia memikirkan perasaan mama dan mengesampingkan egonya selama dua puluh tahun ini?".
degg
Yusman tertampar dengan kalimat akhir Ambar yang begitu menusuk sanubarinya.
"Dua puluh satu tahun berumah tangga dan dua puluh tahun hidup mama di madu. Tanpa papamu tau bagaimana penderitaan mama, meski mama selalu mengutamakan perasaan papamu dengan membiarkannya menikahi kekasihnya. Tapi kali ini, mama lelah Jelita. Mama menyerah. Bukankah kesabaran ada batasannya?".
Suara Ambar melemah. Ambar merosot ke lantai dan pingsan saat itu juga. Yusman terkejut dan Jelita berteriak histeris melihat mama nya.
"Ambar...?"Suara Yusman melemah dengan nada bergetar.
"Mama......, ma bangun ma. Mama harus kuat. Mama harus kuat demi Lita, ma. Mama jangan tinggalkan Lita!" Lita menangis sejadi-jadinya dengan membawa kepala sang mama ke dalam pangkuannya.
"Kita bawa mama mu ke rumah sakit", tegas Yusman dengan segera menggendong Ambar dan membawanya menuju mobil.
Matahari sudah merangkak naik. Pagi sudah berganti siang. Panas mulai terasa menyengat kulit siapa saja yang berhalu lalang tanpa mengenakan pelindung kulit.
Seorang wanita paruh baya tengah terpejam rapat. Raut wajahnya yang tenang menyimpan berjuta luka yang ia pendam bertahun-tahun lamanya. Sinar wajahnya meredup.
Di sisinya, sang putri tengah menunduk sedih dengan menggenggam erat telapak tangan kiri sang mama. Gadis yang kuat, tidak lagi meneteskan air mata. Tapi siapa sangka bahwa hatinya cukup hancur karna mengetahui fakta tentang papanya yang telah berbagi kasih sekian lamanya.
Pikiran sang gadis mengelana jauh. Mengumpulkan kembali ingatan masa lalu serupa kepingan puzzle yang berserakan.
Kepingan masa lalu.
Ambar Sayu.
Sang mama, Wanita dengan ketegaran yang luar biasa. Masih bisa bersikap biasa saja di depan sang putri, meski hatinya cukup rapuh karna penghianatan sang suami.
Sebelas tahun lalu, tepatnya saat usia Jelita menapaki usia tujuh tahun, Jelita ingat, sang papa berjanji untuk datang ke acara ulang tahun Jelita yang mengundang banyak teman sekolahnya.
Namun, hingga saat acara berlangsung hingga semua tamu undangan sudah pulang, Jelita masih terpaku di pintu menunggu sang papa yang masih jelita harapkan kehadirannya.
Ke esokan harinya....
Sang papa datang dan meminta maaf atas ketidak hadirannya dalam pesta ulang tahun putrinya. Entahlah, mungkin takdir yang menuntun Jelita untuk mengetahui sesuatu.
Jelita tiba-tiba saja memiliki keinginan untuk masuk ke dalam mobil papa. Hingga mata jelita terpaku pada sebuah paperbag dan Jelita segera menyambar dan memeriksa isinya.
Sebuah gaun berwarna merah maron dengan ukuran yang lebih kecil dari tubuh Jelita. Jiwa anak-anak Jelita seketika meronta.
Dalam fikirannya mengapa sang papa membelikannya gaun yang tidak muat untuk Jelita kecil pakai?
Jelita kecil berlari dan menghampiri sang papa. Jelita sempat menangkap mata basah sang mama seperti baru saja menangis, Namun sang mama hanya menyanggah dengan alasan matanya kelilipan.
Jelita kecil akhirnya menangis karna gaun itu tidak bisa Jelita pakai.
Kini jelita mengerti, bahwa gaun itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk putri lain milik papanya. Mirisnya, Jelita baru mengetahui setelah sebelas tahun berlalu.
Jelita kembali berpikir tentang sang mama. Betapa tegarnya mama saat itu. Bukan satu atau dua tahun, melainkan dua puluh tahun.
Dalam hati, Jelita bertekad untuk merebut kembali papanya. Ia tidak akan membiarkan siapapun merebut sang papa begitu saja.
.................
