NovelToon NovelToon

Time Travel To Meet The Prince

Sosok yang angkuh

Orang bilang uang bukanlah segalanya, itu memang benar. Tapi yang lebih benarnya lagi, segalanya butuh uang. Makan, mencari ilmu, memenuhi kebutuhan ekonomi, semuanya bersumber dari uang.

Hanya saja Ereluz yang tidak tau diri ini, malah menghamburkan harta orang tuanya untuk kegiatan yang tidak jelas dan tidak bermanfaat sama sekali.

Bahkan saat ini gadis itu sudah berada di tempat sewa kendaraan, menyewa mobil sport terbaik yang di pamerkan berjajar dengan segala macam warna, meninggalkan kegiatan di sekolah yang pastinya masih berlangsung secara normal. Gadis itu mengusap dagunya saat hendak memilih mobil, "Bagaimana jika aku ambil yang merah?"

"Biru lebih menakjubkan, Luz. Tapi terserah kau, pilih saja yang paling mahal, toh kita hanya menyewa bukan membeli," usul Carlota, teman sekolahnya yang sama-sama membolos.

Luz tampak berpikir-pikir sebentar, mengelus pintu mobil warna putih berpadu hitam mengkilap. Tampak menakjubkan, sebab harga sewanya paling luar biasa.

Di otaknya hanya ada, mobil mana yang paling bagus jika dipakai ke jalan perbukitan? Tak peduli berapa biaya, atau bagaimana kemurkaan orang tuanya setelah tau ia membolos sekaligus menghamburkan uang hasil kerja keras ayah dan ibu dalam sekejap mata.

Itu sudah biasa terjadi, kepalanya terlanjur jadi batu.

"Baiklah, aku pilih yang putih saja. Sekarang apalagi? Mobil sudah, peralatan sudah, makanan cukup--"

"Bagaimana dengan pakaian? Kita pastinya butuh kan?" Potong Vivian, seraya merangkul bahu Luz dari samping, disusul Carlota dari sisi lain.

Luz merotasikan bola mata, tangannya ia taruh di depan dada sembari berdecak malas "Tentu...tentu...kita belanja sekarang!" Carlota dan Vivian bersorak senang, ketiganya tertawa sampai puas. Tak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitar.

Tepat saat Luz pergi untuk mengisi persyaratan sewa mobilnya, kedua temannya tersebut menyunggingkan senyum miring "Dia sangat bodoh!"

...---...

Selepas berfoya-foya, Luz langsung pulang. Tubuhnya terasa sangat lelah, ia ingin segera merebahkan diri di ranjang empuk sembari mendengarkan musik pengantar tidur. Membayangkannya saja sudah terasa sangat nyaman.

Matanya melirik arloji silver yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sudah hampir jam sebelas, tidak ada yang mencarinya atau sekedar menanyai keberadaanya sekarang, Luz yakin ibu dan ayah pasti lembur lagi. Tapi tidak masalah, ada keuntungannya juga.

Sialnya, kawasan yang ia kunjungi sekarang, tidak lagi menyediakan jasa antar jemput online lewat jam sepuluh malam. Dengan umpatan, Luz berjalan sendirian mencari halte bus terdekat, "Harusnya Carlota dan Vivian tudak meninggalkanku sendiri begini!" Gerutunya mengingat kedua teman gadis itu tiba-tiba pamit ke toilet, lantas mengabarinya jika mereka sudah pulang terlebih dulu.

Sebenarnya Luz selalu sadar akan perlakuan mereka, ia tau jika tak punya harta tak akan bisa menjalin pertemanan. Apalagi bocah seperti dirinya yang begitu butuh komplotan, hanya untuk bersenang-senang, bukan menjalin pertemanan pada umumnya.

Luz mengerjapkan mata beberapa kali saat tiba di dekat halte, melihat jadwal pemberhentian bus malam ini. Namun sayangnya, bus terakhir sudah lewat beberapa menit lalu. Jadwal selanjutnya menunjukkan pukul empat dini hari, ia bisa mati kedinginan kalau menunggu bus itu.

Terlebih jalanan yang cukup sunyi, hanya beberapa kendaraan ringan yang lewat.

