"Apa?! Mau membantah?!" bentaknya lantang, suaranya menggetarkan dinding-dinding rumah megah itu.
"Kamu cuma seorang pembantu! Jangan pernah bermimpi naik pangkat hanya karena menikah denganku!"
Ucapan tajam itu menampar batin gadis berkepang dua di depannya. Hatinya remuk, seakan dihujani ribuan duri. Air matanya menahan di pelupuk, tapi hatinya sudah lama menangis—dalam diam.
Mimpi menjadi bidan? Pupus.
Harapan membanggakan mendiang orangtuanya? Tinggal angan.
Hidupnya kini tak lebih dari kepingan kaca yang berserakan, hancur oleh satu nama: Alexsander Wijaya.
Pria berusia 28 tahun itu—dalang dari tragedi yang menimpa Sabrina Maharani—telah merampas segalanya. Masa depan, harga diri, bahkan cinta pertama yang dulu begitu ia jaga. Dan ironisnya, kini ia harus menikahi pria itu… sebagai bentuk ‘pertanggungjawaban’.
Bukan cinta, bukan restu. Hanya keterpaksaan.
"Puas kamu?! Menghancurkan masa depanku?! Seharusnya aku menikah dengan orang yang kucintai! Bukan dengan pembantu jelek sepertimu!"
Amarah menggelegak di dada Sabrina. Kenapa dia yang merasa dirugikan? Bukankah dia korban? Tapi justru Alex yang seolah paling menderita.
Empat hari lagi menuju pernikahan yang bahkan tak boleh diketahui orang lain.
Empat hari menuju neraka yang disahkan oleh janji suci.
Bagi keluarga Alex, ini aib. Anak orang kaya raya menikahi pembantu? Terlalu memalukan untuk diumbar.
Sabrina hanya bisa terpaku ketika map berwarna biru itu dilempar ke arahnya. Isinya—daftar aturan bak hukuman bagi tahanan.
"Baca dan patuhi."
Alex menyilangkan kaki, duduk angkuh di atas kursi mahalnya. Pandangan tajamnya menusuk setiap gerakan Sabrina yang gemetar membaca satu per satu aturan itu.
Setiap kalimat di map itu seperti jeruji—mengekangnya. Tak ada kebebasan. Tak ada ruang bernapas. Hanya dia yang harus menunduk. Harus diam. Harus tunduk.
"Tanda tangani!" bentaknya, melempar pensil ke arah Sabrina seperti melempar tulang ke anjing jalanan.
"Tapi, Pak..." akhirnya bibir mungil itu bersuara, dengan nada bergetar.
"Ucapkan lagi!" Alex bangkit. Mata tajamnya bersinar penuh ancaman.
"Ini tak adil untuk saya, Pak!" Sabrina memberanikan diri. Pandangannya bertemu mata sang pria, untuk pertama kalinya tak gentar.
"Pak?! Sejak kapan aku menikah dengan ibumu?! Buta kamu?!" cengkeramannya mencabik dagu Sabrina, kasar.
"Panggil namaku!"
"Saya... lupa nama Bapak." ucap Sabrina pelan tapi pasti, menahan tangis dan rasa sakit.
Alex mengerang kesal. Kepalanya berdenyut, menyesali keputusan yang harus ia jalani. Andai bukan karena ancaman kehilangan warisan, ia tak akan sudi menikahi gadis ini—gadis yang dipaksanya tidur bersama hanya karena pengaruh alkohol, dan sialnya… tertangkap sang Mami.
"Kalau kamu lupa siapa namaku, harusnya kamu juga lupa kejadian malam itu! Dasar bodoh!"
Air mata Sabrina jatuh, bukan karena hinaan, tapi karena luka di hati yang semakin menganga.
"Saya juga punya hak hidup... Bapak yang merusak semuanya. Mimpi saya, hidup saya, dan sekarang, Bapak merasa paling tersakiti?!"
Alex mendekat, berjongkok di hadapannya. Kedua tangannya mencengkeram pundak gadis itu, penuh emosi.
"Aku akan membuatmu ingat namaku... setiap detik, setiap napasmu. Sampai namaku jadi mimpi buruk dalam tidurmu... dan bisikan kelam dalam doa-doamu."
Alex meninggalkan Sabrina seorang diri, membuat perasaan gadis itu semakin hancur berkeping-keping, seolah-olah seluruh harapan dan kebahagiaan yang selama ini ia genggam lenyap begitu saja, karena hidupnya telah dipermainkan tanpa ampun.