Radhi Praja Bekti. Sekertaris sekaligus orang kepercayaan papa jelita. Parasnya yang rupawan di usia yang menginjak Dua puluh tiga tahun. Pria dengan ketegasan luar biasa di usia yang masih muda.
Pria berkulit putih, dengan alis tebal cukup menunjukkan bahwa Radhi ialah sosok yang begitu tegas dan tak terbantahkan. Matanya yang tajam setajam mata elang, menunjukkan tidak lah mudah menaklukkan seorang Radhi.
Kulit putih serta hidung yang begitu mancung, menunjukkan, bahwa Radhi terbukti menjadi incaran para wanita, baik dari kalangan bawah, menengah, maupun kaum elit sekalipun.
Ketegasan rahang dan tubuh kekar menunjukkan kekuatan seorang Radhi sudah sangat terlatih. Usia muda tidak menjadi alasan untuk Radhi mudah di tindas dan di sepelekan begitu saja.
"Non jelita". Suara seorang pria yang begitu tampan. Radhi Praja Bekti. Dia lah Radhi, satu-satunya saksi atas tindakan bodoh Yusman karna telah menyia-nyiakan Ambar dan putrinya, Jelita. Itu pun Yusman lakukan demi Sukma yang di gadang-gadang sebagai wanita yang sangat di cintai.
"Ya...?". Jelita mengalihkan pandangannya pada Radhi. Radhi terpesona, seperti terbius oleh kecantikan sang putri. Meski ini bukan pertemuan pertama, namun Radhi seolah selalu mengagumi gadis polos putri majikannya.
Radi segera berusaha menormalkan detak jantungnya yang selalu berdegup kencang saat berdekatan dengan Lita. Seperti petir yang bergemuruh hebat di dasar hatinya.
Setelah Radhi bisa menguasai diri, Radhi mendekat dan bersikap biasa saja. Radhi berdiri di seberang tempat Kania duduk.
"Tuan meminta saya untuk mengurus nyonya besar. Jika ada yang nona butuhkan, katakan pada saya".
"Apakah papa sudah benar-benar tidak menginginkan mama lagi, mas Radhi?". Jelita tertunduk sedih. Mungkinkah, sang papa akan benar-benar meninggalkan Jelita dan mamanya?
"Sabar lah non Lita. Saya akan mendukung apapun keputusan non Lita. Apapun yang non Lita perintahkan pada saya, saya akan berdiri tegak untuk merealisasikannya. Yang jelas, Non Lita tidak sendiri''.
"Terima kasih mas Radhi. Tapi, bisakah mas Radhi menceritakan sedikit tentang putri papa yang lain selain Jelita?". Jelita memohon.
Sungguh, hati Radhi seperti tersayat saat itu juga. Apa yang harus Radhi katakan? Jika Jelita mendengar semuanya, pastilah luka Jelita akan semakin dalam dan lebar. Radhi hanya tidak mau wanita yang menjadi poros dunianya menjadi hancur hatinya.
"Sebaiknya, non Lita tidak usah tau", Radhi menyunggingkan senyum tipisnya. Tapi Jelita tetap menggeleng pertanda ia masih keukeuh untuk ingin tahu tentang putri papanya yang lain.
"Mas Radhi, tadi bilang apapun yang kita pinta, mas Radhi akan turuti, kan?". Radhi mengangguk.
"Baiklah, mari kita berbincang di sofa, non".
Berjalan lah mereka menuju sofa di ruang rawat Ambar.
"Tuan, telah menikah dengan seorang wanita desa yang berasal dari desa yang sama tempat tuan di lahirkan. Nyonya Sukma namanya. Pernikahan mereka hanya sebatas pernikahan siri, dan nyonya Ambar tau semuanya. Tapi nyonya besar Ambar, entah terbuat dari apa hatinya yang begitu luas seluas samudra. Masih bisa mentoleransi kesalahan tuan".
"Lanjutkan, mas Radhi". Lanjut Jelita yang sudah tidak sabar mengetahui lebih dalam lagi. Radhi menghela nafas karna semakin takut Jelita akan semakin terluka karna ceritanya.
"Tuan menceritakan semuanya pada saya, dan tidak ada yang terlewat. Dari pernikahan tuan dan nyonya Sukma, mereka telah di karuniai seorang putri yang berusia tujuh belas tahun saat ini, Dewi Anjar wati namanya, sering di panggil Dewi".