Kebetulan sekali ada taksi yang sedang melintas, Luz tiba-tiba saja berlari ke tengah jalan dan menghadang taksi itu dengan merentangkan kedua tangannya.

Beruntung sopirnya cepat mengerem. Sosok pria paruh baya keluar dari mobil taksi tersebut dengan alis tertaut serta dahi mengerut. Luz sungguh tidak bisa menaha tawa melihat ekspresi kesal dari pak tua itu "Astaga...nona, itu bisa membahayakan nyawa anda sendiri juga nyawa saya..."

Melihat respon si gadis yang malah tertawa, sopir mengusap wajahnya sendiri "Hey pak, antarkan aku pulang," ujar Luz setelah tawanya mereda.

"Tidak bisa, saya masih membawa penumpang."

Luz mendelik sebal, kakinya menghentak keras mendekati mobil taksi, lantas membukanya dengan kasar. Ada wanita dengan dua anak kecil di samping kanan dan kirinya sedang menatap tajam, "Bu, anda bisa turun kan? Saya bayar sekarang juga."

"Maaf, tapi kami baru saja dari luar kota. Malam-malam begini tidak ada kendaraan umum yang lewat lagi," mendengar jawabannya, Luz mengacak rambut "Jika kau memang ingin pulang, kenapa tidak bergabung bersama, kursi depan kosong kan pak?" Tanya wanita itu pada sang sopir.

"Tidak bisa! Hey, aku tidak mau bergabung bersama kalian," seru Luz membuat penumpang dan sopirnya mengelus dada.

"Maaf nak, jika kau tidak mau. Jangan naik taksi ini," kata sopir, berusaha tetap sabar.

Luz berdecak, tangannya merogoh saku dan mengambil beberapa lembar uang "Bagaimana jika aku bayar sesuai keinginan anda, pak?"

Namun tampaknya sopir itu tak tergoda "Terima kasih, tapi penumpang pertamaku adalah wanita ini. Jika kau mau naik taksiku, maka duduklah di depan, aku beri tumpangan gratis."

"Sialan! Aku tidak mau!" Dengan kesal Luz membanting pintu itu, berlari sekencang mungkin. Kebiasaanya selalu berlari menjauh ketika marah, bahkan mungkin ia akan pulang hanya dengan kedua kaki beralaskan sepatu sekolah itu.

...---...

Sopir taksi yang sempat dihadang Luz sudah mengakhiri jadwal kerjanya. Pria paruh baya itu meletakkan sepatu di luar rumah setelah memasukkan mobil taksinya ke pekarangan yang cukup sempit.

Baru saja masuk ke dalam, istri dan putrinya sudah menunggu di ruang tamu. Menyiapkan tiga porsi makanan yang ternyata sudah dingin "Sudah ku bilang, kalian bisa makan dulu. Jangan menungguku seperti ini."

"Tidak apa-apa ayah, kami lebih senang makan bersama. Karena itu terasa lebih nikmat," ujar putrinya yang sudah beranjak remaja.

Sang istri yang datang dari dapur membawa teko berisi air, ikut menimpali "Kebahagiaan memang datang dari kebersamaan. Sekalipun kebersamaanya sangat sederhana."

"Aku tau, aku tau...tapi kau bisa sakit lagi kalau telat makan, jangan buat aku dan putri kita khawatir padamu."

"Maaf kalau kalian khawatir. Baiklah, mulai besok aku tidak akan telat makan lagi."

Keluarga kecil itu sungguh bahagia, meski kesederhanaaan melingkupi hidup mereka yang serba terbatas.

Memang benar jika kasih sayang orang tua merupakan perihal nomor satu di kehidupan setiap orang. Siapapun yang mendapat rasa cinta secara utuh, ia akan bahagia walaupun dilingkupi berbagai masalah, begitu pula sebaliknya, mereka yang kekurangan rasa cinta dari orang terkasih, akan selalu merasa kurang dengan apapun yang dimiliknya sekarang.

Selesai makan malam, putri sopir itu menuju mobil taksi di depan rumahnya. Sebelumnya gadis remaja itu hanya berniat mengambilkan pakaian kotor ayahnya yang terbiasa disimpan di bagasi.