Sabrina memeluk lututnya sambil menangis, mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuh polosnya. Harga diri yang selama ini ia jaga rapat, hancur dalam sekejap. Ia merasa seperti sampah tak bernilai, menangis tanpa suara. Kejadian semalam masih jelas di ingatannya—mahkota berharganya direbut secara paksa.
Rambut panjangnya yang biasanya dikuncir rapi kini berantakan. Sambil terisak, ia memunguti pakaian yang berserakan di lantai, mengenakan bajunya yang sudah robek. Langkah kakinya berat, menahan sakit, menahan luka, menuju pintu keluar. Ia menoleh ke belakang, menatap pria yang sudah menghancurkannya, masih tertidur lelap.
Dengan tangan gemetar, ia membuka gagang pintu dan keluar dari kamar itu. Udara pagi menyambutnya dingin. Ia berdiri di teras depan, bersandar pada tiang besar sambil mencoba bernapas meski dadanya terasa sesak. Detik berikutnya, deru mobil menghentikan lamunannya.
Mobil sedan hitam berhenti tepat di hadapannya.
“Sabrina!” suara seorang wanita berusia paruh baya langsung menyentuhnya, menghampiri dengan langkah panik. Eis, bibi yang selama ini merawatnya, memeluknya erat.
"Bibi... aku takut," lirihnya dalam tangis yang kembali pecah.
"Tenang, Bibi di sini," jawab Eis lembut sambil menghapus air mata keponakannya. Namun hatinya bergemuruh—ia tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.
"Ini pasti gara-gara anak sontoloyo itu!" suara berat seorang pria menggeram. Tanto Wijaya, langsung naik ke kamar putranya, Alex.
Melihat putranya masih tertidur nyenyak, amarah Tanto meledak. Ia mengguyurkan air dingin dari ember ke tubuh anaknya.
"Arkh!" Alex terbangun, linglung, kepalanya berat. “Apa-apaan sih, Pi?”
“Pakai baju! Sekarang!” bentak Tanto, lalu membanting pintu dengan keras.
Di ruang tamu, semua berkumpul. Sabrina, ditemani Eis, berdiri dengan kepala tertunduk. Alex menatapnya. Deg. Ada sesuatu dalam ingatannya—kabur, tapi nyata. Kilatan kejadian semalam mulai muncul di kepalanya.
"Apa yang aku lakukan ke dia...?" gumam Alex, mencoba mengelak, matanya mencari perlindungan dari maminya.
Namun, Tiwi justru memukuli putranya dengan bantal. “Kurang ajar! Anak nggak tahu malu!”
Alex mengaduh. “Mi, ampun…”
“Kamu harus tanggung jawab!” bentak Tanto.
"Apa?!"
Alex berdiri mematung. Wajahnya memucat. Tapi sebelum ia bisa protes, Sabrina melangkah maju. Suaranya bergetar, tapi tegas.
"Dia sudah menodai aku," seru Sabrina lantang, suaranya bergetar oleh luka yang mendalam.
Wajah gadis itu basah oleh air mata, hancur dalam diam, tubuhnya gemetar menahan pilu.
Eis, Tiwi, dan Tanto terpaku, syok mendengar pengakuan itu. Tatapan mereka menusuk tajam ke arah Alex, yang hanya berdiri membeku dengan ekspresi tak bersalah.
"Apa itu benar, Alex?" tanya Tiwi, mencoba menahan gejolak amarahnya.
"Serius, Mami percaya omongan si cupu ini? Dia cuma ngarang!" sanggah Alex, nada suaranya tinggi, mencoba menyelamatkan diri.
Namun sebelum ia sempat berkata lebih jauh, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, menghentikan kebohongan yang nyaris lolos dari bibirnya.
“Cukup! Mami tak mau dengar penjelasanmu lagi.”
“Mi, aku ini putramu. Kenapa malah membela dia? Si cupu yang bahkan—”
“Alex!”
Tanto membentak, tak ragu mengayunkan tangan ke arah putranya. Tamparan keras menyayat harga diri Alex, namun yang lebih menyakitkan adalah tak ada satu pun yang berpihak padanya.
“Pokoknya, kamu harus menikahi Sabrina! Kalau tidak, lupakan semua kemewahan yang selama ini kamu nikmati,” ancam sang ayah, suaranya dingin dan tegas, membuat bulu kuduk Alex berdiri.
Pada akhirnya, Alex tak punya pilihan selain menyerah pada kehendak orang tuanya. Ia setuju menikahi Sabrina.
Tapi jangan kira ini akhir dari segalanya—karena mulai saat itu, hidup Sabrina akan berubah lebih menyakitkan.