"Baenarkah bahwa paap menceritakan semua tanpa terlewat?", Tanya Jelita lagi. Radhi mengangguk. "Lalu, Dimana mereka sekarang?".
"Tinggal di kota ini, non Jelita". Jelita memejamkan matanya. meresapi setiap rasa sakit yang semakin beranak Pinak. Seperti membentuk sebuah lautan.
"jelaskan tentang putri papa itu". Ada tekat yang begitu kuat dalam sorot mata Jelita remaja. Meski hatinya rapuh, tapi tidak menyurutkan tekad keingintahuannya. Hal itu semakin membuat Radhi semakin menggila pada nona mudanya ini.
"Dewi usia anda dan Dewi sebelas bulan lebih muda Dewi, non Lita. Ia juga bersekolah di sekolah yang sama dengan non Lita. Semua itu juga atas kehendak tuan besar sendiri".
"Jelaskan padaku tentang mereka, mas. Bagaimana tentang sosok mereka sampai membuat papa berpaling dari mama dan aku". Mata Jelita yang sedari tadi memanas, kini mulai berkaca-kaca. Sekuat tenaga jelita menutupi dari Radhi.
"Nyonya Sukma dan nona Dewi adalah sosok yang lemah lembut dan baik. Bahkan, mereka nampak peduli pada nyonya besar Ambar. Jangan salahkan nyonya Sukma sepenuhnya atas ini semua non Lita. Sesungguhnya, tuan besarlah yang salah langkah Karena lebih mengutamakan cinta mereka daripada ketulusan dan kesetiaan nyonya besar. Cinta bisa hadir pada siapa saja, bukan? Hanya saja, kita sendiri tidak bisa menentukan, pada siapa hati dan cinta akan berlabuh".
"Lalu? Bukankah Sukma sudah melakukan kesalahan karna merebut suami orang?".
"Non Lita tidak akan mengerti. Ada saatnya nanti, non Lita akan bebas dari penderitaan ini.Percayalah nona, saya akan berdiri tegak di sisi nona sekalipun nyonya Sukma dan nona Dewi yang menantang anda, sekalipun tuan besar sendiri yang berdiri tegak untuk mereka. Karena kebenaran, tidak akan selamanya hanya menjadi bayang-bayang".
Ingin rasanya Radhi membawa lari Jelita dan Ambar sejauh mungkin. Namun, Radhi masih menahan diri.
🍁🌺🍁
"Non Lita tidak akan mengerti. Ada saatnya nanti, non Lita akan bebas dari penderitaan ini.Percayalah nona, saya akan berdiri tegak di sisi nona sekalipun nyonya Sukma dan nona Dewi yang menantang anda, sekalipun tuan besar sendiri yang berdiri tegak untuk mereka. Karena kebenaran, tidak akan selamanya hanya menjadi bayang-bayang".
~part sebelumnya~
"Mama........."
Jelita menangis hingga meraung. Pasalnya, Sepuluh menit yang lalu, Ambar dinyatakan keadaannya semakin drop. Nama Yusman alias papa Jelita adalah orang yang di panggil-panggil Ambar saat itu.
Dengan membuang harga diri, Jelita tanpa pikir panjang segera berlari dengan menggenggam ponsel dam merekatkannya di telinga Jelita. Menghubungi Radhi adalah pilihan terbaik saat ini agar membantu menjaga mamanya.
Jelita muda saat itu berlari tanpa mempedulikan rintik ringan air hujan yang jatuh menempa tubuh ringkihnya. Sungguh, Jelita hanya ingin papanya menjenguk mama meski hanya sekejap saja. Sudah Tiga belas hari setelah mama Jelita di rawat di rumah sakit, papa nya tak sekalipun menjenguk mamanya. Terakhir Jelita bertemu papanya, saat papanya mengantar mama ke rumah sakit.
Sambungan telepon terhubung, Jelita berbicara dengan Radhi sambil berlari melawan dinginnya air hujan. Menerobos kabut dengan menajamkan penglihatan.
"Hallo, mas Radhi? Kau dimana sekarang, mas?".
"Aku perjalanan ke rumah sakit untuk menjenguk nyonya besar, ada apa nona?".