Namun saat menyadari sesuatu yang janggal pada mobilnya, gadis itu lekas kembali masuk rumah, memanggil ayah dan ibunya.

Keduanya tak kalah terkejut, ada sidik jari unik yang membekas pada pintu belakang mobil. Yang aneh, sidik jari itu membekas sangat tajam, sampai membengkokkan besinya, apalagi warnananya yang menghitam seperti mampu mengangkat cat pilox yang menjadi pelindung aluminium mobil.

"Ini unik sekali, seperti...," sang istri menghentikan ucapannya dengan menutup mulut, lantas mengalihkan pandangan ke arah suaminya yang melihat telapak tangannya sendiri, "Jika sidik jarimu berbentuk seperti sulur, yang ini lebih luar biasa."

"Ya bu, ini seperti naga! Wah...siapa kira-kira, ayah?"

Pria itu menggeleng tak tahu, "Seharian ini aku mendapat banyak penumpang, tidak mungkin bisa mengingat mereka semua."

"Tapi, bukankah ayah pernah bilang. Jika ini pertanda? Tugas ayah akan segera selesai?"

"Ya...dia pasti akan datang sendiri. Ini tugas yang berat, aku harap orang pilihan kali ini adalah sosok yang bertanggung jawab."

"Aku selalu berdoa atas keselamatanmu, suamiku. Takdir ada di tangan tuhan, jangan khawatir ya," ucap sang istri menyemangati.

"Jika dia berkhianat, aku yang akan menanggungnya. Aku akan mati bersama mesin itu."

TBC

Sosok yang angkuh(2)

"Hey Leura! Bukankah aku sudah memperingatimu untuk tidak duduk di sini lagi!" Seru gadis berseragam acak yang tak lain adalah Ereluz Rivera. Luz yang semena-mena terlambat masuk kelas hingga hampir jam pelajaran ke lima.

Leura yang nyatanya sosok pendiam dan penurut tak berani membantah, dengan tergesa ia mengemasi peralatannya untuk pindah ke tempat lain. Asalkan jauh dari Luz yang sudah seperti iblis pengancam nyawa orang lain.

Herald, si ketua kelas langsung mendengus kesal melihat penampakan tidak patut di depannya. Sudah berkali-kali ia mendekati Luz hanya untuk mencoba membuat sikapnya berubah. Tapi nyatanya tak ada hasil.

Orang sombong itu selalu seenaknya, semena-mena, tak tahu diri, dan lebih parahnya kenapa Luz harus punya fisik yang nyaris sempurna, hanya karena fisik, semua orang tidak bisa menganggapnya sebelah mata. Semua keburukannya selalu tersingkir oleh kecantikannya, itu tidak adil. Anak-anak bahkan tak ada yang berani berkata ataupun bertindak secara terang-terangan jika mereka tak menyukai Luz, si angkuh.

Di sini hanya Herald yang selalu menjadi penasihat pribadinya, yang sayangnya dianggap tak nampak oleh Luz sekalipun.

Herald semakin kesal ketika si angkuh mulai berulah, gadis itu membawa tong sampah dari luar kelas, lantas menghamburkan isinya ke bangku yang sedang Leura duduki, tepatnya ke tubuh Leura. Herald menghentakkan langkahnya, menghampiri keributan tersebut, "Bisakah kau tidak berulah sehari saja?" Ujarnya penuh kesabaran yang tertahan.

Yang ditanya malah menyunggingkan senyum "Oh, tentu saja Herald yang terhormat. Aku permisi...," Luz menatap kejam Leura sebelum berlalu keluar kelas.

Pandangan Herald kembali pada Leura yang kotor dan bau, "Berapa kali aku bilang, lawan dia, jangan diam seperti ini. Kau terlihat lemah!"

"Mana bisa! Dia punya segalanya, kuasa, kekayaan, fisik. Aku bisa dikeluarkan dari sini kalau memberontak darinya!" Sahut Leura tidak terima.

Kepala Herald menunduk, lalu menyapu seisi kelas. Murid lain seolah tidak peduli pada kejadiaan seperti ini, sebenarnya bukannya tak peduli. Tapi mereka takut, seorang Luz punya kuasa besar di sekolah, "Kalian semua jangan jadi pengecut! Anak itu semakin menjadi setap harinya!"