"Apa?!"
"Jangan bilang kamu mau lepas dari tanggung jawab!" Tiwi semakin geram.
"Bu-bukan begitu, Mam. Lepasin dulu telingaku, nanti lepas bagaimana."
"Biar Papi ganti sama telinga Kambing sekalian."
Alex tak bisa berkutik, kedua orang tuanya itu selalu kompak memberi hukuman untuknya. Tak ada ampun sama sekali, apalagi menyangkut nama baik keluarga.
"Nikahi Sabrina!" Suara Tanto menggelegar diruang tamu, menggema memekakkan telinga.
Menikah, dengan pembantu. Ini tak bisa terjadi, ia harus menolak. Dan lagi Alex melakukan hal itu karena sedang mabuk dan itu tak disengaja.
"Aku tak bisa melakukannya, Mam, Pi. Menikahi pembantu sendiri, itu sangat memalukan."
"Memalukan, Tuan bilang memalukan!" Bi Eis mulai emosi, dari tadi ia hanya menyimak adu mulut majikannya.
"Iya, memalukan! Menikahi pembantu yang sama sekali bukan levelku, apa kata orang nanti."
"Setelah meniduri ponakan saya, Tuan bilang bukan level. Jika bukan level Tuan, kenapa harus menyentuh ponakan saya."
"Aku nggak sadar karena mabuk, ini pasti jebakan. Gadis cupu ini pasti yang sudah menggoda saya." Alex kembali duduk di sofa memegangi kepalanya yang terasa pusing.
"Tidak, aku tak menggoda Tuan. Tuan sendiri yang memaksa saya melakukan itu, Tuan tak melepaskan saya." Sabrina menangis, hatinya teramat sakit. Ia adalah korban dan sekarang ia yang disalahkan.
***
Sabrina terbangun dari tidurnya, ia merasa haus dan mengambil air minum di dapur. Setelah itu ia mendengar deru mobil berhenti digarasi, merasa penasaran Sabrina mengintip dibalik gordeng. Setelah itu ia melirik jam yang menempel didinding menunjukan pukul dua dini hari.
Awalnya Sabrina acuh. Namun setelah melihat jalan pria itu sedikit sempoyongan. Sabrina segera membukakan pintu. Meracau tak jelas yang Alex lakukan, ketika Sabrina mengunci pintu kembali. Alex menarik tangan Sabrina menyuruh gadis itu mengantarkannya ke kamar.
Sabrina mengikuti perintahnya, ancaman dipecat membuatnya takut kehilangan pekerjaan. Selama bekerja menjadi asisten rumah tangga bersama Bi Eis, Sabrina bisa menabung untuk biaya kuliah. Mengambil jurusan kebidanan yang menjadi cita-citanya.
Setelah sampai kamar, Alex kehilangan kendali. Ia terpesona pada gadis berambut kepang dua yang memakai kaos ketat tangan pendek warna hitam itu dan celana pendek selutut. Pandangannya tak lepas pada kulit putih mulus milik Sabrina, membuat gairah Alex berkobar.
Malam itu, Tanto dan Tiwi beserta Bi Eis sedang tidak ada dirumah. Jadi dengan leluasa Alex bisa menyalurkan gairahnya, jeritan dan tangisan Sabrina tak ada yang mendengar sehingga gadis itu harus kehilangan kehormatannya.
***
"Mau menuruti perintah Papi atau pergi dari rumah ini." Ancaman yang tak main-main keluar dari mulut Tanto.
"Baiklah, aku akan memilih pergi dari rumah ini dari pada harus menikahi pembantu." Alex berjalan menuju pintu keluar. Namun, langkahnya terhenti saat Tanto meminta kunci mobil, kartu kredit care. Dan mengancamnya akan dikeluarkan dari hak waris keluarga, tak akan diberi sepeser uang dan tak ada jaminan bekerja diperusahaan mana pun.
Sadis, memang terdengar sangat keterlaluan. Tanpa harta, jadi gembel. Tidak! Alex tak mau itu sampai terjadi, apa kata sahabatnya nanti. Seorang Alexsander Wijaya jadi gembel terlunta-lunta dijalan. Bakal jadi pemberitaan hangat disosial media, jadi topik utama. Putra dari pengusaha sukses terlunta-lunta.
"Bagaimana?" Tanto mendekati Alex yang tertegun dekat pintu.
"Tapi, Pi." Suara Alex terdengar lemas, sepertinya ia harus mengalah dulu dan menuruti perintah papinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!