"Cepatlah sedikit. Aku menyusul papa".
"Apa terjadi sesuatu?".
"Cepatlah Sampai. Aku tidak punya banyak waktu".
Tut Tut Tut...
Panggilan terputus.
Radhi semakin dalam menginjak pedal gas mobilnya.
Sedang di jalan menuju rumah besar kediaman Yusman Nugroho, Jelita sampai di depan pintu gerbang yang cukup tinggi. Dengan menggedor sekuat tenaga, security pun segera membukakan pintu.
Tanpa mempedulikan sapaan security, Jelita berlari kencang menuju pintu masuk yang terbuka lebar. Alangkah terkejutnya jelita saat melihat dua wanita beda generasi tengah duduk di ruang tamu dengan memangku majalah dan tertawa ringan.
Jelita meradang.
Pasti dialah Sukma dan Dewi, anak haram hasil perselingkuhan papanya.
Tapi, Jelita tidak perduli. Biarlah masalah wanita itu, akan Jelita selesaikan nanti. Yang penting sekarang adalah, Jelita harus segera menemui mamanya.
"Papa....... Keluar paa.... papaaaa..... papa harus jenguk mama, mama butuh papa, sekarang".
Dua wanita yang tak jauh dari Jelita, berdiri dan menghampiri jelita yang menggigil kedinginan.
"Hei, Tidak bisakah berbicara baik-baik tanpa berteriak?"
"Mas...", Tegur wanita paruh baya itu dengan menggelengkan kepalanya.
"Ayo kerumah sakit, pah. Mama butuh papa. Jelita mohon, kali ini saja.". Ucap jelita dengan mengatupkan ke dua tangannya dan mata yang sudah siap meluncurkan buliran bening.
"Sekarang hujan. Pergilah! Aku akan kesana besok".
"Papa". Suara Jelita melemah. Entah apa yang merasuki papanya kali ini yang telah berubah drastis. Jelita terkejut dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun lagi.
"Mas, Pergilah. Mbak Ambar pastilah sangat membutuhkanmu. Aku mohon.". Sukma mengiba pada suaminya, Yusman.
Yusman tak bereaksi. Entah bagaimana, Yusman tidak lagi ingin menemui Ambar setelah kejadian tiga belas hari yang lalu.
Jelita terpukul.
Jelita terpuruk.
Bahkan di saat-saat terakhir sang mama, papanya bahkan tidak Sudi menengok barang sebentar saja.
"Benarkah ini papaku?", Air mata itu lolos begitu saja melewati mata dan pipi mulus Jelita yang tak berdaya saat itu. Jelita mundur beberapa langkah sebelum akhirnya pergi.
Naas, belum sempat Jelita pergi. Tangan hangat meraih lengannya, memperkenalkan diri sebagai adiknya, Dewi.
"Ini kak Jelita? Kak, aku Dewi adik nya kak jelita. Kita satu sekolah kok kak, Ayo kita bersaudara dan Ki......"
plakk
Tamparan tepat mendarat di pipi Dewi. Dewi pun menoleh Ke arah Jelita dengan air mata yang sudah mengalir.
Melihat itu, Yusman murka.
Sukma hanya bisa mendesah dan tidak berdaya.
Kenyataannya, Sukma lah yang menjadi duri disini.
"Lita. Keterlaluan, kau".
plak...
plak...
Jelita benar-benar terpukul kali ini. Pasalnya, baru kali ini lah papanya menampar Jelita. Itu pun karna sang papa membela anak selingkuhannya.
Bukan hanya meradang, Jelita lebih dari sekedar murka.
"Baik. Papa benar-benar tidak mau menjenguk mamaku. Aku harap, papa tidak menyesal. Papa tidak akan pernah bertemu lagi dengan mamaku".
Jelita muda berlari. Membawa luka dan pedih. Masa depan Jelita jelas akan penuh dengan tatapan masa lalu yang menyakitkan, menyesakkan.
"Aku bersumpah Tidak akan mengampuni siapa pun yang merenggut kebahagiaanku. Bukan tangan suci ku yang akan membalas kalian, Tapi tangan Tuhan lah yang akan melaksanakan. Kau akan membayar mahal lukaku hari ini dan dua puluh tahun terakhir luka mamaku Yusman Nugroho!".