"Lalu kita akan melakukan apa? Melawan? Yang ada aku di usir dari rumah karena sekolah mengeluarkanku, anak seperti Luz pasti menyuap guru bk!" Sahut murid laki-laki yang bersandar di bangku paling pojok belakang.

"Kau beruntung Herald, kau masih punya kekuasaan di sekolah ini, ayahmu guru. Sedangkan kami? Sekali melawan Luz, bisa di keluarkan langsung," timpal gadis bersurai ikal.

"Herald selalu lolos karena ayahnya pasti ikut menerima uang suap Luz," Herald sontak mengepalkan tangan mendengar pernyataan itu, ia tak habis pikir, mana mungkin ayahnya ikut makan uang suap dari gadis congkak itu? Jika iya, maka ia bersumpah untuk menghukum dirinya sendiri yang ikut makan uang haramnya.

Tapi Luz memang selalu bersikap baik padanya, tak mungkin jika tidak ada maksud tertentu, Luz bukan sosok yang tulis dalam memberikan sesuatu.

...---...

Luz bersidekap dada, matanya mencoba abai dengan tatapan tajam wanita muda di depannya. Baru saja ia kepergok merokok di kantin, terlebih saat jam pelajaran berlangsung.

"Tidak usah menatapku begitu! Aku tau maksud ibu."

Wanita yang menyandang gelar guru bimbingan konseling itu makin marah mendengar kalimat dari mulut setan Luz.

"Bulan ini memang belum ada pemasukkan ya? Tenang saja bu Gean, saldo rekeningku sudah bertambah lagi," ucap Luz lagi-lagi diacuhkan gurunya.

"Biarkan aku pergi, dan saldomu segera bertambah," tawarnya menggoda.

"Aku sudah tidak mau lagi Luz, sekarang aku tak berada di pihakmu," Luz mendadak mengeluarkan seringaian, "Banyak anak-anak mengeluhkan sikapmu yang makin lama, keterlaluan parah! Di mana adabmu? Tata kramamu? Otakmu?!"

"Lalu di mana otak ibu ketika menerima uang dariku?" Tanyanya balik, dengan tenang tanpa merasa bersalah sama sekali.

"Hei, hei...apa kau anak iblis huh?! Pergi dari sini, bersihkan seluruh lingkungan sekolah! Harus bersih, aku tidak mau tahu, dan yang terpenting jangan membayar orang untuk hukuman ringanmu kali ini!"

...---...

Bukan Luz namanya jika mengikuti perintah guru konseling yang membuatnya harus memunguti kotoran di berbagai sudut sekolah luas ini.

Gadis itu malah bermain dengan kucing-kucing liar di atas atap ruang kepala sekolah, entah bagaimana caranya naik tadi, tapi sekarang dia benar-benar seperti seseorang yang lenyap. Teman-teman sekelas mencarinya atas suruhan bu Gean.

"Aku sama sekali tak tertarik dengan kehidupan di dunia ini. Apa kau mau bertukar peran denganku? Aku jadi kucing berambut putih sepertimu, dan kau jadilah murid penurut yang membosankan," ujarnya pada kucing putih di atas kakinya sendiri, Luz terlihat seperti orang gila sekarang.

Meski katanya ia punya teman, Vivian dan Carlota. Nyatanya kedua gadis itu tak selalu ada untuknya, mereka tidak begitu peduli dengan kehadiran Luz, kecuali jika ada dompet tebal di sakunya.

Sebenarnya Luz selalu sedia dompet tebal itu, tapi ia sendiri yang memilih mengabaikan dua orang yang sudah dianggapnya teman baik.

"Ereluz gila! Turun kau!" Teriak sosok menyebalkan, tak lain tak bukan yaitu Herald, anak lelaki itu bahkan sudah siap dengan tangga di depan atap, menaiki anak tangganya satu persatu.

Luz kebingungan untuk kabur, ia tak mungkin melompat langsung menuju ke tanah, yang ada dia bisa ditertawai karena tulangnya patah.

Akhirnya dengan pasrah, kakinya menuju Herald yang mengulurkan tangan untuknya. Luz menepis tangan itu dan memilih menyingkirkan tubuh Herald, gadis angkuh itu dengan kakunya turun lebih dulu, diikuti si ketua kelas.

Bu Gean sudah siap dengan penggaris panjang di bawah sana. Ia menahannya untuk tidak mengumpat sekarang, hatinya semakin keras setiap di kasari, ia selalu berontak untuk mendapati keinginannya. Tapi jika diperlalukan dengan sopan, ia malah terlihat acuh dan kasar. Benar-benar sosok yang jahat.

Luz sudah berada di depan bu Gean, menanti kata apalagi yang akan keluar dari bibir dusta guru genit itu.

"Lakukan tugasmu yang ku suruh tadi, sebelum aku berubah pikiran untuk melaporkan berbagai tindakanmu selama ini pada orang tuamu--"

"Lalu aku akan membongkar rahasia ibu yang sudah berani menerima uang suapku!" Entah sejak kapan Luz berada di dekatnya sembari berbisik, memotong ucapan guru bk tersebut.

Gadis itu kembali menjauh beberapa langkah pelan, menyunggingkan senyum miring kegemarannya "Kita sama-sama salah nantinya kan?"

Bu Gean nampak terdiam di tempat dengan tatapan tak terbaca, Luz mengabaikan hal itu.

"Herald, ayo kembali ke kelas. Jam pelajaran sejarah segera di mulai kan? Aku suka sejarah!" Soraknya melengking seolah ia bahagia, Herald pun sampai keheranan, sejak kapan anak tengil ini begitu menyukai salah satu mata pelajaran sekolah?

"Ayo Herald! Kita kembali ke kelas untuk belajar," ditariknya sang teman laki-laki meninggalkan guru bk wanita itu mematung di tempat, memikirkan berapa uang yang sudah Luz berikan padanya untuk tutup mulut perihal kelakuannya selama di sekolah.

Padahal banyak guru juga sudah mengetahui sikap Luz, tapi mereka acuh karena para guru itu pikir bu Gean bisa menyelesaikan atau mengurus Luz bandel itu sendiri.

Kenyataanya selama hampir satu tahun bersekolah, semua guru tertipu.

Semua murid diam, karena takut dikeluarkan dari sekolah akibat berurusan dengan Ereluz yang punya kuasa.

Gadis itu tak benar-benar menuju kelas, ia pamit pada Herald untuk ke toilet sebentar. Padahal kakinya melangkah ke gudang, menelepon Leura si lemah, mainan kesukaannya.

TBC

yang mampir rejekinya lancar!😍

Kematian Ereluz

"Guru bk sudah melaporkan padaku, tindakan Ereluz selama ini memang di luar batas dan tindakan kemarin yang paling parah. Karena itu pula, kami memutuskan memberhentikannya sentara untuk sekolah, namun tetap memberi bimbingan pelajaran tambahan."

Cassandre Rivera, sang ibu mengusap wajahnya kasar. Menatap sendu wajah seolah tanpa dosa anak satu-satunya tersebut, "Luz, inikah kelakuanmu selama ini?"

Luz terdiam mengabaikan, mulutnya sibuk mengunyah permen karet anggur. Sebenarnya ia pun tak habis pikir, bu Gean rela keluar jabatan hanya karena mengakui kesalahannya, dan akhirnya ia pun juga harus diberhentikan sekolah walaupun sementara.

Tak apa, bagi Luz ini adalah hadiah berupa liburan panjang.

Melihat sang putri yang tak kunjung memulai argumen, ibu mendorong kepalanya sampai menabrak kaca, "Bagaimana bisa kau menyuap gurumu sendiri?!"

Luz menghendilkan bahunya, "Dia mau, ya aku turuti."

"Bodoh kau Luz!"

Bola mata Luz sontak menggerling, "Kau juga bu! Kenapa baru sekarang kau memarahiku?! Bertahun-tahun ini kemana? Aku selalu membuat masalah sampai lulus dan kalian tak peduli sedikitpun!" Bentak Luz emosi, mengingat nakalnya ia sejak kecil dan tindakan itu selalu dibenarkan orang lain karena orang tuanya adalah sosok yang terhormat.