Teriak Jelita sebelum enyah dari gerbang. Bibirnya membiru, matanya memerah.
Jelita harus kembali pada sang mama.
*******
Di rumah sakit.....
Setelah Radhi mendapat kabar dari Jelita, Radhi lantas mempercepat perjalanannya. Rasa khawatir tiba-tiba menyeruak, Spekulasi buruk tentang tentang Ambar Sayu, menari-nari indah di kepalanya.
Setibanya di ruang rawat Ambar, Ambar nampak sangat pucat pasi. Nafasnya tersengal dan melambaikan tangan dengan lemah ke arah Radhi.
"Nyonya", Radhi tercekat.
"Radhi", Ambar tersenyum. Senyum yang selalu mengingatkan Radhi dengan masa lalunya.
"Apa yang nyonya rasakan".
"A....aku tau waktuku tidak banyak. Jika boleh, aa aku titip putriku, kumohon", Ambar meremas pelan tangan Radhi yang terasa dingin Radhi gemetar.
"To-tolong jaga Jelita untukku, Radhi. Pastilah saat ini papanya tidak akan menoleh lagi padanya. Ja-jaga baik-baik putriku seperti kau menjaga separuh nafasmu".
Radhi menghela nafas. Biarlah Radhi dianggap lancang. Yang Jelas, Radhi harus mengatakan tentang isi hatinya pada Nyonya besar Ambar.
"Saya mencintai putri anda, nyonya. Jika Nyonya mengizinkan, saya mohon berilah restu pada kami agar saya dapat menjaga nona muda dengan baik sepanjang hidup saya". Radhi mengatakan kalimat itu dengan tegas. Ambar bahagia dan tersenyum Menganggukkan kepala dan merasa lega.
"Restu ku menyertaimu anak-ku".
Tepat saat itu, Jelita muncul dengan tubuh basah kuyup. Matanya memerah, mungkin air matanya telah menyatu dengan air hujan.
"Jelita...", Jelita berhambur mendekati sang mama. Hatinya teriris pilu melihat mamanya yang tersengal-sengal.
Ambar meraih punggung tangan putrinya dan menyatukan dengan tangan Radhi di atas perutnya.
"Ber-berbahagialah kalian. Mama Akan sangat bahagia nanti di surga. Jelita, Jika jalanmu pulang sudah buntu dan dirumah tidak ada yang memperlakukanmu dengan baik, maka pulanglah pada Radhi. Dia akan menjagamu untuk mama. Radhi sangat mencintaimu, nak".
Jelita tersentak. Tubuhnya menegang. Berbeda dengan Radhi yang bersikap tenang.
"Ma... maksud mama?".
"Ma...mama me...meres....tui ka...Lian", Nafas Ambar berubah pendek-pendek.
Dengan suara bergetar, Radhi menuntun Ambar untuk mengucap kalimat syahadat. Dengan benar dan sempurna meski tidak terlalu lancar. Jelita menangis dalam diam.
'Selamat tinggal, mama. Akan aku buat wanita-wanita ular itu menderita. Akan ku buat wanita-wanita ular itu membayar mahal atas penderitaan mama dua puluh tahun ini'
Jelita menjerit dalam hati. Tangannya terkepal kuat.
Tidak ada yang tau, apa yang akan Jelita lakukan. Tapi saat ini, biarlah ia memenangkan diri.
Setelah Jelita keluar dari ruangan, Radhi membawa Jelita ke mobil untuk berganti pakaian. Mungkin dengan kemeja cadangan miliknya yang selalu Radhi bawa di dalam mobil.
Sesampainya di mobil.......
"Mas Radhi..."
"Ya, non Jelita?".
"Sebarkan kabar kematian mama. Tapi tolong, sembunyikan jasad mama dengan tidak memberi tahukan siapapun termasuk keluarga Nugroho". Ucap Jelita dengan tegas meski bibir dan seluruh tubuhnya menggigil kedinginan.
"Apa pun untukmu, nona. Apapun. Akan segera aku urus segalanya".
🍁🌺🍁
Jumpa lagi dengan neng Tia. Jangan lupa tinggalkan jejak dan ramaikan kolom komentar ya.....
😚😚😚😚😚
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!