Bukan kehormatan yang Luz inginkan, tapi perhatian, sedikit saja mungkin tak apa. Asalkan itu tertuang setiap hari.

"Ibu dan ayah selalu memperhatikanmu--"

"Jam berapa aku berangkat sekolah saja, kalian tidak tahu kan? Sibuk sekali mencari uang, kan?" Luz menatap sinis pada ibunya sendiri.

"Anak ini!"

...---...

Petang ini cukup menarik, sebuah keluarga yang sangat jarang menghabiskan waktu bersama. Kini mereka tengah berkumpul di ruang tamu berdebu penuh perdebatan.

"Luz di skors?! Apa-apaan kau ini nak? Bagaimana tanggapan rekan-rekan juga klien ayah, nantinya," bibir ayah mulai mengoceh bahkan sebelum ibu menyelesaikan bentakannya.

"Dia anak bodoh! Bisa-bisanya menyuap gurunya sendiri...gila kau! Gila!" Timpal sang ibu entah keberapa kalinya.

Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Luz tersenyum tipis, sangat tidak terlihat, terlebih ketika tersenyum, wajahnya akan menunduk. Bukan tanpa alasan, senyuman itu terpatri di kedua sudut bibirnya. Sosok Luz merasakan hawa kenyamanan ketika duduk di sofa ruang tamu berdebu ini, ruangan ini selalu kosong karena jarang didatangi orang.

Dan kali ini, meski di tengah keributan yang ia hasilkan. Ruang tamu suram jadi sedikit memancarkan pelangi, ia tau saat-saat seperti ini tak akan berlangsung lama. Jadi Luz hanya diam mendengar ocehan ayah dan ibu, menunggu mereka lelah berbicara, lantas membiarkan tempat ini kembali menjadi sunyi bagai tak berpenghuni.

"Luz jawab! Jangan diam saja!" Bentak ibu membuatnya tersadar dari lamunan kehangatan keluarga yang diinginkannya.

Tatapannya yang tadi sendu sekaligus haru, kini kembali tajam dan acuh layaknya wajah yang selalu ditunjukkan pada siapapun. Wajah yang orang-orang hafal dari sosok Ereluz, si angkuh.

Ayah mencoba berbicara lebih lembut "Kenapa kau melakukan ini semua? Menyuap guru itu salah, merokok, bolos pelajaran, dan pembulian...itu parah. Ada apa denganmu?"

Luz tersenyum kecut, melihat keyakinan dari ayahnya yang baru sadar kalau kelakuan putrinya luar biasa tidak terpuji "Ayah tidak tahu kan, kalau selama ini aku bersikap menjadi diriku. Itu caraku hidup, dengan melakukan apa yang tidak dianjurkan orang-orang."

"Maksudmu apa Luz? Tidakkah kau sadar kelakuanmu membawa petaka pada orang lain, gurumu sudah dipecat, Leura masuk rumah sakit karena tulang punggungnya retak."

"Itu salah mereka sendiri! Kenapa bu Gean terlalu tergiur dengan harta, dan kenapa Leura terlalu lemah? Seburuk-buruk orang yang membisikkan kejahatan, lebih buruk lagi seseorang yang tergiur dengan bisikan jahat itu."

Ibu mendelik, "Jangan mencoba seolah kau tak bersalah sama sekali."

"Aku memang tidak salah," entah kenapa, tapi ibu terlihat menjengkelkan sekarang. Luz benar-benar malas berbicara dengan wanita yang menyandang gelar ibu kandungnya tersebut.

"Masuk kamar! Jangan keluar sampai aku membukakan pintu!"

...---...

"Aku sungguh minta maaf tuan dan nyonya, putri kalian jadi begini karena Luz, anak saya."

"Kami memaafkannya tuan. Tapi aku harap kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Bahaya..."

Ayahnya Luz mengangguk menyetujui "Aku sudah salah mendidik putriku. Anak itu terlalu buruk, sungguh aku tak tau harus bagaimana menyikapinya, sekarang."

"Anak yang seperti itu jangan dikekang, tapi jangan terlalu dibebaskan juga. Kalau di batasi, ia akan berontak tapi kalau di bebaskan jadi liar. Saran saya, awasi dia saat bebas dan batasi segala tingkah buruknya, maaf kalau saya terlampau lancang mengomentari," ujar pria paruh baya yang merupakan ayah Leura. Gadis itu memang masuk rumah sakit akibat perlakuan kasar Luz yang menggunakan fisik, pada gadis itu.

"Ya mungkin itu akan membantu, tapi aku sungguh benar-benar bingung, bagaimana menyembuhkan sikap buruk anakku."

...---...

Meskipun kamarnya ada di lantai atas, hal itu sama sekali tidak membuat goyah seorang Ereluz. Ransel hitam sudah melekat di pundaknya, berisikan barang-barang yang mungkin ia butuhkan saat di pegunungan nanti.

Lusa, tiket sudah dibayar, mobil sudah disewa. Sayang kalau ditinggalkan hanya untuk menuruti kata-kata ayah dan ibu yang menyuruhnya untuk tetap tinggal di kamar sampai waktu yang belum ditentukan. Membosankan!

Dengan sedikit kesulitan, kaki Luz yang tak terlalu panjang itu menuruni dinding tidak rata, desain rumah retro dengan segala keunikan luar dalam. karena bentuk dinding yang membuat batunya menonjol beberapa, Luz jadi lebih mudah untuk kabur.

Setelah menyelesaikan tantangan pertama, anak gadis itu tak ambil repot, ia berlari ke belakang rumah demi tidak menjumpai satpam di gerbang depan sana.

Luz lagi-lagi memanjat dindingnya, bertumpu pada tong sampah.

"Akhirnya! Yeay!" Sorak pelan keluar dari bibirnya. Ya tentu, memanjat dan menuruni dinding untuk seorang perempuan sepertinya memang agak sulit, tapi nyatanya dia bisa.

Luz segera pergi ke tempat penyewaan mobil itu, lalu ke villa di pegunungan yang damai dan indah tanpa gangguan dari siapapun.

...---...

Hatinya sudah kacau, kenyataannya seseorang seperti Luz adalah sosok yang keras luar tapi lemah di dalam. Kepalanya berkali-kali dibanting, ia pasti masih sanggup melawan. Tapi sekali saja hatinya di sakiti, bukannya melemah tapi malah mengeras hingga menyalurkan kekerasan itu pada kekuatan fisiknya.

Jika ada yang menyakiti hatinya, Luz selalu membalas dengan kemampuan fisik. Ia tidak banyak bicara dan tidak juga pendiam, tapi tubuhnya yang selalu bertindak.

Carlota dan Vivian sudah tak menganggap Luz ada, mereka mengatakan tidak lagi mau berteman dengan seorang pelaku pembulian. Padahal sebelumnya, mereka yang membantunya membuli Leura, "Sialan mereka berdua! Mereka pikir mereka siapa?! Bisa-bisanya meninggalkanku dalam keadaan seperti ini! Aku kan butuh dihibur juga!" Ia lantas menutup ponsel yang baru digunakan untuk menelepon kedua 'temannya' itu.

Luz berdecak. Mobil sport putih yang dikendarainya melaju cepat tanpa memedulikan keadaan sekitar yang masih ramai. Sesekali menerobos lampu merah, karena kesal menunggu.

Terhitung sudah tujuh kali lampu merah ia terobos, tapi omelan berkali-kali sudah didengarnya dari pengendara sekitar. Ia tau hal ini membahayakan nyawanya juga orang lain, tapi tak penting, jika mati, semua orang pasti akan bahagia.

Lampu hijau berganti merah, membuat Luz mendengus dan mempercepat lintasnya.

Tiba-tiba dari sisi kiri, truk bermuatan tinggi itu menerjangnya, dan mobil biasa dari arah sebaliknya. Mobil Luz terjepit di tengah, ia pun segera menancap gas sebelum keadaan lebih parah.

Tapi sayangnya, mobil yang tungganginya sudah remuk sisi kanan dan kiri. Tak bisa melaju lagi, Luz bersandar dan menghentikan aksi mencoba lepas dari dua kendaraan yang menghimpitnya.

Ia pasrah saat tangannya terjepit, mati mungkin lebih baik dari pada hidup diantara kerusuhan yang dibuatnya sendiri.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!